Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download ""

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Regulasi Emosi Pengertian Regulasi Emosi Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi emosi merupakan istilah yang ambigu karena regulasi emosi bisa diartikan dengan bagaimana emosi mengatur hal lainnya seperti pikiran, fisiologis, dan perilaku (pengaturan oleh emosi) atau bisa juga diartikan dengan bagaimana emosi itu sendiri diatur (pengaturan emosi). Gross (2002) menyatakan bahwa regulasi emosi itu mengacu pada proses yang kita pengaruhi dengan emosi yang kita miliki dan bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut. Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan. Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang 9

2 kuat dari emosi, dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan, proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku yang dapat diobservasi. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan Ciri-Ciri Regulasi Emosi Gross (2007) menyatakan ada tiga ciri dari pengertian regulasi emosi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu: 1) Kemungkinan bahwa seseorang bisa meregulasi emosi baik emosi positif ataupun negatif, dengan cara menaikkan atau menurunkan emosi tersebut. Namun, hanya sedikit yang diketahui apakah emosi seseorang bisa berubah sesuai dengan tahap perkembangan mereka. 2) Regulasi emosi dilakukan dengan kesadaran, seperti memutuskan untuk mengubah topik yang menjengkelkan atau menggigit bibir sendiri saat marah. Tetapi, regulasi emosi juga bisa terjadi tanpa adanya kesadaran penuh, seperti saat seseorang membesarbesarkan kesenangannya setelah menerima hadiah yang tidak 10

3 menarik (Cole, 1986) atau saat seseorang berpindah perhatian secara cepat dari sesuatu yang menjengkelkan (Boden & Baumeister, 1997). 3) Regulasi emosi bukanlah suatu sifat yang baik ataupun buruk. Hal ini penting untuk dipahami, untuk menghindari kebingungan pada literatur-literatur mengenai stres dan cara mengatasinya (coping), dimana mekanisme pertahanan yang standar dianggap sebagai sesuatu yang maladaptif dan berlawanan dengan strategi mengatasi stres yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang adaptif (Parker & Endler, 1996). Namun, dalam pandangan Gross dan Thomson (2007) bahwa proses regulasi emosi itu bisa digunakan untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik ataupun lebih buruk, bergantung pada konteksnya. Selain itu, menurut Goleman (2004), individu dikatakan mampu melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi yang muncul. Kemampuan regulasi emosi ini dapat dilihat dari enam kecakapan berikut ini: 1) Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak secara efektif. 2) Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain. 3) Memiliki sikap hati-hati 11

4 4) Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan tantangan. 5) Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi 6) Memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya dan lingkungan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa seseorang bisa menaikkan, menjaga, dan menurunkan emosi-emosi negatif ataupun positif mereka. Seseorang bisa melakukan regulasi emosi dengan adanya kesadaran penuh ataupun tanpa disadarinya. Selain itu juga, regulasi emosi itu bukanlah merupakan suatu sifat baik ataupun buruk yang menetap. Sementara itu, individu yang dikatakan memiliki regulasi emosi yang baik adalah jika bisa memiliki kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, bersikap hati-hati, mudah menyesuaikan diri, toleransi yang tinggi terhadap frustrasi, dan memiliki pandangan positif terhadap dirinya dan lingkungan Strategi-strategi regulasi emosi Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi. Menurut Gross (2007) ada dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yaitu : 1) Antecedent-focused strategy 12

5 Antecedent-focused strategy ialah strategi yang dilakukan seseorang saat emosi muncul dan terjadi sebelum seseorang memberi respon terhadap emosi. Antecedent- focused merupakan strategi dalam regulasi emosi dengan mengubah cara berpikir seseorang menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau menginterpretasi suatu peristiwa yang menimbulkan emosi. Oleh karena itu, strategi ini disebut juga dengan cognitive reappraisal. Antecedent-focused strategy dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi sehingga respon yang ditampilkan tidak berlebihan. 2) Respon-focused strategy Respon-focused strategy ialah bentuk dari pengaturan respon dengan menghambat ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara dan perilaku. Strategi ini disebut juga dengan expressive suppression. Respon-focused strategy hanya efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan, namun tidak membantu mengurangi emosi yang dirasakan. Individu yang sering menggunakan respon-focused strategy membuat seseorang menjadi tidak jujur dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa yang mereka rasakan serta akan menimbulkan perasaan negatif, dari pada individu yang menggunakan antecedent-focused strategy. Penelitian membuktikan bahwa antecedent focused strategy lebih efektif sebagai strategi regulasi emosi daripada respon-focused strategy. 13

6 Menurut Gross (2007) selain itu regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan lima cara, yaitu: 1. Situation selection Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang lebih memilih menonton film komedi daripada membiarkan perasaan marah yang berlebihan saat diputuskan pacar. 2. Situation modification Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang baru saja diputuskan pacarnya akan mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak mau membicarakan kenangan-kenangan yang dilalui bersama pasangannya agar tidak bertambah sedih. 3. Attention deployment Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang sedih karena baru putus cinta maka ia akan mengalihkannya dengan berbagai cara seperti memikirkan bahwa akan ada lagi pasangan yang lebih baik dari sebelumnya. 4. Cognitive change 14

7 Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan mengubah cara berpikir menjadi lebih positif sehingga dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan yang dihadapi adalah keberhasilan yang tertunda. 5. Respon modulation Usaha individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan. Contohnya, seseorang yang tidak memperlihatkan ekspresi kesedihannya kepada orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam strategi dalam regulasi emosi yaitu antecedent-focused strategy, respon-focused strategy, situation selection, situation modification, attention deployment, cognitive change dan respon modulation Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi Gross (2007) menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu : 1) Genetik Ada bagian di otak yang berkontribusi terhadap regulasi emosi. Penelitian lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT mempengaruhi tempramen dan affect individu. 15

8 2) Usia Penelitian menemukan bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan merangking usia partisipan mulai dari tahun, dan setiap partisipan diminta untuk melaporkan emosi yang dialaminya, hasilnya menunjukkan bahwa kontrol emosi semakin baik dengan bertambahnya usia. 3) Religiusitas Setiap agama mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah. 4) Gaya pengasuhan Orang tua dapat mepengaruhi pembentukan regulasi emosi awal anak, dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang bagaimana cara mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang mengajarkan anaknya 30 menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dan ada orang tua yang mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi suppression. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah genetik, usia, religiusitas, dan pola asuh. 16

9 2.2 Religiusitas Pengertian Religiusitas Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, dan kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan atau membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a= tidak ; gam = pergi, mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun. Nasution (1986) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Menurut Uyun (1998) agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik. Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas. Dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang. 17

