ANALISIS KELAYAKAN PENGALIHAN SUBSIDI PUPUK MENJADI PENJAMINAN HARGA GABAH : Subsidi Input vs Output * A. ISU POKOK 1. Tahun 2003, pemerintah kembali menerapkan subsidi pupuk secara tidak langsung melalui pemberian subsidi gas kepada produsen berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 70/MPP/Kep/2003 tanggal 11 Pebruari 2003 meliputi Urea, SP-36, ZA dan NPK. Harga eceran tertinggi (HET) per kg masingmasing pupuk adalah Urea sebesar Rp 1050, SP-36 Rp 1400, ZA Rp 950 dan NPK Rp 1600 (Keputusan Menteri Pertanian 107/kpts/Sr.130/2/2004). Untuk tahun 2003, subsidi gas yang diberikan kepada produsen sebesar Rp 1,315 trilyun dan tahun 2004 sebesar Rp. 1,3 trilyun. 2. Pada pelaksanaannya, ternyata banyak media massa melaporkan berbagai persoalan mulai dari kelangkaan pupuk (tidak tepat waktu) sampai pada tingkat harga yang dibayar petani jauh dari HET yang ditetapkan pemerintah. Informasi ini dikonfirmasikan oleh hasil kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (PSE) - Badan Litbang Pertanian tahun 2004 di propinsi Sumatera Utara dan Jawa Barat, yang menunjukkan bahwa harga pupuk per kg di tingkat petani untuk urea, SP-36, ZA dan NPK masing-masing berkisar Rp 1100 1600; Rp 1500-1720; Rp 1100-1200 dan Rp 1700-1900, atau di atas HET yang telah ditetapkan pemerintah (Tabel 1). 3. Adanya Ketidakefektifan kebijakan subsidi pupuk mencapai tujuannya, memunculkan wacana pengalihan subsidi pupuk kepada insentif harga gabah dari Deputi Menko Perekonomian, Dr. Dipo Alam. Pernyataan Dipo Alam tersebut secara implisit menganggap bahwa pengeloaan subsidi dalam rangka upaya peningkatan produksi padi akan lebih efektif apabila diberikan melalui insentif harga output berupa penjaminan harga gabah melalui pembelian harga gabah (Republika, 30 Agustus 2004). * Makalah ini ditulis untuk merespon pernyataan Dr. Dipo Alam mengenai Pengalihan Subsidi Pupuk menjadi Penjaminan Harga Gabah. Makalah ini telah disampaikan kepada Menteri Pertanian pada tanggal 10 September 2004. ** Makalah ini dipersiapkan oleh Dr. Nizwar Syafa at, Ir. Sudi Mardianto, MSi, dan Mohamad Maulana, SP, dengan memanfaatkan hasil penelitian PSE dan sumbangan tulisan dari Puslitbang Tanah dan Agroklimat dan Balai Penelitian Padi. 77
Tabel 1. Perbandingan Harga Pupuk Internasional, Bersubsidi dan Tingkat Petani 2004 (Rp/kg). Jenis Pupuk Bersubsidi Harga Internasional* Harga Bersubsidi** Harga Tingkat Petani*** Urea 1,360 1,050 1,100-1,600 SP - 36 1,728 1,400 1,500-1,720 ZA 1,220 950 1,100-1,200 NPK 2,070 1,600 1,700-1,900 Keterangan : * Harga FOB + Ongkos Angkut sebesar 15 US$/kg. ** Berdasarkan SK Mentan No. 107/Kpts/Sr.130/2/2004 *** Berdasarkan hasil kajian Tim Analisis Kebijakan Puslitbang Sosek, Juni 2004. Data yang digunakan selama Januari Mei 2004. Kurs Dollar rataan Januari Mei 2004 sebesar Rp. 9036.34 per US$. B. ANALISIS SUBSIDI INPUT vs OUTPUT 4. Kelangkaan ketersediaan pupuk dan tingginya harga pupuk dibayarkan petani bukan karena tidak layaknya kebijakan subsidi pupuk diterapkan sebagai insentif berproduksi melalui subsidi input, tetapi karena hal-hal yang sifatnya teknis. Hasil kajian PSE di propinsi Sumatera Utara menunjukkan bahwa kenaikan harga di atas HET karena terjadinya kelangkaan pasokan pupuk yang disebabkan berhentinya produksi pabrik Pupuk Iskandar Muda (PIM) sejak akhir Desember 2003 hingga April 2004 dimana produsen tersebut sebagai penanggung jawab distribusi pupuk bersubsidi di wilayah itu. Sedangkan di Jawa Barat disebabkan adanya fanatisme atas merk pupuk di kalangan petani, sehingga menimbulkan perembesan pupuk antar wilayah kabupaten daerah distribusi PT. Pupuk Kujang dan PT. Pusri; serta adanya ketidaklancaran tambahan pasokan pupuk untuk daerah kerja PT. Pupuk Kujang dari PT. Pupuk Kaltim. Dengan demikian, efektivitas subsidi pupuk masih manageble untuk ditingkatkan melalui perbaikan pendistribusian dan peningkatan pasokan. 