HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus

dokumen-dokumen yang mirip
BAHAN DAN METODE. Gambar 9 Kubah penangkaran IPB.

BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Persiapan tanaman uji, tanaman G. pictum (kiri) dan tanaman A. gangetica (kanan)

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

BIOLOGI Troides helena helena DAN Troides helena hephaestus (PAPILIONIDAE) DI PENANGKARAN ST. NURJANNAH

I. PENDAHULUAN. Kupu-kupu raja helena (Troides helena L.) merupakan kupu-kupu yang berukuran

MATERI DAN METODE. Materi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter yang Diamati:

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kupu-kupu Langka T. helena dan Penyebarannya. T. helena sering disebut Common Birdwing dan di Indonesia dikenal dengan kupu

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Hewan Percobaan Bahan dan Peralatan

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

HASIL. Tabel 2 Jumlah imago lebah pekerja A. cerana yang keluar dari sel pupa. No. Hari ke- Koloni I Koloni II. (= kohort) Warna Σ mati Warna Σ Mati

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biocontrol, Divisi Research and

PENDAHULUAN Latar belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Perilaku Kawin

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV. Selama proses habituasi dan domestikasi Attacus atlas (F1-F2) dengan pemberian dua

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian Perbanyakan B. tabaci dan M. persicae

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

METODE PENELITIAN. Penelitian evaluasi ketahanan beberapa aksesi bunga matahari (Halianthus

TINJAUAN PUSTAKA Apis cerana Sebagai Serangga Sosial

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)

PEMELIHARAAN DAN PENGEMBANGBIAKAN KUPU- KUPU Papilio memnon SEBAGAI UPAYA PERSIAPAN TAMAN KUPU-KUPU DI PLAZA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Uji Parasitasi Tetrastichus brontispae terhadap Pupa Brontispae Di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. (BALITTAS) Karangploso Malang pada bulan Maret sampai Mei 2014.

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Pengadaan dan Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti Pemeliharaan Nyamuk Aedes aegypti

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Penyediaan Koloni Lalat Puru C. connexa untuk Penelitian Lapangan

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat. Metode Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) biologi hama ini adalah : Setelah telur diletakkan di dalam bekas gerekan, lalu ditutupi dengan suatu zat

BAHAN DAN METODE. = pengamatan minggu kedua = Pengamatan minggu berikutnya

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik dan Klasifikasi Kupu-Kupu Klasifikasi kupu-kupu menurut Scobel (1995) adalah sebagai berikut :

PEMBAHASAN. Tabel 11 Hubungan jenis murbei dengan persentase filamen Jenis Murbei

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan


BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

BAB III MATERI DAN METODE. berbeda terhadap tingkah laku burung puyuh petelur, dilaksanakan pada bulan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2015 Juni 2015 di Laboratorium

MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Materi Ulat Sutera Bahan-Bahan Alat

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

I. PENDAHULUAN. mudah dikenali oleh setiap orang. Seperti serangga lainnya, kupu-kupu juga mengalami

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Teknik Pemijahan ikan lele sangkuriang dilakukan yaitu dengan memelihara induk

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tetratichus brontispae, PARASITOID HAMA Brontispa longissima

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODA. Ketinggian kebun Bah Birung Ulu berkisar m dpl pada bulan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Drosophila melanogaster. Tabel 1. Klasifikasi Drosophila

BAB III METODE PENELITIAN. 1. Tempat : Penelitian ini dilaksanakan di Green House Kebun. Biologi FMIPA UNY.

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i UCAPAN TERIMAKASIH... ii ABSTRAK... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

BAB III METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

BAB III METODE PENELITIAN. Laboratorium Entomologi Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat (BALITTAS) Karangploso,

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Jurusan Proteksi Tanaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

Pengorok Daun Manggis

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HAMA KUMBANG BIBIT Plesispa reichei PADA TANAMAN KELAPA. Amini Kanthi Rahayu, SP. POPT Ahli Pertama

BAB III METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Metode Penelitian Pemeliharaan Tanaman Uji Pemeliharaan Serangga Uji Pengamatan Perkembangan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan selama 1 bulan, pada Agustus 2012 hingga September

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

Transkripsi:

