V. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
IV. KONDISI UMUM PENELITIAN

BAB III METODE KAJIAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI STRATEGI DAN PERANCANGAN PROGRAM

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan

BAB V IMPLEMENTASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA

PENGKAJIAN FAKTOR PENDORONG KEBERHASILAN PENGELOLAAN SAMPAH PARTISIPATIF

III. BAHAN DAN METODE

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI

KATA PENGANTAR. Laporan Akhir PENYUSUNAN LAYANAN PERSAMPAHAN KOTA BOGOR

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

LOMBA KEBERSIHAN ANTAR RUKUN TETANGGA SE- BOGOR

BAB I PENDAHULUAN. dan mutlak. Peran penting pemerintah ada pada tiga fungsi utama, yaitu fungsi

BAB I PENDAHULUAN. pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan

STUDI PENGELOLAAN SAMPAH B3 PERMUKIMAN DI KECAMATAN WONOKROMO SURABAYA LISA STUROYYA FAAZ

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA

BAB II KERANGKA PEMECAHAN MASALAH. A. Terjadinya Konflik Jalan Lingkungan Di Kelurahan Sukapada

16,0 13,5. TPST Seminyak TPST Br. Pelase Transfer Depo Kuta

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan Kota

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

VI ANALISIS HASIL STUDI CVM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lampiran 1. Tabel Peubah Yang Digunakan pada Analisis Hayashi I

III. METODE PENELITIAN

BAB III DESAIN RISET III.1 Pendekatan Studi

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 66 TAHUN 2012 TENTANG PENGATURAN PEMBUANGAN DAN PENGANGKUTAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB VI PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS MASYARAKAT DI PERUMAHAN CIPINANG ELOK. menjadi tiga macam. Pertama, menggunakan plastik kemudian

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

BAB I PENDAHULUAN. yang tentu saja akan banyak dan bervariasi, sampah, limbah dan kotoran yang


BAB I PENDAHULUAN. pemerintahlah yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah.

BAB IV INVENTARISASI STUDI PERSAMPAHAN MENGENAI BIAYA SPESIFIK INVESTASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. (DIY) memiliki peran yang sangat strategis baik di bidang pemerintahan maupun

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

IV. METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data 4.3 Populasi dan Contoh

Pengelolaan Sampah Terpadu. Berbasis Masyarakat Kelurahan Karang Anyar

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB IV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG RUANG TERBUKA DI KELURAHAN TAMANSARI

Tabel VIII. 1 Aturan Bersama Desa Kemasan KONDISI FAKTUAL KONDISI IDEAL ATURAN BERSAMA YANG DISEPAKATI

OLEH : SIGIT NUGROHO H.P

BAB I PENDAHULUAN. mengabaikan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Untuk mencapai kondisi

Salah satunya di Kampung Lebaksari. Lokasi Permukiman Tidak Layak

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Tahun

KAJIAN PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENINGKATKAN PELAYANAN ASET DI KABUPATEN KARAWANG

ASPEK MANAJEMEN (INSTITUSI, PERATURAN DAN PEMBIAYAAN)

TUGAS AKHIR RP

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas tentang pendahuluan yang merupakan bagian

KAJIAN PENGANGKUTAN SAMPAH DI KECAMATAN MATARAM

ANALISIS PENGELOLAAN PERSAMPAHAN DI KELURAHAN SINDULANG SATU KECAMATAN TUMINTING KOTA MANADO

BAB VII ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UPS MUTU ELOK. Jumlah Timbulan Sampah dan Kapasitas Pengelolaan Sampah

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Deskripsi Lingkungan Permukiman Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Berdasarkan Penilaian Responden

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya

Indikator Konten Kuesioner

III. METODE PENELITIAN

STRATEGI SANITASI KOTA PAREPARE. Lampiran 5. Deskripsi Program/Kegiatan

PENJELASAN I ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PROGRAM ADIPURA

BUPATI POLEWALI MANDAR

METODOLOGI PENELITIAN

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN

Jurusan Teknik Planologi Fakultas Teknik Universitas Pasundan Bandung 2013 Jl. Dr Setiabudhi No 193 Tlp (022) Bandung

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh Di Wilayah Kecamatan Semampir Kota Surabaya Melalui Pendekatan Partisipasi Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. prioritas utama dalam pemenuhannya. Seiring dengan perkembangan jaman dan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

Memorandum Program Percepatan Pembangunan Sanitasi BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 1 KONDISI KAWASAN KAMPUNG HAMDAN

HASIL KAJIAN DAN REKOMENDASI ASPEK BIOFISIK HUTAN KOTA LANSKAP PERKOTAAN

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas kehidupan masyarakat di perkotaan, menyebabkan bertambahnya volume

V. PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG. Abstrak

l. PENDAHULUAN Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. stabilitator lingkungan perkotaan. Kota Depok, Jawa Barat saat ini juga

Elsa Martini Jurusan PWK Universitas Esa Unggul, Jakarta Jl. Arjuna Utara Tol Tomang Kebun Jeruk Jakarta

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN

Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung

IDENTIFIKASI PENGELOLAAN SAMPAH KOTA YANG BERBASIS PARTISIPASI PERAN AKTIF KELUARGA DAN PEMULUNG. Oleh: Haryono Zaini Rohmad ABSTRAK

Lampiran IA Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 12/SE/M/2011 Tanggal : 31 Oktober 2011

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

III. METODOLOGI PENELITIAN

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. Pendahuluan Latar Belakang

Konsep Hunian Vertikal sebagai Alternatif untuk Mengatasi Masalah Permukiman Kumuh, Kasus Studi Kampung Pulo

BAB III PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

taman, dua petugas penyapu jalan utama, dan dua petugas UPS Mutu Elok.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di

Transkripsi:

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tipologi Permukiman sebagai Dasar dalam Implementasi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Setiap kawasan permukiman memiliki karakteristik tertentu, yang dapat memberikan implikasi pada pola hubungan dan partisipasi dalam pengelolaan sampah, baik dalam sistem yang sedang berjalan, maupun potensi partisipasinya dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Ruang sebagai faktor lingkungan fisik, tidak dapat dipisahkan dari aktivitas kemasyarakatan dan interaksi sosial sebab ruang itu sendiri merupakan manifestasi dari masyarakat. Dari sudut pandang teori sosial, ruang adalah materi pendukung kegiatan kemasyarakatan yang selalu memiliki arti simbolik. Secara simultan seiring dengan berjalannya waktu, ruang membawa serta seluruh kegiatan tersebut, sehingga memberi warna pada ruang dan dengan itulah ruang menjadi gambaran sesungguhnya dari masyarakat. Berangkat dari hal tersebut, maka penyusunan tipologi permukiman sebagai bagian dari kajian ruang, sangat berkaitan erat dengan upaya mengembangkan partisipasi masyarakat yang sejalan dengan karakteristik dan bentuk interaksi sosial masyarakat dalam lingkungan permukiman. Melalui pendekatan yang spesifik berdasarkan ciri-ciri ruang dan pola interaksi masyarakat, diharapkan tingkat penerimaan masyarakat (social acceptability) dapat lebih baik dan kegiatan pengelolaan sampah yang berbasis pada partisipasi masyarakat, dapat berhasil diimplementasikan. Analisis spasial sebagai bagian dari penyusunan tipologi permukiman dimaksudkan untuk menggolongkan permukiman ke dalam kelompok-kelompok yang memiliki kisaran karakteristik yang sama. Hal ini dilakukan untuk memudahkan para pengambil keputusan dalam menetapkan program-program partisipatif yang sesuai dengan karakteristik permukiman. Aspek-aspek yang ditengarai mempengaruhi terbentuknya tipologi permukiman berkaitan dengan pola partisipasi dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat adalah luas bangunan, keteraturan kawasan dan kepadatan ruang, infrastruktur pengelolaan sampah dan aspek partisipasi dalam pengelolaan sampah. Aspek lain yang penting adalah interaksi sosial yang merupakan faktor yang paling mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman,

