1 PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Di dalam dunia pertambangan tidak terlepas dari hal mengenai kelerengan. Hal ini dapat dilihat dari struktur dan bentuk dari final wall yang terbentuk akibat proses penambangan di tambang lahan terbuka. Menurut Maleki dkk (2011) dari geometri lereng dikatakan bahwa tinggi, lebar dan sudut kemiringan bench adalah parameter geometris yang paling signifikan dari lereng dan permukaan curam. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa salah satu parameter geometris dari lereng yang sangat penting ialah sudut kemiringan yang juga merupakan salah satu penyebab terjadinya longsor. Sehingga perlu diadakannya pemantauan sudut kemiringan dari suatu lereng final wall di area tambang lahan terbuka. Geodesi memiliki peran yang cukup besar dalam melakukan pengukuran, pemodelan serta penentuan besar sudut kelerengan yang cukup teliti. Metode yang telah dilakukan sampai saat ini ialah dengan pengukuran terestrial seperti Total Station dan RTK GNSS serta dengan remote sensing seperti Terrestrial Laser Scaner. Kendala utama yang sering kali terjadi di lapangan ialah waktu yang cukup lama dan biaya yang cukup mahal. Seiring berkembangnya teknologi survei dan pemetaan maka munculah tuntutan pekerjaan yang memaksa untuk bekerja cepat, tepat dan akurat. Penelitian mengenai pembuatan model 3D dan perhitungan volume bahan galian tambang menggunakan konsep fotogrametri telah banyak dilakukan. Penlitian tersebut memukan bahwa konsep fotogrametri dapat diaplikasikan dalam pembuatan model 3D dan perhitungan volume yang didasari penentuan posisi objek (Wicaksono 2011). Berdasarkan penelitian tersebut akan dilakukan penerapan konsep fotogrametri dalam penentuan sudut kelerengan pada tambang lahan terbuka. Dengan penerapan konsep foto ini maka akan diperoleh suatu model 3D dari objek sehingga mempermudah dalam menentukan sudut kelerengan dari objek tersebut. Proses akuisisi data dari fotogrametri terestrial ini berlangsung cukup cepat karena hanya berupa capture foto yang selanjutnya dilakukan pengolahan data di studio dan tidak membutuhkan personel yang banyak. Sejauh ini penerapan
2 pemanfaatan fotogrametri terestial dalam pemantauan kelerengan sudah cukup berkembang, pada proyek kali ini metode pengamatan pemantauan kelerengan dengan fotogrametri terrestrial akan diterapkan di pertambangan lahan terbuka. I.2 Rumusan Masalah Pada proyek ini akan dilakukan pekerjaan pemantauan kelerengan dengan mencoba menerapkan metode fotogrametri terestrial. Penerapan metode fotogrametri terrestrial ini diharapkan mampu meningkatkan kecepatan, ketepatan dan keakuratan pada pemantauan kelerengan di area pertambangan. Metode ini mempersingkat waktu dalam akuisisi data di lapangan serta pemodelan dapat dilaksanakan di studio dengan perangkat lunak SiroVision. I.3 Tujuan Proyek Proyek ini bertujuan untuk menerapkan konsep fotogrametri terestrial dalam pemantauan sudut kelerengan final wall pada tambang lahan terbuka. I.4 Manfaat Proyek Adapun manfaat yang diharapkan dari proyek ini adalah : 1. Memberikan alternatif metode dalam proses pemantauan sudut kelerengan pada pertambangan lahan terbuka maupun pada lahan yang berpotensi longsor lainnya. 2. Membentuk model 3D yang diharapkan dapat membantu dalam visualisasi serta pengkajian sudut kelerengan model final wall jika diperlukan nantinya. I.5 Tinjauan Pustaka Afeni dan Cawood (2013) melakukan penelitian menggunakan Robotic Total Station dalam pemantauan kelerengan. Meskipun pemantauan menggunakan Robotic Total Station dilakukan secara otomatis, namun membutuhkan persiapan yang cukup lama, perlunya desain persebaran reflektor serta pemasangan reflektor pada objek yang akan dipantau. Pada penelitian ini didapat kesimpulan bahwa pemantauan menggunakan Robotic Total Station masih memiliki kendala dari segi waktu, biaya serta kondisi atmosfer. Pada penelitian ini disarankan dalam pemantauan hendaknya didukung dengan teknik-teknik lain.