HASIL A. Teknik Penangkaran T. h. helena dan T. h. hephaestus Langkah awal yang harus dilakukan pada penangkaran kupu-kupu adalah penyiapan sarana pemeliharaan dari stadia telur sampai imago. Bahan, alat dan sarana penunjang lainnya seperti alat pengukur suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya juga terlebih dahulu dipersiapkan. Setelah semua bahan, alat, dan sarana penunjang tersedia, dilakukan pengukuran kondisi fisik lingkungan yang sesuai untuk kelangsungan hidup kupu-kupu. Penyiapan pakan larva dan sumber nektar imago segera dilakukan secara berkesinambungan setelah semua sarana tersedia. Pembibitan pakan larva berupa A. tagala dapat dilakukan dengan stek tangkai atau biji. Penyiapan sumber nektar bagi imago bisa dilakukan dengan menanam berbagai tanaman berbunga di dalam kubah penangkaran. Sumber nektar bagi imago yang sering dikunjungi diperbanyak, sedangkan bunga yang tidak pernah dikunjungi dikeluarkan dari kubah penangkaran. Bagian tepi dalam kubah penangkaran ditanam bambu jepang dan sanseviera yang berfungsi sebagai tanaman pelindung bagi imago, pupa, dan bibit pakan larva. Setelah pakan larva dan sumber nektar imago tersedia, selanjutnya dilakukan pemilihan pupa sebagai bibit untuk penangkaran. Pupa dipilih yang ukurannya besar, tidak cacat, dan umurnya sama. Pemilihan pupa sebagai bibit lebih menguntungkan karena dapat dilihat seks rasionya. Perbedaan pupa jantan dan betina dapat dilihat pada bagian abdomen (Gambar 23). Pupa ditempatkan di kandang pupa dengan menancapkan substrat tempat melekatnya pada styrofoam sampai imago keluar dari pupa. Pasangan imago dipilih yang berukuran besar dan sehat untuk dijadikan pasangan kawin di kubah penangkaran. Satu sampai dua hari setelah kawin, imago betina akan meletakkan telur pada pakan larva atau substrat lain yang dekat dengan pakan larva. Telur yang telah diletakkan oleh betina segera ditempatkan dalam cawan petri agar terhindar dari parasitoid dan predator. Telur diambil dengan menggunting daun tempat melekatnya telur agar telur tidak rusak. Telur yang diletakkan oleh betina pada tiang dan dinding kubah penangkaran, serta tali

perambat A. tagala, diambil dengan menggunakan kuas secara hati-hati. Telur yang telah menetas menjadi larva instar ke 1 dipindahkan ke cawan petri yang berisi pakan larva sampai larva mencapai fase instar ke 3. Larva fase instar ke 4 sampai 5 ditempatkan di toples gelas berisi pakan sampai larva menjadi pupa. Larva dipindahkan dengan menggunakan kuas atau membiarkan berpindah ke daun baru yang masih segar. Larva menjelang prepupa diberi sarana untuk memanjat dan menggantung dan ditempatkan pada toples gelas yang tidak berisi pakan, sampai prepupa menjadi pupa. Pupa berumur sehari dipindahkan ke kandang pupa sampai imago keluar dari pupa. Pupa dengan kremaster dan serat suteranya yang terlepas dari substrat, direkatkan menggunakan lem fox pada bagian ventral. Imago yang keluar dari pupa dan telah membentangkan sayapnya dilepas ke kubah penangkaran. Gambar 23 Perbedaan morfologi pupa T. h. hephaestus: betina (kiri) dan jantan (kanan). Kondisi lingkungan fisik laboratorium dengan kisaran 20-38 ºC, kelembaban 50-75%, intensitas cahaya 500-1 000 lux sesuai untuk perkembangan telur-pupa. Kubah penangkaran dengan kisaran suhu 20-40 ºC, kelembaban 45-75%, dengan intensitas cahaya 2 000-7 500 lux sesuai untuk perkembangan imago. B. Kondisi Lingkungan Fisik Laboratorium dan Kubah Penangkaran Suhu minimum rata-rata pada pukul 07.00 di laboratorium dengan kisaran 22 ºC sampai 27 ºC. Suhu terendah terjadi pada bulan Oktober. Suhu maksimum

pagi hari pada kisaran 28 ºC (April) dan 35 ºC pada bulan Oktober. Pukul 12.00 suhu minimum rata-rata berkisar 25 ºC sampai 29 ºC, suhu maksimum 28 ºC sampai 38 ºC. Pada pukul 17.00, suhu minimum pada kisaran 21 ºC sampai 27 ºC, suhu minimum berada pada bulan Oktober. Suhu maksimum rata-rata berkisar 28 ºC pada bulan Februari, April, dan Mei, dan mencapai 37 ºC pada bulan Oktober (Gambar 24 dan Lampiran 3). Kelembaban di laboratorium pada pukul 07.00 berkisar 60.50% sampai 75%. Kelembaban terendah terjadi pada bulan Juli, sedangkan tertinggi pada bulan April. Pada pukul 12.00, kelembaban pada kisaran 51% sampai 66.80%. Kelembaban terendah pada bulan Juli, sedangkan kelembaban tertinggi pada bulan September. Pada pukul 17.00, kelembaban pada kisaran 60.33% sampai 70%. Kelembaban terendah terjadi pada bulan Juli, sedangkan tertinggi pada bulan Maret (Gambar 25 dan Lampiran 3). Hasil penelitian pendahuluan di laboratorium dari bulan Juni sampai Desember 2008, didapatkan data intensitas cahaya sebesar 500 lux. Intensitas cahaya di laboratorium berdasarkan data intensitas cahaya hasil pengukuran pendahuluan. Suhu minimum rata-rata pukul 07.00 di kubah penangkaran pada kisaran 21 ºC sampai 27 ºC. Suhu minimum terendah terjadi pada bulan Agustus dan suhu minimum tertinggi pada bulan Februari. Suhu maksimum rata-rata pagi hari pada kisaran 28 ºC, yaitu pada bulan Juni dan mencapai 37 ºC pada bulan Agustus. Pada pukul 12.00, suhu minimum rata-rata adalah 21 ºC di bulan Agustus dan 29 ºC pada bulan Februari. Suhu maksimum rata-rata 32 ºC sampai 43 ºC. Pada pukul 17.00, suhu minimum rata-rata pada kisaran 21 ºC sampai 27 ºC. Suhu minimum terendah pada bulan Agustus dan Oktober, sedangkan suhu minimum tertinggi terjadi pada bulan Maret. Suhu maksimum rata-rata berkisar antara 28 ºC pada bulan Februari sampai 37 ºC pada bulan Oktober (Gambar 24 dan Lampiran 4). Kelembaban udara di kubah penangkaran pada pukul 07.00 berkisar antara 59.50-75%. Kelembaban terendah terjadi pada bulan Mei, sedangkan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan April. Pada pukul 12.00, kelembaban pada kisaran 47-66%. Kelembaban terendah pada bulan September, sedangkan kelembaban

