BAB II KAJIAN TEORITIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI. Slameto (2010:2), bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita

BAB II KAJIAN TEORITIK

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS

PENGARUH GAYA BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR PESERTA DIDIK PADA MATA PELAJARAN PRODUKTIF

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIK

II. TINJAUAN PUSTAKA. Nasution (2008: 93) mengemukakan bahwa gaya belajar atau learning style

BAB I PENDAHULUAN. yang unsur-unsurnya logika dan intuisi, analisis dan konstruksi, generalitas

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kemampuan Representasi Matematis. a) Pengertian Kemampuan Representasi Matematis

Universitas Negeri Malang

Available online at Jurnal KOPASTA. Jurnal KOPASTA, 2 (2), (2015) 13-17

BAB II KAJIAN PUSTAKA. siswa. Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah

BY: METTY VERASARI MENGENAL TIPE BELAJAR ANAK (AUDITORY, VISUAL, & KINESTETIK)

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

MODALITAS BELAJAR. Nama : Faridatul Fitria NIM : Prodi/SMT : PGMI A1/ V. : Ringkasan :

Belajar yang Efektif dan Kreatif

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

PEDOMAN OBSERVASI GAYA BELAJAR. Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan Konseling

Cara setiap siswa untuk berkonsentrasi, memproses dan menyimpan informasi yang baru dan sulit

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

IDENTIFIKASI GAYA BELAJAR (VISUAL, AUDITORIAL, KINESTETIK) MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA UNIVERSITAS BUNG HATTA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. seseorang sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi

MENGENAL GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK. Oleh Mansur HR Widyaiswara LPMP Provinsi Sulawesi Selatan

Kelas 4 SDN 1 Selodoko. LAMPIRAN 1 Daftar Siswa SDN 1 Selodoko Kelas 3 SDN 1 Selodoko

STUDI GAYA BELAJAR MAHASISWA ANGKATAN 2014 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA UM MATARAM PADA MATA KULIAH ELEKTRONIKA DASAR I TAHUN AKADEMIK 2015/2016

PROFIL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA SMP PADA MATERI PECAHAN DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

KARAKTERISTIK DAN PERILAKU AWAL SISWA. Langkah-langkah sistematis pembelajaran secara keseluruhan terdiri dari:

BAB II GAYA BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR

ABSENSI SISWA DAFTAR ABSEN XI IPS-4 DAFTAR ABSEN KELAS XI IPS-3

PERBEDAAN TINGKAT PRESTASI BELAJAR DITINJAU DARI KECENDERUNGAN GAYA BELAJAR SISWA SEKOLAH DASAR

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Dengan PISA (Program for International Student Assessment) dan

BAB III METODE PENELITIAN

individu dengan lingkungannya (Sugihartono, 2007: 74).

Jurnal Akademis dan Gagasan matematika Edisi Ke Dua Tahun 2015 Halaman 45 hingga 53

PEMETAAN TINGKAT BERPIKIR KREATIF MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA DALAM PEMECAHAN MASALAH SOAL ANALISIS REAL 2 DITINJAU DARI GAYA BELAJAR

This study entitled "Analysis of Student Learning Styles And Regular Featured In SMP N 2 Bangkinang"

PENGARUH GAYA BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP YAPIS MANOKWARI

KUESIONER PENELITIAN. Gambaran Gaya Belajar Dan Indeks Prestasi Mahasiswa Akademi Keperawatan Sri Bunga Tanjung Dumai

BAB 1 PENDAHULUAN. mengenai makna yang dihubungkan dengan gagasan-gagasan yang diarahkan

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. adalah teori belajar behaviorisme, kognitivisme, dan konstruktivisme.

PENGARUH GAYA BELAJAR VISUAL DAN AKTIVITAS BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS IX DI SMP NEGERI 4 KOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

LAMPIRAN A. Angket Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pembelajaran matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP)

FORUM DIKLAT Vol 13 No. 03 MENGENAL GAYA BELAJAR PESERTA DIDIK AGAR PEMBELAJARAN MENJADI DINAMIS DAN DEMOKRATIS. Oleh : M. Hasan Syukur, ST *)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara etimologi disiplin berasal dari bahasa Latin disibel yang

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Reflektif Matematis

BAB II KAJIAN TEORITIK. dapat memperjelas suatu pemahaman. Melalui komunikasi, ide-ide

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI. pergantian dari suatu stimulus kepada yang lain (Djiwandono,2002:29). Proses

I. PENDAHULUAN. pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu. menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya.

