I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Biodiversitas flora dan fauna mempunyai peran yang sangat penting bagi umat manusia, karena sumber kehidupan manusia secara esensial tergantung dari variabilitas kekayaan hayati yang berada dalam ekosistem alam (Primack et al., 1998). Penyebaran sumber biodiversitas dunia terkonsentrasi di daerah hutan hujan tropis yang meliputi 3 kawasan, yaitu : (1) Kawasan Amerika Serikat di Lembah Amazon Brazil; (2) kawasan hutan Afrika Barat terpusatkan di Lembah Sungai Gongo sampai Teluk Guyana; dan (3) kawasan Indo-Malaya yang terpusatkan di India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia (Wardhana, 2012). Biodiversitas tumbuhan di Indonesia mencapai 30.000-35.000 jenis dan menempati urutan kelima di dunia. Indonesia juga dikenal sebagai salah satu dari tujuh negara megabiodiversity setelah Brazilia. Jenis tumbuhan tertinggi mencapai 19.000-20.000 jenis yang tercatat di Pulau Papua, di Sumatera (14.000 jenis), Jawa (10.000 jenis), Sulawesi (9.000 jenis), Maluku (6.500 jenis), dan Nusa Tenggara (6.500 jenis) (Alamendah, 2011). Beberapa keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di Indonesia meliputi juga jenis tumbuhan bunga. Indonesia sering digolongkan ke dalam kawasan Malesia, yang dalam peta flora dunia yaitu kawasan yang meliputi wilayah beberapa negara diantaranya Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, Timor Leste dan Papua New Guinea. Dibandingkan kawasan lain di dunia, Malesia yang tidak terlalu luas justru diyakini sebagai salah satu pusat biodiversitas dunia, dari segi jumlah dan kekhasannya (Wardhana, 2012). Indonesia memiliki biodiversitas yang paling tinggi diantara negara yang masuk dalam kawasan Malesia dan banyak bunga yang bersifat endemik yang hanya dapat tumbuh di kawasan atau pulau-pulau tertentu seperti bunga bangkai (Amorphophallus titanium), edelweis Jawa (Anaphalis javanica), palem Jawa (Ceratolobus glaucescens), dan pakis haji (Cycas javana) (Alamendah, 2011). 1
Salah satu kekayaan flora Indonesia yang tidak tersaingi oleh flora negara lain adalah anggrek. Di kawasan Malesia, Papua dan Papua New Guinea memiliki kekayaan anggrek terbesar yakni sekitar 2.717 spesies yang terdiri dari 72 genus, sedangkan di Kalimantan terdapat 1.400 spesies, diikuti Sumatera dengan 1.126 spesies, Jawa 769 spesies, Sulawesi 500 spesies, Maluku 369 spesies dan Nusa Tenggara sekitar 200 spesies (Clintonboni, 2012) Dari sekian banyak spesies anggrek, terdapat beberapa anggrek yang dominan disukai oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri adalah jenis Dendrobium (34%), diikuti oleh Oncidium Golden Shower (26%), Cattleya (20%) dan Vanda (17%) serta anggrek lainnya seperti anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) (3%) (Martin dan Badassery, 2006). Spesies anggrek Indonesia bersifat khas dan hanya dijumpai di pulau-pulau tertentu, misalnya anggrek hitam yang hanya dapat dijumpai di Kalimantan. Ciri khas dari anggrek hitam adalah mengeluarkan bau harum yang lembut dan waktu mekar bunga sekitar 5-6 hari (Sastrapradja et al., 1976). Bunga anggrek hitam mekar pada bulan Maret sampai Juni. Anggrek hitam tumbuh menumpang pada tumbuhan lain (epifit) atau menempel pada pohon tua yang hidup di daerah pantai atau rawa (Parnata, 2005). Populasi anggrek hitam menurun bahkan terancam punah akibat pengambilan yang berlebihan. Faktor lain penyebab menurunnya keberadaan anggrek hitam adalah faktor eksternal berupa habitat tumbuh yang rusak akibat penebangan dan konversi lahan dan faktor internal seperti periode berbunganya sangat pendek (cepat layu) dan bunga relatif sulit untuk disilangkan (Untari, 2006). Kostenyuk (1999) menyatakan bahwa pemuliaan tanaman anggrek melalui persilangan membutuhkan waktu yang relatif lama karena anggrek yang tergolong dalam famili Orchidaceae biasanya memiliki periode juvenile mencapai 13 tahun. Kamemoto et al., (1999) dan Fadelah (2006) menyatakan bahwa anggrek Cymbidium sp. memerlukan waktu 4-7 tahun dan Dendrobium sp. memerlukan waktu 2 3 tahun. Sim et al., (2007) melaporkan bahwa periode juvenil tanaman anggrek yang cukup lama menjadi permasalahan bagi pemulia tanaman karena 2