74 sebab partisipasi dalam mengelola sampah permukiman merupakan kegiatan bersama, bukan bersifat individual, dan memerlukan jalinan komunikasi yang berkesinambungan. Keseluruhan faktor tersebut membentuk suatu tipologi tertentu yang menjadi ciri atau karakter pada masing-masing permukiman, khususnya potensi untuk mengembangkan sistem tertentu dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. 5.1.1. Tipologi Permukiman Berdasarkan Luas Bangunan Luas bangunan dapat menjadi salah satu indikator lapisan permukiman, yang menunjukkan permukiman lapisan bawah, lapisan menengah atau lapisan atas. Luas bangunan tertentu yang mendominasi suatu kawasan permukiman merupakan indikator yang kuat untuk menentukan lapisan permukiman tersebut. Hasil pemetaan berdasarkan luas bangunan di Kelurahan Pondok Kelapa, terlihat pada Gambar 10 berikut, Gambar 10. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di Kelurahan Pondok Kelapa Di Kelurahan Pondok Kelapa, terdapat empat tipe permukiman berdasarkan luas bangunan yang dominan pada satuan wilayah RW. Kawasan permukiman dengan luas bangunan 80m 2-165m 2 merupakan kawasan

75 permukiman yang dominan di kelurahan Pondok Kelapa, di samping luas bangunan 165m 2-250m 2. Secara keseluruhan, wilayah Kelurahan Pondok Kelapa sebagian besar merupakan permukiman dengan luas bangunan sedang sampai tinggi. Permukiman dengan luas bangunan 250m 2-300m 2 sebagian besar berada pada komplek perumahan yang dibangun oleh perusahaan pengembang (real estate), seperti komplek perumahan Pondok Kelapa Indah, sedangkan permukiman dengan luas bangunan 80m 2-165m 2 berada pada perkampungan atau permukiman yang tidak teratur, dan sebagian berada pada komplek perumahan yang teratur tetapi relatif lebih padat. Pada Kelurahan Kramat Jati, perbedaan rata-rata luas bangunan di masing-masing RW tidak terlalu besar, sebab sebagian besar wilayahnya merupakan perumahan umum atau perkampungan. Hasil pemetaan berdasarkan luas bangunan di Kelurahan Kramat Jati, terlihat pada Gambar 11 berikut, Gambar 11. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di Kelurahan Kramat Jati Di Kelurahan Kramat Jati, hanya terdapat dua tipe permukiman berdasarkan luas bangunan yang dominan pada satuan wilayah RW. Kawasan permukiman dengan luas bangunan 80m 2-165m 2 merupakan kawasan permukiman yang dominan di kelurahan Pondok Kelapa, di samping luas

76 bangunan 165m 2-250m 2. Secara keseluruhan, wilayah Kelurahan Kramat Jati sebagian besar merupakan perkampungan serta hanya sedikit yang merupakan komplek perumahan teratur. Sebagian besar permukiman di Kelurahan Kramat Jati merupakan permukiman yang padat dengan jalan lingkungan yang sempit. Menelusuri perkampungan di kelurahan tersebut dapat dilakukan dengan berjalan di gang-gang sempit. Beberapa jalan utama dari permukiman dapat dilalui dengan mobil, tetapi apabila berpapasan menjadi sangat sulit. Meskipun sebagian besar merupakan bangunan permanen, rumah-rumah dibangun mengikuti jalan sempit bahkan beberapa tidak memiliki akses jalan. Berlainan dengan Kelurahan Kramat Jati, pada Kelurahan Cibubur yang juga sebagian besar merupakan perumahan umum atau perkampungan, jalan lingkungan relatif lebih lebar dan ruang terbuka masih tersedia cukup banyak. Hasil pemetaan berdasarkan luas bangunan di Kelurahan Cibubur, terlihat pada Gambar 12 berikut, Gambar 12. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Luas Bangunan di Kelurahan Cibubur Di Kelurahan Cibubur, terdapat tiga tipe permukiman berdasarkan luas bangunan yang dominan pada satuan wilayah RW. Kawasan permukiman dengan luas bangunan 80m 2-165m 2 merupakan kawasan permukiman yang dominan di Kelurahan Cibubur, di samping luas bangunan 40m 2-80m 2 dan

77 165m 2-250m 2. Selain itu, di Kelurahan Cibubur juga terdapat permukiman dengan luas bangunan besar yang berada di kompleks perumahan Bukit Permai di RW 011, tetapi karena tidak mencakup wilayah satu RW, maka setelah dirataratakan luas bangunannya berada dalam kisaran 165m 2-250m 2. Secara keseluruhan, wilayah Kelurahan Cibubur sebagian besar merupakan perkampungan dan hanya sebagian kecil yang merupakan komplek perumahan. 5.1.2. Tipologi Permukiman Berdasarkan Keteraturan Kawasan Keteraturan Kawasan merupakan suatu parameter yang didasarkan pada analisis visual dari data SIG, dengan mencermati tingkat keteraturan perumahan dengan tingkat aksesibilitasnya, yang digambarkan melalui lebar jalan di wilayah permukiman tersebut. Hasil penentuan tingkat keteraturan kawasan di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 13 berikut, Gambar 13. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di Kelurahan Pondok Kelapa Berdasarkan tingkat keteraturan kawasan yang dianalisis secara visual dari data spasial serta lebar jalan lingkungan yang dominan, di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat seluruh tipe dari enam tipe permukiman berdasarkan keteraturan kawasan, mulai dengan lingkungan yang tidak teratur dengan lebar

78 jalan kurang dari 1,5 m yang umumnya berupa gang sampai dengan permukiman lapisan atas yang teratur dengan lebar jalan lingkungan di atas tujuh meter, tertata baik dengan ruang terbuka hijau yang memadai. Tipe yang paling dominan adalah permukiman tidak teratur dengan lebar jalan lingkungan 2-5 m, yang umumnya merupakan perkampungan atau komplek perumahan yang relatif lebih padat dibandingkan dengan komplek perumahan lainnya. Berdasarkan tingkat keteraturan kawasan yang dianalisis secara visual dari data spasial serta lebar jalan lingkungan yang dominan, di Kelurahan Kramat Jati terdapat satu tipe yang dominan dari empat tipe permukiman berdasarkan keteraturan kawasan, permukiman tidak teratur dengan lebar jalan lingkungan 2-5 m, yang umumnya merupakan perkampungan padat. Hasil penentuan tingkat keteraturan kawasan Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 14 berikut, Gambar 14. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di Kelurahan Kramat Jati Berdasarkan tingkat keteraturan kawasan yang dianalisis secara visual dari data spasial serta lebar jalan lingkungan yang dominan, di Kelurahan Cibubur terdapat satu tipe yang dominan dari enam tipe permukiman berdasarkan keteraturan kawasan, permukiman tidak teratur dengan lebar jalan lingkungan 2-5 m, yang umumnya merupakan perkampungan yang relatif padat.