5. Untuk kasus usahatani padi di Indonesia, pemberian subsidi melalui input (pupuk) lebih manageble dibanding pemberian insentif melalui penjaminan harga output; dengan alasan sebagai berikut: (a) Sebagian besar petani padi Indonesia adalah petani yang mengahadapi kendala biaya produksi sehingga keputusan petani dalam usahanyan didasarkan cost minimization bukan profit maximization (kondisi dimana 78
tidak ada kendala biaya produksi). Ini berarti bahwa insentif input lebih sesuai dengan kondisi anggaran petani kita dibanding insentif ouput; (b) Dengan orientasi cost minimization dan instrumen teknologi untuk meningkatkan hasil per hektar yang signifikan adalah input pupuk maka insentif input lebih mudah mengakselerasi adopsi teknologi guna meningkatkan produktivitas dibanding insentif output; (c) Apabila pengelolaan subsidi menggunakan prinsip transparansi dan profesional, maka penjaminan harga lebih mudah dicapai pada input dibanding output. Pasokan pupuk (terutama Urea) diproduksi di dalam negeri dan harga domestik (subsidi) lebih rendah dari harga internasional, sedangkan pasokan beras masih perlu didukung impor, yang harganya jauh lebih rendah dibandingkan harga yang didukung pemerintah (HPP). Dengan masih terbatasnya kemampuan kita membatasi penyelundupan (ekspor/impor), maka membatasi rembesan (ke luar) pupuk akan lebih mudah dibandingkan rembesan (ke dalam) beras. 6. Dalam hal pemberian subsidi output berupa penjaminan harga gabah, maka perlu memperhatikan marketable surplus (produksi setelah dikurangi konsusmsi dan disimpan petani) pada musim panen raya (Februari-April) yang diperkirakan sebesar 8,5 jutan ton GKG atau setara 5,27 juta ton beras. Marketable surplus itulah yang menjadi faktor penyebab anjloknya harga gabah pada periode tersebut yang menjadi isu nasional tahunan yang tak kunjung dapat dipecahkan (Tabel 2). Tabel 2. Perkiraan Distribusi Surplus/Defisit Gabah Dirinci Per Bulan (%). Bulan Produksi Disimpan Petani *) Dijual Ke Pasar Dikonsumsi Surplus /Defisit Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember 7,6 18,9 18 9,6 5,3 4,6 12,1 10,9 6,0 3,3 1,9 1,7 0,76 1,89 1,80 0,96 0,53 0,46 2,42 2,18 1,20 0,66 0,38 0,34 6,84 17,01 16,2 8,64 4,77 4,14 9,68 8,72 4,80 2,64 1,52 1,36-1,49 8,68 7,87 0,31-3,56-4,19 1,35 0,39-3,53-5,69-6,81-6,97 *) Diperkirakan berdasarkan kebiasaan petani menyimpan gabah pada MH dan MK masingmasing 10% dan 20 %. 79
7. Apabila kemampuan simpan gudang pedagang swasta sebesar 1,5 juta ton beras atau setara 2,42 juta ton, maka pemerintah harus membeli kelebihan produksi sebesar 3,77 juta ton atau setara 6,08 juta ton GKG. Oleh karena biaya penyimpanan pada musim panen melebihi marjin harga musim panen dengan paceklik (hasil kajian PSE, 2002), maka praktis swasta diperkirakan tidak akan tertarik untuk menyimpan gabah pada musim panen raya, sehingga apabila pemerintah ingin menjamin harga gabah tidak anjlok pada panen raya, maka pemerintah harus membeli gabah sebesar 8,5 juta ton GKG selama periode 3 bulan saja (Pebruari April). 