tertinggi pada bulan Maret. Pada pukul 17.00, kelembaban pada kisaran 59-70%. Kelembaban terendah pada waktu tersebut pada bulan Mei, sedangkan kelembaban tertinggi pada bulan Maret (Gambar 25 dan Lampiran 4). Suhu (ºC) 40.00 Suhu Minimum Kubah 35.00 Suhu Maksimum 30.00 Kubah 25.00 20.00 15.00 Suhu Minimum Laboratorium Suhu Maksimum Laboratorium Bulan Gambar 24 Rataan suhu minimum dan suhu maksimum harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB. Kelembaban (%) 70.00 68.00 66.00 64.00 62.00 60.00 58.00 56.00 rh Laboratorium rh Kubah Bulan Gambar 25 Rataan kelembaban harian di laboratorium dan kubah penangkaran IPB. Intensitas cahaya maksimum di kubah penangkaran pada pukul 07.00 berkisar antara 1 273-3 398 lux. Pada pukul 12.00, intensitas cahaya pada kisaran 3 220-8 228 lux, sedangkan sore hari pukul 17.00, intensitas cahaya berada di kisaran 543-754 lux (Lampiran 4).

Suhu udara, kelembaban udara, dan intensitas cahaya di kubah penangkaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti musim, kebersihan atap kubah penangkaran, dan tanaman pelindung baik yang berada di dalam kubah penangkaran maupun yang berada di luar kubah penangkaran. C. Lama Waktu Setiap Stadia T. h. helena dan T. h. hephaestus Hasil pengamatan lama waktu yang dibutuhkan oleh T. h. helena hasil penangkaran pada setiap stadia sangat bervariasi. Pupa berasal dari alam kemudian dikembangkan di penangkaran. Waktu terlama adalah stadia pupa yang memiliki rataan waktu 18 ± 0.70 hari. Waktu paling singkat adalah pada stadia prepupa yang hanya membutuhkan waktu 1 ± 0.00 hari. Prepupa adalah masa larva berhenti makan dan menggantung pada substrat dengan menggunakan sutera dan kremaster sebelum menjadi pupa. Total waktu yang dibutuhkan untuk semua stadia di penangkaran adalah 70 ± 18.55 hari (Tabel 1). Hasil pengamatan terhadap lama waktu yang dibutuhkan oleh T. h. hephaestus hasil penangkaran pada setiap stadia bervariasi. Waktu terlama adalah pada stadia imago betina yang membutuhkan waktu rata-rata 20 ± 5.42 hari. Waktu tersingkat adalah pada stadia prepupa yang hanya membutuhkan waktu 1 ± 0.00 hari. Total waktu yang dibutuhkan dari telur-imago betina T. h. hephaestus hasil penangkaran adalah 64 ± 10.98 hari (Tabel 1). Tabel 1 Rataan lama waktu setiap stadia T. h. helena & T. h. hephaestus Stadia/Fase Lama waktu (hari) T. h. helena T. h. hephaestus Telur (n=30) 6 ± 0.74 6 ± 0.79 Larva Instar 1 (n = 10) 3 ± 1.43 2 ± 0.52 Larva Instar 2 (n = 10) 3 ± 0.84 3 ± 0.42 Larva Instar 3 (n = 10) 5 ± 2.01 4 ± 1.17 Larva Instar 4 (n = 10) 6 ± 1.34 4 ± 0.52 Larva Instar 5 (n = 10) 10 ± 2.95 6 ± 0.94 Prepupa (n = 10) 1 ± 0.00 1 ± 0.00 Pupa (n = 10) 18 ± 0.70 18 ± 1.20 Imago betina (n = 3) 18 ± 8.54 20 ± 5.42 Total lama stadia (Telur-Imago betina) 70 ± 18.55 64 ± 10.98