MODUL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH ( PROBLEM-BASED INSTRUCTION) DILIHAT DARI GAYA BELAJAR DAN KECERDASAN EMOSIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Di era informasi instan dewasa ini, setiap masyarakat membutuhkan informasi,

PROFIL PEMECAHAN MASALAH GEOMETRI SISWA MTs DITINJAU DARI PERBEDAAN GAYA BELAJAR DAN PERBEDAAN GENDER

BAB III METODE PENELITIAN. deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Menurut Margono (2005: 105),

BAB II KAJIAN TEORITIS

Strategi Dan Ciri Pengajaran Dalam Menghadapi Perbedaan Modalitas Belajar Dan Peran Utama Guru Dalam Inovasi Pembelajaran

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II KAJIAN TEORITIK. komunikasi matematika, multiple intillegences dan gender. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis

IDENTIFIKASI GAYA BELAJAR MAHASISWA. Jeanete Ophilia Papilaya, Neleke Huliselan. Abstract. Abstrak

Basic Quantum Teaching & Accelerated Learning

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-angka atau

PENGARUH GAYA BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII SMPN 2 BANJARMASIN TAHUN AJARAN 2015/2016

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB II KAJIAN TEORITIK

DASAR PSIKOLOGIS dalam PEMBELAJARAN

BAB II KAJIAN TEORITIK. communis berarti milik bersama atau berlaku dimana-mana. Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dikemas secara formal maupun non-formal. Inti dari sebuah belajar adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Saputro (2012), soal matematika adalah soal yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. belajar yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Melalui pendidikan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pembelajaran model koooperatif tipe STAD merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mencerdaskan kehidupan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

Desain dan Pengembangan Pelatihan

PROFIL GAYA BELAJAR (LEARNING STYLE) DAN IPK MAHASISWA JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNNES

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah swt dengan

KAJIAN PUSTAKA. makna tersebut dapat dilakukan oleh siswa itu sendiri atau bersama orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V PEMBAHASAN. hasil atau jawaban dari fokus penelitian yang yang telah disusun oleh peneliti

I. PENDAHULUAN. Pendidikan adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang yang

BAB I PENDAHULUAN. sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan usia dini dilakukan melalui

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen yaitu : keterampilan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Pembelajaran Langsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I PENDAHULUAN. Tubuh manusia merupakan hal yang bisa dipelajari, baik bentuk maupun

ARTIKEL ILMIAH ANALISIS HUBUNGAN GAYA BELAJAR DENGAN HASIL BELAJAR PADA KEGIATAN PEMBELAJARAN BIOLOGI SISWA KELAS XI IPA SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI

Transkripsi:

8 BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1. Kemampuan Pemodelan Matematika Model sebagai kata benda dalam kamus besar bahasa indonesia merupakan pola dari sesuatu yang akan dibuat atau dihasilkan. Menurut Lesh dan Doer (2003) model merupakan suatu sistem konseptual internal plus representasi eksternal dari sistem yang dipergunakan untuk menginterpretasikan sistem lainnya yang lebih komplek. Pedersen (2010) juga menyebutkan bahwa pemodelan matematika merupakan salah satu dari delapan kemampuan yang harus dimiliki dalam menyelesaikan masalah matematika. Blum dan Ferri (2009) menyatakan bahwa proses pemodelan tidak dapat dipisahkan dengan kemampuan matematika lainnya seperti membaca dan berkomunikasi, merancang dan menerapkan strategi pemecahan masalah, atau bekerja secara matematis (penalaran, menghitung, dll). Hal tersebut juga di gambarkan oleh siklus pemodelan matematika menurut Blum dan Ferri (2009) sebagai berikut: 8

9 Gambar 2.1 Siklus pemodelan matematika menurut Blum dan Ferri Siklus pertama yaitu constructing, pemecah masalah harus memahami situasi masalah yaitu dengan cara membangun model berdasarkan situasi. Kemudian situasi disederhanakan dan dibuat lebih tepat yang mengarah ke model nyata dari situasi pada siklus simplifyng/structuring. Selanjutnya siklus Mathematisation yang merupakan proses mengubah model nyata ke dalam model matematika yang terdiri dari persamaan tertentu. Dalam siklus working mathematically atau bekerja matematis pemecah masalah harus menghitung, memecahkan masalah, dan lain sebagainya sehingga pada siklus interpreting menghasilkan hasil matematika yang ditafsirkan dalam dunia nyata sebagai hasil yang nyata. Sebuah validating atau validasi menunjukan bahwa perlu untuk berputar loop kedua kalinya atau tidak. Kemampuan siswa dalam menerjemahkan suatu permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam kalimat matematika