8. Pada kenyataannya, pada tahun 2003-2004, walaupun pemerintah telah melakukan pembelian gabah dalam jumlah yang cukup besar (setara 2,2-2,5 juta ton beras), namun harga gabah di pasar masih lebih rendah dibanding harga yang ditunjang pemerintah, yaitu HPP (Rp. 1230 /kg GKP). Adanya selisih harga yang besar antara HPP dengan harga paritas beras impor, menyebabkan rembesan beras impor ke pasar domestik cukup deras, sehingga kebijakan harga inipun menjadi tidak dapat sepenuhnya efektif. 9. Saat ini perbedaan rata-rata harga yang diterima petani dengan harga dasar pembelian pemerintah diperkirakan sebesar Rp 300 per kg GKG. Apabila pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 300 per kg pembelian gabah baik kepada swasta maupun BULOG, maka dibutuhkan subsidi sebesar Rp 2,55 trilyun. Apabila subsidi pupuk sebesar Rp 1,3 trilyun dialihkan untuk pembelian gabah hanya mampu memenuhi setengah dari total biaya yang diperlukan. Dengan kata lain, pengalihan subsidi pupuk belum mampu menyelesaiankan permasalahan anjloknya harga gabah pada musim panen raya. 10. Kalaupun pemerintah menambah dana subsidi pembelian harga gabah sampai mencapai 2,55 trilyun, belum tentu harga gabah di tingkat petani sama dengan harga dasar pembelian pemerintah. Hal ini karena, selain kesulitan memperoleh data pasokan dan permintaan di beberapa wilayah, juga data tersebut amat bervaaraiasi antar wilayah sehingga menyulitkan operasi pasar. Oleh karena itu, mulai tahun 2000, kebijakan harga dasar gabah diubah menjadi kebijakan harga dasar pembelian pemerintah. Pemerintah hanya menjamin harga dasar pembelian pemerintah dengan volume tertentu yang ditetapkan sesuai dengan kemampuan pemerintah. 80
11. Elastisitas produktivitas terhadap harga gabah sebesar 0,4. Ini berarti peningkatan harga gabah sebesar 1 persen menyebabkan produktivitas meningkat sebesar 0,4 persen. Bila dibandingkan dengan elastisitas produktivitas terhadap harga pupuk secara total sebesar 0,7, maka dampak pemberian subsidi pupuk terhadap produktivitas lebih besar dibanding subsidi harga gabah. C. ANALISIS PENGGUNAAN PUPUK OLEH PETANI 12. Penggunaan pupuk di Indonesia berkembang pesat sejak dicanangkannya program BIMAS oleh pemerintah tahun 60-an. Penggunaan pupuk Urea, TSP, KCl, dan bahan kimia pembasmi hama-penyakit tanaman terus meningkat dipacu oleh program untuk mencapai swasembada pangan, yang pada akhirnya diraih pada tahun 1984. Selanjutnya, kebutuhan pupuk makin meningkat, bukan hanya untuk tanaman pangan, tetapi juga untuk perkebunan, hortikultura, dan industri. 13. Sejak penghapusan subsidi pupuk pada bulan Desember 1998 yang selanjutnya mengakibatkan harga pupuk meningkat tajam, petani lebih banyak menggunakan pupuk nitrogen karena pengaruhnya langsung terlihat dalam peningkatan produksi. Kisaran dosis urea yang digunakan adalah 200 300 kg/ha atau kombinasi dengan ZA. Sementara itu, penggunaan pupuk P dan K, pada umumnya lebih rendah dari yang dibutuhkan, sehingga kemungkinan terjadi ketidak seimbangan hara dalam tanah. Sekarang ini penggunaan pupuk oleh petani bervariasi, dari yang lengkap menggunakan pupuk N (Urea, ZA), P (TSP/SP36), K (KCl) dan pupuk organik (kompos, pupuk kandang) dengan dosis yang cukup tinggi sampai yang hanya menggunakan pupuk N saja. Dengan demikian, tidaklah mudah memperkirakan penurunan produksi padi nasional dihubungkan dengan kemungkinan kenaikan harga pupuk. 14. Untuk menyederhanakan persoalan, diasumsikan rata-rata penggunaan pupuk urea sekarang sekitar 300 kg/ha. Maka, dengan kenaikan harga dari Rp 1050/kg menjadi Rp 1700/kg, petani hanya dapat membeli urea sebanyak 60 % dengan jumlah uang yang sama. Namun demikian, apabila gabah petani dibeli dengan harga yang relatif tinggi, maka mungkin petani akan tetap membeli pupuk urea sama seperti sekarang (100 %) atau hanya 80 %. Jadi, akan diestimasi, berapa kira-kira produksi padi bila dipupuk dengan urea 100 %, 80 %, dan 60 %. Sedangkan pupuk P dan K, diasumsikan sama dengan penggunaan sekarang. 81