Waktu yang dibutuhkan dari stadia telur sampai imago betina mati pada T. h. helena lebih lama 6 hari, dibandingkan T. h. hephaestus. Lama stadia prepupa T. h. helena dan T. h. hephaestus relatif sama, yaitu 1 ± 0.00 hari. D. Kelangsungan Hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus Rataan (n = 3) proporsi jumlah individu yang hidup tiap stadia (kelas umur) pada T. h. helena, menunjukkan kelangsungan hidup terendah terjadi pada stadia telur. Jumlah telur adalah 36 dan yang menetas menjadi larva instar ke 1 hanya 16 larva. Hal ini berarti persentase penetasan telur hanya 0.44 atau 44%. Penurunan angka kelangsungan hidup terus terjadi pada stadia berikutnya sampai pada stadia terakhir, yaitu stadia imago. Kelangsungan hidup imago betina adalah 0.08 atau 8% dari total angka stadia awal, yaitu dihasilkan 3 imago betina dari 36 telur (Tabel 2). Tabel 2 Life table T. h. helena hasil penangkaran di IPB X (n = 3) ax lx dx qx Lx Tx ex Px Telur 36 1 20 0.56 0.72 2.25 2.25 0.48 Larva Instar 1 16 0.44 7 0.44 0.35 1.53 3.44 0.68 Larva Instar 2 9 0.25 1 0.11 0.24 1.18 4.72 0.94 Larva instar 3 8 0.22 0 0 0.22 0.94 4.23 0.94 Larva Instar 4 8 0.22 1 0.13 0.21 0.72 3.24 0.93 Larva Instar 5 7 0.19 0 0 0.19 0.51 2.62 0.86 Prepupa 7 0.19 2 0.29 0.17 0.32 1.65 0.67 Pupa 5 0.14 2 0.4 0.11 0.15 1.1 0.38 Imago betina 3 0.08 3 1 0.04 0.04 0.48 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Keterangan: x = kelas umur; ax = jumlah individu yang hidup pada setiap kelas umur x; lx = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x setelah distandarkan; dx = jumlah individu yang mati pada kelas umur x; qx = proporsi individu yang mati pada kelas umur x; Lx = jumlah rata-rata individu pada kelas umur x dan kelas umur berikutnya; Tx = jumlah individu yang hidup pada kelas umur x sampai kelas umur terakhir; ex = harapan hidup individu pada setiap kelas umur; px = proporsi individu yang hidup pada kelas umur x dan mencapai kelas umur berikutnya x+1. Rataan (n = 3) proporsi jumlah individu yang hidup tiap stadia (kelas umur) pada T. h. hephaestus menunjukkan kelangsungan hidup yang berbeda dengan T. h. helena. Jumlah telur yang dihasilkan adalah 50 dan yang menetas menjadi larva instar ke 1 hanya 40 larva, berarti persentase penetasan mencapai 0.80 atau 80%. Penurunan angka kelangsungan hidup terjadi pada setiap stadia,

tetapi angka penurunan tidak terlalu drastis sampai pada stadia terakhir, yaitu imago. Kelangsungan hidup imago betina hanya 0.12 atau 12% dari total stadia awal. Jumlah imago betina yang dihasilkan dari 50 telur adalah 6 betina. (Tabel 3). Tabel 3 Life table T. h. hephaestus hasil penangkaran di IPB X(n = 3) ax lx dx qx Lx Tx ex Px Telur 50 1 10 0.2 0.9 4.04 4.04 0.78 Larva Instar 1 40 0.8 10 0.25 0.7 3.14 3.93 0.81 Larva Instar 2 30 0.6 3 0.1 0.57 2.44 4.07 0.89 Larva instar 3 27 0.54 3 0.11 0.51 1.87 3.46 0.86 Larva Instar 4 24 0.48 4 0.17 0.44 1.36 2.83 0.82 Larva Instar 5 20 0.4 4 0.2 0.36 0.92 2.3 0.83 Prepupa 16 0.32 2 0.13 0.3 0.56 1.75 0.67 Pupa 14 0.28 8 0.57 0.2 0.26 0.93 0.3 Imago betina 6 0.12 6 1 0.06 0.06 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Keterangan tabel sama dengan keterangan pada tabel 2. Kelangsungan hidup T. h. helena dipengaruhi oleh kematian yang terjadi pada tiap stadia. Kematian (mortalitas) tertinggi terjadi pada stadia telur, yaitu 56% dan kematian terendah pada larva instar ke 3 dan instar ke 5 sebesar 0%. Selanjutnya, dibuat kurva kelangsungan hidup. Kurva kelangsungan hidup yang dihasilkan termasuk tipe III (Hegazy 1992). Hal ini berarti angka kematian tertinggi terjadi pada stadia awal (pradewasa) dan kematian rendah terjadi pada stadia dewasa (Campbell et al. 2006) (Gambar 26). Kelangsungan hidup T. h. hephaestus juga dipengaruhi oleh kematian yang terjadi pada tiap stadia. Mortalitas tinggi terjadi pada stadia pupa, yaitu sebesar 0.57 atau 57%. Mortalitas terendah terjadi pada stadia larva instar ke 2, sebesar 0.10. Kurva kelangsungan hidup T. h. hephaestus termasuk tipe II (Gomes-Filho 2003), yang berarti angka kematian lebih konstan sepanjang masa hidupnya (Campbell et al. 2006). Mortalitas tiap stadia T. h. hephaestus dapat tergambar dari grafik kelangsungan hidup (Gambar 26).

