BAB II LANDASAN TEORI. Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya (dalam Munawar & Mujiono, 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 12 tahun), usia remaja madya (13-15 tahun) dan usia remaja akhir (16-19 tahun).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk

BAB II LANDASAN TEORI

PERBEDAAN REGULASI EMOSI ANTARA PENGHAFAL QURAN 1-15 JUZ DAN PENGHAFAL QUR'AN JUZ DI PONDOK PESANTREN NURUL QUR AN KRAKSAAN, PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. lingkungan tempat individu berada. Remaja menurut Monks (2002) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. kuantitatif. Metode penelitian menurut Sugiyono (2009),

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aisha Nadya, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB II TINJAUAN TEORI. A. Kesiapan Menghadapi Pertandingan Nasional Pada Atlet Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB II TINJAUAN TEORITIS

I. PENDAHULUAN. Lingkungan keluarga seringkali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa yang sangat penting. Masa remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi. dengan pedang panjang dan juga melempar batu.

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi


BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB III METODE PENELITIAN. Unsur yang paling penting di dalam suatu penelitian adalah metode penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan masa yang banyak mengalami perubahan dalam status emosinya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa anak menuju masa dewasa, dan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB III METODE PENELITIAN. komparasi akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaanperbedaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam menjalani hidupnya.

PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL SAAT BELAJAR. Laelasari 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang. Anak yang dilahirkan secara sehat baik dalam hal fisik dan psikis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan anak yang berbeda-beda. Begitu pula dengan pendidikan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB 1 PENDAHULUAN. diwarnai dengan berbagai macam emosi, baik itu emosi positif maupun

BAB I PENDAHULUAN. apabila individu dihadapkan pada suatu masalah. Individu akan menghadapi masalah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat saja terganggu, sebagai akibat dari gangguan dalam pendengaran dan

BAB I PENDAHULUAN. Stres senantiasa ada dalam kehidupan manusia yang terkadang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penjelasan Konsep Teoritis. identitas ( identity vs identity confusion). Menurut Kroger (dalam Papalia, 2004)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Hampir setiap hari kasus perilaku agresi remaja selalu ditemukan di media

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

I. PENDAHULUAN. kepribadian dan dalam konteks sosial (Santrock, 2003). Menurut Mappiare ( Ali, 2012) mengatakan bahwa masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial. Ia hanya dapat hidup berkembang dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Rahman (2013), perilaku prososial adalah segala tindakan yang

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah status yang disandang oleh seseorang karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dewasa ini pada akhirnya menuntut semakin

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diasuh oleh orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga

PENGEMBANGAN SOSIAL DAN KEPRIBADIAN. Program PLPG PAUD UAD 2017

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan perilaku maupun sikap yang diinginkan. Pendidikan dapat

TINJAUAN PUSTAKA Remaja Karakteristik Remaja Jenis Kelamin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. manusia, ditandai dengan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan kebutuhannya. Sekolah merupakan salah satu lembaga yang

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI A. REGULASI EMOSI 1. Pengertian Regulasi Emosi Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi emosi merupakan istilah yang ambigu karena regulasi emosi bisa diartikan dengan bagaimana emosi mengatur hal lainnya seperti pikiran, fisiologis, dan perilaku (pengaturan oleh emosi) atau bisa juga diartikan dengan bagaimana emosi itu sendiri diatur (pengaturan emosi). Gross (2002) menyatakan bahwa regulasi emosi itu mengacu pada proses yang kita pengaruhi dengan emosi yang kita miliki dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut. Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. 13

14 Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. 2. Ciri-Ciri Regulasi Emosi Gross (2007) menyatakan ada tiga ciri dari pengertian regulasi emosi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu: a. Kemungkinan bahwa seseorang bisa meregulasi emosi baik emosi positif ataupun negatif, dengan cara menaikkan atau menurunkan emosi tersebut. Namun, hanya sedikit yang diketahui apakah emosi seseorang bisa berubah sesuai dengan tahap perkembangan mereka. b. Regulasi emosi dilakukan dengan kesadaran, seperti memutuskan untuk mengubah topik yang menjengkelkan atau menggigit bibir sendiri saat marah. Tetapi, regulasi emosi juga bisa terjadi tanpa adanya kesadaran penuh, seperti saat seseorang membesar-besarkan kesenangannya setelah menerima hadiah yang tidak menarik (Cole, 1986) atau saat seseorang berpindah perhatian secara cepat dari sesuatu yang menjengkelkan (Boden & Baumeister, 1997). c. Regulasi emosi bukanlah suatu sifat yang baik ataupun buruk. Hal ini penting untuk dipahami, untuk menghindari kebingungan pada literatur-literatur mengenai stres dan cara mengatasinya (coping), dimana mekanisme