10 (model matematika), dengan tujuan dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan tepat disebut dengan kemampuan pemodelan matematika (Pitriani, 2016). Pembelajaran matematika akan lebih bermakna dan menarik bagi siswa jika guru menghadirkan masalahmasalah kontekstual dan realistik, yaitu masalah-masalah yang sudah dikenal dan ada dalam kehidupan nyata siswa. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat Voskogluo (2006) memaparkan bahwa fokus pada pemodelan matematika adalah mentransformasikan dari situasi dunia real ke masalah matematika melalui penggunaan rangkaian simbol matematika, hubungan, dan fungsi. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan pemodelan matematika merupakan suatu kemampuan siswa dalam mentransformasikan masalah dari situasi nyata kedalam bentuk masalah matematika melalui penggunaan simbol, hubungan, ataupun fungsi. Langkah-langkah pemodelan matematika dapat dibagi menjadi lima menurut Blum dan Kaiser ( Mumcu, 2016) yaitu: a. Memahami masalah dan membentuk model berdasarkan pada realita Pada langkah ini siswa baru sampai pada langkah memahami masalah berdasarkan pada realita. Siswa dituntut untuk membuat asumsi suatu masalah dan untuk menyederhanakan situasi. Pada langkah ini siswa juga mengidentifikasi jumlah dalam variabel. Selain itu, siswa

11 mengetahui hubungan antar variabel dan membedakan informasi yang akan digunakan dalam penyelesaian dan informasi yang tidak digunakan dalam penyelesaian. b. Membangun model matematika dengan menggunakan model nyata Pada langkah ini siswa mampu menggunakan notasi matematika yang tepat serta siswa mampu menyederhanakan jumlah yang relevan dan menyatakan hubungan antar variabel. c. Menjawab pertanyaan matematika dengan menggunakan model matematika yang terbentuk Pada langkah ini siswa telah mampu menggunakan strategi pemecahan masalah yang tepat. Misalnya pembagian masalah menjadi bagian-bagian, mendekati masalah dari perspektif berbeda, serta memvariasikan jumlah. Pada langkah ini juga siswa menggunakan pengetahuan matematika untuk memecahkan masalah yang ada. d. Menginterpretasikan hasil matematika yang diperoleh di dunia nyata Pada langkah ini siswa mampu menginterpretasikan hasil matematika dalam konteks ekstra matematika. Siswa mampu menggenerasikan hasil yang diperoleh ke situasi tertentu. Selain itu siswa juga mampu mengekspresikan solusi matematika dengan menggunakan bahasa matematika yang tepat.

12 e. Memvalidasi solusi Pada langkah ini siswa mampu menganalisis dan memeriksa solusi yang diperoleh. Apabila solusi yang diperoleh tidak sesuai atau tidak konsisten maka siswa mampu meninjau beberapa bagian dari model yang di bentuk. Siswa juga mampu mempertanyakan model pada umumnya. Sebagai contoh proses pemodelan matematika, misalnya disajikan soal sebagai berikut: Jumlah penonton suatu pertandingan bola antara Persib dan Persija di stadion utama Senayan adalah 60.000 orang. Harga sebuah tiket VIP Rp 30.000 dan kelas ekonomi Rp 15.000. Hasil penjualan tiket pertandingan itu adalah Rp 1.245.000.000. Berapakah banyaknya penonton VIP dan kelas ekonomi pada pertandingan tersebut? 1) Langkah pertama yaitu memahami masalah dan membentuk model berdasarkan pada realita. Pada langkah ini siswa mampu mengasumsikan masalah yang disajikan. Berdasarkan masalah yang disajikan diatas terlihat bahwa informasi yang akan dicari atau diselesaikan yaitu mengenai banyaknya penonton VIP dan kelas ekonomi. Dengan mengetahui informasi tersebut siswa mampu mengasumsikan misalkan banyak penonton VIP dilambangkan dengan variabel a dan banyak penonton ekonomi dilambangkan dengan variabel b.