lx (Probability of Surviving to Age X) 1.00 0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 T. h. helena T. h. hephaestus Kelas Umur Gambar 26 Grafik kurva kelangsungan hidup T. h. helena dan T. h. hephaestus di penangkaran. Persentase peluang hidup T. h. helena dari satu stadia ke stadia berikutnya dapat ditunjukkan dengan life table diagramatik. Peluang hidup tertinggi terjadi dari fase larva instar 3 ke larva instar 4, dari fase larva instar 5 ke prepupa, dan dari pupa ke imago yaitu 100 %. Peluang hidup terendah adalah dari stadia telur ke larva instar 1 yang hanya mencapai 0.44 atau 44% (Gambar 27). Persentase peluang hidup T. h. hephaestus dari satu stadia ke stadia berikutnya juga ditunjukkan dengan life table diagramatik. Peluang hidup tertinggi terjadi pada larva instar ke 2 ke instar 3, sebesar 0.90 atau 90%. Peluang hidup terendah terjadi pada stadia pupa ke stadia imago betina, yaitu 0.43 atau 43% (Gambar 28). Rendahnya persentase peluang hidup dari satu stadia ke stadia berikutnya, disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah parasitoid dan predator. Parasitoid yang menyerang stadia telur adalah serangga dari ordo Hymenoptera, family Scelionidae (Goulet & Huber 1993) (Gambar 29). Predator yang menyerang imago di kubah penangkaran adalah laba-laba, cicak, dan kadal. Imago yang diserang oleh laba-laba, diketahui dari sarang laba-laba yang melekat pada tubuh imago yang diserang (Lampiran 5). Imago yang diserang oleh cicak ditandai dengan hilangnya sebagian atau seluruh tubuh dan hanya tersisa sayapnya (Lampiran 6).

Imago Jantan + Imago Betina Telur 0.44 Larva Instar 1 0.56 Larva Instar 2 0.89 M/F = 2/3 2.5 x Larva Instar 3 1.00 Larva Instar 4 0.88 Larva Instar 5 1.00 Prepupa 0.71 Imago 1.00 Pupa Gambar 27 Diagram life table T. h. helena (n = 3).

Imago Jantan + Imago Betina Telur 0.80 Larva Instar 1 0.75 Larva Instar 2 0.90 M/F = 5/6 5.5 x Larva Instar 3 0.89 Larva Instar 4 0.83 Larva Instar 5 0.80 Prepupa 0.88 Imago 0.79 Pupa Gambar 28 Diagram life table T. h. hephaestus (n = 3).

Gambar 29 Parasitoid telur T. h. helena (Scelionidae: Hymenoptera) E. Morfologi Telur, Larva, Pupa, dan Imago Hasil pengukuran diameter dan bobot telur (Gambar 17), panjang dan lebar pupa (Gambar 19), dan panjang bentangan sayap imago T. h. helena hasil penangkaran di IPB dibandingkan dengan hasil penangkaran Cilember bervariasi. Morfologi telur dan pupa hasil penangkaran IPB dibandingkan dengan hasil penangkaran Cilember, menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 4). Berdasarkan hasil uji t dua sampel didapatkan nilai p-value < 0.1 (Lampiran 7-10). Morfologi telur dan morfologi pupa dari dua penangkaran tersebut berbeda nyata pada taraf uji α = 0.05. Morfologi larva dari penangkaran IPB tidak dibandingkan, karena larva T. h. helena dari penangkaran Cilember tidak tersedia. Morfologi imago T. h. helena hasil penangkaran IPB dengan penangkaran Cilember, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil pengujian uji t dua sampel antara panjang bentangan sayap imago jantan hasil penangkaran IPB dibandingkan dari penangkaran Cilember, didapatkan nilai P-value = 0.217

(Lampiran 11), sehingga tidak berbeda nyata pada taraf uji α = 0.05. Hasil pengujian uji t dua sampel antara panjang bentangan sayap imago betina hasil penangkaran IPB dibandingkan data dari Cilember, didapatkan nilai P-value = 0.139 (Lampiran 12), sehingga morfologi imago betina tidak berbeda nyata pada taraf uji α = 0.05. Tabel 4 Perbandingan morfologi T. h. helena hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Cilember Stadia / Fase Parameter Cilember IPB* Telur (n = 30) Diameter (mm) 2.31 ± 0.05 a 1.95 ± 0.06 b Telur (n = 30) Bobot (g) 0.0031±0.00034 a 0.0026±0.00036 b Larva instar 1 (n=10) Panjang (mm) n.a 5.63 ± 0.56 Larva instar 2 (n=10) Panjang (mm) n.a 8.71 ± 0.69 Larva instar 3 (n=10) Panjang (mm) n.a 15.37 ± 2.52 Larva instar 4 (n=10) Panjang (mm) n.a 26.96 ± 7.11 Larva instar 5 (n=10) Panjang (mm) n.a 38.31 ± 8.12 Larva instar 1 (n=10) Lebar (mm) n.a 1.47 ± 0.13 Larva instar 2 (n=10) Lebar (mm) n.a 2.41 ± 0.40 Larva instar 3 (n=10) Lebar (mm) n.a 4.49 ± 0.51 Larva instar 4 (n=10) Lebar (mm) n.a 6.74 ± 0.73 Larva instar 5 (n=10) Lebar (mm) n.a 9.41 ± 1.81 Pupa (n = 10) Panjang (cm) 4.20 ± 0.86 a 3.97 ± 0.19 b Pupa (n = 10) Lebar (cm) 2.47 ± 0.22 a 2.13 ± 0.13 b Imago jantan (n = 5) Panjang bentangan sayap 12.40 ± 1.16 a 11.62 ± 0.28 a Imago betina (n = 5) Panjang bentangan sayap 14.26 ± 1.03 a 13.38 ± 0.44 a n.a = not available. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf nyata 5% (uji t dua sampel). *Telur, larva, dan pupa di laboratorium, sedangkan imago di kubah penangkaran. Hasil pengukuran diameter dan bobot telur, panjang dan lebar pupa, serta panjang bentangan sayap imago T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB dengan T. h. hephaestus hasil penangkaran Bantimurung, menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5). Berdasarkan hasil uji t dua sampel, didapatkan nilai p-value < 0.001 (Lampiran 13-18), sehingga morfologi telur, pupa, dan imago hasil penangkaran IPB berbeda nyata dengan hasil penangkaran Bantimurung, pada taraf uji α = 0.05.

