BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

BAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh daya saing dan keterampilan (meritokration). Pria dan wanita sama-sama

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PEREMPUAN DALAM BIROKRASI Hambatan Kepemimpinan Perempuan dalam Birokrasi Pemerintah Provinsi DIY

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi pekerja perempuan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Jika

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. historisnya, dipersoalkan oleh pemeluk agama, serta

BAB 1. Pendahuluan Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masih dapat kita jumpai hingga saat ini. Perbedaan antara laki- laki dan

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. upaya dari anggota organisasi untuk meningkatkan suatu jabatan yang ada.

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2016

I. PENDAHULUAN. Peran serta masyarakat dalam pendidikan pada dasarnya bukan merupakan sesuatu

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN

Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Partisipasi dari pekerja perempuan di Indonesia untuk setiap tahun semakin

BAB I PENDAHULUAN. Skripsi ini membahas tentang bagaimana faktor-faktor yang menyebabkan

BAB IV KESIMPULAN. Perempuan sebagai subjek yang aktif dalam urusan-urusan publik

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

BAB I PENDAHULUAN. 189 negara anggota PBB pada bulan September 2000 adalah deklarasi Millenium

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN. pulau-pulau dan lebih kebudayaan, upaya menguraikan kondisi hubungan

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu akan memenangkan persaingan itu. memiliki kemampuan sesuai dengan kualifikasi yang diharapkan tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. Tiongkok merupakan negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia.

BAB I PENDAHULUAN. < diakses 16 Juni 2016.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN. pemahaman bahwa perempuan berada dalam posisi yang kuat. Perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di suatu negara tentunya tidak bisa terlepas dari

I. PENDAHULUAN. menganggap pengangguran bukan masalah ketenagakerjaan yang serius

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB 5 PENUTUP. sebagai lembaga swadaya masyarakat yang ada di wilayah Grobogan mampu

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

Menilai Pekerjaan Layak di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mencapai orang, yang terdiri atas orang lakilaki

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan antara kesetaraan jender dengan proses pembangunan ekonomi

Dekonstruksi Maskulinitas dan Feminitas dalam Sinetron ABG Jadi Manten Skripsi Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Pendidikan Strata 1

BAB IV KESIMPULAN. dalam menentukan dan membentuk konstruksi sosial, yaitu aturan-aturan dan batasan

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. peran wanita berbeda bagi setiap masyarakat (Hutajulu, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

PEMBERDAYAAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

MARI BERGABUNG DI PROGRAM MENCARE+ INDONESIA!

SKRIPSI KETIMPANGAN GENDER DAN KESUKSESAN PEMBANGUNAN INDIA STUDI KASUS: PRAKTEK KEKERASAN DAN DISKRIMINASI GENDER PADA PEREMPUAN-PEREMPUAN INDIA

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peranan kaum perempuan pada tahap dewasa dini pada saat ini secara umum

1Konsep dan Teori Gender

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2015

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. Jakarta (BEJ) Nomor Kep-306/BEJ/ menyebutkan bahwa perusahaan yang go

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

Issue Gender & gerakan Feminisme. Rudy Wawolumaja

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki

BAB 6 PENUTUP. 1. Reputasi Organisasi berpengaruh signifikan terhadap Corporate. Entrepreneurship. Hal ini membuktikan bahwa Reputasi Organisasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang

Ery Seda Mainstream Gender ke Dalam Gerakan Filantropi!

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

KEADAAN KETENAGAKERJAAN NTT FEBRUARI 2014

Kerangka Acuan Call for Proposals : Voice Indonesia

Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik

Abstrak. Kata kunci: pemberdayaan, kesejahteraan, potensi, koperasi wanita

BAB I PENDAHULUAN. akses, bersifat privat dan tergantung kepada pihak lain (laki-laki). Perempuan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan SDM yang optimal demi meningkatkan pembangunan. pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Hal ini di karenakan tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan, puskemas, dan universitas merupakan beberapa contoh dari

DAFTAR TABEL. Tabel IV.1 Data Jumlah Penduduk Kota Medan berdasarkan Kecamatan Tabel IV.2 Komposisi pegawai berdasarkan jabatan/eselon...