13 2) Langkah kedua yaitu membangun model matematika dengan menggunakan model nyata. Berdasarkan masalah yang disajikan yaitu jumlah penonton suatu pertandingan bola antara Persib dan Persija di stadion utama Senayan adalah 60.000 orang. Apabila a merupakan banyak penonton VIP dan b merupakan banyak penonton ekonomi maka model matematika yang dapat dibangun yaitu a + b = 60.000. Kemudian berdasarkan informasi kedua yaitu harga sebuah tiket VIP Rp 30.000 dan kelas ekonomi Rp 15.000. Hasil penjualan tiket pertandingan itu adalah Rp 1.245.000.000 dapat dibangun model matematika sebagai berikut 30.000a + 15.000b = 1.245.000.000. 3) Langkah ketiga yaitu menjawab pertanyaan matematika dengan menggunakan model matematika yang terbentuk. Dengan kata lain siswa mampu memilih dan menggunakan strategi yang sesuai untuk menyelesaikan masalah sehingga diperoleh solusi yang tepat. Berdasarkan langkah kedua diatas diperoleh dua persamaan yaitu a + b = 60.000 dan 30.000a + 15.000b = 1.245.000.000. Persamaan a + b = 60.000 dapat disederhanakan menjadi a = 60.000 b. Dengan menggunakan substitusi nilai a ke persamaan 30.000a + 15.000b = 1.245.000.000 diperoleh 30.000 ( 60.000 b ) + 15.000b = 1.245.000.000. Sehingga diperoleh nilai 1.800.000.000 30.000 b + 15.000b = 1.245.000.000. Diperoleh 1.800.000.000 15.000b = 1.245.000.000. Sehingga diperoleh

14 nilai b yaitu 37.000. Selanjutnya yaitu substitusi nilai b = 37.000 ke persamaan a + b = 60.000. Diperoleh nilai dari a adalah 23.000. 4) Langkah keempat yaitu menginterpretasikan hasil matematika yang telah diperoleh ke dalam situasi nyata. Dengan kata lain siswa mampu membawa hasil matematika yang diperoleh ke dalam bentuk konteks nyata. Hasil yang diperoleh pada langkah ketiga yaitu bahwa nilai a adalah 23.000 dan nilai b adalah 37.000. Karena variabel a berarti banyak penonton VIP dan b berarti banyak penonton kelas ekonomi maka banyak penonton VIP adalah 23.000 orang sedangkan banyak penonton kelas ekonomi ada 37.000 orang. 5) Langkah kelima yaitu memvalidasi solusi. Dengan kata lain siswa mampu memeriksa kebenaran model dan solusi yang diperoleh. Salah satu cara memeriksa jawaban yang diperoleh yaitu dengan cara mensubtitusikan nilai a dan b yang diperoleh ke dalam bentuk persamaan model matematika. Untuk a = 23.000 dan b = 37.000 substitusi ke persamaan a + b = 60.000 maka diperoleh 23.000 + 37.000 = 60.000 hasilnya sama yaitu 60.000. Kemudian a = 23.000 dan b = 37.000 substitusi ke persamaan 30.000a + 15.000b = 1.245.000.000 maka diperoleh 30.000 (23.000) + 15.000 (37.000) = 1.245.000.000 hasilnya sama yaitu 1.245.000.000. Karena ditemukan hasil yang sama maka solusi a

15 = 23.000 dan b = 37.000 untuk model matematika a + b = 60.000 dan 30.000a + 15.000b = 1.245.000.000 sudah tepat. Berdasarkan langkah pemodelan matematika Blum dan Kaiser, pada penelitian ini indikator yang ingin diketahui oleh peneliti pada saat siswa mengerjakan masalah pemodelan matematika dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1 Indikator kemampuan pemodelan matematika Langkah Pemodelan Matematika Indikator 1 Memahami masalah dan a. Membuat asumsi dari suatu membentuk model masalah berdasarkan pada realita 2 Membangun model matematika dengan menggunakan model nyata 3 Menjawab pertanyaan matematika dengan menggunakan model matematika yang terbentuk 4 Menginterpretasikan hasil matematika yang diperoleh di dunia nyata a. Membangun model matematika yang tepat. b. Menyederhanakan model matematika. a. Menggunakan strategi pemecahan masalah yang tepat. b. Menjawab pertanyaan matematika dengan menggunakan model matematika yang terbentuk. a. Menggeneralisasikan hasil matematika yang diperoleh ke dalam konteks dunia nyata. 5 Memvalidasi solusi a. Melakukan pemeriksaan kembali terhadap situasi yang diperoleh. 2. Gaya Belajar Gaya belajar terdiri dari dua kata yaitu gaya dan belajar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaya adalah tingkah laku, gerak gerik dan sikap. Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau menurut Slameto (2010), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku

16 yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya. Baik bentuk fisik, tingkah laku, sifat, pemikiran, maupun kebiasaannya. Namun, yang pasti semua manusia belajar melaui alat inderawinya, berupa penglihatan, pendengaran maupun kinestetik (sentuhan atau gerakan). Dalam belajar, manusia akan menyerap dan mengolah informasi yang diterimanya tentunya setiap manusia memiliki cara yang berbeda. Hal tersebut tergantung dari bagaimana gaya belajar seseorang. Gaya belajar menurut De Poter (2016) yaitu merupakan kombinasi dari bagaimana ia menyerap dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Gaya belajar menurut Nasution (2010) merupakan cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan soal. Setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda. Namun secara umum gaya belajar dapat digolongkan menjadi tiga yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar kinestetik. Menurut Bobbi DePoter dan Mike Hernacki (2016) secara umum gaya belajar dibagi menjadi tiga yaitu:

17 a. Gaya Belajar Visual Seseorang dengan gaya belajar visual cenderung belajar melalui hubungan visual (penglihatan). Gaya belajar visual yang bersifat eksternal cenderung menggunakan materi atau media yang bisa dilihat atau mengeluarkan tanggapan indra penglihatan, sedangkan gaya belajar visual yang bersifat internal adalah menggunakan imajinasi sebagai sumber informasi. Gaya belajar visual dalam pembelajaran matematika biasanya akan mudah menerima informasi atau pembelajaran dengan visualisasi dalam bentuk gambar, tabel, diagram, grafik, peta pikiran, goresan atau simbol-simbol. Ciri-ciri orang dengan gaya belajar visual sebagai berikut: 1) Rapi dan teratur, 2) Berbicara dengan cepat, 3) Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik, 4) Teliti terhadap detail, 5) Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi, 6) Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka, 7) Mengingat apa yang dilihat, daripada yang didengar, 8) Mengingat dengan asosiasi visual, 9) Biasanya tidak terganggu oleh keributan, 10) Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya, 11) Pembaca cepat dan tekun, 12) Lebih suka membaca daripada dibacakan, 13) Membutuhkan pandangan dan tujuan yang

18 menyeluruh dan bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek, 14) Mencoret-coret tanpa arti selama berbicara di telepon dan dalam rapat, 15) Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang, 16) Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat lainya atau tidak, 17) Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato, dan 18) Lebih suka seni daripada musik. b. Gaya Belajar Auditorial Individu yang cenderung memiliki gaya belajar auditorial kemungkinan akan belajar lebih baik dengan mendengarkan. Mereka menikmati saat-saat mendengarkan apa yang disampaikan orang lain. Individu dengan gaya belajar ini senang jika pembelajaran dalam bentuk cerita, lagu, syair, atau senandung. Ciri-ciri orang dengan gaya belajar auditorial sebagai berikut: 1) Berbicara kepada diri sendiri saat bekerja, 2) Mudah terganggu oleh keributan, 3) Menggerakan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca, 4) Senang membaca dengan keras dan mendengarkan, 5) Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara, 6) Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita, 7) Berbicara dalam irama yang berpola, 8) Biasanya pembicara yang fasih, 9) Lebih suka musik daripada seni, 10) Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang di diskusikan daripada