3 Hyun Kim, dkk (2013) melakukan penelitian mengenai pemanfaatan metode fotogrametri yang menghasilkan model 3D dari permukaan lereng dan menentukan karakteristik diskontinuitas dari struktur batuan. Penelitian ini menggunakan kamera digital non metrik Nikon D7000 dengan panjang fokus 24mm. Penelitian ini menggunakan SiroVision (CSIRO 2005) untuk menganalisis image dan membentuk model 3D pada setiap sisi lereng. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu menyebutkan bahwa dengan fotogrametri dapat menentukan joint spacing dan ukuran blok dari lereng, I.6 Landasan Teori I.6.1 Pertambangan Pasal (1) ayat (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara menyebutkan : Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang Pertambangan digolongkan menjadi tiga metode yaitu tambang lahan terbuka, tambang bawah tanah dan tambang bawah air. Penambangan lahan terbuka dilakukan dengan cara pengupasan tanah penutup bahan tambang yang selanjutnya dibentuk sedemikian rupa menjadi suatu geometri dengan desain tertentu. I.6.2 Final Wall. Final wall merupakan batas akhir dari area sebuah pertambangan yang padanya dibentuk bench dan berm yang bertujuan untuk mencegah terjadinya longsor, Bench height merupakan ketinggian antara jenjang yang terbentuk pada final wall, sedangkan Berm merupakan space dalam jarak tertentu yang menghubungkan antar bench secara mendatar (Andaru 2014). Ilustrasi dari bentuk final wall dapat digambarkan seperti Gambar I.1 berikut :
4 Gambar I.1 Penampang Final Wall Keterangan Gambar : α = Overall Slope Angle( Sudut kelerengan total ) β = Slope (Sudut kelerengan tiap bench) s = Berm b = Bench Height Dalam menentukan sudut kelerengan terlebih dahulu menentukan 2 titik koordinat (x,y) yang dilalui oleh garis lurus dari setiap sampel. Ilustrasi penentuan sudut kelerengan dapat dilihat pada Gambar I.2 berikut : Yb h ΔY Ya ΔX Xa Xb Gambar I.2 Ilustrasi perhitungan sudut lereng Keterangan : Xa, Ya, Xb, Yb h = Koordinat titik sample = sudut lereng (overall Slope angle) Berdasarkan konsep trigonometri, besar sudut h dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : h = tan 1 ( Yb Ya )... (I.1) Xb Xa
5 I.6.3 Longsor Longsor merupakan fenomena alam yang terjadi pada suatu daerah yang memiliki kelereng yang cukup besar. Menurut Hidayati (2012) tanah longsor merupakan potensi bencana yang diakibatkan dari pergerakan tanah yang mengalami perubahan keseimbangan. Analisis potensi longsor dapat ditinjau dari parameter parameter faktor keamanan yang meliputi sudut geser, kohesi, berat isi dan susunan batuan (Hidayati 2012). Tanah longsor menjadi salah satu bencana alam yang sangat perlu diperhatikan. Salah satunya dengan menganalisa stabilitas lereng sehingga didapat faktor keamanan dari bentuk lereng tertentu agar nantinya dapat dijadikan pedoman dalam mengantisipasi segala dampak negative yang diakibatkan dari longsor itu sendiri. Menurut Suryatmoko dan Soedjoko (2008) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya longsor di suatu kawasan tertentu, diantaranya kelerengan, morfologi lereng, jenis batuan, kondisi tanah, pelapisan tanah, frekuensi gangguan gempa baik tektonik maupun vulkanik. Dalam Pangemanan (2014) menyebutkan bahwa terdapat beberapa cara untuk menstabilkan lereng yang berpotensi terjadi kelongsoran, yaitu: 1. Memperkecil gaya penggerak atau momen penyebab longsor. Gaya atau momen penyebab longsor dapat diperkecil dengan cara merubah bentuk lereng, yaitu dengan cara: a. Merubah lereng lebih datar atau memperkecil sudut kemiringan b. Memperkecil ketinggian lereng c. Merubah lereng menjadi lereng bertingkat (multi slope). 2. Memperbesar gaya lawan atau momen penahan longsor. Gaya lawan atau momen penahan longsorr dapat diperbesar dengan beberapa cara yaitu: a. Menggunakan counter weight yaitu tanah timbunan pada kaki lereng. Cara ini mudah dilaksanakan asalkan terdapat tempat dikaki lereng untuk tanah timbunan tersebut. b. Dengan mengurangi air pori di dalam lereng c. Dengan cara mekanis yaitu dengan memasang tiang pancang atau tembok penahan tanah.