BAB I PENDAHULUAN. sama dengan pegawai lainnya. Kaum minoritas berjumlah sedikit dibanding kaum

Perempuan dan Sustainable Development Goals (SDGs) Ita Fatia Nadia UN Women

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN RIFFAT HASSAN DAN MANSOUR FAKIH TENTANG KESETARAAN JENDER DALAM ISLAM: SEBUAH PERBANDINGAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jepang mengalami permasalahan penyusutan partisipasi tenaga kerja di dalam negeri yang cukup serius. Permasalahan ini memengaruhi pertumbuhan perekonomian Jepang saat ini di bawah rezim Perdana Menteri Shinzo Abe yang menurun secara signifikan hingga mengalami resesi ekonomi selama tiga kuartal secara berturut-turut pada tahun 2015 lalu. Penyusutan jumlah tenaga kerja ini mengakibatkan terjadinya labor shortages atau kekurangan tenaga kerja di dalam negeri yang menghambat kemajuan berbagai sektor pembangunan di Jepang secara signifikan. Penyusutan jumlah tenaga kerja secara keseluruhan merupakan konsekuensi dari tingkat partisipasi masyarakat di dalam negeri untuk berperan sebagai tenaga kerja aktif yang terus menurun. Pertumbuhan jumlah tenaga kerja di dalam negeri terhambat, karena tidak semua masyarakat memiliki kesempatan yang sama besarnya untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan sebagai tenaga kerja. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dan membentuk pertumbuhan perekonomian yang lebih stabil, pemerintah Jepang mengambil langkah kebijakan mendorong kenaikan tingkat partisipasi dari berbagai elemen masyarakat Jepang di dalam pembangunan untuk berperan sebagai tenaga kerja. Pemerintah Jepang menyusun dan mengimplementasikan serangkaian kebijakan yang dapat mendorong kenaikan tingkat partisipasi dari berbagai elemen masyarakat sebagai tenaga kerja tersebut, salah satunya adalah dengan kebijakan yang dapat merombak struktur pasar ketenagakerjaan di dalam negeri. Struktur pasar ketenagakerjaan Jepang secara historis terbentuk berdasarkan dua pilar, yakni pola pekerjaan yang rigid atau kaku dan sistem senioritas dalam pemberian upah. Dua pilar yang membentuk struktur pasar ketenagakerjaan di Jepang ini merupakan sistem yang

berlaku bagi pekerja formal yang bekerja secara permanen atau pekerja inti. Di Jepang, peran pekerja inti ini biasanya cenderung diisi oleh laki-laki karena perusahaan lebih menganggap laki-laki dapat bekerja secara terus menerus dalam periode waktu yang lama. Sementara di sisi lain perempuan dinilai tidak dapat menyesuaikan diri dengan pola kerja lifetime employment tersebut karena perempuan akan mengalami masa-masa berkeluarga, hamil, memiliki anak, yang dianggap dapat menghambat produktivitas mereka dalam bekerja. Oleh karena itu, maka secara tidak langsung dapat diartikan bahwasanya perempuan cenderung tersisihkan dari struktur pasar ketenagakerjaan di Jepang. Perempuan hanya dianggap sebagai pekerja yang tidak tetap saja, sedangkan laki-laki memiliki proporsi ketenagakerjaan yang lebih tetap dan lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Data menunjukkan bahwasanya dari total sekitar 64 juta perempuan yang ada di Jepang, hanya sekitar 70 persen dari mereka yang berpartisipasi aktif sebagai tenaga kerja 1. Sementara dari laki-laki di Jepang yang notabene hanya berjumlah sekitar 61juta, sekitar 92 persen di antara mereka telah berpartisipasi aktif sebagai tenaga kerja. Dari data ini dapat dilihat bahwa perempuan di Jepang cenderung memiliki kesempatan ketenagakerjaan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja laki-laki secara formal, dan hal ini menjadi perhatian khusus dari pemerintah Jepang di era Shinzo Abe. Pada awal periode kedua masa pemerintahannya di akhir tahun 2012, PM Shinzo Abe bertekad membangun Jepang melalui kerangka besar kebijakan pembangunan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang kemudian disebut sebagai Abenomics. Skema Abenomics dibentuk sebagai upaya merevitalisasi stagnasi ekonomi yang dialami oleh Jepang. PM Shinzo Abe menyatakan bahwa untuk merevitalisasi stagnasi ekonomi tersebut, salah satu fokus kebijakan politik yang akan ditempuh secara khusus oleh pemerintah Jepang adalah dengan mendorong perempuan agar mereka dapat berpartisipasi lebih banyak dalam pembangunan ekonomi Jepang sebagai tenaga kerja 1 Organization for Economic Cooperation & Development, OECD.Stat (daring), <https://stats.oecd.org/index.aspx?datasetcode=lfs_sexage_i_r>, diakses 11 Juni 2016.

