1)I. PENDAHULUAN. Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus. berupaya untuk meningkatkan produksi pangan melalui peningkatan
|
|
- Yanti Atmadjaja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 1)I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah Formatted: Font: 14 pt Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Hanging: 0,62 cm, Numbered + Level: 1 + Numbering Style: I, II, III, + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0,63 cm + Tab after: 1,9 cm + Indent at: 1,9 cm, Tab stops: 1,25 cm, List tab + Not at 1,9 cm 1. Latar Belakang Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi pangan melalui peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas hasil pertanian. Diantara berbagai jenis bahan pangan, beras merupakan komoditas pangan utama bagi masyarakat Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena beras memiliki posisi strategis dalam memelihara stabilitas ekonomi nasional. (Amien, 2002 dalam Komba, 2010) Pemenuhan kebutuhan beras nasional yang bersumber dari produksi dalam negeri telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia. Salah mengurus beras akan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan bernegara karena komoditas ini sangat strategis dan sarat nilai politis. Berbagai upaya telah ditempuh Pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan tersebut, antara lain dengan menetapkan kebijakan dasar yaitu dengan penyediaan subsidi benih, penyediaan subsidi pupuk, penyediaan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), penetapan harga gabah pembelian Pemerintah, dan peningkatan tarif bea masuk untuk impor beras. Dengan kebijakan dasar tersebut diharapkan selama periode
2 pertumbuhan produksi per tahun untuk tanaman pangan diproyeksikan dapat meningkat berkisar 3,22 20,50 persen. Untuk mencapai sasaran pertumbuhan produksi pangan tersebut, diperlukan dukungan sarana dan prasarana, dimana salah satu faktor penting dalam peningkatan produksi komoditas pertanian pangan adalah pupuk, seiring dengan dikembangkannya varietas unggul dan varietas hibrida yang cenderung responsif terhadap penggunaan pupuk anorganik, dimana efisiensi dan efektivitasnya tergantung pada lokasi setempat. Perkembangan pupuk anorganik yang merupakan hasil produksi pabrik kimia, mulai berkembang pesat sejak dicanangkannya revolusi hijau melalui program BIMAS/INMAS oleh Pemerintah Indonesia. Pada saat itu, telah diperkenalkan berbagai varietas padi unggul baru IR-5 dan IR-8 yang sangat responsif terhadap pemupukan anorganik, agar dapat meningkatkan produksi tanaman pangan. Pada awal tahun 1970an, pada saat petani belum menggunakan pupuk anorganik, hasil padi varietas lokal yang diusahakan hanya mampu berproduksi maksimal 2,0-2,5 ton/ha, meskipun mereka telah menggunakan pupuk kandang. Dengan menggunakan pupuk anorganik, hasil varietas unggul padi di lahan sawah irigasi meningkat lebih dua kali lipat menjadi 5-6 ton/ha. Penggunaan pupuk anorganik tersebut semakin meningkat pada tanaman pangan khususnya untuk tanaman padi sawah seiring dengan pelaksanaan program Pemerintah berswasembada pangan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya peningkatan produksi padi melalui gerakan revolusi hijau telah mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984.