10 Menurut Ancok & Suroso (2008) mengatakan bahwa religiusitas dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula. Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang mengarahkan perilaku seseorang sesuai dengan ajaran yang dianutnya, tetap berada pada pendiriannya yang didasari oleh ajaranya Fungsi Religiusitas Menurut Jalaluddin (2004) agama memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan manusia, yaitu sebagai berikut : 1) Fungsi edukatif Ajaran agama memberikan ajaran-ajaran yang harus dipatuhi. Dalam hal ini bersifat menyuruh dan melarang agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik. 2) Fungsi penyelamat Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu dunia dan akhirat. 3) Fungsi perdamaian Melalui agama, seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntunan agama. 4) Fungsi pengawasan social 18

11 Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawasan sosial secara individu maupun kelompok. 5) Fungsi pemupuk rasa solidaritas Para penganut agama yang sama secara psikologis akan merasa memiliki kesamaan dalam kesatuan ; iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan membina rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. 6) Fungsi transformative Ajaran agama dapat mengubah kehidupan kepribadian seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya, kehidupan baru yang diterimanya berdasarkan ajaran agama yang dipeluk kadangkala mampu merubah kesetiaannya kepada adat atau norma kehidupan yang dianut sebelumnya. a. Fungsi kreatif Ajaran agama mendorong dan mengajak para penganutnya untuk bekerja produktif bukan saja untuk kepentingan diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Penganut agama bukan saja disuruh bekerja secara rutin dalam pola hidup yang sama, akan tetapi juga dituntut untuk melakukan inovasi dan penemuan baru. 7) Fungsi sublimatif 19

12 Ajaran agama mengkuduskan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agama ukhrawi melainkan juga yang bersifat duniawi. Segala usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama bila dilakukan atas niat yang tulus, karena dan untuk Allah merupakan ibadah Dimensi-dimensi dalam Religiusitas Menurut Glock & Stark (Robertson, 1988), ada lima macam dimensi dalam religiusitas, yaitu dimensi keyakinan (ideologis), dimensi pribadatan atau praktek agama (ritualistik), dimensi penghayatan (eksperiensial), dimensi pengalaman (konsekuensial), dimensi pengetahuan agama (intelektual). 1) Dimensi keyakinan / ideologis Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Misalnya keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka. 2) Dimensi praktik agama / peribadatan Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, pelaksanaan ritual formal keagamaan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktikpraktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu: 20

13 1. Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya. 2. Ketaatan. Ketaatan dan ritual bagaikan ikan dengan air, meski ada perbedaan penting. Apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi. 3) Dimensi pengalaman Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan, yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transcendental. 4) Dimensi Pengetahuan Agama 21

14 Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasardasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. 5) Dimensi Pengalaman atau Konsekuensi Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya. Perspektif Islam tentang religiusitas dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah: 208, yang artinya : Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syeitan. Sesungguhnya syeitan itu musuh nyata bagimu (Albaqarah :208). Islam menyuruh umatnya untuk beragama secara menyeluruh, tidak hanya pada satu aspek saja melainkan terjalin secara harmonis dan berkesinambungan. Islam sebagai suatu sistem yang menyeluruh terdiri dari beberapa aspek atau dimensi. Setiap muslim baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak harus didasarkan pada Islam. Esensi Islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan, tindakan yang mengaskan Allah Yang Maha Esa, pencipta yang mutlak dan transeden, penguasa segala yang ada. Searah dengan pandangan Islam, Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2008) menilai bahwa kepercayaan keagamaan adalah jantungnya dimensi keyakinan. 22

15 Ancok & Suroso (2008) menyatakan bahwa rumusan Glock dan Stark yang membagi keberagaman menjadi lima dimensi dalam tingkat tertentu mempunyai kesesuaian dengan Islam. Keberagaman dalam Islam bukan hanya diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual saja, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai suatu sistem Islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula. Menurut Ancok & Suroso (2008) dimensi keyakinan dapat disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengamalan dengan akhlak, dimensi pengetahuan dengan Ilmu dan dimensi pengalaman dengan ihsan (penghayatan). Lima dimensi keberagamaan menurut perpsektif islam diantaranya: 1) Dimensi keyakinan atau akidah Islam Menunjukan seberapa tingkat keyakinan seorang muslim terhadap kebenaran ajaran-ajaran agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatic. Didalam keberislaman, isi dimensi keimanan ini menyangkut keyakinan tentang Allah, para malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan neraka, serta qadha dan qadar. 2) Dimensi peribadatan atau syariah Menunjukan pada seberapa tingkat kepatuhan seorang muslim dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana disuruh dan dianjurkan oleh agamanya. Dalam keberislaman, dimensi ini peribadatan menyangkut peaksanaan sholat, puasa, 23

16 zakat, haji, membaca Al-Qur an, doa, zikir, ibadah kurban, iktikaf di masjid di bulan puasa. 3) Dimensi pengamalan atau akhlak Menunjukan pada seberapa tingkat seorang muslim berperilaku dimotivasi oleh ajaran-ajaran agamanya, yaitu bagaimana individu berelasi dengan dunianya, terutama dengan manusia lain. Dalam keberislaman, dimensi ini meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma, menyejahterakan dan menumbuhkankembangkan orang lain, menyenangkan keadilan dan kebenaran, berperilaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang memabukkan, mematuhi normanorma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk hidup sukses menurut ukuran Islam. 4) Dimensi pengetahuan atau ilmu Menunjuk pada seberapa tingkat pengetahuan dan pemahaman seorang muslim terhadap ajaran-ajaran agamanya, terutama mengenai ajaran-ajaran pokok dari agamanya, sebagaimana termuat dalam kitab sucinya. Dalam keberislaman, dimensi ini menyangkut pengetahuan tentang isi Al-Qur an, pokok-pokok ajaran yang harus diimani dan dilaksanakan (rukun Islam dan 24

