Kumpulan Cerpen proyek menulis Kasih tak sampai Buku DUA Nulisbuku 2015
2
Daftar Isi Ada Ingin Diantara Saling Nyaman Diba Prajamitha Aziiz Ame Sarah Aghnia Husna Berkata dalam Hujan Novia Lelyana Biola A Elwiq Pr Titipkan Cinta Pada Langit Astrid Ayuningtyas Jalan Lain Nafiatul Munawaroh Yang Memecahkan Rahasia Semesta Sasthi Nandani Iradiva Tatyana Vita Nurhikmah Cinta Sang Pengamen Widowati Nugrahi Wijayanti Dari Bawah Ranjangmu Rosvetta Elmira Oh Elmira Winta Hari Arsitowati Gadis di Stasiun Kereta Ulfa Sekar Langit Kembang Randu Sumartik Badut Bermata Biru Angga Taufik Nugraha Bisakah Sang Surya dan Gemerlapnya Bintang Bertemu? Mareta Diandra Rachmadani Lelaki Yang Menikahi Pohon Jati Momo DM Pil Tidur Asti Ayuningtyas Laut Nabila Budayana Layang-Layang Yuuta Sabishii Love, Truth & Lies Ririn Oktarini Pemeran Sinta Mochammad Faiz Abdul Malik Diam Aqib Wisnu Priatmojo 3
4
Ada Ingin Diantara Saling Nyaman Aku merindukan pagi, rindu menjadi hangat. Semenjak Ed berbisik padaku tentang dunia lain, tidak ada cemas yang menggangguku. Namun mulai ada gelisah yang menuntut diperhatikan. Membicarakan dunia lain sama halnya seperti menjelajah bumi, darimanapun beranjak disitu pula langkah akan kembali. Jangan cemas, jangan jadi pengecut, ucap batin menyemangati. Lalu aku turut mengamini perjalanannya, membekalinya dengan catatan-catatan kecil, memberinya kompas untuk sekedar jaga-jaga agar ia berada di jalur yang tepat untuk pulang, nanti. Aku masih tidak cemas saat itu karena ia berjanji pulang cepat dengan membawa cerita perjalanan yang menarik, aku mengangguk. Aku menunggu dengan patuh di persimpangan. Menunggu dia kembali di dunia dimana aku masih dapat disebut eksis. Ed, aku menunggu. Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tahun menjadi bertahun-tahun. Di persimpangan yang nyata, ku lihat bayangan hidup, menjelas menjadi rupa. Dia kembali, sudah kuyakini begitu. Sambil tersenyum dia menghampiri. Satu detik kemudian aku kembali menyata, eksis dalam kehidupan yang disebut bumi. Aku duduk dengan taat, berhati-hati. Mengamati dirinya yang tidak jauh
banyak berbeda. Ed kemudian mengikutiku, duduk tepat di depanku. Membiarkan aku memotret rupanya. Dibiarkannya aku mewujudkan rindu. Melihatnya dalam rupa yang menapak di bumi adalah cukup. Kemudian dia mulai membagi kisah mengurai kasih. Tampak jelas kesenangan terpatri di setiap lekuk wajahnya. Satu hal yang sama sekali tidak berubah yakni tarikan simetris selalu tersungging di bibirnya. Dia tidak menjadi lebih tampan juga tidak berkurang menjadi manis tetapi dia tetap menarik dengan caranya. Sorot matanya yang hidup, membawa harapan akan esok yang lebih baik. Keoptimisan yang bisa saja menular pada siapapun yang dekat dengannya. Aku akan selalu mengenang itu, menyimpan rekam peristiwa bahagia yang terjadi. Aku bahagia. Sungguh. Aku adalah pendengar yang baik. Mungkin itu sebabnya dia selalu mendatangiku untuk menceritakan hal-hal, berbagi denganku, atau bahkan ketika dia cukup menjadi pemberi dan aku hanya dibiarkannya untuk menerima. Dia berbagi apa saja: cerita, sesal, maaf dan terimakasih. Satu hal yang tak perlu menjadi sungkan adalah dia tidak berbasa-basi ketika membutuhkanku. Dia akan mengirim kata telinga dan aku akan datang lalu duduk didepannya. Memandanginya tanpa harus membuat dia merasa tidak nyaman. Memerhatikannya tanpa harus membuatku kikuk. Itulah salah satu alasan mengapa aku ingin selalu menjadi pendengar baginya, selalu dibutuhkan. Hanya saja bila ia tahu, berdekatan dengannya termasuk usahaku yang paling gigih menjaga waras. Bila gagal, kekagumanku yang sengaja mengendap menjadi taruhannya karena ia bisa jadi memburu pengakuan atau bahkan hanya sekedar ingin dikenali. Ah Ed, entah sejak kapan menjadi rasa tapi ada ingin diantara saling nyaman. 2
Kemudian dia yang akan duduk memandangiku dengan kaki bersila. Bila sudah begitu dia akan tersenyum puas, itu artinya aku berbicara banyak. Kemudian kita akan sama-sama tertawa. Aku takjub dengan caranya membuatku tertawa terpingkal-pingkal, ada saja hal yang sederhana yang mampu disulapnya menjadi hal di luar dari kebiasaan. Hanya berbagi dengannya aku merasa mempunyai humor yang lucu. Istimewakah hal seperti itu? Jika iya, kenapa kita sebatas duduk bersama, saling bertatapan kemudian saling bertukar tawa? Aku yakin ada ingin yang kita simpan, bila tidak kita, baiklah aku yang mengaku. Kali ini posisi duduknya berubah. Aku turut mengubah posisi dudukku. Kini aku mendengarkannya lebih khidmat, menikmati kerealistisan waktu bersamanya. Matanya kini menerawang jauh. Aku mengikuti arah pandangannya yang kemudian lenyap. Pertama kalinya aku melihatnya menatap kosong. Dia menerawang langit, duduk dengan kaki yang menjulur lurus dan aku menerawang tanah, duduk dengan menarik kedua lututku hingga saling bertemu dagu. Melihat perubahan gerak tubuhku dia menoleh sedikit, dia senyum setengah dipaksa. Kegelisahan menjadi-jadi namun aku berusaha tenang, mengingat ini reaksi wajar sebab baru pertama terjadi. Tiga detik kami hening. Dalam tiga detik yang berlalu, tak kulewatkan merekatkan rupanya dalam memori. Melekatkan apa yang kulihat agar abadi dalam waktu. Dalam satu detik yang sama pandangan kami beradu, kali ini matanya berbinar-binar. Ku dapati kehangatannya kembali. Dalam kepastian sorot matanya, dia mengatakan rindu dunia lain. Dunia dimana tidak turut menyertakan aku. Dunia dimana aku tidak eksis di dalamnya. Aku membeku tapi tetap menatapnya hangat. Tetap mendengarnya dengan sungguh, sekalipun ada layu kembang tak 3