15. Tanaman padi sawah sangat respon terhadap pemberian pupuk Nitrogen. Pemberian urea hingga dosis di atas 300 kg/ha tidak efisien lagi karena hasil gabah cenderung menurun. Dosis maksimum urea dicapai pada 300 kg/ha dengan rata-rata hasil maksimum 5,25 t/ha (Gambar 1). Bila urea diberikan sesuai dengan dosis rekomendasi (100%) maka diperoleh rata-rata produksi gabah 5,25 t/ha. Dengan berpedoman pada lahan sawah intensifikasi seluas 10,47 juta ha, maka dibuat beberapa estimasi hasil berdasarkan dosis urea yang berbeda (Tabel 3). Penurunan penggunaan urea sebesar 20% (dari 300 kg/ha menjadi 240 kg/ha) akan menurunkan produksi sebesar 0,08 t/ha. Apabila penurunan penggunaan pupuk urea mencapai 40% maka produksi menurun sebesar 0,29 t/ha atau terjadi penurunan total produksi secara nasional sebesar 3 juta ton. 7.0 6.0 5.0 Hasil gabah (t/ha) 4.0 3.0 2.0 1.0 y = -2E-05x 2 + 0.012x + 3.4465 R 2 = 0.9069 0.0 0 150 300 450 600 Dosis urea (kg/ha) Gambar 1. Respon Padi Sawah Terhadap Pemupukan N-Urea Di Berbagai Jenis Tanah Di Jawa Barat, Jawa Tengah Dan Jawa Timur. Tabel 3. Estimasi Berbagai Skenario Penggunaan Pupuk Urea. Dosis Urea (kg/ha) Hasil (t/ha) Produksi gabah (juta ton) 300 (100%) 5,25 54,9 240 (80%) 5,17 54,1 180 (60%) 4.96 51,9 16. Di samping sawah intensif, terutama di luar Jawa terdapat juga lahan sawah semi intensif. Pada sawah semacam ini, dosis pupuk sangat mempengaruhi hasil. Bila hanya menggunakan urea saja dengan dosis 250 kg/ha tanpa pupuk P dan K maka diperoleh produksi 3,4 t/ha. Peningkatan dosis dari 100 kg/ha 82
menjadi 250 kg/ha dengan dosis P dan K yang sama, meningkatkan produksi dari 4,5 t/ha menjadi 5 t/ha (Tabel 4). Dari data tersebut dapat diestimasi apabila petani menurunkan dosis urea dari 250 kg/ha menjadi 100 kg/ha, misalnya akibat kenaikan harga urea, maka akan terjadi penurunan produktivitas sebesar 0,5 t/ha. Apabila hanya dipupuk dengan urea saja tanpa P dan K, maka akan terjadi penurunan produksi sebesar 1,6 t/ha. Tabel 4. Rata-Rata Produksi Padi Sawah Pada Beberapa Lokasi di Lampung. No. Dosis pupuk Hasil (t/ha) 1. 250 kg/ha Urea tanpa P dan K 3,4 2. 100 kg/ha Urea 4,5 100 kg/ha SP-36 100 kg/ha KCl 3. 250 kg/ha Urea 100 kg/ha SP-36 100 kg/ha KCl 5,0 17. Dari uraian di atas, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa penggunaan pupuk urea sangat berpengaruh terhadap produktivitas tanaman pangan, khususnya padi dibandingkan pupuk lainnya. Sedangkan pemberian pupuk SP36 ataupun KCl yang sekarang dilakukan petani di lahan-lahan sawah irigasi yang sudah subur pada umumnya bersifat preventif terhadap kemungkinan menurunnya hasil padi. Pemberian pupuk SP36 dan KCl tidak perlu dilakukan secara terus menerus terutama pada tanah sawah berstatus P dan K sedang hingga tinggi. Dapat ditambahkan, dari peta status hara diketahui bahwa tidak semua tanah di wilayah penghasil padi membutuhkan jenis dan jumlah hara yang sama. Artinya, untuk mendapatkan produksi yang sama pada wilayah yang berstatus hara berbeda dibutuhkan pupuk dalam jumlah yang tidak sama. Sehubungan dengan hal ini, pengetahuan petani tentang pemupukan spesifik lokasi menjadi penting. 