79 Hasil penentuan tingkat keteraturan kawasan di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 15 berikut, Gambar 15. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Keteraturan Kawasan di Kelurahan Cibubur 5.1.3. Tipologi Permukiman Berdasarkan Kepadatan Ruang Rasio Kepadatan Penduduk dengan Ruang merupakan suatu parameter yang didasarkan pada rasio antara jumlah penduduk/ha dengan luas wilayah. Berdasarkan rasio jumlah penduduk terhadap luas ruang atau luas wilayah, maka di Kelurahan Pondok Kelapa rata-rata kepadatan penduduk kurang dari 200 jiwa/ha sehingga tergolong tingkat kepadatan rendah-sedang. Rasio Kepadatan Bangunan dengan Ruang merupakan suatu parameter yang didasarkan pada rasio antara luas bangunan dengan luas wilayah. Berdasarkan rasio luas bangunan terhadap luas ruang atau luas wilayah, sebagian besar wilayah permukiman di Kelurahan Pondok Kelapa memiliki rasio 1:2 sampai 1:4. Hal ini berarti di wilayah permukiman tersebut relatif masih cukup ruang, baik untuk ruang terbuka hijau, maupun pekarangan. Hasil penentuan tingkat kepadatan ruang di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 16 berikut,

80 Gambar 16. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di Kelurahan Pondok Kelapa Berdasarkan rasio jumlah penduduk terhadap luas ruang atau luas wilayah, maka di Kelurahan Kramat Jati rata-rata kepadatan penduduk 200-400 jiwa/ha sehingga tergolong tingkat kepadatan cukup tinggi. Di wilayah Kelurahan Kramat Jati, rasio luas bangunan terhadap luas ruang atau luas wilayah sebagian besar memiliki rasio 1:1 sampai 1:3. Hal ini berarti di wilayah permukiman tersebut cukup padat sehingga baik untuk ruang terbuka hijau, maupun pekarangan, relatif terbatas. Hasil penentuan tingkat kepadatan ruang Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 17 berikut,

81 Gambar 17. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di Kelurahan Kramat Jati Berdasarkan rasio jumlah penduduk terhadap luas ruang atau luas wilayah, maka di Kelurahan Cibubur rata-rata kepadatan penduduk kurang dari 200 jiwa/ha sehingga tergolong tingkat kepadatan sedang. Berdasarkan rasio luas bangunan terhadap luas ruang atau luas wilayah, sebagian besar wilayah permukiman di Kelurahan Cibubur memiliki rasio 1:2 sampai 1:4. Hal tersebut berarti di wilayah permukiman tersebut relatif masih cukup ruang, baik untuk ruang terbuka hijau, maupun pekarangan. Hasil penentuan tingkat kepadatan ruang di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 18 berikut,

82 Gambar 18. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Kepadatan Ruang di Kelurahan Cibubur 5.1.4. Tipologi Permukiman Berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah Infrastruktur pengelolaan sampah terdiri atas fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, dalam hal ini Dinas Kebersihan baik di tingkat Provinsi DKI Jakarta maupun di setiap wilayah. Keberadaan TPS dan truk pengangkut sampai merupakan hal yang paling pokok untuk sistem pengelolaan yang berjalan saat ini. Secara umum, mekanisme pengelolaan sampah di DKI Jakarta masih menggunakan sistem pengumpulan-pengangkutan-pembuangan, sehingga peran TPS dan armada pengangkutan sampah semakin besar. Sebagian besar permukiman masih mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah dengan gerobak oleh petugas sampah yang dikelola RT/RW. Sampah tersebut kemudian dikumpulkan di TPS yang dapat berupa Depo dan Transito dengan kapasitas 30 m 3, Kontainer dengan kapasitas 10 m 3, pool gerobak sampah dengan kapasitas 12 m 3, bak terbuka dengan kapasitas 6 m 3 dan galvanis, sejenis kontainer kecil dengan kapasitas 9 m 3 tetapi jumlahnya sudah sangat sedikit di DKI Jakarta karena tidak dibuat lagi. Dari TPS tersebut, baru tanggung jawab penuh beralih kepada Dinas Kebersihan untuk mengangkutnya

83 ke TPA. Jenis TPS sebagai salah satu infrastruktur dalam pengelolaan sampah sangat bergantung pada lokasi permukiman. Depo dan Transito umumnya berada di jalan raya sebab digunakan untuk radius pelayanan yang lebih luas dibandingkan dengan kontainer dan bak terbuka yang umumnya berada di dalam wilayah permukiman. Pada permukiman yang padat dengan gang-gang sempit, selain menggunakan bak terbuka, juga terdapat pool gerobak sampah yang memiliki jadwal khusus untuk dilewati truk pengangkut sampah. Pada wilayah tertentu, pool gerobak sampah tersebut tidak berupa tempat khusus, tetapi areal di pinggir jalan tempat berkumpulnya gerobak para pengangkut sampah dari rumah ke rumah, yang menunggu datangnya truk pengangkut sampah. Setelah sampah diangkut, gerobak-gerobak pun disimpan di tempat masing-masing, yang umumnya berada di wilayah setiap RT. Secara garis besar, mekanisme pengangkutan sampah permukiman di wilayah Jakarta Timur diperlihatkan pada Gambar 19 berikut, Rumah Tinggal Gerobak Sampah TPA TPS : Depo Transito Kontainer Galvanis Bak Terbuka Pool Gerobak Sampah Delay Truk Pengangkut Sampah Dinas Kebersihan Gambar 19. Infrastruktur dan Mekanisme Pengangkutan Sampah Permukiman di Jakarta Timur Di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat empat depo, lima kontainer dan dua pool gerobak sampah sehingga totalnya berjumlah 11 TPS dengan total kapasitas 194m 3 dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah yang hanya mencapai 110m 3. Meskipun ada RW yang masih kurang optimal pengumpulan dan pengangkutan sampahnya, tetapi secara umum pengelolaan sampah di

84 wilayah Pondok Kelapa cukup baik dan terkoordinasi. Hal ini tidak lepas dari tipe permukiman yang sebagian besar merupakan permukiman yang teratur. Truk yang beroperasi sebanyak dua buah yang berukuran besar dan tiga buah yang berukuran kecil, sehingga total kapasitas truk 38m 3 (truk besar = 10m 3 dan truk kecil = 6m 3 ). Hal ini berarti ritasi atau jadwal truk pulang pergi harus lebih dari dua kali sehari. Secara garis besar, tipe infrastruktur pengelolaan sampah di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 20 berikut, Gambar 20. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah di Kelurahan Pondok Kelapa Di wilayah Kelurahan Pondok Kelapa, pada permukiman yang teratur (real estate), hampir seluruhnya memiliki TPS dengan pengambilan sampah cukup memadai, yaitu dua hari sekali oleh armada truk sampah dari Sub Dinas Kebersihan Jakarta Timur, sedangkan pengangkutan dari rumah ke rumah dilakukan setiap pagi yang dikoordinasikan oleh pengurus RW dengan menggunakan gerobak. Pada permukiman yang tidak teratur (perkampungan), sebagian besar tidak memiliki TPS atau menggunakan fasilitas TPS di wilayah lain sehingga jaraknya relatif jauh. Kondisi tersebut menimbulkan berbagai alternatif yang dilakukan oleh warga terhadap sampah yang dihasilkannya, sehingga kurang terkoordinasi. Pada permukiman yang tidak teratur, sebagian warga membayar secara sukarela petugas sampah yang mengambil sampah

85 dengan gerobak, sebagian warga lainnya membuang sendiri sampah di TPS, lahan kosong atau dibakar. Di Kelurahan Kramat Jati terdapat lima kontainer dan sepuluh bak terbuka sehingga totalnya berjumlah 15 TPS dengan total kapasitas 110m 3 dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah yang hanya mencapai 82m 3. Meskipun dari kapasitas jumlah TPS terlalu banyak, tetapi sebenarnya jumlah tersebut dinilai mencukupi sebab setiap RW memiliki TPS sendiri dan terdapat pasar serta sejumlah pertokoan yang berada di wilayah tersebut. Truk yang beroperasi hanya satu buah yang berukuran besar dan tiga buah yang berukuran kecil sehingga total kapasitas truk 28m 3 (truk besar = 10m 3 dan truk kecil = 6m 3 ). Hal ini berarti ritasi atau jumlah pengangkutan truk pulang pergi, harus lebih dari dua kali sehari. Secara garis besar, tipe infrastruktur pengelolaan sampah di Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 21 berikut, Gambar 21. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah di Kelurahan Kramat Jati Di wilayah RW 04 Kelurahan Kramat Jati terdapat bak terbuka yang berada di jalan sempit sehingga menyulitkan truk sampah untuk mengangkut sampahnya. Hal ini menyebabkan sampah bertumpuk sampai keluar bak, sehingga mengganggu penduduk yang tinggal di sekitar bak sampah tersebut.