15 pertahanan yang standar dianggap sebagai sesuatu yang maladaptif dan berlawanan dengan strategi mengatasi stres yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang adaptif (Parker & Endler, 1996). Namun, dalam pandangan Gross dan Thomson (2007) bahwa proses regulasi emosi itu bisa digunakan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik ataupun lebih buruk, bergantung pada konteksnya. Selain itu, menurut Goleman (2004), individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi ini dapat dilihat dari enam kecakapan berikut ini: a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak secara efektif. b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. c. Memiliki sikap hati-hati d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan tantangan. e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi f. Memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya dan lingkungan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa seseorang bisa menaikkan, menjaga, dan menurunkan emosi-emosi negatif ataupun positif mereka. Seseorang bisa melakukan regulasi emosi dengan adanya kesadaran penuh ataupun tanpa disadarinya. Selain itu juga, regulasi emosi itu bukanlah merupakan suatu sifat baik ataupun buruk yang menetap. Sementara itu, individu

16 yang dikatakan memiliki regulasi emosi yang baik adalah jika bisa memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, bersikap hati-hati, mudah menyesuaikan diri, toleransi yang tinggi terhadap frustrasi, dan memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan lingkungan. 3. Aspek-aspek Regulasi Emosi Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu : a. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut b. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan. c. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik. d. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.

17 4. Strategi Regulasi Emosi Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (1998) ada dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yaitu : a. Antecedent-focused strategy Antecedent-focused strategy ialah strategi yang dilakukan seseorang saat emosi muncul dan terjadi sebelum seseorang memberi respon terhadap emosi. Antecedent- focused merupakan strategi dalam regulasi emosi dengan mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau menginterpretasi suatu peristiwa yang menimbulkan emosi. Oleh karena itu, strategi ini disebut juga dengan cognitive reappraisal. Antecedent-focused strategy dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi sehingga respon yang ditampilkan tidak berlebihan. b. Respon-focused strategy Respon-focused strategy ialah bentuk dari pengaturan respon dengan menghambat ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara dan perilaku. Strategi ini disebut juga dengan expressive suppression. Responfocused strategy hanya efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak membantu mengurangi emosi yang dirasakan. Individu yang sering menggunakan respon-focused strategy membuat seseorang menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa yang mereka rasakan serta akan menimbulkan perasaan negatif, daripada individu yang menggunakan antecedentfocused strategy. Penelitian membuktikan bahwa antecedent focused strategy lebih efektif sebagai strategi regulasi emosi daripada respon-focused strategy.

18 Menurut Gross (2001) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan lima cara, yaitu: a. Situation selection Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih menonton film komedi daripada membiarkan perasaan marah yang berlebihan saat diputuskan pacar. b. Situation modification Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang baru saja diputuskan pacarnya akan mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kenangan-kenangan yang dilalui bersama pasangannya agar tidak bertambah sedih. c. Attention deployment Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang sedih karena baru putus cinta maka ia akan mengalihkannya dengan berbagai cara seperti memikirkan bahwa akan ada lagi pasangan yang lebih baik dari sebelumnya. d. Cognitive change Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi

19 pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi adalah keberhasilan yang tertunda. e. Respon modulation Usaha individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan. Contohnya, seseorang yang tidak memperlihatkan ekspresi kesedihannya kepada orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam strategi dalam regulasi emosi yaitu antecedent-focused strategy, respon-focused strategy, situation selection, situation modification, attention deployment, cognitive change dan respon modulation. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi Gross (2007) menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu : a. Genetik Ada bagian di otak yang berkontribusi terhadap regulasi emosi. Penelitian lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT mempengaruhi tempramen dan affect individu. b. Usia Penelitian menemukan bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan merangking usia partisipan mulai dari 18-94 tahun, dan setiap partisipan diminta untuk melaporkan emosi yang dialaminya, hasilnya menunjukkan bahwa kontrol emosi semakin baik dengan bertambahnya usia.