di dalam negeri. Partisipasi perempuan dianggap merupakan komponen yang krusial dan menjadi salah satu prioritas utama dalam perencanaan kebijakan reformasi struktural yang akan dilakukan oleh pemerintah Jepang sebagai bagian dari strategi pembangunan Abenomics. Mendorong kenaikan tingkat partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja menjadi fokus utama dari pemerintah Jepang di bawah Shinzo Abe karena perempuan dianggap memiliki tingkat partisipasi ketenagakerjaan yang masih sangat rendah dibandingkan dengan laki-laki di Jepang. Rendahnya tingkat partisipasi perempuan terjadi karena perempuan masih belum dapat diintegrasikan secara optimal sebagai bagian yang penting dalam pelaksanaan pembangunan di dalam negeri, padahal perempuan memiliki potensi yang sangat besar apabila diberikan kesempatan untuk terlibat lebih aktif dan berkontribusi dalam pembangunan. Sebenarnya banyak dari perempuan Jepang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi sehingga secara kapabilitas seharusnya mereka setara dengan laki-laki, namun potensi mereka terhenti seiring dengan berbagai hambatan yang membatasi kesempatan mereka untuk berpartisipasi dalam pembangunan di dalam negeri. Abe meyakini bahwa dengan mengatasi hambatanhambatan yang dialami oleh perempuan dan mendorong partisipasi mereka dapat memberikan solusi terhadap masalah partisipasi tenaga kerja yang menyusut di dalam negeri. Dengan mendorong partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja di dalam negeri secara maksimal, Jepang diyakini dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja di dalam negeri sekitar 8.2 juta orang, dan menaikkan pertumbuhan tingkat aset produk domestik bruto (GDP) sebesar 13-15 persen 2. Keyakinan Shinzo Abe terhadap kebijakannya untuk mendorong partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja di dalam negeri ini didasari, atau dapat dikatakan, terinspirasi oleh Womenomics yang dipopulerkan dalam laporan dari Goldman Sachs pada tahun 1999 3 yang intinya menyatakan bahwa 2 Diana Magnay, Can womenomics save Japan?, CNN (daring), 22 Mei 2013, <http://edition.cnn.com/2013/05/21/business/japan-women-economy-womenomics/index.html>, diakses 24 Februari 2016. 3 K. Matsui, H. Suzuki & Y. Ushio, Women-omics: Buy the Female Economy, Goldman Sachs Japan Portfolio Strategy, Tokyo, 1999, hal. 1.