6 I.6.4 Fotogrametri terrestrial Fotogrammetri terrestrial merupakan salah satu cabang dari ilmu fotogrametri yang mempelajari foto yang dibuat dengan kamera yang terletak pada permukaan bumi (Wolf 1993). Pada dasarnya fotogrametri terestrial ini digunakan untuk penggunaan non-topografi. Posisi suatu objek dapat diketahui dari foto terrestrial dengan minimal objek tersebut direkam dalam dua buah foto, dengan demikian suatu objek dapat diketahui posisinya relatif terhadap stasiun pengambilan gambar. Penentuan posisi objek dari rekaman foto terrestrial dapat diilustrasikan pada Gambar I.3 dan Gambar I.4. (Wolf 1993) : A x a a y a βa V A A h A h V A β'a a' y' a x' a L Gambar I.3 Penentuan posisi titik melalui perpotongan dua foto terrestrial (sumber : Wolf.1993) L X A Sumbu optis pemotretan L ϕ A α a Sumbu optis pemotretan L α a f L a δ ϕ B Y A a' δ' ϕ' L f Gambar I.4 Tampak atas perpotongan dua foto terrestrial (sumber : Wolf.1993)
7 Untuk dapat menentukan posisi relatif objek terhadap stasiun pemotretan dapat dijelaskan dari Gambar I.4 dan dapat dilakukan perhitungan dengan persamaan berikut (Wolf 1993) : = δ α a... (I.2) = δ + α a... (I.3) " = 180... (I.4) Jarak LA dan L A dapat dihitung dengan memanfaatkan hokum sinus, sehingga diperoleh formula berikut : LA = L A = B sin sin " B sin sin "... (I.5)... (I.6) Posisi A (XA, YA) dapat dihitung dengan formula berikut : X A = (LA) cos... (I.7) Y A = (LA) sin... (I.8) merujuk pada Gambar I.3, ketinggian titik A dapat ditentukan dengan : VA = LAh tan βα... (I.9) Elevasi A = Elevasi L + V A... (I.10) Nilai LAh pada persamaan (I.9) sama dengan jarak mendatar LA yang terdapat pada persamaan (I.5). Dengan demikian diperoleh posisi dari titik tersebut, jika terdapat lebih dari dua foto maka dapat dilakukan hitungan seperti persamaan (I.2) hingga (I.10) kemudian dilakukan perataan.