3 Keberhasilan pembangunan pertanian tidak dapat dipisahkan dari kesadaran petani dalam menggunakan pupuk anorganik. Di satu sisi, pengembangan pupuk anorganik berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi sawah, namun di sisi lain penggunaan pupuk anorgonik perlu disikapi secara bijaksana karena dapat juga berdampak negatif, seperti pencemaran lingkungan dan inefisiensi pemupukan di sebagian besar daerah intensifikasi padi. Karena positif terhadap peningkatan produksi, berakibat mendorong tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik, bahkan mereka seringkali menggunakannya dalam jumlah yang berlebihan. Selain tidak lagi meningkatkan hasil, penggunaan pupuk anorganik dengan takaran di atas kebutuhan tanaman juga mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh dari usahatani. Pada saat ini petani memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap penggunaan pupuk kimia dan bahkan banyak yang melakukan pemupukan secara inefisien (overdosis) akibat degradasi mutu lahan yang mempengaruhi responsitas tanaman terhadap serapan unsur hara. Perilaku pemupukan demikian secara finansial sangat merugikan petani. Menyadari pentingnya upaya penghematan pupuk bagi peningkatan pendapatan petani, penghematan sumberdaya pupuk, dan pelestarian sumberdaya alam, maka studi analisis dinamika tingkat penggunaan pupuk di tingkat petani perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana penggunaan dan rasionalisasi petani dalam merespon pupuk untuk meningkatkan produksi, khususnya tanaman padi sawah, terutama
4 karena adanya partisipasi aktif pemerintah dalam aspek Kebijakan Pupuk Bersubsidi. A.B. Identifikasi Masalah Peningkatan permintaan terhadap komoditas padi dari tahun ke tahun di Indonesia sebenarnya telah diikuti oleh peningkatan produksi komoditas tersebut, namun Formatted: Indent: Left: 0 cm, Hanging: 0,67 cm, Don't add space between paragraphs of the same style, Numbered + Level: 1 + Numbering Style: A, B, C, + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm, Tab stops: Not at 2,54 cm peningkatan produksi padi belum mampu mengikuti peningkatan konsumsi akan beras. Hal ini berarti jumlah produksi padi yang dihasilkan di Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Gambaran keseimbangan kebutuhan akan beras dengan ketersediaan pangan beras dapat dilihat sebagaimana pada Tabel berikut ;1. Tabel 1. Perkembangan Jumlah penduduk dan Konsumsi beras di Indonesia tahun Tahun Padi GKG (000 Ton) Beras (000 Ton) Tersedia untuk konsumsi (000 Ton) Penduduk (000 Jiwa) Total Selisih Konsumsi (Prod-Kon) (000 Ton) ,151 34,115 27, , ,455 34,307 28, , ,049 35,941 29, , ,326 38,005 34, ,800 3,865 Sumber : Neraca Bahan Makanan, BPS 200Departemen Pertanian (diolah)7 Formatted: Indent: Left: 0,67 cm Dari TabelTabel 1 di atas dapat dilihatmenunjukkan bahwa laju peningkatan produksi beras nasional hingga tahun 2006 tidak mampu memenuhi laju permintaan perkembangan jumlah penduduk dan konsumsiakan beras di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras dalam rangka mencukupi ketersediaan untuk konsumsi pangan. Pada tahun 2007 terjadi kelebihan produksi beras (excess supply) meskipun jumlahnya kecil dan di tahun 2008 terjadi
5 peningkatan relatif tinggi, sehingga tahun 2008 Indonesia terjadi swasembada pangan. Upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah yang dilakukan Pemerintah selama ini dalam rangka membantu petani telah memberikan hasil yang menggembirakan. Propinsi Lampung sebagai bagian integral dari sentra produksi padi sawah di Indonesia juga terus memberikan kontribusi dalam mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah. Propinsi Lampung memiliki beberapa sentra produksi padi sawah yang tersebar di seluruh kabupaten-kota. Sebaran areal luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah di Propinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 2. Peluang peningkatan produksi padi sawah di Indonesia masih cukup besar mengingat sampai saat ini benih padi yang digunakan masih menggunakan benih varietas unggul belum menggunakan benih varietas hibrida yang produksinya bisa mencapai lebih dari 12 ton/ha, dan pemupukan yang dilakukan petani belum berimbang sesuai anjuran tekhnologi spesifik lokasi, selain itu.benih padi yang digunakan secara umum masih menggunakan benih varietas unggul belum banyak petani yang menggunakan benih varietas hibrida yang produksinya mencapai 10 ton/ha.