perempuan memiliki peranan yang penting dan merupakan bagian yang integral dalam proses pembangunan ekonomi negara dalam jangka panjang, sehingga mendorong lebih banyak partisipasi dari perempuan sebagai tenaga kerja di dalam negeri merupakan kunci bagi Jepang yang harus dilakukan apabila pemerintah ingin meningkatkan potensi pertumbuhan perekonomiannya. Sejak awal naiknya Abe ke tampuk pemerintahan dan mulai merealisasikan visinya untuk mendorong peningkatan partisipasi dan pemberdayaan perempuan dalam proses pembangunan Jepang, sekitar 750.000 perempuan telah memasuki angkatan kerja di dalam negeri, yang kemudian menaikkan tingkat partisipasi perempuan sebanyak 3 persen menjadi 64 persen seperti saat ini 4. Pemerintah Jepang di bawah Shinzo Abe pun telah menetapkan berbagai tujuan dalam jangka panjang yang ingin dicapai melalui kerangka kebijakan Abenomics yang berkenaan dengan upaya mendorong dan memberdayakan perempuan di dalam proses pembangunan Jepang, diantaranya adalah meningkatkan jumlah tenaga kerja perempuan sudah menikah dan memiliki anak untuk kembali ke pekerjaan mereka sebanyak 55 persen pada tahun 2020 5, dan mendorong tingkat partisipasi ketenagakerjaan perempuan secara keseluruhan di dalam negeri hingga mencapai angka 73 persen 6. Skripsi ini akan membahas kebijakan peningkatan partisipasi perempuan sebagai tenaga kerja dalam pembangunan ekonomi Jepang di era pemerintahan Shinzo Abe. Pada era pemerintahan Shinzo Abe, secara khusus permasalahan penyusutan partisipasi ketenagakerjaan yang melanda Jepang menjadi salah satu titik tolak perombakan struktur perekonomian di dalam negeri. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, salah 4 D. Sevastopoulo, Abe pushes womenomics to shake up Japan s workforce dynamic, Financial Times (daring), 7 Desember 2014, <http://www.ft.com/intl/cms/s/0/4c42de68-6a89-11e4-bfb4-00144feabdc0.html>, diakses 20 April 2016. 5 D. Paquette, How American women fell behind Japanese women in the workplace, The Washington Post (daring), 7 Oktober 2015, <https://www.washingtonpost.com/news/wonk/wp/2015/10/07/howamerican-women-fell-behind-japanese-women-in-the-workplace/>, diakses 21 April 2016. 6 S. Abe, Shinzo Abe: Unleashing the power of Womenomics, Wall Street Journal (daring), 25 September 2013,<http://www.wsj.com/articles/SB10001424052702303759604579091680931293404>, diakses 20 April 2016.

satu langkah kebijakan politik yang dipilih oleh pemerintah Jepang ialah dengan mendorong peranan perempuan sebagai tenaga kerja domestik. Isu mengenai perempuan dalam peranan mereka sebagai tenaga kerja domestik telah menjadi salah satu fokus pengembangan kebijakan oleh pemerintah Jepang, setelah sekian lamanya perempuan hanya dianggap sebagai underutilized resource atau komoditas sumber daya manusia yang kurang dimanfaatkan dengan baik. Shinzo Abe meyakini bahwasanya perempuan memiliki potensi yang sangat besar untuk berkontribusi terhadap proses pembangunan pertumbuhan ekonomi di dalam negeri apabila ia dapat berpartisipasi di dalamnya. Maka untuk mencapai potensi dari perempuan tersebut, pemerintah Jepang di era Shinzo Abe membentuk kebijakan yang bersifat suportif, atau yang dapat mendorong, perempuan untuk berpartisipasi secara setara di dalam pembangunan pertumbuhan ekonomi Jepang sebagai tenaga kerja. 1.2. Pertanyaan Penelitian Melalui penelitian ini, penulis berharap dapat menjawab pertanyaan berikut: Apa tantangan politik yang muncul dalam implementasi Womenomics sebagai bagian dari transformasi relasi gender di Jepang? 1.3. Landasan Konseptual Perempuan di Jepang mengalami marginalisasi yang menyebabkan mereka tidak dapat berpartisipasi sebagai tenaga kerja secara penuh. Marginalisasi terhadap kelompok perempuan di sektor ketenagakerjaan Jepang terjadi karena masih ada pengaruh nilai-nilai berkaitan dengan gender yang tidak menguntungkan dan membatasi perempuan dalam sistem sosial masyarakat Jepang secara turun temurun. Secara umum, nilai-nilai yang membatasi perempuan dalam sistem masyarakat Jepang