17 rukun iman), hukum-hukum Islam, sejarah Islam dan sebagainya. 5) Dimensi pengalaman atau penghayatan fffpada dimensi ini menyertakan keyakinan, pengamalan dan peribadatan. Dimensi penghayatan menunjuk pada seberapa jauh tingkat seorang muslim dalam merasakan dan mengalami perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalaman religious. Dalam keberislaman, dimensi ini terwujud dalam perasaan dekat/akrab dengan Allah, perasaan doa-doanya sering terkabul, perasaan tentram bahagia karena menuhankan Allah, perasaan bertawakkal (pasrah diri secara positif) kepada Allah, perasaan khusuk ketika melaksanakan sholat atau berdoa, perasaan bergetar ketika mendengar adzan atau ayat-ayat Al- Qur an, perasaan bersyukur kepada Allah, perasaan mendapat peringatan atau pertolongan dari Allah. 2.3 Down Syndrome Pengertian Down Syndrome Down Syndrome merupakan salah satu dari klasifikasi pada suatu gangguan yang disebut Retardasi mental. Retardasi mental, didefinisikan sebagai suatu gangguan dengan fungsi intelektual yang dibawah rata-rata bersama dengan kurangnya perilaku adaptif, dan terjadi sebelum usia 18 tahun (Davidson, Neal & Kring, 2004). Retardasi mental sendiri terbagi menjadi 25

18 beberapa klasifikasi sesuai dengan tingkatannya, berikut ini merupakan ringkasan karakteristik orang-orang yang masuk dalam masing-masing klasifikasi retardasi mental (DSM-IV-TR, dalam Davidson, Neal, & Kring, 2004) : 1) Retardasi Mental Rigan (IQ hingga 70) Anak-anak dengan klasifikasi retardasi mental ringan tidak selalu dapat dibedakan dari anak-anak normal sebelum mulai bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya mereka dapat mempelajari keterampilan akademik yang kurang lebih sama dengan anak kelas 6 SD. Ketika dewasa mereka mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan atau di balai karya di rumah penampungan, meskipun mereka mungkin membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan, mereka bisa menikah dan mempunyai anak. 2) Retardasi Mental Sedang (IQ hingga 50-55) Orang-orang yang mengalami retardasi mental sedang dapat memiliki kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat keterampilan motorik yang normal. Dengan banyak bimbingan dan latihan, mereka mampu bepergian sendiri di daerah yang tidak asing bagi mereka. 3) Retardasi Mental Berat (IQ hingga 35-40) Orang-orang yang mengalami retardasi mental berat umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak lahir dan keterbatasan dalam 26

19 pengendalian sensori motor. Sebagian besar dari mereka dimasukkan dalam intuisi penampungan dan membutuhkan bantuan dan supervisi secara terus menerus. Mereka hanya dapat melakukan sedikit aktivitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu, karena kerusakan otak mereka yang parah menjadikan mereka relatif pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan sedikit stimulasi. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang sangat sederhana dengan supervisi terus-menerus. 4) Retardasi Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20-25) Orang-orang dengan gangguan retardasi mental sangat berat membutuhkan supervisi total dan sering kali harus diasuh sepanjang hidup mereka. Sebgaian besar memiliki abnormalitas fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan sendiri kemanapun. Tingkat kematian di masa kanak-kanak pada orang-orang yang mengalami retardasi mental sangat berat sangat tinggi. Berdasarkan klasifikasi tersebut, Davidson, Nea,l & King (2004) mengelompokkan orang-orang yang mengalami down syndrome kedalam kalsifikasi terardasi mental sedang hingga berat disertai dengan adanya beberapa tanda fisik yang khas. Kemiripan wajah yang dimiliki oleh penyandang gangguan down syndrome di deskripsikan sebagai penderita mongoloid karena kemiripan mereka dengan orang-orang Mongolia (Scheerenberger dalam 27

20 Davidson, Neal, King, 2004). Sindroma Down dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris Langdon Down, yang pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun Pada tahun 1959 seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejuene dan para koleganya, mengindetifikasi basis genetiknya. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 kromosom diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami sindroma down hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma anak terdapat 3 kromosom 21 yang istilah teknisnya adalam trisomi 21(Davidson, Neal, & King, 2004) Karakteristik Utama Down Syndrome Pada anak yang mengalami down syndrome memiliki beberapa karakteristik utama, antara lain (NN, 2010) : 1) Memiliki IQ dengan klasifikasi ringan ( IQ ) dan berat ( IQ 35-50) 2) Sifat pada kepala, muka, dan leher : mereka mempunyai paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Anak yang mengalami gangguan down syndrome memiliki pangkal hidung yang datar, ukuran mulut yang kecil dan ukuran lidah yang besar sehingga menyebabkan lidah selalu terjulur. Pertumbuhan gigi 28

21 lambat dan tidak teratur, pada bagian leher mereka memiliki leher yang lebih pendek. 3) Sifat pada tangan dan lengan : sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Telapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat, yang dinamakan simian crease. 4) Sifat pada kaki : kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah dengan telapak kaki. 5) Sifat pada otot : anak yang mengalami down syndrome mempunyai otot yang lemah menyebabkan mereka menjadi lemah dan menghadapi masalah dalam perkembangan motorik kasar. 6) Mengalami masalah kelainan organ-organ dalam : 1. Masalah Jantung : Masalah jantung yang paling sering terjadi adalah jantung berlubang seperti Ventricular Septal Defect (VSD), yaitu jantung berlubang diantara bilik jantung kiri dan kanan atau Atrial Septal Defect (ASD), yaitu jantung berlubang diantara atria kiri dan kanan. Bagi anak-anak down syndrome juga mengalami masalah jantung berlubang jenis kebiruan (cynotic spell). 2. Masalah Usus : Masalah usus yang biasanya terjadi dimasa awal kelahiran seperti : Saluran esofagus yang tidak terbuka (atresia), saluran usus rektum atau bagian usus yang paling 29

22 akhir (dubur) yang tidak terbuka langsung atau penyempitan yang dinamakan Hirshpring Disease. Keadaan ini disebabkan sistem saraf yang tidak normal dibagian rektum, biasanya bayi akan mengalami masalah pada hari kedua dan seterusnya setelah kelahiran, dimana perut menjadi buncit dan susah untuk membuang air besar. 3. Masalah Lainnya : a. Anak-anak down syndrome mungkin mengalami masalah Hipotiroidism, yaitu kekurangan hormon tiroid. b. Anak-anak down syndrome mempunyai ketidakstabilan di tulang-tulang kecil di bagian leher yang menyebabkan terjadinya penyakit lumpuh (atlantoaxial instability). c. Sebagian kecil dari anak down syndrome mempunyai resiko untuk mengalami kanker sel darah putih, yaitu leukimia. d. Gangguan penglihatan dan pendengaran Etiologi (penyebab) Down Syndrome Ada beberapa penyebab yang terjadi pada anak down syndrome (NN, 2008) yaitu : 1) Genetik dan Kromosom : Abnormalitas kromosom terjadi pada kurang dari 5% dari seluruh kehamilan yang dapat bertahan. Mayoritas 30