20 c. Religiusitas Setiap agama mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah. d. Gaya pengasuhan Orang tua dapat mepengaruhi pembentukan regulasi emosi awal anak, dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang bagaimana cara mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang mengajarkan anaknya 30 menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dan ada orang tua yang mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi suppression. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah genetik, usia, religiusitas, dan pola asuh. B. MENTORING AGAMA ISLAM 1. Pengertian Mentoring Mentoring merupakan sebuah pola pengembangan diri yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an, mentoring adalah suatu proses yang hanya diberikan untuk proses penjenjangan karir. Namun seiring berjalannya waktu, mentoring hingga saat ini juga diterapkan dalam dunia pendidikan (Ingrid, 2005). Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi, instruksi, tantangan dan dorongan secara teratur selama periode waktu tertentu.

21 Mentoring biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan kompetensi serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini berlangsung, pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen bersama yang melibatkan karakter emosional dan diwarnai oleh sikap hormat serta kesetiaan (Santrock, 2007). Menurut McCreath (2000), mentoring merupakan sebuah pendekatan yang lebih bersifat persahabatan. Dimana dalam proses persahabatan tersebut ada visi untuk meningkatkan kualitas diri antar sesama baik secara pemikiran maupun emosional. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya mentoring adalah suatu proses peningkatan kualitas diri yang dilakukan secara interpersonal baik dalam hal pendidikan dan pekerjaan melalui pendekatan emosional diantara pementor dengan para mentee-nya yang sifatnya persahabatan. 2. Pengertian Mentoring agama Islam Satria (2010) mengatakan bahwasanya mentoring agama Islam merupakan sebuah metode pendidikan Islam yang efektif dilakukan. Dalam Islam, istilah mentoring agama Islam lebih dikenal dengan istilah halaqah atau usroh. sebuah istilah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran Islam. Mentoring terdiri dari sekelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari lembaga yang menaungi mentoring tersebut.

22 Proses jalannya mentoring agama Islam diawali dengan adanya pembukaan mentoring agama Islam. Pada acara tersebut, setiap mahasiswa muslim akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian akan didampingi oleh satu orang pementor (Muhammad, 2011). Rusmiyati (2003) menambahkan bahwasanya dalam proses mentoring agama Islam kegiatan pembinaan yang dilakukan kepada mahasiswa berlangsung secara periodik dengan bimbingan seorang pementor. Pola pendekatan teman sebaya yang diterapkan menjadikan program ini lebih menarik dan efektif serta memiliki keunggulan tersendiri. 3. Komponen Mentoring agama Islam Ada 3 komponen yang mempengaruhi jalannya proses mentoring, yakni : a. Pementor Pementor merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai pembina dalam proses mentoring. Biasanya pementor merupakan kakak kelas atau senior dari suatu tingkatan yang telah mengikuti pelatihan dan seleksi pementor (Ridwansyah, 2008). b. Kurikulum Kurikulum merupakan kumpulan dan urutan materi yang akan disampaikan kepada kelompok mentoring (mentee) secara periodik. Biasanya kurikulum tersebut berasal dari organisasi yang menaungi mentoring (Satria, 2010).

23 c. Mentee Peserta mentoring atau yang lebih dikenal dengan istilah mentee adalah sekelompok individu yang mendapatkan perlakuan mentoring dari para pementor dalam jumlah yang berkisar antara 3-12 orang (Satria, 2010). 4. Tahapan Proses dalam Mentoring Agama Islam Dalam buku Suplemen Mentoring Tingkat SMP (2007), tahapan-tahapan dalam proses mentoring yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Pembukaan Membuka kegiatan mentoring yang dilakukan oleh salah seorang peserta. b. Pembacaan dan Penghayatan Al-Qur an Peserta membaca Al-Qur an secara bergiliran dan dibimbing oleh pementor setelah itu dilakukan penghayatan Al-Qur an sebagi proses perenungan dan makna dari ayat-ayat Qur an yang telah dibacakan, mengetahui asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari. c. Penyampaian Materi Pementor menyampaikan materi sesuia dengan kurikulum yang telah ditentukan dengan pola pendekatan yang lebih aplikatif dengan realita kehidupan sehari-hari dan fakta yang ada dalam kehidupan nyata sehingga tidak terkesan menggurui para mentee. d. Diskusi Diskusi bisa berupa pertanyaan-pertanyaan dari mentee atau kasus-kasus yang berkaitan dengan materi.