ini antara lain berkaitan dengan adanya kepercayaan dasar dari masyarakat Jepang bahwa laki-laki dan perempuan harus dibesarkan dengan cara atau perlakuan yang berbeda. Pembedaan tersebut memengaruhi dan menjadi bagian dari ekspektasi sosial masyarakat Jepang terhadap perilaku yang sesuai dari laki-laki atau perempuan yang didasarkan pada stereotip gender, laki-laki harus bekerja di luar rumah sementara perempuan lebih cocok untuk bekerja di rumah dan mengurus anak daripada laki-laki, dan melalui peranannya sebagai ibu rumah tangga, perempuan dianggap telah memberikan kontribusi yang berharga di masyarakat 7. Menurut konsep social role theory dari Eagly, ekspektasi sosial dari masyarakat terhadap perilaku inilah yang membentuk istilah peranan gender 8. Peranan gender ini kemudian mengalami diferensiasi di masyarakat, dan memengaruhi munculnya hierarki gender yang terkonstruksi melalui hubungan sosial dan adat istiadat. Hierarki gender inilah yang membentuk hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang di dalamnya seringkali dianggap lebih merugikan bagi kelompok perempuan. Hubungan kekuasaan ini merupakan elemen yang mendefinisikan relasi gender yang universal, dan telah menjadi realitas dari sistem sosial masyarakat Jepang yang terjadi secara turun temurun. Konsep kekuasaan ini diartikulasikan dalam bentuk relasi gender yang berkenaan dengan subordinasi perempuan terhadap laki-laki. Relasi gender pada dasarnya merupakan, serta dijadikan, bagian yang tak terpisahkan dari berbagai institusi seperti keluarga, sistem hukum, dan pasar. Maka dengan menjadi bagian dari institusi ini, nilai-nilai yang terkandung dalam relasi gender yang ada pada sistem sosial masyarakat Jepang pun ikut terinternalisasi, dijadikan dasar untuk mendefinisikan atau memperkuat peraturan-peraturan dan norma-norma yang menjadi karakteristik dari institusi-institusi sosial tersebut, serta 7 K. Yamaguchi, Married Women s Gender-Role Attitudes and Social Stratification: Commonalities and Differences between Japan and the United States, International Journal of Sociology, vol. 30, no. 2, 2000, hal. 56. 8 A. H. Eagly & W. Wood, Explaining Sex Differences in Social Behavior: A Meta-Analytic Perspective, Paper presented at the Annual Meeting of the American Psychological Association, Atlanta, 1988, hal. 4