86 Masyarakat melalui pengurus RW sudah melakukan berbagai upaya, antara lain melapor pada petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta, melarang warga RW lain untuk membuang sampah di sana dan menjajaki program pengomposan, tetapi sampai saat ini belum membuahkan hasil. Pada wilayah lain, rata-rata telah terkoordinasi cukup baik, bahkan untuk wilayah sepanjang Jalan Raya Bogor, setiap hari Lurah dan aparatnya terjun langsung untuk mengawasi pengangkutan sampah dan kebersihan khususnya di daerah pasar dan pusat pertokoan. Selain karena wilayah jalan raya tersebut merupakan jalan utama yang membatasi wilayah kelurahan, juga dalam rangka penilaian Adipura. Di Kelurahan Cibubur terdapat satu depo, empat kontainer dan satu bak terbuka sehingga totalnya berjumlah enam TPS dengan total kapasitas 76m 3 dibandingkan dengan jumlah timbulan sampah yang mencapai 175m 3. Kondisi inilah yang menimbulkan adanya kawasan danau atau situ yang menjadi tempat pembuangan sampah, padahal sangat potensial sebagai daerah resapan air. Selain itu, danau tersebut juga potensial untuk dijadikan tempat rekreasi sebab sampai saat ini telah dikenal dengan sebutan Kampung Air meskipun terlantar pengelolaannya. Cara lain yang ditempuh warga dalam mengelola sampah adalah menggunakan lahan-lahan kosong yang dijadikan tempat pembuangan sampah. Lahan kosong tersebut digunakan ada yang tanpa sepengetahuan pemiliknya, ada pula pemilik lahan yang sengaja menyewakan lahannya untuk ditimbun dengan sampah sebagai pengganti tanah urug. Di wilayah Kelurahan Cibubur masih banyak perkampungan yang memiliki pekarangan atau lahan kosong, sehingga sebagian masyarakat ada yang masih membakar sampah-sampah mereka. Jumlah kendaraan angkut pun tidak memadai, yaitu hanya satu buah truk berukuran besar dan satu buah truk berukuran kecil. Secara garis besar, tipe infrastruktur pengelolaan sampah di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 22 berikut,

87 Gambar 22. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Infrastruktur Pengelolaan Sampah di Kelurahan Cibubur 5.1.5. Tipologi Permukiman Berdasarkan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan sistem yang berjalan saat ini, dapat dikaji dalam dua aspek, yaitu besarnya retribusi sampah yang bersedia dikeluarkan oleh warga dan tipe partisipasi warga dalam pengelolaan sampah yang sedang berjalan. Tingkat retribusi sampah merupakan karakteristik yang menjadi ciri suatu kawasan, khususnya tingkat RW dalam pengelolaan sampah. Parameter tersebut juga sekaligus menunjukkan kondisi ekonomi masyarakat secara umum dalam kawasan permukiman tersebut. Pengelolaan sampah di tingkat RW menunjukkan polapola tertentu yang secara umum ada dalam setiap wilayah permukiman di DKI Jakarta. Parameter tersebut juga sekaligus menunjukkan kondisi sosial masyarakat yang tercermin melalui bentuk partisipasi masyarakat, khususnya dalam pengelolaan sampah. Di Kelurahan Pondok Kelapa terdapat seluruh kisaran tingkat retribusi sampah yang berbeda-beda. Pada permukiman tidak teratur, umumnya tingkat

88 retribusi sampah antara Rp. 1.000,- sampai Rp. 10.000,- perbulan, sedangkan pada permukiman teratur, kisaran retribusi sampah antara Rp. 15.000,- sampai Rp. 25.000,- perbulan dan pada perumahan teratur (real estate) yang lebih besar, tingkat retribusi sampah di atas Rp. 25.000,- setiap bulannya. Di Kelurahan Pondok Kelapa, pada komplek perumahan menengah, pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah telah terkoordinasi dengan baik dan relatif mudah digerakkan menuju pemilahan dan daur ulang sampah. Hal ini antara lain disebabkan karena interaksi sosial yang relatif masih kuat dan tingkat pengetahuan serta tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Hal tersebut tercermin pula pada dua kelurahan lainnya. Hasil penentuan pola partisipasi di Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 23 berikut, Gambar 23. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Pondok Kelapa Pada Kelurahan Kramat Jati, karena sebagian besar merupakan perumahan tidak teratur dan karena lokasi TPS yang relatif dekat, maka partisipasi masyarakat sangat terbatas pada pembuangan sampah secara individu ke TPS dan koordinasinya rendah. Sebagian masyarakat membuang sendiri sampah mereka ke TPS terdekat pada saat keluar rumah, berangkat ke tempat bekerja, dan pada waktu lainnya. Hal tersebut terutama terjadi di permukiman yang dekat dengan jalan raya atau berada di belakang jalan raya, sebab lokasi TPS berada di sepanjang Jalan Raya Bogor. Pada permukiman

89 yang lokasinya lebih masuk ke dalam, pengangkut sampah dengan gerobak sampah mulai berperan. Meskipun demikian, warga yang membuang sampah sendiri umumnya tidak mau membayar petugas pengangkut sampah tersebut. Secara garis besar, pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kelurahan Kramat Jati dapat dilihat pada Gambar 24 berikut, Gambar 24. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Kramat Jati Di Kelurahan Cibubur, terjadi hal yang sama pada perumahan tidak teratur atau perkampungan, tetapi umumnya bukan karena lokasi TPS yang dekat, melainkan karena masih banyaknya lahan kosong sebagai tempat pembuangan dan pembakaran sampah. Pada daerah tersebut, besar retribusi sampah perbulan sangat bervariasi dan sering bersifat sukarela dengan cara memberikan secara langsung kepada petugas sampah yang mengangkut sampah dengan menggunakan gerobak sampah. Warga yang membuang sendiri sampahnya atau membakar sampah di lahan kosong, umumnya tidak membayar retribusi sampah. Oleh sebab itu, pada wilayah tersebut, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah merupakan partisipasi terbatas. Secara garis besar, pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah di Kelurahan Cibubur dapat dilihat pada Gambar 25 berikut,

90 Gambar 25. Peta Tipologi Permukiman berdasarkan Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah di Kelurahan Cibubur 5.1.6. Tipologi Permukiman Berdasarkan Seluruh Parameter Berdasarkan hasil overlay dari keseluruhan parameter yang diuji dalam menentukan tipologi permukiman, terdapat empat tipe yang dapat dibedakan dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Permukiman padat tidak teratur dengan luas bangunan kurang dari 40m 2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah minimal dan tidak ada koordinasi, yang umumnya merupakan permukiman lapisan bawah. 2. Permukiman padat tidak teratur dengan luas bangunan 40m 2-80m 2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang kurang memadai dan tidak terkoordinasi dengan baik, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah bawah. 3. Permukiman padat teratur dengan luas bangunan 80m 2-165m 2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang cukup memadai dan telah terkoordinasi dengan baik serta mudah digerakkan untuk pemilahan sampah karena persepsi masyarakat telah cukup baik, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah.