24 e. Sharing Sesi ini merupakan kegiatan saling menanyakan kabar. Agenda ini merupakan sarana yang dapat mempererat hubungan diantara sesama kelompok mentoring dan proses pertukaran pikiran menjadi semakin lebih terbuka di dalamnya. f. Penutup Penutupan biasanya dilakukan dengan lafaz hamdalah dan doa penutup majelis yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok mentoring. 5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Pelaksanaan Mentoring Agama Islam Mahasri dan Najmuddin (2008) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi efektifitas mentoring, yakni : a. Kesesuaian materi yang disajikan dengan buku panduan b. Ketertarikan mentee terhadap materi yang disajikan oleh pementor c. Penyimpangan materi yang disajikan oleh pementor d. Waktu penyajian materi e. Variasi penggunaan metode pembelajaran f. Sikap mentee terhadap metode yang digunakan pementor g. Penggunaan alat dan media pembelajaran h. Kesiapan pementor i. Kedisiplinan pementor j. Penguasaan materi oleh pementor k. Pola hubungan pementor dengan mentee

25 l. Sikap mentee terhadap pementor m. Harapan mentee terhadap pementor 6. Materi Mentoring agama Islam Materi-materi di dalam mentoring merupakan materi yang dapat mendukung pelajaran Agama Islam, juga dapat menumbuhkan pemahamanpemahaman yang lebih baik tentang Agama Islam seperti materi tentang akidah, ibadah, dan akhlak (Rusmiyati, 2003). Berikut judul-judul materi yang dibawakan dalam proses mentoring agama Islam di SMP Negeri 6 Binjai yang diadaptasi dari buku Suplemen Mentoring Tingkat SMP (2007) : a. Allah Melihat Kita (Muraqabatullah) Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah diharapkan peserta menyadari bahwa kita tidak luput dari pengawasan Allah. b. Ayo Membaca Al-Qur an Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami manfaat mebaca Al-Qur an dan termotivasi untuk membacanya dalam kehidupan sehari-hari. c. Bahaya Riya Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami makna riya dan menjauhinya. d. Berbuat Ihsan Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah memberikan pemahaman mengenai perbuatan ihsan dan senantiasa berbuat baik kepada sesama.

26 e.birrul Walidain (Berbakti Pada Orangtua Dan Guru) Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui kewajiban kepada orangtua dan mengetahui cara menghormatinya. f. Dimuliakan dengan Basmallah Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta termotivasi membaca basmallah sebelum memulai suatu kebajikan. g. Ikhlas dalam Berniat Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui mengapa harus melakukan sesuatu dengan ikhlas. h. Menebarkan Salam Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta dapat mengetahui keutamaan memberi salam, mengetahui etika memberi salam, dan mengaplikasikannya. i. Merajut Ukhuwah di Awal Sekolah Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui lebih jauh dan menjalankan cara-cara menumbuhkan ukhuwah secara benar dan baik. Secara umum tujuan pemberian materi dalam mentoring agama Islam adalah sebagai upaya meningkatkan pemahaman aqidah dan akhlak bagi peserta mentoring. Ketika seseorang memiliki pemahaman aqidah dan akhlak yang baik maka hal ini akan mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan ajaran islam dan hal ini dikenal dengan konsep religiusitas. Menurut Jalaluddin (1996), religiusitas dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ada dalam diri

27 individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Selanjutnya menurut Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso,2005) religiusitas adalah suatu bentuk kepercayaan adi kodrati dimana di dalamnya terdapat penghayatan dalam kehidupan sehari harinya dengan menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari hari. Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya religiusitas adalah suatu bentuk penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen dalam melaksanakan ajaran agamanya yang dinternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari. C. Remaja 1. Pengertian Remaja Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Sedangkan menurut Stanley Hall, masa remaja merupakan masa storm and stress (Santrock, 2007). Tokoh Psikososial Erickson mengatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Remaja merupakan masa tumpang tindih karena bukan lagi merupakan anak-anak akan tetapi belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa (Papalia, 2007). Remaja sendiri mempunyai definisi sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio-

28 emosional. Perkembangan remaja terbagi menjadi masa remaja awal 11-15 tahun dan remaja akhir 15-22 tahun (Santrock, 2007). Batasan usia biasanya dimulai dari usia 11 atau 12 tahun sampai akhir dari masa remaja atau awal usia dua puluhan, dan adanya perubahan yang saling bergantung dengan semua bidang perkembangan. Menurut Hurlock (1999) batasan usia remaja berawal dari usia 13/14 hingga 18 tahun. Sementara Monks (1999) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Stanley Hall (dalam Santrock, 2007) justru merentangkan usia remaja yaitu 12-23 tahun. Menurut WHO batasan usia remaja 12-24 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Berdasarkan uraian beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa peralihan dari anak anak menuju dewasa yang dimulai pada usia 11 tahun dan berakhir pada usia 24 tahun. 2. Perkembangan Emosi Pada Remaja Menurut Ali dan Asrori (2004), pada setiap tahapan perkembangan terdapat karakteristik yang sedikit berbeda dalam hal perkembangan emosi remaja, yaitu: a. Periode Remaja Awal Selama periode ini perkembangan yang semakin tampak adalah perubahan seksual, yaitu perkembangan seksual primer dan sekumder. Hal ini menyebabkan remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut. Akibatnya tidak jarang mereka cenderung menyendiri

