5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Citra ALOS PALSAR dapat digunakan untuk membangun model pendugaan biomassa di ekosistem transisi yang telah mengalami transformasi dari hutan sekunder menjadi sistem pertanian dan penggunaan lain. Polarisasi silang HV sensitif dalam menduga biomassa pada ekosistem transisi. Model yang dapat diterima adalah AGB = 42.069exp(0.510 HV), dan dengan menggunakan filter dengan persamaan, AGB = 1610exp(-0.02 HV 2 ). Distribusi spasial biomassa diperoleh dari model terbangun dapat digunakan untuk identifikasi ekosistem transisi dengan mengoverlay peta biomassa dengan penutupan lahan yang dihasilkan dari interpretasi visual. Distribusi biomassa mempunyai masalah ketidakpastian spasial (spatial uncertainty) disebabkan oleh kelas-kelas yang diturunkan dari interpretasi visual mempunyai ambiguitas untuk batas kelas-kelas biomassa. Identifikasi ekosistem transisi berbasis biomassa memperkaya metode yang telah ada selama ini dalam mengidentifikasi ekosistem melalui pendekatan ekologis. Lebih jauh, diperlukan metode untuk mengurangi ketidakpastian spasial, piksel yang bercampur (mixed pixels) dan fuzzyness. Identifikasi ekosistem berbasis biomassa mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai penciri dalam pendekatan ekologis. Faktor yang paling berpengaruh terhadap pengkelasan biomassa berdasarkan analisis komponen utama terhadap peubah-peubah adalah indeks manusia (human-induced index) dan tutupan lahan, dan indeks biofisik. Pengaruh kedekatan dari jalan dan jarak dari pemukiman atau desa memberikan pengaruh terhadap kondisi biomassa di ekosistem transisi. Karena permasalahan utama di daerah ekosistem hutan sekunder adalah perambahan dan okupasi lahan oleh masyarakat sedangkan di daerah ekosistem hutan karet adalah penebangan kayu rimba maka semakin jauh dari jalan dan atau dari pemukiman, gangguan terhadap keberadaan biomassa menjadi berkurang. Akibatnya, semakin jauh dari jalan atau pemukiman kandungan biomassa ekosistem transisi di wilayah studi semakin tinggi.
92 Biomasssa pada ekosistem transisi memiliki peluang untuk dikelaskan dengan baik pada tiga kelas sebaran biomassa yaitu pada kelas rendah pada selang 0-50 ton/ha, kelas sedang pada 50-150 ton/ha, dan kelas tinggi pada biomassa diatas 150 ton/ha. Pada kelas 0 50 ton/ha ekosistem transisi didominasi kelas penutupan lahan berupa kebun sawit, semak belukar, tanah terbuka, dan pertanian lahan kering. Pada kelas 50 150 ton/ha didominasi oleh kelas kebun karet, kebun campuran, hutan karet sedang dan hutan sekunder bekas tebangan. Pada kelas di atas 150 ton/ha, didominasi oleh kelas penutupan lahan hutan sekunder dan hutan karet tua. Saran 1. Penelitian ini telah menghasilkan metode klasifikasi ekosistem transisi berdasarkan kelas biomassa untuk menentukan jenis penutupan lahan yang dominan. Penelitian lebih lanjut dengan menyertakan semua faktor yang berpotensi merubah kandungan biomassa di suatu kawasan seperti kepadatan penduduk, tingkat pendidikan, pendapatan masyarakat dan lain-lain perlu dilakukan. 2. Hasil estimasi biomassa yang diperoleh pada penelitian ini merupakan hasil pendugaan berdasarkan backscatter citra ALOS PALSAR secara tunggal, perlu dicobakan eksplorasi penggunaan berbagai jenis citra secara gabungan (fusi) untuk menduga biomassa pada ekosistem transisi.