6 Tabel 2. Sebaran areal Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Sawah per kabupaten di Propinsi Lampung tahun * No Kabupaten * 1. Lampung Barat 2. Tanggamus 3. Lampung Selatan Produktivitas(ton/ha) 4. Lampung Timur 5. Lampung Tengah 6. Lampung Utara 7. Way Kanan 8. Tulang Bawang 9. Bandar Lampung 10. Metro 11. Pesawaran Produksi (Ton) Luas Panen (Ha) Lampung , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,88 Keterangan : 2009* = ARAM II 2009 (Angka Ramalan II, 2009) Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2009
7 Pupuk menyumbang 20 persen terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian, khususnya beras antara tahun dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun Pupuk pun berkontribusi persen untuk biaya usahatani padi. Penggunaan pupuk oleh petani untuk tujuan tersebut secara tepat, baik jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, maupun mutu akan menjamin adanya peningkatan produksi yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan. (Rusastra dkk, 2002) Kebijakan Pupuk Bersubsidi untuk petani telah berjalan lama. Sejalan dengan kompleksitas masalah pembangunan pertanian, khususnya dalam peningkatan produksi, dimana pupuk menjadi barang yang diperlukan petani dengan daya beli yang terbatas, Pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk bagi petani. Argumen pemberian subsidi terhadap pupuk, antara lain : (1) Merangsang penggunaan pupuk oleh petani sebagai bagian dari penerapan teknologi dan peningkatan produksi pangan, (2) Dalam rangka menstabilkan harga di tingkat petani, dan (3) Lebih mengefisienkan transfer sumber daya dari pemerintah ke petani guna membantu pembangunan di pedesaan. ( Rusastra dkk, 2002) Dinamika Pupuk saat ini merupakan salah satu faktor produksi yang vital dan dominan yang menentukan berhasil tidaknya usaha peningkatan produksi pertanian utamanya tanaman padi. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemakaian pupuk pada usahatani padi antara lain menyangkut harga pupuk itu sendiri, kemampuan petani untuk membeli pupuk, ketersediaan pupuk di pasaran, kemudahan petani mendapatkan pupuk dan selain itu pupuk merupakan barang ekonomis yang mempunyai nilai jual yang menguntungkan baik di pasar dalam negeri, maupun sebagai komoditi ekspor sehingga. Sejalan dengan kompleksitas masalah pembangunan pertanian, khususnya dalam peningkatan produksi, dimana pupuk menjadi barang yang
8 diperlukan petani dengan daya beli yang terbatas, Pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk bagi petani. Argumen pemberian subsidi terhadap pupuk, antara lain : (1) Merangsang penggunaan pupuk oleh petani sebagai bagian dari penerapan teknologi dan peningkatan produksi pangan, (2) Dalam rangka menstabilkan harga di tingkat petani, dan (3) Lebih mengefisienkan transfer sumber daya dari pemerintah ke petani guna membantu pembangunan di pedesaan. ( I Wayan Rusastra dkk 2002) Kebijakan subsidi pupuk untuk petani telah berjalan lama dan setelah dihapusnya program Bimas, Pemerintah pada tahun 2002 mengeluarkan kebijaksanaankebijakankebijakankebijakan pupuk bersubsidi dimana penyalurannya sampai lini IV diserahkan pada distributor dan kios. Dalam pelaksanaannya sampai dengan tahun 2008 dirasakan tidak efektif dan banyak terjadi pupuk langka dan tidak sampai ke petani serta harganya jauh diatas harga eceran yang ditetapkan. Dengan pertimbangan tersebut pada tahun 2008, Pemerintah melakukan perbaikan dan melalui Menteri Pertanian Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor : 42/Permentan/OT.140/09/2008, tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi pola sistem tertutup untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran Banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ini, antara lain : Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Gubernur, Bupati, Camat, dan Kepala Desa di setiap wilayah propinsi di