BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satu upaya pemanfaatan energi yang baru dan terbarukan adalah dibuat menjadi biogas (Pamungkasjati, 2012). Biogas dapat dihasilkan dari berbagai proses dan bahan baku, yang salah satunya adalah dengan mengolah limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion yaitu proses dekomposisi dan pembusukan yang dilakukan oleh mikroorganisme, dimana senyawa organik terurai menjadi komponen senyawa kimia yang lebih sederhana tanpa menggunakan oksigen. Mikroorganisme anaerobik tersebut memproduksi biogas yang terdiri dari metana, karbondioksida serta gas lain sebagai produk akhir pada komposisi ideal. Contoh limbah organik yang dapat digunakan sebagai bahan baku biogas antara lain limbah peternakan, limbah pertanian, limbah rumah tangga, limbah pasar dan limbah biomassa. Produk biogas sebagai salah satu sumber EBT telah banyak dimanfaatkan, misalnya sebagai bahan bakar kompor gas dan penggerak generator pada pembangkit listrik. Produk dari proses anaerobic digestion pada biogas umumnya mengandung hidrogen sulfida (H 2 S). Keberadaan gas H 2 S berasal dari penguraian senyawasenyawa yang mengandung belerang oleh bakteri seperti Thiobacilius sp. H 2 S 1
2 dapat menyebabkan korosi terutama pada instalasi peralatan biogas seperti pada pipa penyalur gas hasil keluaran biogas, bersifat racun pada konsentrasi tertentu, apabila dibakar akan membentuk SO 2 atau SO x. Pemurnian produk biogas diperlukan karena apabila tidak dilakukan akan berdampak pada turunnya kualitas biogas. Beberapa metode pemurnian biogas yaitu absorpsi fisis, absorpsi kimia, metode cryogenic, pemisahan dengan membran dan metode biologi dengan bantuan mikroorganisme (atau sering dikenal dengan istilah biofiltrasi). Masing-masing metode memiliki keunggulan dan kekurangan dari sisi proses, ekonomi, bahan baku, teknologi dan pengeporasian. Kajian untuk masing-masing metode tersebut masih berlanjut hingga saat ini (Mutiari, 2012). Proses pemurnian biogas yang diinginkan adalah proses yang dapat dioperasikan dengan mudah, dapat di daur ulang, tidak memerlukan peralatan yang rumit, metode yang digunakan aman, tidak memberikan efek samping yang membahayakan kesehatan, menggunakan bahan baku yang murah dan memberikan kapasitas penurunan konsentrasi H 2 S yang signifikan, sehingga dalam penelitian ini lebih dipilih menggunakan metode biofiltrasi. 1.2 Rumusan Masalah Mengingat hasil biogas ini akan digunakan sebagai bahan bakar penghasil listrik, maka konsentrasi H 2 S yang terkandung dalam biogas dapat diminimalkan atau dikurangi dengan metode biologi (biofiltrasi). Biofiltrasi adalah teknologi
3 yang digunakan untuk mengolah gas yang dapat terurai oleh mikroorganisme atau biodegradable menggunakan suatu bahan isian (Sun dkk, 2000). Pada tahap awal penggunaan metode biofiltrasi, adsorpsi merupakan proses awal paling yang mendominasi diantara proses lain. Adsorpsi adalah suatu proses pemisahan komponen tertentu dari suatu fasa gas atau cairan (adsorbat) berpindah kepermukaan zat padat yang menjerap (adsorben) (Mc Cabe dkk, 1989). Pada proses adsorpsi, peristiwa perpindahan massa merupakan salah satu pengetahuan dasar yang penting dan banyak sekali dijumpai dalam persoalan teknik kimia. Perpindahan massa dari fase gas ke fase cair merupakan salah satu hal yang menentukan pada proses adsorpsi dalam penelitian ini, namun perpindahan massa dari fase gas ke cairan diasumsikan berlangsung sangat cepat sehingga dapat diabaikan. Oleh sebab itu