Tabel 5 Perbandingan morfologi T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB dan hasil penangkaran Bantimurung Stadia / Fase Parameter Bantimurung IPB* Telur (n=30) Diameter (mm) 2.45 ± 0.03 a 1.94 ± 0.05 b Telur (n=30) Bobot (g) 0.0034±0.00025 a 0.0038±0.00034 b Larva instar 1 (n=10) Panjang (mm) n.a 5.96 ± 0.94 Larva instar 2 (n=10) Panjang (mm) n.a 9.30 ± 0.63 Larva instar 3 (n=10) Panjang (mm) n.a 15.67 ± 0.77 Larva instar 4 (n=10) Panjang (mm) n.a 25.92 ± 1.07 Larva instar 5 (n=10) Panjang (mm) n.a 46.45 ± 3.18 Larva instar 1 (n=10) Lebar (mm) n.a 1.68 ± 0.14 Larva instar 2 (n=10) Lebar (mm) n.a 3.01 ± 0.37 Larva instar 3 (n=10) Lebar (mm) n.a 5.42 ± 0.53 Larva instar 4 (n=10) Lebar (mm) n.a 8.90 ± 0.69 Larva instar 5 (n=10) Lebar (mm) n.a 13.44 ± 0.97 Pupa (n=10) Panjang (cm) 4.66 ± 0.15 a 4.25 ± 0.2 b Pupa (n=10) Lebar (cm) 2.48 ± 0.17 a 2.19 ± 0.14 b Imago jantan (n=5) Panjang bentangan sayap 14.33 ± 0.22 a 13.74 ± 0.7 b Imago betina (n=5) Panjang bentangan sayap 15.16 ± 0.27 a 14.19 ± 0.88 b n.a = not available. Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada taraf nyata 5% (uji t dua sampel). *Telur, larva, dan pupa di laboratorium, sedangkan imago di kubah penangkaran. F. Fekunditas (Keperidian) Imago Betina Hasil pengamatan fekunditas dari tiga betina T. h. helena yang dibuahi (fertil), didapatkan jumlah telur yang dihasilkan per hari dengan kisaran 4-8 telur, dengan rataan 6.65 ± 2.21 telur. Jumlah telur yang dihasilkan per betina adalah berkisar 21-153 telur, dengan rataan 100.33 ± 69.92 telur. Masa peneluran betina antara 5-21 hari, dengan rataan 13.67 ± 8.08 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari ke-3 (Gambar 30). Persentase telur yang menetas antara 84.31-85.82%. dengan rataan 85.28% ± 0.84% (Tabel 6). Hasil pengamatan fekunditas dari tiga betina T. h. hephaestus fertil, didapatkan jumlah telur yang dihasilkan per hari dengan kisaran 3-8 telur dengan rataan 4.97 ± 2.76. Jumlah telur yang dihasilkan betinaberkisar 53-163 telur, dengan rataan 100.67 ± 56.45 telur. Masa peneluran betina antara 16-25 hari, dengan rataan 20.33 ± 4.51 hari. Puncak peneluran terjadi pada hari pertama (Gambar 30). Persentase telur yang menetas berkisar 67.92-88.96%, dengan ratarata 80.98% ± 11.40% (Tabel 7).

Tabel 6 Fekunditas T. h. helena hasil penangkaran IPB Betina Jumlah Telur Per Hari Total Telur Lama Peneluran (hari) Persentase Penetasan (%) 1 4.2±3.11 21 5 85.71 2 7.29±3.33 153 21 84.31 3 8.47±4.32 127 15 85.82 Rata-rata 6.65±2.21 100.33±69.92 13.67±8.08 85.28±0.84 Tabel 7 Fekunditas T. h. hephaestus hasil penangkaran IPB Jumlah Lama Total Betina Telur Peneluran Telur Per Hari (hari) Persentase Penetasan (%) 1 3.31 ± 3.88 53 16 67.92 2 3.44 ± 4.34 86 25 86.05 3 8.15 ± 5.04 163 20 88.96 Rata-rata 4.97 ± 2.76 100.67 ± 56.45 20.33 ± 4.51 80.98 ± 11.40 14 12 T.h.helena Jumlah telur 10 8 6 4 T.h.hephaestus 2 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425 Hari ke- Gambar 30 Jumlah telur yang dihasilkan betina T. h. helena dan T. h. hephaestus berdasarkan hari pengamatan. Kondisi lingkungan di kubah penangkaran saat betina bertelur adalah suhu minimum 29.33 ± 1.53 ºC, suhu maksimum 33.67 ± 2.08 ºC, kelembaban udara 56.33 ± 8.39 %, dan intensitas cahaya maksimum berkisar 1 600-9 250 lux.