18. Dari pengamatan lapangan di daerah sentra produksi padi intensif, ditemukan bahwa penggunaan pupuk terutama urea cenderung berlebih. Kalau penghematan pemakaian pupuk N dapat dilakukan dan dialihkan untuk pengadaan pupuk yang lain, misalnya SP36 atau KCl tentu akan lebih bermanfaat. Tanah yang kelebihan N dan kekurangan P menjadi padat sehingga akar tanaman padi kurang berkembang. Tanaman yang kelebihan N lebih rentan terhadap serangan penyakit dan kerebahan. Penggunaan KCl juga dapat meningkatkan ketahanan tanaman dan kualitas hasil panen. Jadi, produktivitas 83
dan kualitas produksi lebih ditentukan oleh ketepatan waktu, jenis dan jumlah pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, tidak berlebih dan tidak kekurangan. D. REKOMENDASI KEBIJAKAN 19. Uraian di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa dengan dana yang terbatas, kebijakan susidi pupuk lebih menguntungkan secara ekonomi dibanding kebijakan subsidi pembelian harga gabah (Tabel 5). Oleh karena itu, apabila kondisi penanggaran pemerintah seperti sekarang, maka subsidi pupuk tidak layak dialihkan menjadi insentif harga gabah. Namun demikian, pengelolaan subsidi perlu diperbaiki, antara lain : (a) penetapan harga jual di setiap tingkatan, mulai dari pabrik sampai titik distribusi kecamatan harus dirinci, disertai dengan rencana pengawasan dan sanksi yang jelas; (b) rencana pasokan dan distribusi disempurnakan sesuai dengan prinsip tepat jumlah dan waktu, sehingga jika akan terjadi kekurangan di suatu daerah, rencana antisipasinya sudah disusun jauh-jauh hari sebelumnya. Tabel 5. Kebijakan Subsidi Pupuk vs Subsidi Pembelian Gabah/Penjaminan Harga Gabah. Subsidi Harga Gabah No. Uraian Subsidi Output (Penjaminan Harga Gabah) 1. Kesesuaian dengan kemampuan anggran petani. Sesuai (Cost Minimization) 2. Dampak terhadap akselerasi adopsi teknologi. Tinggi 3. Kebutuhan subsidi 1 8.4 4. Dampak terhadap produktivitas 0.7 0.4 5. Penjaminan terhadap harga yang ditetapkan Tinggi Tidak Sesuai (Profit Maximization) Rendah Rendah 20. Namun demikian, mengingat anjloknya harga gabah pada musim panen raya merupakan masalah kritis juga, maka kebijakan pemerintah untuk mendukung HPP tetap diperlukan. Alokasi dana ini sebenarnya sudah tersedia, yaitu untuk raskin dan stok yang jumlahnya masing-masing sekitar Rp. 5,8 trilyun dan Rp. 1,3 trilyun. Dana yang besar ini seyogyanya dipakai untuk membeli gabah petani secara tepat waktu, tepat lokasi, dan tepat harga. Dengan demikian, dana tersebut mempunyai manfaat ganda. 84
21. Beberapa upaya serta teknologi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk agar produksi padi nasional tidak merosot, antara lain sebagai berikut: a. Reorientasi penggunaan pupuk. Pada prinsipnya langkah yang perlu ditempuh adalah menghindari penurunan penggunaan pupuk urea, kecuali untuk daerah-daerah yang sering menggunakan pupuk urea secara berlebih. Hal ini dapat dilakukan dengan memasyarakatkan penggunaan Bagan Warna Daun (BWD), sehingga pemborosan pupuk urea dapat dicegah atau biaya kelebihan urea dipakai untuk membeli SP36 dan KCl. Tindakan ini dilakukan dengan maksud agar tidak menambah modal untuk pemberian pupuk juga untuk mengurangi terjadinya penurunan hasil padi. Proporsi pemberian pupuk urea: SP36 : KCl dapat diubah seperti tercantum dalam tabel berikut ini. Tabel 6. Strategi Reorientasi Penggunaan