91 4. Permukiman sedang teratur dengan luas bangunan 165m 2-250m 2, dengan infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai dan telah terkoordinasi dengan baik serta mudah digerakkan untuk pemilahan sampah karena persepsi masyarakat cukup baik dengan tingkat pendidikan relatif tinggi, yang umumnya merupakan permukiman lapisan menengah atas. 5. Permukiman tertata baik dengan ruang publik yang cukup dan luas bangunan di atas 250m 2 serta infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai. Meskipun demikian, partisipasi dalam pengelolaan sampah umumnya hanya sebatas kesediaan membayar retribusi sampah dalam jumlah yang relatif besar. Permukiman tersebut umumnya merupakan permukiman lapisan atas. Pada lokasi penelitian hanya terdapat empat tipologi permukiman selain permukiman lapisan bawah seperti disebutkan di atas. Meskipun demikian, kajian secara kualitatif pada permukiman lapisan bawah dilakukan di dalam wilayah RW yang didalamnya terdapat kelompok rumah lapisan bawah, tetapi tidak memungkinkan untuk dilakukan analisis spasial sebab satuan terkecil untuk analisis spasial adalah RW. Lapisan permukiman seperti tersebut di atas mengacu pada pendapat Wirutomo et al. (2004) yang penekanannya pada luas bangunan, keteraturan wilayah permukiman dan tingkat pendapatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pemerintah Daerah Kotamadya Jakarta Timur, tidak ada permukiman elit kota yang berada di wilayah tersebut, hanya beberapa permukiman lapisan atas, antara lain di Cibubur dan Pondok Kelapa, sedangkan untuk permukiman lapisan bawah, terdapat di beberapa tempat, antara lain Malaka Sari, Klender dan Cipinang Muara. Penentuan nilai penting dari setiap parameter dalam penyusunan tipologi permukiman dapat dilakukan dengan Multicriteria Decision Analysis, yang antara lain dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process/AHP (Malczewski, 2001). Hasil wawancara pakar dengan metode AHP yang menggunakan software Criterium Decision Plus, digunakan untuk menunjukkan nilai penting dari masing-masing parameter dalam menentukan tipologi permukiman berkaitan dengan pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Hirarki dalam penentuan nilai penting tersebut dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek sosial sebagai level, sedangkan alternatifnya adalah kelima faktor analisis yang akan ditentukan nilai pentingnya. Hirarki tersebut dapat dilihat pada Gambar 26 sebagai berikut,

92 Gambar 26. Hirarki Nilai Penting dari Faktor Analisis pada Penentuan Tipologi Permukiman dalam Pengelolaan Sampah Penentuan nilai penting kelima parameter tersebut, yaitu (1) Keteraturan kawasan; (2) Kepadatan ruang; (3) Infrastruktur pengelolaan sampah; (4) Luas bangunan dan (5) Partisipasi masyarakat, berdasarkan hasil wawancara pakar dengan metode AHP diperlihatkan pada Gambar 27 berikut, Nilai Penting Parameter Tipologi Permukiman 5 0,063 Parameter 4 3 2 0,091 0,134 0,279 1 0,433 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Nilai Penting Keterangan : Parameter : (1) Keteraturan kawasan (2) Kepadatan ruang (3) Infrastruktur pengelolaan sampah (4) Luas bangunan (5) Partisipasi masyarakat Gambar 27. Nilai Penting untuk setiap Parameter dalam Tipologi Permukiman Berdasarkan nilai penting tersebut, maka dapat dibuat model matematika sederhana dengan mengasumsikan nilai penting tersebut sebagai gradien dari

93 masing-masing parameter (Martin, 1991; Malczewski, 2001), sehingga bentuk persamaan matematikanya sebagai berikut, Y = 0,433X 1 + 0,279X 2 + 0,134X 3 + 0,091X 4 + 0,063X 5 Dengan : Y = Bobot Tipologi Permukiman dalam Pengelolaan Sampah X 1 = Bobot Keteraturan kawasan X 2 = Bobot Kepadatan ruang X 3 = Bobot Infrastruktur pengelolaan sampah X 4 = Bobot Luas bangunan X 5 = Bobot Partisipasi masyarakat Dari persamaan di atas terlihat bahwa dalam penentuan tipe permukiman, aspek partisipasi mempunyai nilai yang paling rendah, sebab sampai saat ini belum ada karakteristik partisipasi tertentu yang mencirikan suatu tipe permukiman tertentu. Dalam penentuan tipe permukiman, keteraturan kawasan dan kepadatan ruang masih menjadi faktor yang determinan. Penggolongan tipe permukiman dari seluruh parameter, dibuat berdasarkan nilai bobot Y minimum dan Y maksimum yang kemudian dikategorikan menjadi lima kelas dengan jarak yang sama pada rentang tersebut. Penetapan lima kelas merujuk pada pelapisan permukiman dalam masyarakat perkotaan (Wirutomo et al., 2004) dan pengamatan di lapangan. Hasil penghitungan rentang nilai, ditetapkan dari nilai terendah sampai dengan nilai tertinggi (1,34 sampai 6,54) yang kemudian dibagi menjadi lima kategori kelas tipe permukiman, seperti diperlihatkan pada Tabel 18 berikut, Tabel 18. Rentang Nilai dalam Penentuan Tipologi Permukiman No. Kelas Rentang Nilai Skor 1 Permukiman Lapisan Bawah 1,34 x < 2,38 1 2 Permukiman Lapisan Menengah Bawah 2,38 x < 3,42 2 3 Permukiman Lapisan Menengah 3,42 x < 4,46 3 4 Permukiman Lapisan Menengah Atas 4,46 x < 5,50 4 5 Permukiman Lapisan Atas 5,50 x < 6,54 5 Berdasarkan hasil akhir dari perhitungan di atas, maka penggolongan tipe permukiman pada Kelurahan Pondok Kelapa dapat dilihat pada Gambar 28 berikut,

94 Gambar 28. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Pondok Kelapa Pada Kelurahan Pondok Kelapa, terdapat empat tipe dari lima klasifikasi dalam tipologi permukiman, tanpa permukiman lapisan bawah. Permukiman lapisan atas terdapat pada perumahan real estate Pondok Kelapa Indah yang merupakan perumahan tertata baik dengan lebar jalan lebih dari tujuh meter dan memiliki ruang terbuka hijau berupa lapangan dan taman yang memadai. Permukiman lapisan menengah atas sebagian besar terdapat di komplek perumahan, baik kavling Pemerintah DKI Jakarta, komplek Bina Marga, maupun komplek perumahan lainnya. Permukiman lapisan menengah dan menengah bawah sebagian besar merupakan perkampungan yang tidak teratur yang berada di sekitar wilayah Kelurahan Pondok Kelapa. Meskipun pada permukiman yang tidak teratur juga terdapat rumah-rumah besar atau mewah, tetapi jumlahnya relatif kecil dan tersebar di wilayah perkampungan tersebut, bahkan dengan akses jalan yang kurang memadai. Sebagian besar tipe permukiman di Kelurahan Kramat jati adalah permukiman lapisan menengah bawah, sebab sebagian besar wilayah kelurahan tersebut merupakan perkampungan yang tidak teratur, cukup padat dengan lebar jalan di dalam permukiman yang relatif sempit. Pada wilayah Kelurahan Kramat Jati, umumnya ruang terbuka hijau hampir tidak ada. Hal