Indonesia. Kebijakan ini menetapkan berbagai hal-hal penting didalamnya yaitu peruntukkan pupuk bersubsidi, alokasi pupuk bersubsidi, penyaluran HET dan pupuk bersubsidi, pengawasan, dan pelaporan dari hasil pelaksanaan kebijakan tersebut. Yang khusus dan membedakan dalam Peraturan Menteri 2009 mengenai subsidi pupuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 2002 s/d 2008 adalah bahwa penyaluran pupuk di lini IV kepada petani, hanya dapat diberikan kepada petani yang telah menyerahkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang dikoordinir oleh ketua kelompok petani. Dengan adanya point ini maka hanya petani yang terdaftar dalam RDKK yang telah diserahkan yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Dan diperhitungkan kecil kemungkinan untuk terjadinya penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi sehingga petani mendapat kemudahan untuk dapat memperoleh pupuk sesuai kebutuhannya dengan harga subsidi sehingga penerapan penggunaan pupuk sesuai rekomendasi teknologi spesifik lokasi akan menghasilkan produktivitas yang tinggi yang akhirnya akan menghasilkan produksi dan pendapatan yang tinggi. Dengan telah diberlakukannya KebijaksanaanKebijakanKebijakanKebijakan Pupuk sistem pola tertutup timbul pertanyaan seberapa banyak petani melakukan penggunaan pupuk secara berimbang sehingga peningkatan produksi persatuan luas lahan
9 meningkat secara siknifikan dan seberapa besar memberikan pendapatan yang lebih baik dibanding sebelum diberlakukannya KebijaksanaanKebijakanKebijakanKebijakan tersebut. Penggunaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani Tidak Berpola Tingkat pemakaian pupuk anorganik di pertanian Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan di Negara Asia lainnya, seperti China dan India. Dalam masa perkenalan penggunaan pupuk anorganik, tingkat pemakaian pupuk anorganik di Indonesia 10 hingga 20 tahun, laju pertumbuhan rata-rata per tahun meningkat dari sekitar 1,7% dalam dekade 1960an menjadi 16% selama periode 1970 sampai 1980an, yang membuat pemakaian pupuk modern per hektar juga mengalami suatu peningkatan dari sekitar 1,3% menjadi 13,6% rata-rata per tahun selama periode yang sama (Tambunan, 2007). Tetapi, sejak pertengahan tahun 1990an praktis tidak ada pertumbuhan dan bahkan pemakaiannya per hektar menurun sampai pada tahun 2007, walaupun sejak permulaan tahun 2000 dan 2006 cenderung meningkat kembali. Pemakaian pupuk anorganik dari tahun 2004 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Pemakaian Pupuk Pabrik/ha di Pertanian di beberapa negara Asia, diukur dalam juta ton 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 - China India Indonesia Viet Nam Thailand ,40 18,41 3,62 2,67 2, ,64 20,35 3,61 2,30 1, ,36 21,66 3,95 2,54 1, ,56 22,57 3,73 2,70 1,
10 Sumber : FAO Statistical Yearbook, 2009 Kebijakan Pupuk Bersubsidi diberlakukan untuk tujuan pemerintah dalam mengendalikan produksi pangan utama yaitu padi, yang merupakan upaya untuk meningkatkan produksi dalam menyelaraskan kebutuhan konsumsi masyarakat. Sebagai salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang membutuhkan dukungan anggaran pemerintah yang amat besar, sudah semestinya subsidi pupuk dievaluasi dan disesuaikan agar senantiasa efektif dan efisien. Efektivitas subsidi pupuk dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu distribusi dan usahatani. Pada tingkat distribusi, efektivitas kebijakan berkenaan dengan kelancaran pasokan pupuk dari produsen hingga petani sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan pemerintah. Efektivitas kebijakan di tingkat usahatani berkenaan dengan sejauhmana subsidi pupuk berdampak pada peningkatan produksi dan laba usahatani. (Anjak, 2006) Dalam mengkonsumsi pupuk walaupun disubsidi penggunaan belum tentu cenderung meningkat tetapi akan selalu mengalami dinamika yang bersifat fluktuatif, atau menurun, atau meningkat, disajikan pada Tabel 3. Dalam kosa kata ekonomi pertanian, ketergantungan pada pupuk anorganik yang berlebih, petani terperangkap ke dalam ketidakseimbangan dinamis (dynamic disequilibrium) karena penggunaan pupuk cenderung bergerak dinamis bukan pada tingkat keseimbangan, yaitu bergerak di antara posisi aktual aplikasi pupuk dan posisi potensial kombinasi