Pupuk pada Padi Sawah Akibat Adanya Kenaikan Harga Pupuk Tanpa Subsidi. Jenis pupuk Harga bersubsidi (Rp/kg)* Harga tanpa subsidi (Rp/kg)* Takaran pupuk pada umumnya (kg/ha) Modal untuk Takaran pupuk bila tidak bersubsidi (kg/ha)1 pupuk (Rp/ha) Pilihan 1 Pilihan 2 Pilihan 3 Urea 1250 1500 250 312.500 250 250 250 SP36 1500 1750 100 150.000 93 0 46 KCl 1500 1750 50 75.000 0 93 46 Jumlah (Rp/ha) Rp.537.500 Rp.537.750 Rp.537.750 Rp.537.750 * Harga perkiraan Pilihan 1: Untuk pesawahan berstatus K tinggi, P rendah (Biaya untuk pupuk relatif tetap) Pilihan 2: Untuk pesawahan berstatus P tinggi, K rendah (Biaya untuk pupuk relatif tetap) Pilihan 3: Untuk pesawahan berstatus K sedang atau rendah, P sedang atau rendah (Biaya untuk pupuk relatif tetap) Bila penggunaan pupuk urea sudah optimal maka (jika ada) kenaikan harga urea sebaiknya tidak direspon dengan mengurangi takaran urea, tetapi dilakukan penyesuaian penggunaan pupuk lainnya dengan pilihan sebagai berikut: (i) (ii) Kurangi penggunaan pupuk KCl atau SP36 untuk daerah sawah berstatus K atau P sedang atau tinggi. Apabila status hara P rendah dan status hara K sedang/tinggi, maka takaran pupuk KCl dikurangi atau dihilangkan sama sekali agar jumlah pemberian pupuk SP36 tetap atau dikurangi namun jangan dihilangkan sama sekali. 85
(iii) Apabila status hara K rendah dan status hara P sedang/tinggi, maka takaran pupuk SP36 dikurangi atau dihilangkan sama sekali agar jumlah pemberian pupuk KCl tetap atau dikurangi namun jangan dihilangkan sama sekali. (iv) Apabila status hara P dan K rendah, maka takaran pupuk SP36 diberikan 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha dengan sedikit mengurangi penggunaan pupuk urea (pengurangan urea jangan melebihi 50 kg/ha). b. Efisiensi penggunaan pupuk SP36. Pilihan lain untuk butir (21.a.iv) di atas, pupuk SP36 hanya diberikan dengan cara dipping/mencelupkan akar bibit tanaman padi ke dalam lumpur yang telah dipupuk SP36 (0,5 gram SP36/kg tanah, 100 kg tanah/ha atau setara dengan 50 g SP36/ha) selama 5 menit sesaat sebelum transplanting (tanam pindah) bibit ke lapang. Pengurangan penggunaan pupuk SP36 menjadi hanya 0,1% saja dari takaran normalnya dimungkinkan dengan cara meningkatkan efisiensi pemberian pupuk SP36 langsung ke individu tanaman (bukan ke tanah). c. Pemanfaatan jerami padi sebagai sumber K atau pengganti pupuk KCl. Pilihan lain untuk butir (iii) di atas, jerami padi hasil panen musim sebelumnya, dikomposkan. Kompos jerami ini banyak mengandung K yang dapat digunakan sebagai pengganti pupuk KCl. d. Pemanfaatan bahan organik/pupuk kandang. Pupuk kandang yang telah dikomposkan merupakan sumber hara N, P dan K sekaligus. Namun dalam penggunaannya, kompos ini bukan sebagai pengganti total pupuk urea, SP36 atau KCl mengingat bahwa untuk tujuan tersebut akan diperlukan banyak sekali pupuk kandang (> 2 ton/ha) yang kadang kala sulit dalam pengangkutannya. Pupuk kandang ini diberikan sebagai pengganti sebagian dari pupuk urea, pupuk SP36 dan KCl. e. Penggunaan VUTB, VUH dan VUB terbaru. Penggunaan berbagai VUTB, VUH dan VUB yang lebih baru melalui pendekatan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) diberbagai lokasi di 20 propinsi menunjukkan bahwa produktivitas padi meningkat lebih dari 17 % dibanding dengan cara biasa dan penggunaan VUB eksisting. Oleh sebab itu penggantian VUB eksisting dengan VUTB, VUH dan VUB yang lebih baru merupakan salah satu strategi untuk menghindari penurunan produktivitas padi. 86