89 lebih disebabkan oleh variasi genetik (faktor inheren) dan perlakuan silvikultur (tindakan manajemen/pengelolaan). Perubahan-perubahan pada batas tegakan yang terjadi bersamaan dengan perubahan pada kondisi tapak dapat mencerminkan adanya perubahan alami dan perubahan yang direncanakan pada suatu tipe vegetasi secara spasial, untuk itu diperlukan pendekatan pengelolaan yang site-spesific (Skovsgaard dan Vanclay 2013). Pengelolaan hutan yang efisien membutuhkan informasi mengenai sumberdaya hutan yang dapat diandalkan (reliable), yang tercermin pada kajian produktivitas tapak yang akurat. Site mapping diusulkan oleh Skovsgaard dan Vanclay (2013) untuk meningkatkan keterandalan pendugaan dan efisiensi kegiatan dan penelitian terkait pada tapak yang bersifat heterogen dan diskontinyu. Sebenarnya, kajian produktivitas tapak yang akurat dapat dihasilkan dengan melakukan pemetaan tapak berdasarkan klasifikasi biomassanya dengan mempertimbangkan faktor-faktor dominan yang dapat mempengaruhinya. Hal yang sama juga berlaku untuk ekosistem transisi hutan dataran rendah di daerah studi, untuk mengkaji produktivitas tapak di masing-masing ekosistem tersebut diperlukan pengkelasan biomassa. Pengkelasan tersebut harus juga memperhitungkan faktor sosial selain dari faktor biofisik yang ada. Faktor sosial yang dipertimbangkan dalam penelitian ini melalui hasil analisis komponen utama menghasilkan faktor dominan yaitu pada komponen utama 1 (PC 1). Faktor dominan ini adalah faktor yang dipengaruhi oleh manusia (human-induced index) yang terdiri dari faktor aksesibilitas atau kedekatan dari jalan dan dari desa. Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua faktor ini (kedekatan dari jalan dan kedekatan dari desa) ternyata sangat mempengaruhi klasifikasi biomassa pada areal ekosistem transisi. Faktor aktivitas manusia didekati berdasarkan hubungan atau korelasi antara kedekatan (proximity) dari pusat desa dengan ketersediaan biomassa di ekosistem transisi. Semakin dekat keberadaan ekosistem transisi dari desa memperlihatkan fakta adanya penurunan kandungan biomassa pada ekosistem transisi tersebut. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa motivasi ekonomi, seperti peningkatan pendapatan, mempunyai hubungan yang erat dengat keberlanjutan biomassa pada
90 suatu lokasi tapak. Terlebih diketahui bahwa mayoritas masyarakat masih mengandalkan sektor pertanian dan perkebunan dalam mata pencahariannya. Dengan mempertimbangkan faktor biofisik dan sosial, maka didapatkan distribusi spasial biomassa pada ekosistem transisi di daerah studi. Distribusi spasial biomassa ini terkelaskan dengan baik pada tiga kelas sebaran biomassa, yaitu kelas 1 untuk biomassa bernilai < 50 ton/ha, kelas 2 untuk biomassa bernilai 50-150 ton/ha, dan kelas 3 untuk biomassa bernilai > 150 ton/ha. Sebaran biomassa kelas 1 didominasi oleh kelas penutupan lahan berupa kebun sawit, semak belukar, tanah terbuka dan pertanian lahan kering dengan jarak dari jalan dan desa paling dekat (paling mudah diakses). Sebaran biomassa kelas 2 didominasi oleh kelas penutupan lahan berupa kebun campuran, kebun karet, hutan karet dan sebagian hutan sekunder bekas tebangan dengan jarak dari jalan dan desa yang relatif jauh (agak susah diakses). Sebaran biomassa kelas 3 didominasi oleh kelas penutupan lahan berupa hutan sekunder dengan jarak dari jalan dan desa paling jauh (paling susah diakses).
45 Gambar 3.4 Sebaran desa di lokasi penelitian Administrasi Pemerintahan Kabupaten Batang Hari terdiri dari 8 Kecamatan, 108 Desa dan 5 Kelurahan, sedangkan Kabupaten Muaro Jambi memiliki 11 Kecamatan, 138 Desa, dan 13 Kelurahan. Jalan yang berada di lokasi penelitian terdiri dari lima kelas jalan yaitu jalan negara, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan dalam kota, dan jalan utama perusahaan. Kondisi jalan yang beragam mempengaruhi intensitas interaksi antara manusia dengan sumberdaya alam disekitarnya sehingga mempengaruhi keberagaman tingkat kekayaan keanekaragaman hayatinya yang mempengaruhi kandungan biomassa di dalamnya.