23 kehamilan tersebut berakhir dengan aborsi spontan atau keguguran, secara keseluruhan,sekitar separuh dari 1% bayi yang dilahirkan mengalami abnormalitas kromosom (Smith, Bierman, & Robinson, 1978 dalam buku Psikologi Abnormal, 710). Diantara bayi yang dapat bertahan hidup, mayoritas mengalami down syndrome atau trisomi 21. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 kromosom diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami sindroma down hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, 2 kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat 3 kromosom 21 yang istilah teknisnya adalah trisomi 21. 2) Down syndrome bukan penyakit menular dan bukan penyakit keturunan. Anggapan bahwa down syndrome hanya akan terjadi pada usia ibu yang pada saat hamil berusia diatas 35 saat ini telah dipatahkan karena setelah diteliti lebih lanjut ternyata down syndrome bisa terjadi pada ibu yang mengandung pada usia dibawah 35 tahun. Juga anggapan bahwa down syndrome terjadi karena kekurangan gizi (golongan dengan status sosial yang rendah) juga tidak selalu benar, karena down syndrome tidak mengenal strata sosial, seorang ibu yang menjaga kehamilan dengan baik sekalipun bayi yang dikandungnya bisa terkena down syndrome. Kesalahan pengandaan kromosom nomor 21 tersebut bukan karena penyimpangan perilaku orang tua ataupun 31

24 pengaruh pencemaran lingkungan. Tetapi, bagi ibu-ibu yang berumur 35 tahun keatas, semasa mengandung mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk melahirkan anak down syndrome. Sekitar 95% penyandang down syndrome disebabkan oleh kelebihan kromosom 21. Keadaan ini disebabkan oleh non-dysjunction kromosom yang terlibat yaitu kromosom 21, dimana semasa proses pembagian sel secara mitosis pemisahan kromosom 21 tidak terjadi secara sempurna. Sedangkan 5% lagi, disebabkan oleh mekanisme yang dinamakan Translocation. Keadaan ini biasanya terjadi oleh pemindahan bahan genetik dari kromosom 12 kepada kromosom 21.mekanisme ini biasanya terajadi pada ibu-ibu dengan usia lebih muda. Ketidakjelasan penyebab pasti itu membuat faktor penyebab down syndrome hingga saat ini belum terobati dan tak tercegah. 3) Hubungan seks (coitus) yang dilakukan saat pasangan atau salah satu pasangan stress, bisa menghasilkan keturunan yang kelak mengidap down syndrome. Hipotesa itu dikemukakan ahli penyakit down syndrome Dr. Dadang Syarief Effendi Pada saat coitus atau hubungan seks dimungkinkan terjadi pembuahan. Namun jika hubungan seks dilakukan dalam kondisi stress, pada saat pembuahan proses pembelahan kromosom terjadi secara tidak sempurna. Secara normal, manusia memiliki 23 pasang kromosom. Pada penderita down syndrome kromosom nomor 21 membelah menjadi tiga bagian 32

25 (trisomi). Padahal pada mutasi yang normal, kromosom tersebut seharusnya membelah menjadi dua bagian. 2.4 Orang Tua dengan Anak Down syndrome Orang tua yang memiliki anak dengan cacat perkembangan seperti down syndrome, autis dan lain-lain, memiliki banyak masalah yang harus dihadapi (Gousmett, 2006). Masalah-masalah itu timbul pada saat dan setelah mereka mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome. Keraguan dalam diri, tidak dapat menerima kenyataan, pandangan keluarga dan lingkungan sekitar kerap kali menjadi pemicu timbulnya stres yang berkepanjangan. Selain itu mereka dengan anak down syndromenya harus memikirkan biaya atau pengeluaran yang tidak sedikit untuk membawa anaknya pergi ke dokter dan terapis demi kesembuhan anaknya. Orang tua dengan anak down syndrome telah ditemukan lebih memiliki tingkat stres dan masalah penyesuaian yang lebih tinggi dibandingkan stres dan penyesuaian diri dari orangtua yang memiliki anak dengan perkembangan normal (Sanders & Morgan, 1997 dalam Goussmett, 2006). Orang tua dengan anak down syndrome tentu memiliki tingklat stres dan masalah penyesuaian lebih tinggi dari pada orang tua yang memiliki anak normal lainnya, karena anak normal lebih mampu memperlihatkan kemandiriannya seiring bertambahnya usia mereka. Berbeda dengan anak down syndrome, mereka memiliki kesulitan dalam 33

26 memperlihatkan kemandiriannya kepada orang tua mereka. Orang tua mana yang tidak stres karena sedih melihat anaknya tidak dapat tumbuh dan berkembang secara normal seperti anak lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Joosa (2006) bahwa halhal yang berpengaruh dan yang harus diperhatikan pada keluarga dengan anak down syndrome yaitu: 1) Dampak seorang anak dengan down syndrome umumnya membawa keraguan dan ketakutan 2) Hubungan keluarga dimana anak down syndrome memberikan pengaruh pada hubungan kedekatan dan kohesi suami isteri, saudara kandung, dan hubungan dengan anggota keluarga yang lain 3) Harapan parenting yang berkaitan dengan kesadaran ibu mengenai pentingnya pengalaman belajar yang optimal bagi anak mereka untuk mencapai potensinya 4) Hukungan sosial dari keluarga maupun di luar keluarga merupakan hal yang paling terpenting bagi ibu 5) Layanan formal 6) Penerimaan masyarakat. 2.5 Hubungan Antara Religiusitas Dengan Regulasi Emosi Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Kartika Okvianti (2010) yang berjudul hubungan antara religiusitas dengan kematakan emosi pada remaja di Man 1 Bekasi. Hasil penelitiannya menunjukan, terdapat 34

27 hubungan positif antara religiusitas dengan kematangan emosi pada remaja di Man 1 Bekasi. Selanjutnya menurut Gross (2007) mengatakan bahwa salah satu factor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah religiusitas, dimana seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah. 2.6 Kerangka Pemikiran Dikaruniai seorang anak yang mengalami down syndrome sangatlah sulit untuk dapat menerima kenyataan. Hampir semua orang tua terutama ibu mengalami kekecewaan yang sangat berarti ketika mengetahui bahwa anaknya mengalami keterbelakangan mental (down sydrome). Dari segala macam bentuk kekecewaan, tentu sebagai seorang ibu harus bisa mengubah emosi negatif menjadi emosi positif karena hal ini dapat mempengaruhi perkembangan sang anak, keluarga dan juga diri sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan regulasi emosi yang baik, regulasi emosi dapat diartikan bagaimana seseorang dapat mengatur emosinya, terdapat lima cara dalam mengetahui kemampuan regulasi seseorang diantaranya: pemilihan situasi (situation selection), modifikasi situasi (situation modivication), pengoperasian atensi (attensinal deployment), perubahan kognitif (cognitive change), modifikasi respons (response modification). 35

