BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations International Children s Emergency Fund (UNICEF) satu dari tiga anak balita mengalami stunting. Sekitar 40% anak balita di daerah pedesaan mengalami pertumbuhan yang terhambat. Oleh sebab itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiasi untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi melalui peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition SUN) di mana program ini mencangkup pencegahan stunting (UNICEF, 2012). Stunting didefinisikan sebagai keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan (Manary, et al., 2009). Stunting juga sering disebut sebagai Retardasi Pertumbuhan Linier (RPL) yang muncul pada dua sampai tiga tahun awal kehidupan dan merupakan refleksi dari akibat atau pengaruh dari asupan energi dan zat gizi yang kurang serta pengaruh dari penyakit infeksi, karena dalam keadaan normal, berat badan seseorang akan berbanding lurus atau linier dengan tinggi badannya (Sudirman, 2008). Masalah kurang energi protein (KEP) merupakan salah satu masalah utama gizi yang dapat berpengaruh pada proses tumbuh kembang anak. Kekurangan energi dan protein dalam jangka panjang akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan balita (Hardinsyah, et al., 1992), seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012), menunjukkan bahwa balita yang 1
mempunyai asupan energi dan protein kurang, memiliki resiko menjadi stunting sebesar 1.2 kali dibanding balita yang mempunyai asupan energi dan protein yang cukup. Dalam penelitian Asrar, et al.,(2009) juga menunjukkan bahwa balita dengan asupan energi yang kurang beresiko mengalami stunting tiga kali lebih besar dibanding dengan balita yang asupan energinya cukup dan asupan protein yang kurang beresiko mengalami stunting empat kali lebih besar dibanding dengan balita yang asupan proteinnya cukup. Manifestasi dari potensi KEP tersebut jika tidak diperbaiki sebelum usia 3 tahun (batita), maka akan menyebabkan penurunan kualitas fisik dan mental, di mana hal ini akan menghambat prestasi belajar dan produktivitas kerja, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Rialihanto (2004) tentang Status Gizi Pada Umur di Bawah Dua Tahun (Baduta) Sebagai Prediksi Prestasi Belajar Remaja di mana hasil dari penelitian ini yaitu anak yang pada masa baduta mengalami stunting akan beresiko 3,75 kali lebih besar untuk tetap stunting pada masa remaja daripada baduta yang tidak stunted. Menurut Sudirman (2008), proses menjadi pendek atau stunting pada anak di suatu wilayah atau daerah miskin dimulai sejak usia 6 bulan dan berlangsung terus hingga usia 18 tahun. Kejadian stunting terjadi pada dua hingga tiga tahun awal kehidupan. Periode dua tahun pertama kehidupan merupakan masa yang paling kritis dalam proses pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Fitri (2012) yang menunjukkan bahwa proporsi kejadian stunting pada balita lebih banyak ditemukan pada kelompok umur 12-36 bulan dibandingkan kelompok umur 37-59 bulan. Menurut Ramli, et al, (2009) pertumbuhan tinggi badan dapat terhambat bila seseorang mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup) dalam jangka waktu yang lama. 2
Hal ini juga sejalan dengan Suhardjo (2003) menyatakan bahwa kekurangan energi protein yang kronis menyebabkan pertumbuhan terlambat dan tampak tidak sebanding dengan umurnya. Permasalahan stunting di Indonesia sendiri menurut laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF yaitu diperkirakan sebanyak 7,8 juta anak yang berusia dibawah lima tahun mengalami stunting, sehingga UNICEF memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak dibawah 5 tahun yang mengalami stunting tinggi. Selain itu juga, berdasarkan data dari Riskesdas (2013) diketahui bahwa balita di Indonesia yang dikatakan stunting sebanyak 37,2%. Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi stunting tahun 2013 mengalami peningkatan dari hasil Riskedas 2010, yaitu sebesar 35,6% (Atmarita,2010). Prevalensi kasus stunting di Jawa Tengah berdasarkan Riskesdas 2010 yaitu sebanyak 33,9% dan mengalami peningkatan di tahun 2013 yaitu sebesar 37%. Salah satu daerah di Jawa Tengah yang mendapat perhatian dalam penanganan kasus stunting dari UNICEF yaitu daerah Klaten melalui Program Keluarga Harapan (PKH Prestasi). Berdasarkan hasil pelaksanaan Kegiatan Operasi Timbang Balita Desa Jabung, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten Bulan Agustus tahun 2013 tercatat bahwa balita yang mengalami stunting sebanyak 27,27%. Padahal secara kewilayahan, Desa Jabung merupakan ibukota kecamatan yang terdapat puskesmas di dalamnya (Puskesmas Gantiwarno, 2014). Hal inilah yang mendasari dilakukannya penelitian terhadap kejadian stunting di Desa Jabung, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. 3