29 sehingga merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa tidak ada orang yang mau memperdulikannya. Kontrol terhadap dirinya bertambah sulit dan mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini sesungguhnya terjadi karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi yang kadang-kadang tidak wajar. b. Periode Remaja Tengah Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau buruk. Akibatnya remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan mereka sendiri. c. Periode Remaja Akhir Selama periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang semakin dewasa. Interaksi dengan orang tua menjadi lebih bagus dan lancar karena mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil. Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap dirinya sendiri.

30 D. Perbedaan Regulasi Emosi pada Siswa yang Mengikuti dan Tidak Mengikuti Mentoring Agama Islam Siswa sekolah menengah merupakan masa remaja yaitu salah satu masa dalam perkembangan manusia yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan. Karena pada masa ini, remaja mengalami banyak perubahan dalam dirinya serta kesulitan yang harus dihadapinya. Dengan kata lain, terjadi gejolak dalam diri remaja (Santrock, 2004). Perubahan-perubahan selama masa awal remaja terjadi dengan pesat, salah satunya adalah meningginya emosi. Stanley Hall (dalam Santrock, 2004) menyatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada periode storm and stress yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Gunarsa (2002) mengatakan bahwa salah satu karakteristik yang dapat menimbulkan permasalahan pada masa remaja adalah ketidak stabilan emosi. Segala pertentangan yang timbul dalam diri dan lingkungan mereka akan memicu emosi yang bisa saja berakibat fatal apabila tidak bisa mengatur emosinya dengan baik. Gross (dalam Manz, 2007) mengatakan pada saat emosi tampak tidak sesuai dengan situasi tertentu, individu sering mencoba untuk mengatur respon emosional agar emosi tersebut dapat lebih bermanfaat untuk mencapai tujuan, sehingga diperlukan suatu strategi yang dapat diterapkan untuk menghadapi situasi emosional. Hal ini lah yang disebut regulasi emosi, yaitu kemampuan yang dimiliki individu untuk menilai, mengatasi, mengelola, dan mengungkapkan emosi yang tepat dalam rangka mencapai keseimbangan emosional. Saat

31 melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi positif (Kostiuk & Fouts, 2002). Banyak faktor yang mempengaruhi regulasi emosi, salah satunya adalah religiusitas (Gross, 2007). Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause, dalam Coon, 2005). Metode pendidikan Islam yang efektif dilaksanakan dalam upaya peningkatan religiusitas adalah mentoring agama Islam (Uhbiyati, 1997). Mentoring agama Islam adalah kegiatan pembinaan yang berlangsung secara periodik mengkaji ajaran-ajaran Islam dengan tujuan untuk mengembangkan pemahaman akhlak dan aqidah sehingga terbentuk muslim yang berkarakter islami (satria, 2010). Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh mentoring terhadap keagamaan ditemukan bahwa motivasi siswa untuk melaksanakan ibadah harian meningkat setelah mengikuti mentoring (Ridwansyah, 2008). Selain itu, dengan mengikuti mentoring agama Islam dapat menambah pemahaman peserta mentoring terhadap Agama Islam (Romli, 2007). Proses mentoring agama Islam diawali dengan pembukaan, pembacaan Al-Qur an, pembahasan materi, sharing atau diskusi dan penutupan (Muhammad, 2011). Pada setiap pekannya peserta diberikan materi yang berbeda-beda berkaitan dengan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam yang bertujuan untuk mengembangkan pemahaman aqidah dan akhlak yang disusun berdasarkan

32 kebutuhan peserta mentoring pada saat itu (Satria, 2010). Ketika seseorang sudah memiliki pemahaman yang baik terhadap ajaran agamanya, maka ia akan berperilaku sesuai dengan kadar ketaatannya. Hal ini yang dikanal dengan konsep religiusitas yaitu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama (Jalaluddin, 1996). Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005). E. Hipotesis Berdasarkan penjelasan secara teoritis yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesa penelitian adalah : ada perbedaan regulasi emosi pada siswa yang mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama Islam dimana siswa yang mengikuti mentoring agama Islam memiliki regulasi emosi lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti mentoring agama Islam.