28 Selain itu didalam kehidupan tentu tidak luput pada hal-hal yang berhubungan dengan Allah beserta ciptaan-nya. Maka dari itu manusia harus memiliki religiusitas, religiusitas merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang mengarahkan perilaku seseorang sesuai dengan ajaran yang dianutnya. Didalam islam religiusitas tidak hanya melaksanakan praktek keagamaan atau peribadatan saja tetapi mencangkup keyakinan, pengengalaman, pengetahuan ilmu dan juga pengamalan. Kedua variabel inilah yang harus dimiliki oleh seluruh ibu dengan anak down syndromenya karena kedua-duanya saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini dijelaskan dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kartika Okvianti (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif antara religiusitas dengan kematangan emosi pada remaja di Man 1 Bekasi. Artinya semakin tinggi tingkat religiusitas seseorang maka kematangan emosi seseorang akan baik pula, begitupun sebaliknya. Hal tersebut diperkuat oleh Gross (2007) dimana faktor yang mempengaruhi regulasi emosi salah satunya adalah religiusitas. Setiap agama mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah. Religiusitas Regulasi Emosi 36

29 2.7 Hipotesis Adapun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dengan regulasi emosi pada ibu yang memiliki anak down syndrome. 2) Terdapat hubungan antara dimensi keyakinan dengan regulasi emosi. 3) Terdapat hubungan antara dimensi peribadatan dengan regulasi emosi. 4) Terdapat hubungan antara dimensi pengamalan dengan regulasi emosi. 5) Terdapat hubungan antara dimensi pengalaman dengan regulasi emosi. 6) Terdapat hubungan antara dimensi ilmu pengetahuan dengan regulasi emosi. 37

BAB II LANDASAN TEORI. Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi

BAB II LANDASAN TEORI. Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi BAB II LANDASAN TEORI A. REGULASI EMOSI 1. Pengertian Regulasi Emosi Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi emosi merupakan istilah yang ambigu karena regulasi emosi bisa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISA PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Analisa Data Dan Uji Hipotesa Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk melihat hubungan antara religiusitas dan well-being pada komunitas salafi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan hidup manusia dialami dalam berbagai tahapan, yang dimulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan terdapat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Forgiveness 2.1.1. Definisi Forgiveness McCullough (2000) bahwa forgiveness didefinisikan sebagai satu set perubahan-perubahan motivasi di mana suatu organisme menjadi semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar

BAB I PENDAHULUAN. Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penanganan mempunyai makna upaya-upaya dan pemberian layanan agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Pemberian layanan agar anak dapat tumbuh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS 11 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Psychological Well-Being 1. Konsep Psychological Well-Being Psychological well-being (kesejahteraan psikologi) dipopulerkan oleh Ryff pada tahun 1989. Psychological well-being

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Imitasi Perilaku Keagamaan. meniru orang lain. Imitasi secara sederhana menurut Tarde (dalam Gerungan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Imitasi Perilaku Keagamaan. meniru orang lain. Imitasi secara sederhana menurut Tarde (dalam Gerungan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Imitasi Perilaku Keagamaan 1. Pengertian Imitasi Kehidupan anak-anak pada dasarnya banyak dilakukan dengan meniru atau yang dalam psikologi lebih dikenal dengan istilah imitasi.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama

BAB II LANDASAN TEORI. Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama BAB II LANDASAN TEORI II.A. Religiusitas II.A.1. Definisi religiusitas Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPUASAN PERKAWINAN. alasan ekonomi dan atau reproduksi (Gladding, 2012: 434).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPUASAN PERKAWINAN. alasan ekonomi dan atau reproduksi (Gladding, 2012: 434). BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. KEPUASAN PERKAWINAN 1. Pengertian Kepuasan Perkawinan Kepuasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2010: 129) merupakan perasaan senang, lega, gembira karena hasrat, harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Cinta dan seksual merupakan salah satu permasalahan yang terpenting yang dialami oleh remaja saat ini. Perasaan bersalah, depresi, marah pada gadis yang mengalami

Lebih terperinci

Sindroma Down Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog*

Sindroma Down Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* Sindroma Down Oleh : L. Rini Sugiarti, M.Si, psikolog* Penderita sindroma Down atau yang sering disebut sebagai down s syndrom mampu tumbuh dan berkembang jika terdeteksi sejak dini, yakni sejak lahir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Setiap keluarga khususnya orang tua menginginkan anak yang lahir dalam keadaan sehat, tidak mengalami kecacatan baik secara fisik maupun mental. Salah satu contoh dari

Lebih terperinci

BAB III PENYAJIAN DATA LAPANGAN. A. Gambaran Umum Majelis Ta lim Masjid Nur sa id 1. Sejarah berdirinya Majelis Ta lim

BAB III PENYAJIAN DATA LAPANGAN. A. Gambaran Umum Majelis Ta lim Masjid Nur sa id 1. Sejarah berdirinya Majelis Ta lim 69 BAB III PENYAJIAN DATA LAPANGAN A. Gambaran Umum Majelis Ta lim Masjid Nur sa id 1. Sejarah berdirinya Majelis Ta lim Dengan berdirinya komplek Perumahan Villa Citra Bandar Lampung, terbentuklah PKK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

BAB III METODE PENELITIAN. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk meneliti populasi atau sampel

Lebih terperinci

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN

BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN BAB III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kuantitatif, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada retardasi mental. Anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada

BAB 1 PENDAHULUAN. pada retardasi mental. Anak dengan down sindrom memiliki kelainan pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Down Sindrom (mongoloid) adalah suatu kondisi di mana materi genetik tambahan menyebabkan keterlambatan perkembangan anak, dan kadang mengacu pada retardasi mental.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Regulasi Emosi 2.1.1 Definisi Regulasi Emosi Regulasi emosi mempunyai beberapa definisi dari para ahli. Menurut Shaffer, (2005), regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Llabel adalah bagian dari sebuah barang yang berupa keterangan (kata-kata) tentang

BAB II LANDASAN TEORI. Llabel adalah bagian dari sebuah barang yang berupa keterangan (kata-kata) tentang BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Label Halal Label adalah sejumlah keterangan pada kemasan produk. Secara umum, label minimal harus berisi nama atau merek produk, bahan baku,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Produktivitas Kerja 1. Definisi Produktivitas Kerja Pengertian Produktivitas Akhir-akhir ini merupakan masalah yang sedang hangat dibicarakan, karena produktivitas mempunyai