95 tersebut merupakan hasil dari perkembangan perumahan yang pesat, sehingga hampir tidak ada lahan kosong yang tidak dimanfaatkan untuk membangun rumah tinggal. Hasil akhir overlay dari keempat faktor analisis di Kelurahan Kramat Jati terlihat pada Gambar 29 berikut, Gambar 29. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Kramat Jati Permukiman di Kelurahan Cibubur sebagian besar merupakan permukiman lapisan menengah dan menengah atas, sebab meskipun terdapat di permukiman yang bukan komplek perumahan, tetapi kondisi perumahan relatif lebih tertata dengan jalan di dalam permukiman yang cukup lebar dan ruang terbuka yang cukup luas. Pada kelurahan Cibubur juga terdapat permukiman lapisan atas yang sebagian besar berada di perumahan Bukit Permai yang juga merupakan perumahan mewah di wilayah Jakarta Timur. Hasil akhir overlay dari keempat faktor analisis untuk Kelurahan Cibubur terlihat pada Gambar 30 berikut,

96 Gambar 30. Peta Tipologi Permukiman di Kelurahan Cibubur Dari keempat tipe tersebut, terlihat bahwa aspek lingkungan fisik berkaitan erat dengan pola interaksi sosial yang secara tidak langsung membentuk pola partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah permukimannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat La Barre (1954) dan Hall (1966) bahwa manusia dengan lingkungan fisiknya, dalam hal ini lingkungan tempat tinggalnya, membentuk suatu lingkungan sosial budaya tertentu termasuk dalam perilaku terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman. Demikian pula pendapat Castells (1997), yang menyatakan bahwa ruang bukan semata-mata gambaran dari suatu masyarakat, tetapi ruang adalah masyarakat itu sendiri. Interaksi sosial dalam suatu komunitas akan merujuk pada kepadatan ruang yang memungkinkan anggota dari komunitas tersebut untuk saling bertemu dan berinteraksi. Pada kawasan permukiman lapisan atas, interaksi sosial relatif rendah dengan ciri bangunan fisik yang eksklusif dan lebih individualistik. Hal tersebut dicirikan dengan bentuk partisipasi yang hanya berupa pembayaran retribusi sampah saja, meskipun dengan nominal yang cukup besar. Partisipasi melalui retribusi sampah menunjukkan bentuk pengertian terhadap partisipasi yang amat sempit dan bersifat individualistik, tetapi kenyataan tersebut muncul pada

97 permukiman lapisan atas. Untuk bentuk partisipasi langsung, sebagian besar merasa bahwa hal tersebut tidak diperlukan dan telah cukup dengan membayar retribusi sebab selama ini tidak terjadi masalah yang berarti dan sampah terangkut dari lokasi permukiman tersebut. Kondisi kawasan yang tertata baik dan dilalui jalur jalan utama, menjadikan wilayah permukiman lapisan atas mendapat perhatian lebih dari petugas kebersihan. Secara visual, permukiman lapisan atas terlihat berbeda jauh dibandingkan dengan permukiman lapisan menengah, seperti terlihat pada Gambar 31 berikut, Gambar 31. Permukiman Lapisan Atas di Sekitar Danau RW 011 Cibubur yang Berdampingan dengan Permukiman Lapisan Menengah di RW 09 Cibubur (Google Earth, 2007) Pada kawasan permukiman lapisan menengah dan menengah atas, interaksi sosial relatif masih tinggi, sebab jarak antar rumah masih cukup dekat dan berjalannya forum-forum komunikasi dalam masyarakat, seperti pertemuan bulanan warga, PKK dan majlis ta lim. Umumnya masyarakat pada permukiman lapisan menengah atas telah memiliki persepsi yang cukup tentang pengelolaan sampah dan berminat untuk berpartisipasi. Kendala terbesar pada permukiman lapisan menengah atas adalah bagaimana memulai program pemilahan dan penyesuaian sistem pengelolaan sampah dengan yang sudah berjalan saat ini.

98 Secara visual, permukiman lapisan menengah atas dapat dilihat pada Gambar 32 berikut, Gambar 32. Permukiman Lapisan Menengah Atas di RW 04 Pondok Kelapa (Google Earth, 2007) Pada kawasan permukiman lapisan bawah, interaksi sosial sangat tinggi dengan ciri bangunan yang padat, terbuka dan memiliki kebersamaan yang tinggi karena adanya perasaan senasib. Forum-forum komunikasi dalam masyarakat berjalan baik, tetapi yang menjadi kendala adalah pengetahuan yang terbatas tentang pengelolaan sampah yang baik, dan kemampuan ekonomi yang rendah, sehingga mereka mencari alternatif yang paling murah dalam mengelola sampah. Apabila tempat tinggal berdekatan TPS, mereka membuang sendiri sampahnya dan tidak membayar retribusi sampah. Demikian pula apabila masih ada lahan kosong untuk membuang dan atau membakar sampah. Pada kawasan permukiman yang merupakan kombinasi lapisan menengah bawah, maka golongan bawah menjadi penghubung interaksi sosial yang terjadi. Meskipun demikian, umumnya block leader berada pada lapisan yang lebih tinggi, dalam hal ini lapisan menengah, sehingga inisiatif untuk berpartisipasi dapat berasal dari lapisan tersebut. Secara visual, pada permukiman lapisan menengah bawah tampak terbatasnya ruang terbuka hijau dan padatnya permukiman, seperti dapat dilihat pada Gambar 33 berikut,

99 Gambar 33. Permukiman Lapisan Menengah Bawah yang Padat dan Tidak Teratur di RW 03 Kelurahan Kramat Jati (Google Earth, 2007) Kajian tipologi permukiman yang dikaitkan dengan pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah permukiman penting untuk mendukung pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sampah. Salah satu faktor penting dalam pengembangan partisipasi masyarakat adalah pola pendekatan yang berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Penyeragaman cara pengelolaan hanya akan menimbulkan kegagalan dalam implementasi program, seperti yang sering terjadi sampai saat ini. Oleh karena itu, melalui tipologi permukiman dan pola partisipasi masyarakat, diharapkan pemerintah daerah dapat memfasilitasi program yang lebih dapat diterima oleh masyarakat (social acceptability). Di samping itu, rumusan strategi dan mekanisme perencanaan sosial partisipatif dalam pengelolaan sampah permukiman dapat membantu penyusunan program secara partisipatif dengan melibatkan stakeholders yang sekaligus dapat berperan sebagai agents of change di masing-masing kawasan permukiman. Dari kelima tipe permukiman tersebut, yang terdapat di wilayah kajian hanya empat tipe saja, yaitu tanpa permukiman Lapisan Bawah. Permukiman lapisan bawah secara spesifik dikaji di wilayah RW 01 Kelurahan Pondok Kelapa-Duren Sawit Jakarta Timur, dengan melakukan kajian kualitatif, sebab hanya sebagian kecil saja dari wilayah RW 01, bahkan tidak mencapai satu RT.