yang mengontrol pada biofiltrasi proses adsorpsi dalam penelitian ini adalah perpindahan massa dari fase cairan ke permukaan padatan. Metode biofiltrasi membutuhkan bahan pengisi yang nantinya akan digunakan sebagai tempat menempelnya mikroba dan membentuk lapisan tipis atau biofilm. Menurut Rejeki (2012) dari usahanya membuat olahan dari buah salak, limbah biji salak yang dihasilkan mencapai 1 kuintal per minggu, jumlah limbah pertanian yang berupa biji salak meningkat seiring banyaknya pesanan olahan salak ketika musim liburan dan musim panen. Disisi lain sampai saat ini biji salak oleh sebagian masyarakat masih dianggap sebagai limbah, yang keberadaannya hanya dibiarkan menumpuk begitu saja bahkan tumpukan biji tersebut pada akhirnya dibakar. Oleh karena itu untuk meningkatkan nilai ekonomis dari tumbuhan ini salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah biji
4 salak dimanfaatkan sebagai bahan isian yang diharapkan mampu mengoptimalkan usaha dari pengolahan limbah lingkungan. Pengotor pada produk biogas berupa H 2 S, untuk mendapatkan produk sulfida terlarut maka H 2 S awalnya di adsorpsi secara fisika ke dalam air sehingga mengalami disosiasi maka didapat sulfida terlarut. Sulfida terlarut yang digunakan dalam penelitian ini diwakili oleh natrium sulfida (Na 2 S) dengan mengambil asumsi bahwa pengikatan ion sulfida terlarut dapat terjadi pada Na 2 S maupun H 2 S. Pengikatan ion sulfida oleh biji salak dapat dilakukan dengan metode batch maupun kontinu. Pada penelitian ini menggunakan metode kontinu dengan alasan lebih aplikatif langsung bisa diterapkan dimasyarakat di banding metode batch. Perpindahan massa yang terjadi dalam kolom biofiltrasi pada penelitian ini yaitu perpindahan massa di kedua titik dari fase cairan ke fase padatan, namun perpindahan massa di setiap titik atau segmen sulit untuk diatasi, sehingga diperlukan suatu model yang mampu mendiskripsikan distribusi perpindahan massa sulfida tersebut. Dari model perpindahan massa dapat disimulasikan dinamika massa sulfida di setiap titik. Akhirnya dapat diperoleh kisaran nilai optimum proses seperti koefisien perpindahan massa ( ) dan difusivitas efektif ( ) yang sangat diperlukan dalam perancangan alat dengan kapasitas yang lebih besar. 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai penghilangan hidrogen sulfida dengan berbagai bahan isian sudah banyak dilakukan, antara lain Mustafa, dkk (2013) melakukan
5 penelitian mengenai pengurangan kadar H 2 S dari biogas pada pemanfaatan sludge hasil pengolahan sampah rumah sakit dengan proses adsorpsi menggunakan karbon aktif. Hasil penelitian berupa H 2 S yang terjerap sebesar 202,42 mg/g. Yesung, dkk (2012) meneliti tentang reduksi hidrogen sulfida (H 2 S) dari biogas dengan menggunakan besi oksida (Fe 2 O 3 ). Kadar H 2 S yang diperoleh dalam biogas sebelum pemurnian sekitar 1.314 ppm, setelah pemurnian rata-rata menjadi 14,43 ppm untuk laju aliran 1 liter/menit, 256,57 ppm untuk laju aliran 2 liter/menit dan 446,86 ppm untuk laju aliran 3 liter/menit. Didin, dkk (2007) meneliti mengenai biofiltrasi dalam penyisihan sampah gas H 2 S dan NH 3. Media bahan isian berupa sampah serabut sawit dengan kinerja biofilter dalam penyisihan H 2 S dengan menggunakan media unggun alami mencapai efisiensi lebih dari 99% dengan nilai laju penyisihan kontaminan maksimum (V max ) tertinggi 119 g/m 3 jam dan pembebanan kritis tertinggi yang dicapai sebesar 20,2 g/m 3 jam untuk gas H 2 S. Adi dan murdiono (2011) meneliti mengenai