Lebih terperinci

Studi Deskriptif Mengenai Religiusitas pada Siswa Bermasalah di SMA PGII 2 Bandung

Studi Deskriptif Mengenai Religiusitas pada Siswa Bermasalah di SMA PGII 2 Bandung Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Studi Deskriptif Mengenai Religiusitas pada Siswa Bermasalah di SMA PGII 2 Bandung ¹Fassa Dery Rosdian, ² Susandari 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENELITIAN. No Sumber Data / Informasi. Dicapai. 1. Subyek penelitian. Keberagamaan Homoseksual. Mengetahui sikapsikap

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENELITIAN. No Sumber Data / Informasi. Dicapai. 1. Subyek penelitian. Keberagamaan Homoseksual. Mengetahui sikapsikap LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENELITIAN No Sumber Data / Informasi 1. Subyek penelitian adalah homoseksual (melalui wawancara mendalam) Aspek Pengumpulan Data Keberagamaan Homoseksual 1. keyakinan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama menurut kepercayaannya. Glock & Stark, (1965) mendefinisikan agama sebagai sistem simbol, sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hadirnya seorang anak merupakan harapan dari setiap orangtua. Kelahiran anak adalah saat-saat yang sangat di tunggu-tunggu oleh setiap pasangan suami istri.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi. kebutuhan untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya lebih baik dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Berprestasi. kebutuhan untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya lebih baik dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Motivasi berprestasi A. Motivasi Berprestasi Menurut Soekidjo (2009: 117), secara naluri setiap orang mempunyai kebutuhan untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada Sang Pencipta (Jalaludin, 1996). Dalam terminologi Islam, dorongan ini dikenal

BAB I PENDAHULUAN. kepada Sang Pencipta (Jalaludin, 1996). Dalam terminologi Islam, dorongan ini dikenal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia mempunyai dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta (Jalaludin, 1996). Dalam terminologi Islam, dorongan ini dikenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (supernatural) (Jalaluddin, 2002). Manusia di mana pun berada dan bagaimana pun

BAB I PENDAHULUAN. (supernatural) (Jalaluddin, 2002). Manusia di mana pun berada dan bagaimana pun BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Masalah Sejak dilahirkan manusia telah dianugerahkan potensi beragama. Potensi ini berupa kecenderungan untuk tunduk dan mengabdi kepada sesuatu yang adikodrati (supernatural)

Lebih terperinci

HAKEKAT RELEGIUSITAS Oleh Drs.H.Ahmad Thontowi

HAKEKAT RELEGIUSITAS Oleh Drs.H.Ahmad Thontowi HAKEKAT RELEGIUSITAS Oleh Drs.H.Ahmad Thontowi 1. Pengertian Religiusitas Secara bahasa ada tiga istilah yang masing-masing kata tersebut memilki perbedaan arti yakni religi, religiusitas dan religius.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Koping Religius. menimbulkan masalah dinamakan koping. Koping adalah kemampuan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Koping Religius. menimbulkan masalah dinamakan koping. Koping adalah kemampuan 15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Koping Religius A. Koping Religius Proses yang digunakan seseorang untuk menangani tuntutan yang menimbulkan masalah dinamakan koping. Koping adalah kemampuan mengatasi

Lebih terperinci

SW Indrawati, Sri Maslihah, Anastasia Wulandari.

SW Indrawati, Sri Maslihah, Anastasia Wulandari. STUDI TENTANG RELIGIUSITAS, DERAJAT STRES DAN STRATEGI PENANGGULANGAN STRES (COPING STRES) PADA PASANGAN HIDUP PASIEN GAGAL GINJAL YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA ABSTRAK SW Indrawati, Sri Maslihah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian setiap orang. Ketika menikah, tentunya orang berkeinginan untuk mempunyai sebuah keluarga yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang selalu mengharapkan kehidupan yang bahagia. Salah satu bentuk kebahagiaan itu adalah memiliki anak yang sehat dan normal, baik secara fisik maupun mental.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan tenaga kerja yang ulet dan terampil sehingga dicapailah performa

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan tenaga kerja yang ulet dan terampil sehingga dicapailah performa 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya organisasi yang memiliki sumber daya manusia yang baik akan menjadikan organisasi mempunyai kekuatan untuk menghadapi persaingan (Cushway, 2002).

Lebih terperinci

Modul 1 PENGERTIAN DAN MANFAAT PSIKOLOGI AGAMA

Modul 1 PENGERTIAN DAN MANFAAT PSIKOLOGI AGAMA Pengertian dan manfaat Psikologi Agama Modul 1 PENGERTIAN DAN MANFAAT PSIKOLOGI AGAMA PENDAHULUAN Psikologi Agama pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) disajikan untuk membantu mahasiswa memahami perkembangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan

BAB II LANDASAN TEORI. sekelompok individu (Eisenberg, 1989). Hudaniah, 2006), menekankan bahwa perilaku prososial mencakup tindakantindakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Perilaku Prososial 2.1.1. Pengertian Perilaku Prososial Perilaku prososial didefinisikan sebagai tindakan sukarela yang dimaksudkan untuk membantu atau memberi keuntungan pada

Lebih terperinci

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME

2016 PROSES PEMBENTUKAN RESILIENSI PADA IBU YANG MEMILIKI ANAK PENYANDANG DOWN SYNDROME BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Setiap orang tua pasti berharap memiliki anak yang dapat bertumbuh kembang normal sebagaimana anak-anak lainnya, baik dari segi fisik, kognitif, maupun emosional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perasaan untuk menanggapi bahwa terdapat kekuatan lain yang maha besar

BAB I PENDAHULUAN. perasaan untuk menanggapi bahwa terdapat kekuatan lain yang maha besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama merupakan ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah anugrah, kehadirannya mengubah hidup menjadi lebih berarti. Anak datang menawarkan hari-hari baru yang lebih indah, karena kehadirannya juga orang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Berpikir Positif. kesimpulan secara induktif, serta membuat kesimpulan secara deduktif. Dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Berpikir Positif. kesimpulan secara induktif, serta membuat kesimpulan secara deduktif. Dengan 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Berpikir Positif 1. Pengertian berpikir positif Menurut Najati (2005 ), kemampuan berpikir yang dimiliki oleh manusia akan membantunya dalam mengkaji dan meneliti berbagai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membahas religiusitas perlu adanya pembahasan mengenai