11 pupuk (dengan tingkat penggunaan yang lebih tinggi) karena harga relatif yang lebih murah. (Arifin, 2009)
12 Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Pupuk di Indonesia, (ton) Tahun Urea TSP/SP 36 NPK Sumber : Fertilizer Hand Book Hasil usahatani padi responsif terhadap intensitas penggunaan pupuk urea dan pupuk SP 36. Penggunaan aktual pupuk urea dan SP 36 pada survei 2005/2006 di pulau Sumatera dan Sulawesi telah melampaui penggunaan optimal pupuk urea dan SP 36, hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan jauh dari hasil optimal yang dapat dicapai. Sedangkan pada pulau Jawa, penggunaan aktual pupuk urea berlebih dengan kombinasi penggunaan pupuk SP 36 di bawah penggunaan pupuk yang optimal, sehingga hasilnya menjadi kurang optimal pula. Penggunaan pupuk yang demikian tidak efisien (Tabel 4). Penggunaan pupuk yang jauh dari tingkat optimal, maka jelas bahwa subsidi pupuk tidak efektif untuk meningkatkan hasil usahatani padi, tetapi mungkin berguna untuk dalam hal mengurangi ongkos usahatani. (Anjak, 2006)
13 Tabel 4. Penggunaan urea dan SP 36 untuk hasil padi aktual dan optimal menurut pulau (kg/ha) No Uraian Sumatera Jawa Sulawesi Indonesia Aktual 1998/ Urea 1 SP 36 1 Hasil 1 Aktual (Survei 2005/2006) Urea SP 36 Hasil ARAM Optimal 1 Urea SP 36 Hasil Keterangan : 1. Pada harga 2006, 2. Struktur ongkos BPS, 3. Sumatera Utara (PSEKP, 2006), 4. Jawa Timur (PSEKP, 2006), 5. Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006), 6. Rata-rata Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006) Sumber : Anjak, 2006 Penggunaan Pupuk yang Belum Berimbang dan Belum Efisien Subsidi pupuk yang menjadi bentuk kepedulian pemerintah yang tercantum dalam APBN akan berdampak positif maupun negatif. Dampak positif subsidi pupuk, yaitu melindungi petani yang lemah akan modal (keterbatasan modal), suatu insentif yang merangsang petani agar dapat mengkombinasikan pupuk dengan baik sesuai rekomendasi pemupukan spesifik lokasi, dan melindungi petani dalam menghadapi harga output yang rendah. Dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya subsidi pupuk, diantaranya adalah penggunaan pupuk yang berlebih, adanya pergeseran penggunaan pupuk subsidi untuk padi ke penggunaaan lain yang tidak disubsidi, dan meningkatnya beban subsidi yang ditanggung pemerintah.
14 Saat ini rata-rata penggunaan pupuk anorganik di tingkat petani masih cukup tinggi. Masih sangat sulit untuk melepaskan ketergantungan petani dari pupuk kimiawi. Di sejumlah daerah anggota SPI rata-rata penggunaan pupuk urea mencapai 279,66 kg per hektar tanaman padi, angka ini di atas angka ketetapan pemerintah yang sebesar kg per hektar (Gambar 2). Tingginya pemakaian pupuk banyak disebabkan ketidaktahuan petani dan minimnya penyuluhan yang terkait masalah pupuk. Petani seringkali coba-coba atau melihat dari petani lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk di tingkat petani belum berjalan berimbang dan efisien sesuai anjuran rekomendasi penggunaan pupuk spesifik lokasi. Gambar 2. Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani padi (kg/ha). Sumber : SPI, Beberapa faktor yang mempengaruhi pemakaian pupuk pada usahatani, selain faktor harga dari pupuk itu sendiri, yakni kemampuan petani untuk membeli pupuk, ketersediaan pupuk di pasaran, kemudahan petani mendapatkan pupuk. Selain itu pupuk merupakan barang ekonomis yang mempunyai nilai jual yang menguntungkan baik di pasar dalam negeri, maupun sebagai komoditi ekspor sehingga rentan terhadap permainan pasar untuk mencari keuntungan.