100 Keempat tipe permukiman tersebut menunjukkan karakteristik yang cukup spesifik, baik dari aspek fisik maupun pola interaksi sosial di dalam pengelolaan sampah permukiman. Permukiman lapisan menengah bawah yang ditandai dengan permukiman tidak teratur, cukup padat dan lebar jalan dalam permukiman sempit, menunjukkan tingkat partisipasi dalam bentuk retribusi yang sangat rendah dalam pengelolaan sampah permukiman. Pada tipe permukiman lapisan menengah bawah, koordinasi dalam pengelolaan sampah sangat rendah dan pada beberapa RT bahkan tidak ada. Umumnya masyarakat melakukan pembuangan sendiri, baik ke TPS terdekat, pinggir sungai atau danau, lahan kosong, dan melakukan pembakaran sendiri sampah yang dihasilkannya. Salah satu aspek positif pada tipe permukiman tersebut adalah mereka mau berpartisipasi dalam pemilahan sampah untuk sampah yang memiliki nilai ekonomi. Selain koran, kertas dan dus, beberapa wilayah dengan tipe permukiman Menengah Bawah, bahkan sudah mulai memilah kaleng bekas dan kemasan minuman karena memiliki nilai jual dan ada pemulung yang mengumpulkannya, atau mereka mengetahui lokasi lapak terdekat. Pada tipe tersebut, respon untuk melakukan upaya pemilahan dan daur ulang sampah dapat muncul apabila terdapat nilai ekonomi dari kegiatan pengelolaan sampah dan adanya satu atau beberapa orang block leader yang mampu memotivasi masyarakat untuk memulai upaya tersebut. Pada permukiman lapisan menengah yang ditandai dengan permukiman yang sudah teratur dan tertata, lebar jalan di dalam permukiman sedang dan dapat dilalui oleh dua mobil berpapasan, dengan tingkat pendidikan Kepala Keluarga (KK) yang cukup tinggi, memperlihatkan partisipasi yang cukup tinggi dan lebih terkoordinasi dalam pengelolaan sampah serta memberikan respon yang positif terhadap rencana pemilahan dan daur ulang yang dimulai di tingkat rumah tangga. Oleh sebab itu, pada tipe permukiman lapisan menengah, masyarakat relatif mudah digerakkan siapapun pemimpin (Ketua RW dan perangkatnya) yang dipilih, sebab dasar partisipasi mereka adalah wawasan dan kepedulian terhadap lingkungan. Meskipun demikian, adanya block leader atau pemimpin/motivator dalam satu lingkungan kecil, tetap diperlukan untuk memberi motivasi dan menjaga agar kegiatan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Pada permukiman lapisan menengah atas yang merupakan transisi ke arah permukiman lapisan atas, umumnya ditandai dengan lingkungan yang

101 sudah tertata baik dengan jalan yang lebar dan luas bangunan antara 165-250m 2 masih menunjukkan tingkat partisipasi yang relatif tinggi, dengan bertumpu pada keterlibatan para petugas kebersihan lingkungan untuk mengelola sampah. Meskipun tingkat pengetahuan, akses terhadap informasi, tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan mereka relatif tinggi, tetapi karena interaksi sosial di antara anggota masyarakat dalam permukiman tersebut relatif rendah, maka kemampuan dan motivasi mereka untuk turut memilah dan mendaur ulang sampah, relatif terbatas. Pada permukiman lapisan atas, partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah lebih pada kesediaan mereka untuk membayar retribusi sampah dalam jumlah yang relatif tinggi, yaitu rata-rata di atas Rp. 25.000,- perbulan dibandingkan dengan permukiman menengah bawah yang retribusinya berkisar antara Rp. 2.000 Rp. 5.000,- perbulan. Dengan permukiman yang memiliki jalan utama lebar, taman-taman lingkungan yang tertata dan ada pengelola yang bertugas khusus untuk itu, maka masyarakat lapisan atas umumnya hanya mengetahui hasil akhir proses karena telah membayar relatif besar untuk hal tersebut. Meskipun wawasan dan kepedulian mereka cukup tinggi, tetapi umumnya sangat rendah keterlibatan mereka secara langsung dalam pengelolaan sampah. 5.2. Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat Persepsi dan sikap masyarakat terhadap sampah dan pengelolaan sampah permukiman sangat mempengaruhi perilaku dan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah di lingkungan masing-masing. Dari 170 responden yang diwawancarai dan mengisi kuesioner, terlihat bahwa tipe permukiman dan ketersediaan infrastruktur sampah sangat mempengaruhi perilaku responden dalam membuang sampah. Hal tersebut tergambar dari masih adanya pembuangan sampah ke lahan kosong, danau/situ dan saluran air, di samping pembakaran sampah akibat minimnya fasilitas tempat pengumpulan sampah sementara (TPS). Di samping itu, pola partisipasi yang terbentuk dan dikembangkan di setiap wilayah permukiman, sangat bergantung pada tipe permukimannya. Pada permukiman yang teratur, partisipasi dalam pengelolaan sampah lebih terkoordinasi dibandingkan dengan permukiman tidak teratur.

102 Hampir seluruh permukiman yang tidak teratur umumnya masih memiliki lahan kosong yang cukup luas, kecuali di Kelurahan Kramat Jati. Di samping itu, kemampuan ekonomi masyarakat relatif beragam. Hal tersebut terlihat pada rendahnya retribusi sampah perbulan yang dapat ditarik dari warga, yaitu berkisar antara Rp. 1.000,- sampai dengan Rp. 10.000,- bahkan sebagian besar warga yang membuang sampah sendiri karena lokasinya berdekatan dengan TPS, atau membakar sendiri sampahnya karena memiliki lahan kosong, tidak mau membayar retribusi sampah. Pada permukiman yang teratur, meskipun termasuk lapisan menengah-bawah, menengah, atau menengah atas, umumnya pengelolaan sampah sudah terkoordinasi dengan cukup baik dengan tingkat retribusi yang beragam per wilayah (RW) sesuai dengan kesepakatan dan tingkat pendapatan warganya. Secara garis besar, hasil penelitian kuantitatif digambarkan oleh model persepsi, sikap, perilaku dan partisipasi melalui Path Analysis sesuai dengan teori awal yang dibangun. Path analysis yang dilakukan menggunakan delapan variabel bebas dan empat variabel terikat, hasilnya tidak diperoleh model yang cocok jika berdasarkan pada model dasar penelitian. Hal ini terindikasi dari nilai p-value yang sangat kecil yaitu sebesar 0,000. Nilai tersebut berada di bawah nilai minimal yang dipersyaratkan sebagai ukuran kecocokan model yaitu sebesar 0,050. Pada model pertama tersebut, nilai galat sangat besar (RMSEA=0,138), dan sebagian besar nilai korelasi antar variabel tidak berbeda nyata. Untuk itu dilakukan perubahan model sesuai dengan tahapan prosedur dalam software tersebut, sehingga terbentuk model kedua dan ketiga (Lampiran 2). Pada Model Kedua terdapat beberapa jalur yang dihilangkan sehingga model yang terbentuk menjadi lebih sederhana. tersebut mendapatkan nilai p-value sebesar 0,24232 dan nilai galat yang rendah yaitu 0,032. Masih pada model kedua terdapat beberapa variabel bebas, yang setelah dilakukan modifikasi, tidak memiliki garis pengaruh (jalur) ke variabel terikat manapun. Variabel Lingkungan Sosial (X5) ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Persepsi, demikian pula variabel Status Sosial (X7) yang tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap Sikap. Oleh sebab itu, variabelvariabel tersebut dihilangkan untuk memperoleh model yang lebih mudah dan lebih sederhana, sehingga terbentuk model ketiga. Model ketiga menampilkan delapan buah koefisien jalur yang diestimasi dalam model tersebut, dan keseluruhan koefisien memiliki nilai t-hitung yang