BAB II LANDASAN TEORI. Sebelum membahas religiusitas perlu adanya pembahasan mengenai BAB II LANDASAN TEORI II.A. Agama II.A.I. Definisi Agama Sebelum membahas religiusitas perlu adanya pembahasan mengenai agama sebagai dasar dari perilaku religiusitas ini. Oxford Student dictionary (dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Agama merupakan faktor penting yang dapat membimbing manusia agar berperilaku sesuai dengan moral dan cara hidup yang diharapkan oleh ajaran agama yang dianut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yakni tingginya angka korupsi, semakin bertambahnya jumlah pemakai narkoba,

BAB I PENDAHULUAN. yakni tingginya angka korupsi, semakin bertambahnya jumlah pemakai narkoba, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini bukan hanya mengenai ekonomi, keamanan dan kesehatan, tetapi juga menurunnya kualitas sumber daya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kontrol Diri Kontrol diri perlu dimiliki oleh setiap orang yang akan mengarahkan perilakunya sesuai dengan norma-norma yang berlaku di lingkungannya dengan seluruh kemampuan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. penelitian. Penyusunan desain penelitian merupakan tahap perencanaan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Desain Penelitian. penelitian. Penyusunan desain penelitian merupakan tahap perencanaan penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Menurut Alsa (2011 : 18) desain atau rancangan penelitian dipakai untuk menunjuk pada rencana peneliti tentang bagaimana ia akan melaksanakan penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah dambaan dalam setiap keluarga dan setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk mempunyai anak yang sempurna, tanpa cacat. Bagi ibu yang sedang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 15 BAB II LANDASAN TEORI A. Emosi 1. Definisi Emosi Emosi berasal dari bahasa latin yaitu emovere yang berarti luar dan movere dengan arti bergerak. Menurut Lahey (2007), emosi merupakan suatu hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. atau keinginan yang kuat tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia remaja merupakan dunia yang penuh dengan perubahan. Berbagai aktivitas menjadi bagian dari penjelasan usianya yang terus bertambah, tentu saja karena remaja yang

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk

Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Pola Asuh Orang Tua dan Persepsi 2.1.1 Definisi Menurut Kastutik & Setyowati (2014) orang tua memiliki kecenderungan untuk membentuk karakteristik-karakteristik tertentu dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Perubahan pada masa remaja mencakup perubahan fisik, kognitif, dan sosial. Perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisik adalah bagian dari tubuh manusia yang mudah dilihat dengan kasat mata, termasuk bagian kulit. Kulit merupakan bagian yang terluas dari tubuh dan bagian terpenting

Lebih terperinci

Hereditas dan Lingkungan

Hereditas dan Lingkungan Hereditas dan Lingkungan Oleh : Santi E. Purnamasari, M.SI. Fak Psikologi UMBY 2012 Heredity and The Environment Kromosom dan gen --- genotype & phenotype Genotype : sekumpulan gen khusus yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecerdasan Emosi (Emotional Intelegence) berbeda dengan kecerdasan intelektual (Intelectual Intelegence). Penelitian tentang kecerdasan intelektual telah berumur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak. merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Anak yang normal baik fisik maupun mental adalah harapan bagi semua orangtua, akan tetapi pada kenyataannya tidak semua pasangan dikarunia anak yang normal.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

BAB I PENDAHULUAN. beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan seorang anak baik secara fisik maupun psikologis merupakan hal yang penting bagi orang tua khususnya ibu. Perkembangan fisik dan psikologis anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami perubahan-perubahan di berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, politik, ekonomi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI) Pendidikan agama merupakan salah satu dari tiga subyek pelajaran yang harus dimasukkan dalam kurikulum setiap lembaga pendidikan formal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Di masa ini, remaja mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis sehingga remaja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia adalah agama. Terdapat enam

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia adalah agama. Terdapat enam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman suku, ras, golongan dan agama. Salah satu hal yang menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia adalah agama.

Lebih terperinci

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN

BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN 35 BAB IV LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Letak lokasi pasar Pandu Pasar Pandu Banjarmasin timur terletak di jalan Pandu K.M 4,5 kelurahan kuripan dengan batas-batas sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pengalaman Beragama. Pengalaman beragama menurut Glock & Stark (Hayes, 1980) adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pengalaman Beragama. Pengalaman beragama menurut Glock & Stark (Hayes, 1980) adalah 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGALAMAN BERAGAMA 1. Pengertian Pengalaman Beragama Menurut Jalaluddin (2007), pengalaman beragama adalah perasaan yang muncul dalam diri seseorang setelah menjalankan ajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau. sosial dan emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya.

BAB I PENDAHULUAN. khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau. sosial dan emosional dibanding dengan anak-anak lain seusianya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bagi anak yang terlahir normal, para orang tua relatif mudah dalam mengasuh dan mendidik mereka. Akan tetapi, pada anak yang lahir dengan berkelainan sangat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan, bukan hanya terjadi ketika seseorang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Religius (religiosity) merupakan ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan sistem keyakinan, nilai, hukum yang berlaku. Religiusitas diwujudkan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya. Seseorang yang mengalami peristiwa membahagiakan seperti dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupannya. Seseorang yang mengalami peristiwa membahagiakan seperti dapat BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbagai pengalaman baik positif maupun negatif tidak dapat lepas dari kehidupan seseorang. Pengalaman-pengalaman tersebut akan memberi pengaruh yang pada akhirnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang menata bagaimana cara berhubungan antara. mengabdi kepada Allah. Dengan mengamalkan ajaran agama, itu

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan yang menata bagaimana cara berhubungan antara. mengabdi kepada Allah. Dengan mengamalkan ajaran agama, itu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agama adalah suatu kepercayaan yang berisi norma-norma atau peraturan-peraturan yang menata bagaimana cara berhubungan antara manusia dengan Sang Maha Kuasa,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus of Control Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang menjelaskan bahwa individu berperilaku dipengaruhi ekspektasi mengenai dirinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membesarkan anak tersebut. Perintah kepada kedua orang tua untuk menjaga dan

BAB I PENDAHULUAN. membesarkan anak tersebut. Perintah kepada kedua orang tua untuk menjaga dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak adalah salah satu nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada kedua orang tua sebagai karunia, rahmat, titipan, dan juga sebagai cobaan untuk melihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu kebahagiaan juga meliputi penilaian seseorang tentang hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. itu kebahagiaan juga meliputi penilaian seseorang tentang hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Umumnya manusia dalam kehidupannya mencari ketenangan dan kebahagiaan, tetapi apa bahagia itu, dimana tempatnya, bagaimana cara memperolehnya, hampir semua orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa remaja, masa dewasa, lanjut usia (lansia) sampai meninggal. Lansia