19 yang dilihat, 11) Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar, 12) Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain, 13) Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya, dan 14) Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik. c. Gaya Belajar Kinestetik Individu dengan gaya belajar kinestetik belajar melalui gerakan-gerakan sebagai sarana memasukkan informasi ke dalam otaknya. Penyentuhan dengan bidang obyek sangat disukai karena mereka dapat mengalami sesuatu dengan sendiri. Individu akan lebih mudah menerima pembelajaran yang diiringi dengan aktifitas motorik, seperti dalam konsep penerapan atau percobaan, drama dan gerak. Ciri-ciri orang dengan gaya belajar kinestetik sebagai berikut: 1) Berbicara dengan perlahan, 2) Menanggapi perhatian fisik, 3) Menyentuh orang untuk mendapatkan perhatian mereka, 4) Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang, 5) Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak, 6) Mempunyai perkembangan awal otot-otot yang besar, 7) Belajar melalui memanipulasi dan praktik, 8) Menghafal dengan cara berjalan dan melihat, 9) Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca, 10) Banyak menggunakan isyarat tubuh, 11) Tidak dapat duduk

20 diam untuk waktu lama, 12) Tidak dapat mengingat geografi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada di tempat itu, 13) Menggunakan kata-kata yang mengandung aksi, 14) Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca, 15) Kemungkinan tulisannya jelek, 16) Ingin melakukan segala sesuatu, 17) Menyukai permainan yang menyibukkan. Berdasarkan pengelompokan gaya belajar diatas yaitu gaya belajar visual, auditori dan kinestetik, dalam penelitian ini peneliti menggunakan angket gaya belajar menurut Bandler dan Grinder (dalam Gunawan, 2003) untuk mengetahui kecenderungan gaya belajar siswa. Siswa dapat dikelompokan kedalam gaya belajar tersebut dengan aturan sebagai berikut: a. Siswa termasuk kedalam salah satu kelompok gaya belajar tertentu apabila memperoleh skor tertinggi dari salah satu gaya belajar. Total skor = Jumlah skor setuju b. Siswa yang memperoleh skor tertinggi yang sama pada dua atau tiga gaya belajar maka siswa tersebut tidak termasuk kedalam kelompok gaya belajar tertentu Dari uraian diatas, untuk siswa yang memiliki dua atau tiga gaya belajar sekaligus dalam penelitian ini termasuk dalam non katagori atau dengan kata lain tidak terpilih sebagai subyek penelitian.

21 3. Gender Menurut Desmita (2009) istilah gender diartikan sebagai sikap dan tingkah laku yang berhubungan dengan perempuan atau laki-laki. Menurut Santrock (2003) gender adalah dimensi sosiokultural dan psikologis dari pria dan wanita. Peran gender (gender role) adalah ekspektasi sosial yang merumuskan bagaimana pria dan wanita seharusnya berpikir, merasa, dan berbuat. Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa gender merupakan peranan sosiokultural dan psikologis dari laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan sikap dan tingkah lakunya. Menurut Santrock (2002) terdapat 3 pengaruh yang membedakan gender antara laki-laki dan perempuan yaitu pengaruh dari biologis, sosial, dan kognitif terhadap gender. Menurut Santrock (2007) ada beberapa perbedaan diantara kedua jenis kelamin yaitu: a. Perbedaan itu bersifat kebanyakan dan dapat diterapkan terhadap semua laki-laki atau semua perempuan. b. Bahkan apabila terdapat perbedaan gender, perbedaan itu sering kali bersifat tumpang tindih. c. Perbedaan tersebut mungkin terutama berkaitan dengan faktorfaktor biologis, sosio-budaya, atau keduanya. Pada umumnya siswa perempuan akan mempunyai peringkat atau rangking yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu keaktifan laki-laki yang

22 membuat laki-laki lebih sulit diatur, laki-laki cenderung lebih sering membolos dibandingkan dengan siswa perempuan yang menyebabkan siswa laki-laki memiliki waktu belajar lebih sedikit dibandingkan siswa perempuan, dan siswa laki-laki lebih sering tidak mengerjakan tugas atau hanya mencontek pekerjaan siswa yang lain. Oleh karena itu, siswa laki-laki memiliki hasil prestasi belajar yang lebih rendah dibandingkan siswa perempuan. Perbedaan yang demikianlah memungkinkan terdapatnya perbedaan kemampuan pemodelan matematika siswa antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. Penelitian ini menggunakan istilah gender untuk membedakan jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam dimensi biologis saja. B. Penelitian Relevan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Damayanti dan Pratitis (2012) menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara gaya belajar dari tipe kepriibadian dan jenis kelamin. Penelitian ini juga menyebutkan faktor dominan yang menentukan keberhasilan proses belajar adalah dengan mengenal dan memahami bahwa setiap individu baik perempuan maupun laki-laki adalah unik dengan gaya belajar yang berbeda satu dengan yang lain. Persamaannya dalam penelitian ini adalah memandang siswa laki-laki maupun perempuan memiliki sebuah keunikan gaya belajar dalam dirinya. Perbedaannya adalah penelitian ini tidak mengkaji tipe