15 (Rusastra dkk, 2002) Berdasarkan pemaparan tersebut, dengan diberlakukannya KebijaksanaanKebijakan KebijakanKebijakan Pupuk Bersubsidi dimana selalu menjadi bahan evaluasi Pemerintah diharapkan menjamin kemudahan bagi petani untuk mendapatkan pupuk dengan harga yang terjangkau dan tingkat ketersediaannya, sehingga petani padi sawah melakukan penggunaan pupuk secara berimbang dan efisien (tidak berlebihan atau kekurangan) yang berdampak pada peningkatan produksi padi sawah per satuan luas lahan meningkat secara signifikan dan peningkatan produktivitas. Penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dalam mekanisme produksi merupakan hal yang mutlak dalam mencapai keberhasilan produksi. Karena keuntungan maksimum hanya akan tercapai dengan mengkombinasikan faktor-faktor produksi secara efisien.. a. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : permasalahan Formatted: Indent: Left: 0,67 cm Formatted: Indent: Left: 0,67 cm, Line spacing: single, No bullets or numbering Formatted: Indent: Left: 0,67 cm, First line: 0 cm a. Bagaimana dinamika tingkat penggunaan pupuk bersubsidi di tingkat petani pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah? Formatted: Font: Not Bold b. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan umum yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain :Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi rasionalisasi petani dalam penggunaan pupuk bersubsidi pada usahatani padi sawah pasca diberlakukannya kebijakan subsidi pupuk sistem pola tertutup di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah? Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
16 c. Bagaimana implikasi kebijakan subsidi pupuk sistem pola tertutup terhadap penggunaan pupuk pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo Formatted: Font: Not Bold Kabupaten Lampung Tengah? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : Formatted: Indent: Left: 0 cm, Line spacing: single 1 Mengidentifikasi dinamika tingkat penggunaan pupuk bersubsidi di tingkat petani pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi rasionalisasi petani dalam penggunaan pupuk bersubsidi pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah. Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold 3. Mengetahui implikasi kebijakan subsidi pupuk sistem pola tertutup terhadap penggunaan pupuk pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah. D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna untuk : 1. Petani, pedagang pupuk, dan produsen pupuk sebagai bahan masukan. 2. Instansi terkait, sebagai bahan informasi untuk pembuatan kebijakan dan evaluasi yang terkait dengan masalah kinerja peningkatan produksi, produktivitas, dan pendapatan petani padi sawah serta penerapan teknologi pemupukan spesifik lokasi. 3. Peneliti lain, sebagai bahan informasi dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.
I. PENDAHULUAN. Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya
I. PENDAHULUAN Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Hanging: 0,62 cm, Tab stops: 1,25 cm, List tab + Not at 1,9 cm A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah 1. Latar Belakang Dalam rangka pencapaian ketahanan
Lebih terperinciKebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan
6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki peranan penting
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan memperluas keanekaragaman hasil pertanian. Hal ini berguna untuk memenuhi
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian
I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan
Lebih terperinciEfektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah
20 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Efektifitas Subsidi Pupuk: Implikasinya pada Kebijakan Harga Pupuk dan Gabah Pendahuluan Sebagai salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas
Lebih terperinciperluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan pertanian dan ketahanan pangan adalah meningkatkan produksi untuk memenuhi penyediaan pangan penduduk, mencukupi kebutuhan bahan baku industri dalam
Lebih terperinciBUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI TANGGAMUS PERATURAN BUPATI TANGGAMUS NOMOR : 02 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANGGAMUS TAHUN 2014 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGGAMUS,
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Menurut Dillon (2009), pertanian adalah sektor yang dapat memulihkan dan mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Peran terbesar sektor pertanian adalah
Lebih terperinciPENDAHULUAN. salah satu negara berkembang yang mayoritas. penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian.