BAB I PENDAHULUAN. masa remaja, masa dewasa, lanjut usia (lansia) sampai meninggal. Lansia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia mengalami daur hidup yang sama, mulai dari lahir masa kanakkanak, masa remaja, masa dewasa, lanjut usia (lansia) sampai meninggal. Lansia merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural dalam

BAB I PENDAHULUAN. secara kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Agama merupakan suatu lembaga yang terbentuk akibat adanya interaksi terpola secara kultural dengan wujud di atas manusia yang di asumsikan juga secara kultural

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebermaknaan Hidup 1. Pengertian Kebermaknaan Hidup Kebermaknaan adalah berarti, mengandung arti yang penting (Poewardarminta, 1976). Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang penelitian Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin menuntut pengorbanan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu dan teknologi yang diikuti dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat menyebabkan perubahan gaya hidup pada masyarakat. Perubahan gaya hidup

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Departemen Agama RI (2001) menjelaskan bahwa Islam mengandung arti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Departemen Agama RI (2001) menjelaskan bahwa Islam mengandung arti 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Islam Departemen Agama RI (2001) menjelaskan bahwa Islam mengandung arti berserah diri, tunduk, patuh, dan taat sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Kepatuhan dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dianutnya. Setiap orang memilih satu agama dengan bermacam-macam alasan, antara

BAB I PENDAHULUAN. dianutnya. Setiap orang memilih satu agama dengan bermacam-macam alasan, antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia dilahirkan dengan kebebasan untuk memilih agama yang ingin dianutnya. Setiap orang memilih satu agama dengan bermacam-macam alasan, antara lain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam menjalani kehidupannya senantiasa selalu mendambakan kebahagiaan. Kebahagian di dalam hidup seseorang akan berpengaruh pada kesejahteraan psikologis

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Sebelum dilakukan analisis statistik dengan menggunakan product moment dari Pearson, maka dilakukan uji asumsi normalitas dan linearitas. 1. Uji Asumsi Uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa

BAB I PENDAHULUAN. Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia pada umumnya memiliki keberagamaan, dan hal tersebut berupa kecenderungan untuk Kepercayaan pada suatu kekuatan Transenden yang menimbulkan cara hidup

Lebih terperinci

II. Deskripsi Kondisi Anak

II. Deskripsi Kondisi Anak I. Kondisi Anak 1. Apakah Anak Ibu/ Bapak termasuk mengalami kelainan : a. Tunanetra b. Tunarungu c. Tunagrahita d. Tunadaksa e. Tunalaras f. Tunaganda g. Kesulitan belajar h. Autisme i. Gangguan perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori 2.1.1. Retardasi Mental 2.1.1.1. Definisi Retardasi mental adalah kondisi tidak lengkapnya perkembangan jiwa, yang ditandai dengan adanya penurunan keterampilan selama

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Penyesuaian Diri. dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Diri 1. Pengertian Penyesuaian diri ialah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhankebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki hak untuk dapat hidup sehat. Karena kesehatan sangat penting maka pemerintah Indonesia memberikan perhatian berupa subsidi dalam bidang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini akan diuraikan rancangan penelitian yang dianggap relevan

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam bab ini akan diuraikan rancangan penelitian yang dianggap relevan 30 BAB III METODE PENELITIAN Dalam bab ini akan diuraikan rancangan penelitian yang dianggap relevan dengan permasalahan yang diteliti, untuk menjelaskan hubungan antara religiusitas dengan sikap terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harapan tersebut bisa menjadi kenyataan. Sebagian keluarga memiliki anak yang

BAB I PENDAHULUAN. harapan tersebut bisa menjadi kenyataan. Sebagian keluarga memiliki anak yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Memiliki anak yang sehat secara fisik dan psikologis menjadi impian dan harapan yang sangat didambakan oleh setiap keluarga. Namun tidak semua harapan tersebut bisa

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG

BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG 77 BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG A. Analisis Tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Perilaku Seks Pranikah Menurut Sarwono (2007) perilaku seks pranikah adalah perilaku yang didorong oleh hasrat seksual dengan lawan jenis maupun sesama jenisnya. Bentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ayat di atas bermakna bahwa setiap manusia yang tunduk kepada Allah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ayat di atas bermakna bahwa setiap manusia yang tunduk kepada Allah BAB I PENDAHULUAN Dalam Firman-Nya Al-Qalam ayat 43 : A. Latar Belakang Masalah (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehidupan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Wikipedia (2013) forgiveness (memaafkan) adalah proses menghentikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Wikipedia (2013) forgiveness (memaafkan) adalah proses menghentikan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Memaafkan 2.1.1 Pengertian Memaafkan Wikipedia (2013) forgiveness (memaafkan) adalah proses menghentikan atau menolak kebencian, kemarahan akibat perselisihan, pelanggaran yang

Lebih terperinci

BAB III KAJIAN TEORITIS

BAB III KAJIAN TEORITIS BAB III KAJIAN TEORITIS A. Religiustias (Keberagamaan) Salah satu kenyataan yang terjadi dalam sepanjang perjalanan sejarah umat manusia adalah fenomena keberagamaan (Religiosity). Untuk menerangkan fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecemasan fisiologis seperti perasaan takut dan berdebar saat akan menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. kecemasan fisiologis seperti perasaan takut dan berdebar saat akan menghadapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecemasan merupakan bagian dari kehidupan dan merupakan gejala yang normal apabila tidak mengganggu kegiatan pada manusia. Kecemasan dibagi dua, kecemasan fisiologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Orang Tua 1. Pengertian pola asuh Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik anak. Menurut (Edwards, 2006), menyatakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. PENALARAN MORAL 1. Pengertian penalaran moral Menurut Gunarsa, moral berasal dari kata Latin mores, yang berarti adat istiadat, kebiasaan atau tatacara dalam kehidupan (Martani,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bisa merangsang motorik halus anak. Kemampuan ibu-ibu dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang bisa merangsang motorik halus anak. Kemampuan ibu-ibu dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Rendahnya kemampuan anak disebabkan oleh kurangnya kegiatan yang bisa merangsang motorik halus anak. Kemampuan ibu-ibu dalam deteksi dini gangguan perkembangan

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRATEGI KOPING PADA PENDERITA PASCA STROKE SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI

BAB II KERANGKA TEORI BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Agama Agama dapat diartikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Rancangan penelitian menggunakan metode penelitian kuantitatif, maksud dari metode penelitian ini adalah penelitian yang identik dengan pendekatan deduktif

Lebih terperinci