dipraktikkan secara umum oleh yang terlibat di dalamnya. Pasar tenaga kerja di Jepang merupakan salah satu contoh institusi sosial yang memiliki, dan dipengaruhi, oleh nilainilai relasi gender yang sifatnya hierarkis. Dalam pasar tenaga kerja Jepang, karakteristik peranan gender tradisional dan relasi gender sangat ditekankan hingga menciptakan struktur dan praktik-praktik di lingkungan kerja yang mencerminkan ketidaksetaraan dalam pembagian kesempatan kerja antara perempuan dan laki-laki, seperti pembagian beban kerja dan posisi pekerjaan yang lebih berat dan penting untuk laki-laki dan perempuan mendapatkan yang lebih ringan dan tidak terlalu signifikan seperti pekerjaan administratif menjadi juru tulis, sekretaris, dan sebagainya. Nilai-nilai relasi gender pada sistem sosial masyarakat Jepang yang sifatnya hierarkis dapat melanggengkan dirinya dalam institusi pasar tenaga kerja karena adanya sistem patriarki yang sudah mengakar menjadi budaya dari masyarakat secara umum di Jepang. Sistem patriarkis ini terjadi baik di lingkup privat maupun publik. Dalam dua lingkup ini, kelompok laki-laki terutama bagi laki-laki pencari nafkah yang memiliki posisi ekonomi yang lebih baik dari perempuan pada umumnya merupakan kelompok yang memiliki kekuasaan, lebih kuat, atau dominan yang melakukan subordinasi atau penyingkiran terhadap perempuan. Dalam lingkup patriarki privat, laki-laki berada pada posisi sebagai suami atau ayah yang membatasi istrinya untuk terlibat di dalam ranah-ranah yang dianggap khusus terbentuk untuk laki-laki seperti misalnya bekerja. Sementara itu di lingkup publik, subordinasi hak perempuan dilakukan secara lebih kolektif daripada secara individual. Subordinasi perempuan secara kolektif ini dilakukan oleh lembaga-lembaga yang kebanyakan di antaranya dipimpin oleh laki-laki, dan secara tradisional dianggap sebagai bagian dari ranah publik yang menjadi posisi sentral dalam pelanggengan sistem patriarki. Di antara patriarki privat dan publik ini terdapat pola pergeseran strategi patriarki dari sebuah strategi penyingkiran perempuan dari pekerjaan yang dianggap sebagai atribut dari laki-laki di ranah privat ke strategi segregasi dan subordinasi perempuan di berbagai area publik.

Kerangka patriarki dalam sistem sosial yang mengakar di Jepang ini menempatkan perempuan dan laki-laki pada posisi yang berbeda dalam struktur rumah tangga tradisional dan dengan demikian berarti akses sumber daya yang berbeda pula, yang kemudian membentuk pembagian kerja berdasarkan gender yang lazim dipraktikkan di Jepang. Adanya pembagian kerja berdasarkan gender ini dalam arti lain dapat dikatakan sebagai pengejawantahan dari subordinasi secara halus terhadap perempuan yang masih terus langgeng hingga saat ini di sektor ketenagakerjaan Jepang. Karena ada bentuk relasi gender yang hierarkis dan elemen patriarki yang masih langgeng di dalam konstruksi sistem sosial masyarakat Jepang, perempuan Jepang terus mengalami tekanan dari keadaan maskulinitas hegemonik yang telah dianggap biasa di sekitarnya dan tertanam secara kuat sebagai norma-norma institusi ketenagakerjaan yang membuat perempuan tidak memiliki cukup ruang untuk merepresentasikan dirinya sebagai tenaga kerja aktif, dan menyebabkan terjadinya eksklusi perempuan dari sektor ketenagakerjaan produktif di Jepang. Strategi Womenomics diperkenalkan oleh pemerintah Jepang ke ranah publik dengan kesadaran pemerintah akan posisi kelompok perempuan di masyarakat Jepang yang masih termarginalkan di bidang ekonomi. Gagasan utama dari strategi kebijakan Womenomics ialah memberdayakan peranan perempuan dan mendorong mereka untuk berkontribusi lebih terhadap pembangunan sebagai tenaga kerja karena mereka merupakan faktor potensial dalam menstimulasi pertumbuhan perekonomian Jepang dalam jangka panjang. Inti dari gagasan yang terkandung dalam strategi kebijakan Womenomics ini dimaksudkan untuk memberikan implikasi terhadap proses inklusi atau integrasi kelompok perempuan yang termarginalkan ke dalam pelaksanaan pembangunan di dalam negeri. Maka, untuk melihat seberapa besar implikasi kebijakan ini, perlu adanya pendekatan yang dapat membantu kita untuk melihat melalui perspektif atau sudut pandang perempuan sebagai kelompok yang mengalami marginalisasi itu sendiri. Sebagai upaya untuk mengidentifikasi implikasi dari kebijakan ini, penulis menggunakan sudut pandang pendekatan epistemologis yang memiliki tujuan untuk memperhitungkan konsekuensi dari perbedaan dalam konteks