8 I.6.5 Kamera Pada dunia fotogrametri dikenal dua klasifikasi kamera yaitu kamera metrik dan kamera non-metrik. Kamera metrik merupakan suatu kamera yang nilai parameter orientasi dalam (IOP) nya telah diketahui. Nilai IOP merupakan nilai kalibrasi dari suatu kamera. Pada kamera metrik nilai IOP yang meliputi panjang fokus, koordinat titik utama dan distorsi lensa. Nilai IOP pada kamera metrik relatif stabil. Pada kamera metrik terdapat tanda-tanda fidusial yang dibuat pada bidang fokusnya yang cukup teliti untuk menetapkan titik utamanya, tetapi dalam terminologi digital saat ini, kamera metrik jenis large format tidak memiliki tanda fidusial. Sedangkan kamera non-metrik dibuat untuk foto profesional maupun amatir yang mana kualitas gambar lebih dipentingkan daripada kualitas geometri. Kamera non-metrik tidak memiliki tanda-tanda fidusial, namun dapat dilakukan modifikasi untuk memasukkan nilai fidusial tersebut (Wolf 1993). Pada kamera dilengkapi dengan lensa yang digunakan untuk memfokuskan objek. Selain itu lensa juga berperan dalam menangkap sinar yang dipantulkan oleh objek. Sinar ditangkap oleh CCD seketika sinar melalui lensa kamera. CCD ( Charge Couple Device) berfungsi sebagai sensor yang bisa mengubah photon menjadi elektron ketika jatuh mengenai permukaan sensor. Elektron ini akan diubah kedalam bentuk sinyal elektronik yang sebelumnya diakumulasikan ke dalam kapasitor. Semakin banyak sel CCD di sensor, maka semakin tinggi resolusinya dan mengakibatkan media penyimpanan yang dibutuhkan semakin besar (Suharsana 1997). Kamera digital juga dilengkapi dengan LCD (Liquid Crystal Display). LCD ini merupakan sebuah layar monitor yang diguakan sebagai media untuk melihat secara langsung hasil pemotretan serta dapat membantu dalam pemilihan dan pengaturan menu, serta semua operasi dapat dilakukan secara interaktif (Wicaksono 2011). I.6.6 Sistem koordinat piksel Sistem koordinat piksel dinyatakan dalam baris dan kolom (r, c). Koordinat baris bertambah ke bawah dan koordinat kolom bertambah ke arah kanan. Sistem Koordinat piksel dapat dilihat pada Gambar I.5 berikut :
9 Kolom (c) baris (r) Gambar I.5 Sistem koordinat piksel I.6.7 Sistem koordinat foto Pada setiap detil dalam fotogrametri dinyatakan dalam sistem koordinat kartesian (X, Y) dengan origin yang selalu berbeda pada setiap foto. Koordinat dengan kondisi demikian disebut dengan koordinat foto. Perbedaan origin pada setiap foto yang mengakibatkan perbedaan sistem koordinat pada setiap foto. Untuk menyamakan sistem koordinat, diperlukan transformasi berupa translasi, skala dan orientasi. Dalam fotogrametri terestris untuk pemodelan model tiga dimensi, diperlukan proses transformasi koordinat dari sistem koordinat foto ke sistem koordinat tanah. Transformasi koordinat tersebut direferensikan dalam kerangka referensi tertentu (Sarinurrohman 2005). I.6.8 Hubungan koordinat foto dan koordinat piksel Sistem koordinat foto merupakan sistem koordinat lokal, sehingga semua objek dalam satu foto hanya dapat ditentukan posisinya terhadap sistem koordinat foto pada foto tersebut. Origin pada sistem koordinat foto ialah perpotongan dari garis fidusial. Sistem koordinat piksel merupakan sistem koordinat yang ditentukan dalam bilangan baris dan kolom. Origin dari suatu sistem koordinat piksel ialah terletak pada sudut kiri atas dari suatu image. Hubungan koordinat foto dan koordinat piksel dapat dilihat pada Gambar I.6 berikut :
10 O w y foto (+) x piksel h O x foto (+) y piksel Gambar I.6 Sistem koordinat foto dan sistem koordinat piksel Transformasi dari sistem koordinat piksel ke sistem koordinat foto ditentukan dengan persamaan I.11 dan I.12 berikut : x = (x w )...(I.11) 2 y = ( h y )... (I.12) 2 Keterangan : x,y = koordinat foto x, y = koordinat piksel w, h = width dan height merupakan ukuran image dalam piksel I.6.9 Metode Pengambilan Gambar Untuk memperoleh satu gambar tiga dimensi dengan menggunakan perangkat lunak SiroVision diperlukan dua gambar yang saling bertampalan dengan persentase pertampalannya sebesar 100%, artinya model yang terbentuk dari pertampalan dua foto ialah sebatas objek yang terekam secara bertampalan oleh kedua foto. Terdapat empat metode dalam pengambilan gambar yang dapat diolah menggunakan perangkat lunak SiroVision, yaitu Metode Tripod, Metode Handheld,