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Apakah ada hubungan antara riwayat KEP dengan kejadian stunting? 2. Apakah anak stunting mengalami durasi KEP yang lebih lama dibanding anak yang tidak stunting? C. Tujuan Penelitian i. Tujuan Umum : 1. Mengetahui hubungan antara riwayat dan durasi KEP pada kejadian stunting. ii. Tujuan Khusus : 1. Mengetahui hubungan riwayat KEP dengan kasus stunting. 2. Mengetahui rata-rata durasi waktu KEP yang berpotensi menyebabkan stunting. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada Dinas Kesehatan Klaten untuk menentukan kebijakan dan intervensi gizi dalam upaya penanggulangan masalah tumbuh kembang anak terutama dalam hal khususnya perkembangan balita. 2. Manfaat Teoretis a. Hasil penelitian ini dapat memberi masukan bagi peneliti yang ingin meneliti tentang penelitian yang serupa. 4
3. Manfaat bagi penulis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan pengalaman aplikasi ilmu gizi dan kesehatan pada suatu penelitian. E. Keaslian Penelitian 1. Nurhayati (2010) dengan judul penelitian Analisa Spasial Gangguan Pertumbuhan Terhadap Kejadian Stunted Balita di Desa Jabung, Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi stunting balita umur 25-59 bulan lebih besar pada balita dengan riwayat gizi kurang pada umur 0-24 bulan. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel terikatnya, metode, dan lokasi penelitian. Sedangkan perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel bebasnya. 2. Rahayu (2011) dengan judul penelitian Hubungan Tinggi Badan Orang Tua Dengan Perubahan Status Stunting Dari Usia 6-12 Bulan ke Usia 3-4 Tahun. Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian stunting pada usia 6-12 bulan memiliki hubungan yang signifikan terhadap tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, BBLR, panjang badan lahir, prematur pendidikan ayah dan pendidikan ibu. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada variabel penelitiannya, yaitu sama-sama meneliti tentang kasus stunting. Sedangkan, perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak pada responden, metode, dan lokasi penelitian. 5
3. Nabuasa (2011) dengan judul penelitian Hubungan Riwayat Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 24-59 Bulan di Kecamatan Biboki Utara Kabupaten Timor Tengah Utara Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan metode case control dengan sampel sebanyak 152 anak yang terdiri dari 76 kelompok kasus dan 76 kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terhadap hubungan yang bermakna pada variabel pola asuh, pola makan, asupan zat gizi, budaya, ekonomi, keluarga, dan penyakit infeksi terhadap kejadian stunting, dan tidak ada hubungan yang bermakna pada variabel ketahanan pangan terhadap kejadian stunting. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama meneliti tentang kasus stunting dan metode yang digunakan. Sedangkan, perbedaan pada penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak pada lokasi penelitian dan jumlah sampelnya. 4. Wahdah (2012), judul penelitian Faktor Resiko Kejadian Stunting Pada Anak Umur 6-36 Bulan di Wilayah Pedalaman Kecamatan Silat Hulu Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode cross sectional yang bersifat observasional analitik. Hasil penelitiannya yaitu kejadian stunting berhubungan secara signifikan dengan pekerjaan ibu, tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, pendapatan, jumlah anggota keluarga, pola asuh, dan pemberian asi eksklusif. Kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak pada variabel penelitiannya (kasus stunting), sedangkan perbedaan pada penelitian yang akan dilakukan yaitu terletak kepada responden, metode, dan lokasi penelitian. 6