para pemulia tanaman harus menunggu beberapa tahun untuk menumbuhkan ribuan bibit sebelum mengevaluasi kualitas bunga. Masalah tersebut dapat diatasi dengan teknik perbanyakan anggrek melalui kultur in vitro. Upaya penyelamatan dan perbanyakan anggrek hitam dengan teknik kultur in vitro dipilih karena memiliki beberapa keunggulan yaitu perbanyakan eksplan secara cepat, kondisi aseptik yang bebas patogen, seleksi tanaman, stok tanaman mikro yang dapat diperbanyak sewaktu-waktu, lingkungan terkendali, pelestarian plasma nutfah, produksi tanaman sepanjang tahun, dan memperbanyak tanaman yang sulit diperbanyak secara vegetatif konvensional (Zulkarnain, 2011). Usaha meningkatkan produksi anggrek hitam dengan teknik kultur in vitro secara kualitatif dan kuantitatif dapat dilakukan dengan memodifikasi media melalui penambahan senyawa organik komplek sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan (Untari, 2006) Beberapa formulasi media yang sudah umum digunakan dalam teknik kultur in vitro anggrek antara lain media Vacin dan Went (VW), Murashige dan Skooge (MS), White, Gamborg (B5), Gautheret, Schenk dan Hilderbrandt (SH), Nitch & Nitch, Lloyd & McCown (WPM), Knudson C (KdC), Western 3 (W3), Media Alternatif: Hyponex/Gandasil D atau Vitabloom D, serta media organik yang menggunakan bahan-bahan alami seperti air kelapa, bubur pisang, kentang, dan ubi jalar (Wattimena, 1988) Menurut Sagawa dan Shogi (1977), media Knudson C dapat memberikan pengaruh yang baik untuk pertumbuhan anggrek Dendrobium sp. Penambahan senyawa organik memiliki peran penting, karena pada setiap bahan alami banyak terkandung unsur hara, vitamin, asam amino, asam nukleat, fosfor dan zat tumbuh seperti auksin dan giberelin yang berfungsi sebagai perangsang perkecambahan dan pertumbuhan (Widiastoety, 2001). Media Western 3 (W3) merupakan media yang sudah banyak digunakan untuk perkecambahan benih anggrek. Penggunaan media W3 telah dilakukan pada berbagai jenis anggrek seperti Dendrobium sp., Vanda sp., Cattleya sp., Phalaenopsis sp., dan Coelogyne sp., dan didapatkan hasil terbaik pada anggrek 3
Zygopetalum sp. dan Lycaste sp. Media Western 3 (W3) perlu penambahan bubur pisang seberat 60 g/l dan apabila benih yang ditanam merupakan benih yang sulit berkecambah seperti pada anggrek Paphiopedilum sp. maka perlu ditambahkan 20 ml/l air kelapa dan 40 g/l bubur pisang. Media Western 3 (W3) yang ditambah air kepala 20 ml/l dan 30 ml/l jus nanas pada ph 5,5 5,8 didapatkan hasil terbaik dan efektif dalam menghasilkan plantlet anggrek Paphiopedilum sp. dan Phragmipedilum sp. (Western, 1985). Menurut Tulecke et al., (1961) air kelapa mengandung beberapa unsur hara diantaranya vitamin, asam amino, asam nukleat dan zat tumbuh seperti auksin dan sitokinin yang berfungsi sebagai penstimulasi proliferasi jaringan, memperlancar metabolisme dan respirasi. Gunawan (1987) menyatakan bahwa ekstrak kentang dapat digunakan dalam kultur anthera padi dengan konsentrasi 10-30% (v/v) dan hasil terbaik dicapai pada konsentrasi 20%. Menurut Herdaryono (1994) bubur pisang yang biasa digunakan dalam media kultur in vitro adalah sebanyak 150-200 g/l. Hasil penelitian Arditti dan Ernts (1993) menyatakan bahwa buah pisang mengandung hormon tumbuh seperti auksin dan sitokinin. Pada penelitian lain ubi jalar merupakan sumber karbohidrat, protein, vitamin A, vitamin C dan unsur-unsur lainnya. Penggunaan zat pengatur tumbuh NAA (naphthalene acetid acid) yang merupakan salah satu jenis auksin sintetis digunakan untuk meningkatkan ratio pertumbuhan akar tanaman dalam teknik in vitro. BAP (benzylaminopurin) yang merupakan salah satu jenis sitokinin sintetis berfungsi sebagai perangsang pertumbuhan tunas, berpengaruh terhadap metabolisme sel, pembelahan sel, merangsang sel, mendorong pembentukan buah dan biji, mengurangi dormansi apikal, serta mendorong inisiasi tunas lateral (Wattimena, 1992) 4
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan hal di atas, maka yang menjadi suatu permasalahan adalah : 1. Bagaimana perbedaan respon pertumbuhan benih anggrek hitam yang ditanam pada media Western 3 (W3), Knudson C (KdC) dan media organik? 2. Apakah media Western 3 (W3), Knudson C (KdC) dan media organik mampu memperbanyak tunas anggrek hitam secara in vitro? 1.3 Tujuan Tujuan penelitian : 1. Untuk mengetahui respon pertumbuhan benih anggrek hitam yang ditanam dalam media Western 3 (W3), Knudson C (KdC) dan media organik. 2. Untuk mengetahui kemampuan media Western 3 (W3), Knudson C (KdC) dan media organik dalam menumbuhkan tunas anggrek hitam. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah mengetahui media yang efektif untuk menghasilkan tunas anggrek hitam, juga diharapkan dapat memanfaatkan bahan-bahan organik yang berasal dari alam dan dapat menekan pengeluaran untuk membeli media instan. 5