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang mayoritas penduduknya memiliki sumber mata pencaharian dari sektor pertanian. Hingga saat ini dan beberapa tahun mendatang,
Lebih terperinci2012, No e. bahwa atas dasar hal-hal tersebut di atas, dan sebagai pelaksanaan Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Horti
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.974, 2012 KEMENTERIAN PERTANIAN. Fungsi Lahan. Hortikultura. Perlindungan. Peningkatan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58/Permentan/OT.140/9/2012
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan
Lebih terperinci6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
PERATURAN BUPATI LUWU TIMUR TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA : a. bahwa peranan
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 072 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian selalu dikaitkan dengan kondisi kehidupan para petani di daerah pedesaan dimana tempat mayoritas para petani menjalani kehidupannya sehari-hari,
Lebih terperinciBUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI MADIUN SALINANAN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN MADIUN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN BUPATI KAPUAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KAPUAS NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI, REALOKASI DAN RENCANA KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAPUAS
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu usahatani diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumberdaya yang dimiliki secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI MALANG BUPATI MALANG,
BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 55 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN MALANG TAHUN ANGGARAN 2013 BUPATI
Lebih terperinciBUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI TAPIN PERATURAN BUPATI TAPIN NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TAPIN TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa peranan pupuk
Lebih terperinciRingkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1
Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 06/Permentan/SR.130/2/2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 51 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA PROBOLINGGO TAHUN
Lebih terperinciPENDAHULUAN A. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura sebagai salah satu subsektor pertanian memiliki peran yang cukup strategis dalam perekonomian nasional. Hal ini tercermin dari perannya sebagai pemenuh kebutuhan
Lebih terperinciLAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI
LAPORAN AKHIR ANALISIS KEBIJAKAN KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI Oleh Sri Hery Susilowati Supriyati Yulias Nuryatin Riyani Eni Darwati PUSAT
Lebih terperinciPolicy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1
Policy Brief KAJIAN PENYESUAIAN HET PUPUK BERSUBSIDI PADA USAHATANI PADI DAN DAMPAKNYA BAGI PENDAPATAN PETANI 1 Dr. Sri Hery Susilowati dan Ir. Supriyati, MS Pendahuluan Sampai saat ini pemerintah masih
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,
WALIKOTA BENGKULU PROVINSI BENGKULU Jl. Let. Jend. S. Pa[ PERATURAN WALIKOTA BENGKULU NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BENGKULU
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG
PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU TAHUN ANGGARAN 2013 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciFormatted: Bottom: 1.6" Formatted: Tab stops: 6.69", Left
Formatted: Bottom: 1.6" Formatted: Tab stops: 6.69", Left Formatted: Font: 5 pt, Not Bold, Font color: Auto Formatted: Left, None, Indent: Left: 0", First line: 0", Space Before: 0 pt, Don't keep with
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Produktivitas (Qu/Ha)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat mendukung untuk sektor usaha pertanian. Iklim tropis yang ada di Indonesia mendukung berkembangnya sektor pertanian
Lebih terperinciANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE
ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian Februari 2011 ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2011 BUPATI KUDUS, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DI KABUPATEN
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG
BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BADUNG TAHUN ANGGARAN 2010 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciKEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI
KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut
Lebih terperinciGUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG
GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 93 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI BALI TAHUN ANGGARAN 2009 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR
BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012
BUPATI KARANGANYAR PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 13 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN BUPATI SINJAI NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SINJAI TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 87/Permentan/SR.130/12/2011 /Permentan/SR.130/8/2010 man/ot. /.../2009 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan
Lebih terperinci3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
KONSEP GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 73 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciMENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130/Permentan/SR.130/11/2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. oleh pemerintah. Upaya yang dilakukan antara lain dengan meningkatkan
1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertanian adalah salah satu sektor yang menjadi titik berat pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan di sektor pertanian terus digalakkan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bagi negara berkembang seperti Indonesia landasan pembangunan ekonomi negara dititikberatkan pada sektor pertanian. Produksi sub-sektor tanaman pangan memberikan kontribusi
Lebih terperinciWALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR
WALIKOTA BLITAR PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA BLITAR NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA BLITAR
Lebih terperinciBIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI
SUBSIDI PUPUK DALAM RANGKA MENINGKATKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERKESINAMBUNGAN DALAM APBN TAHUN 2013 Salah satu dari 11 isu strategis nasional yang akan dihadapi pada tahun 2013, sebagaimana yang disampaikan
Lebih terperinciWALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA
WALIKOTA TEBING TINGGI PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN WALIKOTA TEBING TINGGI NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KOTA TEBING
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA BOGOR