23 kepribadian siswa akan tetapi mengkaji tentang kemamspuan pemodelan matematika siswa. Penelitian Soenarjadi (2013) menyimpulkan secara umum profil pemecahan masalah geometri antara subyek visual laki-laki (VL) dan visual perempuan (VP) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Akan tetapi, antara subyek kinestetik laki-laki (KL) dan subyek kinestetik perempuan (KP) menunjukkan perbedaan yaitu subyek kinestetik laki-laki (KL) lebih unggul dalam melakukan visual spasial dan subyek kinestetik perempuan (KP) lebih teliti, cermat, dan seksama. Persamaannya dalam penelitian ini adalah memandang siswa laki-laki maupun perempuan memiliki sebuah keunikan gaya belajar dalam dirinya. Perbedaannya adalah materi yang digunakan ialah sistem persamaan linear satu variabel bukan geometri dan yang dikaji yaitu kemampuan pemodelan bukan kemampuan pemecahan masalah. Dari beberapa penelitian yang relevan, peneliti sangat tertarik untuk melakukan deskripsi terhadap kemampuan pemodelan matematika siswa ditinjau dari gaya belajar dan gender. C. Kerangka Pikir Kemampuan pemodelan matematika merupakan kemampuan siswa dalam menerjemahkan suatu permasalahan nyata dalam kehidupan sehari-hari ke dalam kalimat matematika (model matematika), dengan tujuan dapat menyelesaikan masalah tersebut

24 dengan tepat. Keberhasilan siswa dalam memahami suatu materi pembelajaran tidak terlepas dari kegiatan belajar yang dilakukannya. Siswa sebagai individu yang unik, memiliki kemampuan menyerap, memahami, dan mengolah informasi dengan cara dan kecepatan yang berbeda-beda. Cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan soal disebut dengan gaya belajar. Secara garis besar ada tujuh gaya belajar yang dikenal termasuk gaya belajar V-A-K (visual, auditori, dan kinestetik) yang akan digunakan dalam penelitian ini. Gaya belajar V-A-K dikembangkan oleh Bandler dan Grinder dengan pendekatan berdasarkan pada modalitas sensori yakni menentukan tingkat ketergantungan terhadap indera tertentu. Siswa merupakan individu yang unik dengan segala macam perbedaannya termasuk gaya belajar mereka. Oleh karena itu, subyek dalam penelitian ini diambil untuk siswa yang memiliki gaya belajar visual, siswa yang memiliki gaya belajar auditori dan siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik. Gaya belajar visual yaitu gaya belajar yang lebih banyak memanfaatkan indera penglihatan. Gaya belajar visual dalam pembelajaran matematika biasanya akan mudah menerima informasi atau pembelajaran dengan visualisasi dalam bentuk gambar, tabel, diagram, grafik, peta pikiran, goresan atau simbol-simbol. Hal tersebut sesuai dengan kemampuan pemodelan matematika yang cara

25 penilaiannya dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam mentransformasikan masalah dari situasi nyata kedalam bentuk masalah matematika melalui penggunaan simbol, hubungan, ataupun fungsi. Siswa dengan gaya belajar visual seharusnya mempunyai kemampuan pemodelan matematika yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki gaya belajar auditori dan kinestetik. Selain gaya belajar, perbedaan prestasi belajar siswa biasanya dipengaruhi oleh perbedaan gender. Pada umumnya siswa perempuan akan mempunyai peringkat atau rangking yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa laki-laki. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu keaktifan laki-laki yang membuat laki-laki lebih sulit diatur, laki-laki cenderung lebih sering membolos dibandingkan dengan siswa perempuan yang menyebabkan siswa laki-laki memiliki waktu belajar lebih sedikit dibandingkan siswa perempuan, dan siswa laki-laki lebih sering tidak mengerjakan tugas atau hanya mencontek pekerjaan siswa yang lain. Oleh karena itu, siswa laki-laki memiliki hasil prestasi belajar yang lebih rendah dibandingkan siswa perempuan. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap kemampuan pemodelan matematika antara siswa laki-laki dan perempuan dengan gaya belajar visual.