kultural, nilai-nilai gender, dan hubungan kekuasaan dalam mengetahui sebuah masalah. Pendekatan epistemologis ini disebut dengan istilah Standpoint theory. Istilah standpoint theory pertama kali dimunculkan oleh Sandra Harding dalam bukunya The Feminist Standpoint: Developing ground for a specifically feminist historical materialism 9. Pendekatan perspektif standpoint theory lahir dari argumentasi berbasis paham Marxisme mengenai orang-orang yang berasal dari kelas yang mengalami opresi memiliki akses tersendiri terhadap pengetahuan tertentu yang berbeda yang tidak dapat diakses oleh orang-orang yang memiliki hak dan berada pada kelas yang diistimewakan. Secara konseptual, pendekatan standpoint theory ini dikembangkan pada tahun 1970-an berdasarkan pemikiran dari kaum feminis terhadap ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang ternyata dapat memengaruhi produksi dari pengetahuan yang tersedia dan dapat dipahami oleh masyarakat 10. Pendekatan standpoint theory menekankan keuntungan epistemologis yang akan kita dapatkan apabila kita melakukan pendekatan analisis terhadap sebuah pertanyaan yang menjadi permasalahan melalui perspektif kelompok-kelompok yang termarginalisasi 11. Menurut pendekatan ini, baik kelompok yang menempati posisi dominan maupun yang mengalami subordinasi memiliki pengalaman sistematis yang berbeda dari perbedaan posisi mereka dalam struktur sosial masyarakat, dan dengan melihat dari standpoint atau perspektif kelompok yang mengalami subordinasi, kita mampu memiliki spektrum analisis yang khusus karena banyak fenomena sosial yang tidak dapat kita lihat dari posisi kelompok yang lebih dominan atau berkuasa. Sudut pandang yang kita ambil merupakan perspektif dari kelompok atau dikonstruksikan secara kolektif, bukan perspektif dari individual, mengenai isu wacana yang muncul 9 Communication Theory, The Standpoint Theory, <http://communicationtheory.org/the-standpointtheory/>, diakses 5 Desember 2016. 10 E. Borland, Standpoint theory, Encyclopædia Britannica (daring), 27 Maret 2015, <https://www.britannica.com/topic/standpoint-theory>, diakses 5 Desember 2016. 11 S. L. Weldon, Inclusion and understanding: a collective methodology for feminist International Relations, dalam B. A. Ackerly, M. Stern, & J. True (ed.), Feminist Methodologies for International Relations, Cambridge University Press, Cambridge, 2006, hal. 64

dari situasi politik tertentu yakni situasi hierarki atau dominasi kelompok. Mengambil sudut pandang analisis dari kelompok perempuan Jepang yang dianggap memiliki kekuasaan yang lebih rendah atau termarginalkan oleh struktur masyarakat disana dapat mengungkapkan bahwa dalam prosesnya terdapat kompleksitas di dalam hierarki kekuasaan. Analisis sudut pandang feminis terhadap konsep kekuasaan juga menekankan bahwa kekuasaan seringkali tidak hanya digunakan untuk mengucilkan secara fisik kelompok yang kurang kuat saja, tetapi juga ketika kelompok yang memiliki kekuasaan ini (laki-laki) mendominasi ranah-ranah yang di dalamnya sebenarnya terdapat keanggotaan dari kelompok yang kurang kuat ini juga. Hal ini dinamakan sebagai eksklusi internal, dan pendekatan epistemologis dari sudut pandang feminis bertujuan untuk memahami mengenai permasalahan perempuan yang mengalami eksklusi internal ini. 1.4. Argumentasi Utama Kebijakan Womenomics dihadapkan pada realitas relasi gender yang sangat patriarkis antara perempuan dan laki-laki di Jepang yang terlembagakan menjadi sebuah tantangan politik dalam proses implementasi kebijakan ini. Realitas relasi gender di Jepang sejak jaman dahulu adalah posisi perempuan di masyarakat yang ditempatkan sebagai kelompok yang termarginalkan dan mengalami subordinasi dari laki-laki sebagai kelompok yang dominan, sehingga hal tersebut menyebabkan terciptanya ketidaksetaraan kesempatan dan eksklusi perempuan dari sektor-sektor di ranah publik, termasuk di sektor ketenagakerjaan produktif. Karena sejak awal gagasan dari pembentukan strategi kebijakan Womenomics sangat berkaitan dengan pemberdayaan dan peningkatan peranan yang dimiliki oleh perempuan, maka kebijakan Womenomics diperkenalkan di tengah problematika relasi gender dan marginalisasi perempuan ini sebagai kebijakan yang dapat mengangkat posisi tawar perempuan terhadap laki-laki melalui peningkatan status ekonomi melalui partisipasi