BERITA DAERAH KOTA BOGOR TAHUN 2011 NOMOR 10 SERI E PERATURAN WALIKOTA BOGOR NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2010 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan
Lebih terperinciBUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SEMARANG TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG
1 BUPATI LAMANDAU PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI LAMANDAU NOMOR 07 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 38 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN
Lebih terperinciPERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG
PERATURAN WALIKOTA MOJOKERTO MOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KOTA MOJOKERTO TAHUN 2010 WALIKOTA MOJOKERTO, Menimbang
Lebih terperinciKEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS,
PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KUDUS TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciBUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BANYUWANGI TAHUN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan hal yang sangat penting karena merupakan kebutuhan dasar manusia, sehingga kecukupan pangan bagi tiap orang setiap keputusan tentang subsidi pupuk merupakan
Lebih terperinciBUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH
BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 79 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN A. Latar belakang
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang penting bagi petani. Keberadaan pupuk secara tepat baik jumlah, jenis, mutu, harga, tempat, dan waktu akan menentukan kualitas
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN BUPATI SUMEDANG NOMOR 114 TAHUN 2009 TENTANG ALOKASI DAN PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN TAHUN 2010 DI KABUPATEN SUMEDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURANBUPATI TANAH BUMBU NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN TANAH BUMBU
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG
1 BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN 2014
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 SERI E.4 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SUB SEKTOR
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT;
Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 115 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN GUBERNUR JAWA BARAT; Menimbang Mengingat : a. bahwa pupuk
Lebih terperinciBUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN BUPATI SERUYAN PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 BUPATI SERUYAN, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI TANJUNG JABUNG BARAT
BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN TANJUNG JABUNG
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bahan baku pangan, dan bahan lain. Ketersediaan pangan yang cukup jumlahnya,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
Lebih terperinciWALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG
WALIKOTA PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciGUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011
GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2011 DENGAN
Lebih terperinciBUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT
BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 1149 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN GARUT TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG
PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 122/Permentan/SR.130/11/2013 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPOLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian
PENDAHULUAN POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN Dr. Adang Agustian 1) Salah satu peran strategis sektor pertanian dalam perekonomian nasional
Lebih terperinciJakarta, Januari 2010 Direktur Jenderal Tanaman Pangan IR. SUTARTO ALIMOESO, MM NIP
KATA PENGANTAR Dalam upaya peningkatan produksi pertanian tahun 2010, pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas sarana produksi, antara lain subsidi pupuk untuk sektor pertanian. Tujuan pemberian
Lebih terperinciBUPATI HULU SUNGAI TENGAH
BUPATI HULU SUNGAI TENGAH PERATURAN BUPATI HULU SUNGAI TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANGERANG,
PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 37 TAHUN 2014 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSUSI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG
PEMERINTAH KABUPATEN SAMPANG PERATURAN BUPATI SAMPANG NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SAMPANG
Lebih terperinciPROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG
SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG
1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KEBUTUHAN, PENYALURAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN PATI TAHUN ANGGARAN 2016
Lebih terperinciCUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG
CUPLIKAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 42/Permentan/OT.140/09/2008 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2009
Lebih terperinciPERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G
SALINAN PERATURAN BUPATI SRAGEN NOMOR : 8 TAHUN 2012 T E N T A N G ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN ANGGARAN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciBUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciKAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI
KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG
1 BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG KEBUTUHAN DAN PENYALURAN SERTA HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN ANGGARAN
Lebih terperinciBUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 138 TAHUN 2015 TENTANG ALOKASI KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI PADA SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN KABUPATEN TANGERANG
Lebih terperinciWALIKOTA TASIKMALAYA
WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 26 TAHUN 2009 TENTANG PENYALURAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang Mengingat
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN PROVINSI KEPULAUAN
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan. Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang penting dalam pembangunan Indonesia, yaitu sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Pembangunan pertanian masih mendapatkan
Lebih terperinciWALIKOTA BANJARMASIN
WALIKOTA BANJARMASIN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN WALIKOTA BANJARMASIN NOMOR r. TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DIKOTA BANJARMASIN TAHUN ANGGARAN 2015 «DENGAN
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR,
SALINAN PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN BELITUNG TIMUR TAHUN ANGGARAN 2014 DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciSALINAN NOMOR 5/E, 2010
SALINAN NOMOR 5/E, 2010 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG ALOKASI DAN HARGA ECERAN TERTINGGI (HET) PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2010 WALIKOTA MALANG, Menimbang
Lebih terperinci