11 Metode Kombinasi antara Tripod dengan Metode Handheld dan Metode Kombinasi dari beberapa Metode Handheld (Saputra 2009). I.6.9.1 Metode Tripod Metode ini memerlukan koordinat tempat berdirinya kamera dan koordinat titik acuan pada dinding yang akan diambil gambarnya dengan minimal satu buat titik acuan untuk satu pasang gambar (Saputra 2009). Ilustrasi pemotretan dinding wall dengan metode tripod dapat dilihat pada Gambar I.7. Gambar I.7 Metode pengambilan gambar metode tripod (sumber : Saputra, 2009) Jika terdapat kondisi dinding target bagian atas tidak ter-cover dalam satu foto lihat Gambar I.8 berikut : Foto pertama Foto Kedua Gambar I.8 Sketsa pengambilan foto ke arah atas (sumber : Saputra, 2009)
12 maka dapat dilakukan pengambilan gambar dengan mengarahkan kamera kebagian atas dinding yang tidak tertangkap kamera oleh pengambilan foto pertama dengan catatan bahwa foto pertama telah memiliki GCP. Pengambilan gambar dilakukan sedemikian rupa hingga terdapat pertampalan antara foto pertama dan foto kedua (bagian atas) (Saputra 2009).. I.6.9.2 Metode Handheld Metode ini digunakan untuk area-area yang sulit untuk menempatkan kamera dengan menggunakan tripod. Metode ini tidak memerlukan koordinat kamera. Namun yang diperlukan adalah koordinat dari 3 titik acuan pada dinding yang di foto (Saputra 2009). Ilustrasi dapat dilihat pada Gambar I.9. Cara pengambilan foto relatif sama dengan Metode Tripod Keterangan : 1 = posisi kamera 1 2 = posisi kamera 2 s = jarak dinding dengan posisi kamera d = jarak antar titik pengambilan foto (basis) A1,A2,A3 = titik acuan Gambar I.9 Sketsa pengambilan gambar dengan metode handheld (sumber : Saputra, 2009) I.6.9.3 Metode Kombinasi tripod dengan handheld Metode ini merupakan kombinasi antara Metode Tripod dengan Metode Handheld dimana pengambilan foto dari area pemotretan X dilakukan dengan Metode
13 Tripod sedangkan yang area Y diambil dengan Metode Handheld. Cara pengambilan foto relatif sama dengan Metode Tripod (Saputra 2009). Ilustrasi pemotretan dengan metode kombinasi tripod dengan handheld dapat dilihat pada Gambar I.10. Keterangan : 1 = posisi kamera 1 2 = posisi kamera 2 3 = posisi kamera 3 4 = posisi kamera 4 s = jarak dinding dengan posisi kamera d = jarak antar titik pengambilan foto (basis) Z = overlap antara bidang X dan Y A = titik acuan metode tripod A1,A2,A3 = titik acuan Gambar I.10 Sketsa metode kombinasi tripod dan handheld (sumber : Saputra, 2009) I.6.9.4 Metode kombinasi dari beberapa metode handheld Metode ini merupakan kombinasi antara beberapa Metode Handhel. Apabila terdapat lebih dari dua lokasi pemetaan maka yang perlu di tempatkan titik acuan hanyalah area terluar saja sedangkan yang tengah tidak memerlukan titik acuan, ilustrasinya dapat dilihat Gambar I.11 (Saputra 2009).. Gambar I.11 Sketsa metode kombinasi dari beberapa metode handheld (sumber : Saputra, 2009) Keterangan : 1 = posisi kamera 1 2 = posisi kamera 2 3 = posisi kamera 3 4 = posisi kamera 4 5 = posisi kamera 5 6 = posisi kamera 6 s = jarak dinding dengan posisi kamera d = jarak antar titik pengambilan foto (basis) Q = overlap antara bidang X dan Y serta Y dan Z A1,A2,A3,A4,A5,A6 = titik acuan
14 I.6.10 Digital Elevation Model (DEM) Digital Elevation Model (DEM) merupakan data digital yang menggambarkan geometri dari bentuk permukaan bumi atau bagiannya yang terdiri dari himpunan titiktitik koordinat yang mewakili permukaan bumi dengan algoritma yang mendefinisikan permukaan tersebut (Temfli 1991). Terdapat beberapa istilah dalam model permukaan digital, antara lain Digital Terrain Model (DTM), Digital Surface Model (DSM), dan Digital Elevation Model. Digital Terrain Model/ Digital Elevation Model memiliki perbedaan yang cukup signifikan terhadap Digital Surface Model. Pada Gambar I.12 menunjukkan perbedaan antara DTM dan DSM. Gambar I.12 Perbedaan DTM dan DSM (sumber : http://www.computamaps.com/newsletter/3-3/newsletter3-3.html ) Digital Surface Model (DSM) merupakan suatu model digital yang merepresentasikan obyek permukaan bumi secara keseluruhan, termasuk tanaman dan bangunan yang ada diatas permukaan tanah. Sementara DTM hanya pada permukaan atau terain dari permukaan tanpa obyek lain seperti bangunan dan tanaman. Dari Hasil pengolahan data fotogrametri, diperoleh data DSM karena kamera merekam gambar secara keseluruhan area yang akan dimodelkan.