103 cukup tinggi, yaitu berada di atas nilai 1,96 yang menjadi batasan minimal signifikansi dari masing-masing nilai t-hitung. Model ketiga merupakan model yang paling baik dengan nilai galat sangat kecil (RMSEA = 0,000) dan nilai P sebesar 0,96490 yang jauh melebihi batas minimal yang dipersyaratkan, yaitu 0,050. Model tersebut sebenarnya sudah memiliki kesesuaian yang optimal dengan data, tetapi untuk memperjelas hubungan dan korelasi antar variabel, beberapa korelasi yang tidak signifikan dibuang dan tampilan bagan diperbaiki, sehingga hasilnya terlihat pada Gambar 34 sebagai berikut, Keterangan : AI : Akses terhadap Informasi KY : Keyakinan PGT : Pengetahuan P : Persepsi PD : Pendidikan PR : Perilaku INC : Pendapatan S : Sikap PGL : Pengalaman PTS : Partisipasi Gambar 34. Model Persepsi, Sikap, Perilaku dan Partisipasi dalam Pengelolaan Sampah Permukiman Pada model di atas, terlihat bahwa faktor keyakinan memberikan kontribusi terbesar terhadap partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan secara signifikan memberikan kontribusi terhadap perilaku dalam mengelola sampah, sedangkan sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah dipengaruhi oleh pengalaman individu

104 tersebut dalam merespon permasalahan pengelolaan sampah di lingkungannya. Pada model akhir tersebut, terlihat bahwa tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan secara signifikan dapat mempengaruhi perilaku dalam mengelola sampah, sedangkan sikap seseorang terhadap pengelolaan sampah dipengaruhi oleh pengalaman individu tersebut dalam merespon permasalahan pengelolaan sampah di lingkungannya. Tingkat pengetahuan dan aksesibilitas terhadap informasi, khususnya mengenai pemilahan sampah, secara signifikan mempengaruhi persepsi individu terhadap pengelolaan sampah. Tingkat pengetahuan dan akses terhadap informasi berkorelasi dengan keyakinan individu, dan faktor keyakinan kemudian secara signifikan memberikan kontribusi terhadap tingkat partisipasi individu. Tingkat pengetahuan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap terbentuknya persepsi individu, sedangkan aksesibilitas terhadap informasi, khususnya mengenai pemilahan dan daur ulang sampah, secara signifikan memberikan kontribusi terhadap persepsi individu dan partisipasi dalam pengelolaan sampah. Persepsi ternyata tidak secara langsung berkontribusi terhadap partisipasi, tetapi mempengaruhi perilaku, baru kemudian perilaku berkontribusi terhadap partisipasi. Untuk itu, sejalan dengan penelitian Chu et al. (2004), salah satu faktor penting dalam mewujudkan partisipasi masyarakat adalah memperkuat keyakinan melalui sistem pengelolaan yang jelas dan dukungan penuh dari pemerintah daerah. Selain itu, diperlukan pula informasi yang memadai dan peningkatan pengetahuan masyarakat dalam berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan sampah. Sejalan dengan model tersebut, masyarakat berpendapat bahwa faktor persepsi dan sikap memegang peran penting sebagai kendala dalam meningkatkan partisipasi. Hal tersebut tergambar dari tingginya pendapat yang menyatakan bahwa faktor kurangnya kesadaran warga (56,47%) yang menjadi kendala utama, disamping faktor infrastruktur yang belum memadai dalam pengelolaan sampah seperti terlihat pada Tabel 19 berikut,

105 Tabel 19. Kendala Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Permukiman No. Kendala dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Frekuensi Persentase (%) 1 Infrastruktur 3 1,76 2 Kesadaran warga kurang 96 56,47 3 Saat ini sudah cukup baik 28 16,47 4 Lainnya 19 11,18 5 Tidak tahu 24 14,12 Jumlah 170 100,00 Untuk itu, upaya yang paling penting dilakukan adalah penyuluhan mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang dilakukan secara rutin dan terusmenerus, disertai dengan pertemuan-pertemuan untuk selalu mengingatkan masyarakat dalam memilah sampah. Hal tersebut terlihat pada Tabel 20 berikut, Tabel 20. Upaya Peningkatan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilahan Sampah Permukiman No. Upaya dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Frekuensi Persentase (%) 1 Penyuluhan Rutin 67 39,41 2 Pertemuan untuk selalu mengingatkan 54 31,76 3 Lainnya 26 15,29 4 Tidak tahu 23 13,53 Jumlah 170 100,00 Penyuluhan mengenai pemilahan dan daur ulang sampah sebagai suatu bentuk pemberian informasi yang lebih cenderung bersifat searah, ternyata masih menjadi terminologi yang umum di masyarakat. Meskipun demikian, yang dimaksud oleh masyarakat sebagai penyuluhan pada dasarnya memiliki arti yang lebih luas dan bentuknya tidak selalu merupakan pemberian informasi satu arah. Hal tersebut terungkap dari penilaian masyarakat bahwa yang dimaksud penyuluhan adalah penjelasan langsung maupun tidak langsung, diskusi, pelatihan dan lain-lain. Pertemuan rutin untuk mengingatkan warga dalam implementasi pemilahan dan daur ulang sampah merupakan bentuk motivasi yang harus secara intensif dan berkesinambungan dilakukan oleh block leader. Oleh sebab itu, informasi dan motivasi merupakan dua faktor yang sangat penting yang disadari oleh sebagian besar masyarakat sebagai prioritas utama upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah permukiman.

106 Informasi merupakan bagian penting untuk membentuk persepsi yang pada akhirnya akan membentuk perilaku tertentu, sebab persepsi merupakan faktor antara dalam mempengaruhi perilaku. Informasi mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang tepat sasaran adalah informasi yang disesuaikan dengan karakteristik masyarakat, bukan informasi yang bersifat umum dengan format yang umum pula, seperti bentuk iklan layanan masyarakat di media elektronik. Informasi mengenai pemilahan dan daur ulang sampah yang bersifat umum hanya diperlukan dalam proses sosialisasi program atau kebijakan yang akan diberlakukan, tetapi untuk mengubah persepsi dan perilaku masyarakat dalam mengelola sampah, diperlukan bentuk informasi yang lebih khusus dan disesuaikan dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, sejalan dengan penentuan tipologi permukiman, maka perlu dirumuskan bagaimana bentuk informasi dan motivasi yang tepat untuk setiap tipe permukiman. Hal tersebut dapat melahirkan tipologi partisipasi yang relevan pada setiap tipe permukiman yang ada. 5.3. Studi Kasus Beberapa Kegiatan Pengelolaan Sampah di DKI Jakarta Pengelolaan sampah secara terpadu yang berbasis zero waste secara teoritis dapat mereduksi sampah sampai 97 persen, dengan sisa pembakaran berupa residu hanya tinggal tiga persen yang berbentuk abu dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan (Bebassari, 2004). Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan BPPT telah melaksanakan pilot proyek di wilayah Kelurahan Rawasari, Jakarta Pusat. Dalam upaya penerapan sistem tersebut berbagai fasilitas disediakan, tetapi tidak melibatkan seluruh stakeholders, sehingga pilot proyek tersebut tidak dapat berkembang dan tidak bertahan lama karena tidak memperoleh dukungan dari masyarakat sekitarnya (Kholil, 2004). Saat ini, fasilitas tersebut hanya digunakan apabila ada kegiatan tertentu yang berkaitan dengan pengelolaan sampah, seperti pelatihan dan kunjungan 1. Di setiap wilayah kotamadya di DKI Jakarta juga diimplementasikan sistem pengelolaan sampah terpadu berbasis zero waste, yang merupakan 1 Berdasarkan wawancara dengan petugas Suku Dinas Kebersihan Jakarta Pusat pada tanggal 20 April 2005. Pemilahan pun dilakukan di TPS dengan tenaga kerja yang dibayar dan selanjutnya dilakukan pengomposan, daur ulang dan pembakaran sampah dengan mini incinerator. Kegiatan ini hanya dilakukan pada waktu tertentu saja apabila diperlukan, misalnya pada saat kunjungan, pelatihan dan lain-lain.