G. Konsumsi Pakan Larva Larva instar ke 1 T. h. helena mengkonsumsi pakan 0.05 g per individu, instar ke 2 mengkonsumsi 0.07 g per individu, dan larva instar ke 3 mengkonsumsi 0.20 g per individu. Larva kecil (instar ke 1-3) mengkonsumsi pakan sebanyak 0.32 g per individu, atau sebanyak 12.8% dari total konsumsi larva. Fase instar ke 4 mengkonsumsi 0.52 g, sedangkan fase instar ke 5 mengkonsumsi pakan 1.66 g per individu. Larva besar (instar ke 4-5) mengkonsumsi pakan sebanyak 2.18 g per larva, atau sebanyak 87.2 % dari total konsumsi larva. Total pakan yang dikonsumsi oleh T. h. helena selama stadia larva adalah 2.50 ± 0.72 g bobot kering per larva (Tabel 8). Tabel 8 Konsumsi pakan larva T. h. helena pada tiap fase (n=10) Fase Instar Bobot kering (gram) Persentase (%)* Larva kecil Instar ke 1 0.05 ± 0.03 2.00 Instar ke 2 0.07 ± 0.02 2.80 Instar ke 3 0.20 ± 0.15 8.00 Jumlah 0.32 ± 0.11 12.80 Larva besar Instar ke 4 0.52 ± 0.28 20.80 Instar ke 5 1.66 ± 0.60 66.40 Jumlah 2.18 ± 0.74 87.20 Total konsumsi 2.50 ± 0.72 100.00 *) terhadap total konsumsi pakan selama instar ke 1-5. Larva T. h. hephaestus fase instar ke 1 mengkonsumsi pakan 0.03 g per larva, instar ke 2 mengkonsumsi 0.09 g per larva, dan fase instar ke 3 mengkonsumsi sebanyak 0.13 g per ekor. Larva kecil (instar 1-3) mengkonsumsi pakan sebanyak 0.25 g per larva, atau sebanyak 15.43% dari total konsumsi larva. Fase instar ke 4 mengkonsumsi 0.52 g, sedangkan fase instar ke 5 menghabiskan pakan 0.85 g per larva. Larva besar (instar ke 4-5) mengkonsumsi pakan 1.37 g per larva, atau sebanyak 84.57% dari total konsumsi larva. Jumlah total pakan yang dikonsumsi oleh T. h. hephaestus selama stadia larva adalah 1.62 ± 0.65 g bobot kering per ekor larva (Tabel 9). Daun A. tagala berukuran 1 x 1 cm memiliki bobot kering rata-rata 0.01323 gram atau 0.01 gram. Rata-rata ukuran daun A. tagala yang berusia 3 bulan sekitar 25 x 25 cm. Hal ini berarti satu lembar daun A. tagala memiliki

bobot kering rata-rata 0.25 gram. Selama stadia larva, T. h. helena mengkonsumsi daun sebanyak 2.50 ± 0.72 gram, dengan kata lain larva T. h. helena membutuhkan daun sekitar 10 lembar. Tabel 9 Konsumsi pakan larva T. h. hephaestus pada tiap fase (n=10) Larva Instar Bobot kering (gram) Persentase (%)* Larva kecil Instar ke 1 0.03 ± 0.02 1.85 Instar ke 2 0.09 ± 0.03 5.56 Instar ke 3 0.13 ± 0.09 8.02 Jumlah 0.25 ± 0.07 15.43 Larva besar Instar ke 4 0.52 ± 0.30 32.10 Instar ke 5 0.85 ± 0.66 52.47 Jumlah 1.37 ± 0.52 84.57 Total konsumsi 1.62 ± 0.65 100.00 *) terhadap total konsumsi pakan selama instar ke 1-5. Selama stadia larva, T. h. hephaestus mengkonsumsi daun A. tagala sebanyak 1.62 ± 0.65 gram bobot kering. Hal tersebut berarti jumlah daun yang dibutuhkan oleh T. h. hephaestus selama stadia larva sekitar 6.48 lembar. Jumlah daun yang dikonsumsi oleh T. h. hephaestus selama stadia larva lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah daun yang dikonsumsi oleh T. h. helena. Hasil analisis proksimat daun A. tagala (Lampiran 19) menunjukkan bahwa, A. tagala mengandung cukup nutrisi untuk perkembangan larva T. helena. Kandungan air pada A. tagala sebesar 83.25%, abu 9.79%, lemak 14.57%, protein sebesar 20.72%, serat 11.1%, dan kandungan BETN (Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen) sebesar 43.82% (Tabel 10). Tabel 10 Hasil analisis proksimat daun pakan A. tagala* Kandungan bahan organik Bobot segar (%) Bobot kering (%) Air 83.25 - Abu 1.64 9.79 Lemak 2.44 14.57 Protein 3.47 20.72 Serat kasar 1.86 11.1 BETN** 7.34 43.82 *Analisis dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) LPPM IPB. ** Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen.