15 Terdapat tiga macam bentuk struktur dasar Digital Elevation Model menurut Prahasta (2008) yaitu : 1. Struktur garis, struktur model garis menampilkan nilai ketinggian elevasi dari sebuat terain di dalam sebuah garis kontur yang sering disebut Digital Line Graph (DLG) 2. Struktur grid, dalam struktur grid ini nilai ketinggian dari suatu terain diwakili oleh suatu nilai piksel yang mempunyai nilai ketinggian. Pada model grid, representasi permukaan lebih mudah dilakukan. Pembentukan DEM dengan struktur model grid sangat bergantung dari resolusi piksel yang digunakan dalam pembentukan DEM. Semakin besar resolusi pikselnya, maka ketelitian DEM yang dihasilkan akan semakin baik namun terlalu banyak mengabiskan memory penyimpanan. 3. Triangular Irregular Network (TIN). Untuk struktur model jaringan segitiga ini, suatu terain ditampilkan melalui suatu jaringan segitika yang datar. Permukaan terain dibentuk berdasarkan titik-titik sampling yang mewakili karakteristik dari terain tersebut. Untuk membentuk permukaan terain dibutuhkan minimal tiga buat titik sampling untuk membentuk suatu segitiga. I.6.11 Regresi Linier Menurut Gujarati (2009) dalam Sarwono (2013) ialah sebagai kajian terhadap hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel yang diterangkan (the explained variabel) dengan satu atau dua variabel yang menerangkan (the explanatory). Variabel pertama disebut juga sebagai variabel tergantung dan variabel kedua disebut juga sebagai variabel bebas. Jika variabel bebas lebih dari satu, maka analisis regresi disebut regresi linear berganda. Disebut berganda karena pengaruh beberapa variabel bebas akan dikenakan kepada variabel tergantung. Regresi merupakan proses estimasi salah satu dari variabel-variabel tersebut (variable terikat) dari variabel lainnya yang dikenal dengan sebutan variabel bebas. Pada suatu kurva jika y diestimasi dari suatu nilai x melalui suatu persamaan, maka persamaan tersebut dikenal dengan sebutan persamaan regresi y pada x. Contoh garis regresi linier yang terbentuk dari kumpulan titik koordinat dapat dilihat pada Gambar I.13 berikut :
16 Gambar I.13 Contoh garis Regresi Linier (sumber : http://erlindamettadewi-fst09.web.unair.ac.id ) Secara umum persamaan garis regresi dapat ditulis sebagai berikut : y = ax + b... (I.13) Garis regresi y pada x ditentukan oleh persamaan (I.13), dimana a dan b diperoleh dengan menyelesaikan persamaan-persamaan normal berikut ini : y = bn + a... (1.14) xy= b x + a x 2... (I.15) I.6.12 Root Mean Square Error Root Mean Square Error (RMSE) merupakan suatu nilai yang digunakan untuk menunjukkan ketelitian dengan melibatkan semua faktor kesalahan yang terjadi selama proses pengukuran atau produksi data. Secara matematis RMSE sama serupa dengan kesalahan baku, yaitu akar kuadrat dari rata-rata jumlah kuadrat residual. Untuk menghitung besar nilai RMSE dapat digunakan persamaan (I.16) berikut : RMSE = (x i µ) 2 n 1... (I.16) dengan RMSE = Root Mean Square Error µ = nilai sebenarnya xi n = nilai hasil ukuran = jumlah sampel/pengukuran