mereka sebagai tenaga kerja, sehingga dengan demikian, pemerintah berharap dapat mengubah tatanan dominasi laki-laki terhadap perempuan dalam relasi gender yang sudah diterima secara umum di masyarakat Jepang. Namun apabila dilihat dari sudut pandang kelompok perempuan yang termarginalkan tersebut, banyak dari mereka yang justru menganggap bahwa upaya pemerintah untuk mengubah tatanan relasi gender melalui kebijakan-kebijakan dalam kerangka Womenomics tidak berjalan secara efektif atau tepat pada tujuannya. Melalui implementasi kebijakan-kebijakan yang terkandung di dalamnya, Womenomics dianggap tidak dapat menyentuh dasar dari permasalahan relasi gender patriarkis yang sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat yang menyulitkan perempuan di Jepang. Alasannya karena, kebijakan Womenomics hanya mempertimbangkan posisi perempuan secara ekonomis dalam partisipasi dan peranannya sebagai tenaga kerja saja. Sementara untuk mengatasi permasalahan relasi gender yang patriarkis di Jepang secara mendasar, tidak dapat hanya diukur dengan indikator penyetaraan jumlah perempuan untuk berpartisipasi sebagai tenaga kerja di dalam negeri saja, melainkan juga dengan mempertimbangkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan transformasi peranan gender tradisional perempuan yang dapat memengaruhi keadaan relasi gender itu sendiri. 1.5. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan data sekunder seperti buku, jurnal, artikel, website resmi, dan berbagai publikasi lainnya yang bersifat fisik maupun daring. Penulis akan melakukan konseptualisasi untuk menjelaskan konteks historis dari relasi gender yang patriarkis di Jepang, marginalisasi dan eksklusi yang dialami oleh perempuan dan upaya Womenomics dalam mentransformasikan relasi gender dan marginalisasi perempuan tersebut. Secara spesifik, penulis juga akan membahas mengenai pendapat-pendapat

berdasarkan sudut pandang perempuan terhadap kelemahan Womenomics, diambil dari artikel-artikel media massa Jepang secara daring yang memuat hasil wawancara yang dilakukan dengan kelompok perempuan yang terkait. 1.6. Sistematika Penulisan Pembahasan dalam penelitian ini akan terbagi menjadi empat bab, yaitu: 1. Bab I berisikan latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, landasan konseptual, argumen utama, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II menjelaskan aspek-aspek yang berkaitan dengan latar belakang dari pembentukan kebijakan Womenomics seperti relasi gender di Jepang secara historis jauh sebelum adanya Womenomics, marginalisasi dan eksklusi perempuan yang terjadi di Jepang, dan konteks kebijakan Womenomics itu sendiri dalam mentransformasikan permasalahan relasi gender. 3. Bab III menjelaskan analisis mengenai tantangan dari kebijakan Womenomics, dan pendapat-pendapat berbentuk kritik yang diambil dari sudut pandang perempuan yang menjadi kelompok masyarakat yang mengalami marginalisasi secara langsung. Selain itu, akan dibahas juga sekilas mengenai sisi lain dari dampak yang diberikan oleh kebijakan Womenomics terhadap laki-laki di Jepang. 4. Bab IV berisi kesimpulan dari pembahasan dalam penelitian ini.