penjernihan minyak goreng bekas dengan proses adsorpsi menggunakan arang biji salak. Variabel tetap yang digunakan adalah minyak goreng bekas sebanyak 200 gram, adsorben arang biji salak yang telah dibelah serta kecepatan pengadukan yang digunakan sebesar 500 ppm. Variabel yang digunakan yaitu berat adsorben arang biji salak (10, 25 dan 50 gram), temperatur (40, 50, 60 dan 70 o C) dan waktu operasi (20, 40, 60, 100 dan 120 menit). Hasil penelitian yang didapat bahwa penjernihan minyak goreng bekas menggunakan arang biji salak sangat dipengaruhi oleh berat adsorben (arang biji salak), suhu dan waktu adsorpsi. Arang biji salak layak dijadikan
6 adsorben karena mampu menyerap partikel-partikel koloid warna yang ada di dalam minyak goreng. Penjerapan tertinggi dicapai pada suhu 70 o C, waktu adsorpsi 120 menit dan jumlah adsorben 50 gram (1gram adsorben : 4gram minyak) yaitu sebesar 97,4 %. Kenaikan penjerapan rata-rata sekitar 1-3% per 10 o C dengan waktu yang sama. Kondisi optimum adsorpsi dengan arang biji salak tidak dapat ditentukan, karena sampai pada suhu yang paling tinggi yaitu 70 o C dengan berbagai variasi berat adsorben dan waktu pengadukan tetap terjadi penurunan nilai absorbansi dan nilai penyerapan warnanya semakin meningkat. Aji dan kurniawan (2012) meneliti mengenai pemanfaatan sampah biji salak yang digunakan dalam bentuk serbuk sebagai adsorben Cr (VI) dengan metode batch dan kolom. Hasil penelitian yang didapat bahwa kondisi optimum adsorpsi ion Cr (VI) diperoleh pada waktu kontak 60 menit, ukuran partikel biji salak 125 μm, konsentrasi ion logam Cr (VI) 100 mg/l, dan kapasitas penyerapan optimum ion Cr (VI) oleh serbuk biji salak adalah 0,59 mg/g. Penelitian ini mempelajari dinamika awal pemurnian produk biogas menggunakan metode biofiltrasi dengan biji salak sebagai bahan isian. Konsentrasi yang akan dihilangkan pada penelitian ini adalah H 2 S pada produk biogas, untuk mendapatkan sulfida terlarut dari H 2 S maka H 2 S awalnya diadsorpsi secara fisika ke dalam air sehingga mengalami disosiasi sehingga, diperoleh sulfida terlarut dalam fase cairan. Sulfida terlarut yang digunakan dalam penelitian ini diiwakili oleh natrium sulfida (Na 2 S) dengan mengambil asumsi bahwa pengikatan ion sulfida terlarut dapat terjadi pada Na 2 S maupun H 2 S.
7 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mempelajari limbah biji salak sebagai bahan isian yang berasal dari alam untuk pemurnian biogas dengan metode biofiltrasi. 2. Mengestimasi kisaran nilai koefisien perpindahan massa ( ) dan difusivitas efektif ( ) dengan model matematis pada dinamika awal proses biofiltrasi menggunakan bahan isian biji salak, serta untuk mendiskripsikan distribusi massa sulfida di setiap titik atau segmen sehingga dapat digunakan dalam perancangan alat dengan kapasitas yang lebih besar. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi dan gambaran mengenai alternatif yang baru dalam pengolahan limbah biji salak sebagai bahan isian yang berasal dari alam untuk pemurnian biogas dengan metode biofiltrasi. 2. Memperoleh data nilai koefisien perpindahan massa ( ) dan difusivitas efektif ( ) dengan model matematis pada dinamika awal proses biofiltrasi menggunakan bahan isian biji salak, sehingga mampu mendiskripsikan distribusi massa sulfida di setiap titik atau segmen. 3. Membantu masyarakat dalam merancang alat penghilangan sulfida dengan memanfaatkan kembali limbah pertanian (biji salak) sebagai bahan isian (adsorben) dengan metode biofiltrasi.