H. Perilaku T. h. helena dan T. h. hephaestus Selama di Penangkaran Larva T. h. helena dan T. h. hephaestus memiliki seta atau duri daging (scoli). Larva instar ke 1 berwarna coklat muda, seta (ke 1,2,6,9,10, dan 11) berwarna jingga muda. Larva instar ke 2 berwarna coklat tua, scoli berwarna jinga. Instar ke 3 warna menjadi coklat kehitaman dan scoli ke 6 berwarna merah muda. Larva instar ke 4 larva berwarna hitam dan scoli ke 6 berwarna krem. Saat berada pada fase instar ke 5, larva berwarna coklat dan scoli berwarna krem dengan ujung berwarna jingga muda. Stadia larva sangat aktif dan makan sepanjang hari. Menjelang moulting, larva akan diam dan berhenti makan. Apabila terganggu, larva akan mengeluarkan osmeteriumnya yang berjumlah sepasang untuk menakuti predator, seringkali dari osmeterium dikeluarkan cairan berwarna jingga. Osmeterium terletak pada bagian belakang kapsul kepala larva. Larva menjelang prepupa ditandai dengan adanya cairan yang dikeluarkan dari bagian anal. Selanjutnya, larva akan menggantung pada substrat dengan membuat serat sutera dan menempel dengan kremaster pada ujung abdomen. Masa ini disebut dengan stadia prepupa. Prepupa akan berlangsung selama satu sampai dua hari, selanjutnya exuviae prepupa akan terlepas dan individu akan keluar menjadi pupa (pupasi). Setelah pupasi, kulit pupa masih lunak dan basah. Beberapa saat kemudian pupa mengering dan berbentuk permanen. Stadia pupa sering disebut fase non aktif karena tidak makan, tidak berpindah tempat, dan tidak bergerak, kecuali apabila ada gangguan. Pupa yang mengalami gangguan akan melakukan gerakan mengejang dan mengeluarkan bunyi desis. Pengamatan perilaku imago T. h. helena dan T. h. hephaestus selama di penangkaran imago keluar dari pupa (eklosi) umumnya di pagi hari (pukul 07.00-12.00). Imago keluar dari pupa melalui selubung pupa (Gambar 31). Urutan bagian tubuh yang keluar saat eklosi adalah kepala, antena, tungkai pertama, tungkai kedua, proboscis, tungkai ketiga, sayap, kemudian abdomen. Saat eklosi proboscis masih lurus dan sayap masih terlipat. Imago yang telah keluar dari pupa akan mengeringkan sayap antara 30 menit sampai 3 jam, dengan cara membuka dan menutup sayap secara perlahan. Setelah sayap imago kering, imago mengepakkan sayap untuk melatih kekuatan

otot, selanjutnya imago terbang mencari sumber nektar dan siap melakukan kopulasi. Imago T. h. helena dan T. h. hephaestus menghisap nektar berbagai tanaman berbunga dengan cara menjulurkan proboscisnya. Umumnya, imago mengunjungi bunga berwarna cerah, seperti merah dan ungu yang memiliki banyak nektar. Sumber nektar yang dihisap antara lain tanaman pagoda (Clerodendrum sp.), soka (Ixora paludosa), pacar air (Impatients balsamina), lantana (Lantana camara), lolipop merah (Justicia carnea), jengger ayam (Amaranthaceae), teratai (Nymphaea sp.), batavia (Jathropa integerrima), beauty (Cuphea hissofolia), merak (Caesalpinia pulcherrima), cucur bebek (Kalanchoe pinnuta), dan sirih pagar (Lampiran 20). Sebelum imago melakukan kopulasi (mating), biasanya dimulai dengan percumbuan (courtship). Percumbuan dilakukan oleh jantan dengan cara terbang mengelilingi betina dengan mengepakkan sayapnya. Setelah terjadi percumbuan, jantan dan betina melakukan mating dengan posisi bervariasi. Posisi imago saat mating terkadang betina berada diatas jantan atau saling berhadapan (Gambar 32). Kondisi lingkungan fisik saat pasangan imago kawin (n = 3) suhu minimum 20 ºC dan suhu maksimum 36.67 ºC dengan kelembaban sebesar 64.67%, dan intensitas cahaya sekitar 3 566.67 lux. Setelah melakukan mating, jantan dan betina biasanya aktif menghisap nektar yang diselingi hinggap pada daun A. tagala. Dua hari setelah mating, umumnya betina akan meletakkan telur (oviposisi) pada tanaman A. tagala dengan cara membengkokkan abdomennya. Telur umumnya diletakkan pada bagian bawah daun A. tagala secara terpisah pada tangkai dan batang, atau benda lain yang dekat dengan pakan larva. Pola peletakan telur adalah diletakkan sendiri-sendiri atau mengelompok (Gambar 33). Suhu minimum rata-rata saat imago betina bertelur (n = 3) adalah 29.33 ºC, dan suhu maksimum rata-rata adalah 33.67 ºC.

a b Gambar 31 Pupa saat imago keluar: sebelum eklosi (a) dan sesudah eklosi (b). a b Gambar 32 Posisi imago T. h. helena saat mating: saling berhadapan (a) dan betina berada di atas jantan (b). (b) (a) Gambar 33 Pola peletakan telur T. h. hephaestus: sendiri-sendiri (a) dan mengelompok (b).

Perilaku lain yang teramati pada imago di kubah penangkaran adalah perkawinan antara T. h. helena jantan dengan T. h. hephaestus betina (Gambar 34). Dari hasil perkawinan 2 subspesies tersebut dihasilkan telur fertil sebanyak 86 telur dengan persentasi tetas 86%. Individu hasil perkawinan 2 subspesies tersebut menghasilkan variasi spot pada sayapnya. Gambar 34 Perkawinan T. h. helena jantan dengan T. h. hephaestus betina.