II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. dahulu kita harus mengetahui definisi dari masalah itu sendiri. Prayitno (1985)

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektif adalah akibatnya atau pengaruhnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning

II. TINJAUAN PUSTAKA. untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

BAB II LANDASAN TEORI. A. Keterlaksanaan Pembelajaran Matematika

KURIKULUM 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

BAB I PENDAHULUAN. Melihat pentingnya matematika dan peranannya dalam menghadapi

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Efektivitas erat kaitannya dengan tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB II KAJIAN TEORITIK. sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi aturan-aturan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah belajar sebenarnya telah lama dikenal. Namun sebenarnya apa belajar itu,

I. PENDAHULUAN. dan kritis (Suherman dkk, 2003). Hal serupa juga disampaikan oleh Shadiq (2003)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II TINJAUAN PUSTAKA. menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar, dalam proses belajarmengajar,

II. TINJAUAN PUSTAKA. solusi. Sebagai contoh, suatu masalah dapat direpresentasikan dengan obyek,

BAB I PENDAHULUAN. Diantaranya, Kurikulum 1964, Kurikulum 1974, Kurikulum 1984, Kurikulum

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Kemampuan Representasi Matematis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical

BAB II KAJIAN TEORI. E. Kajian Teori. 1. Kemampuan Pemecahan Masalah. Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS. Pada kajian teori akan dipaparkan teori dari beberapa ahli yang

II. KERANGKA TEORETIS. 1. Pembelajaran berbasis masalah (Problem- Based Learning)

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang diberikan oleh Ennis (2002), berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Kajian Teori Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam Ruang Lingkup IPA SD/MI

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN. menumbuhkembangkan kemampuan dan pribadi siswa yang sejalan dengan tuntutan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. aktif mengungkapkan gagasan dan ide-ide secara individual maupun kelompok.

MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA. Siti Mawaddah, Yulianti

II. KERANGKA TEORETIS. pembelajaran fisika masalah dipandang sebagai suatu kondisi yang sengaja

II. TINJAUAN PUSTAKA. Seseorang mungkin menggunakan salah satu dari arti kata tersebut sesuai dengan

BAB II KAJIAN TEORETIS

II. TINJAUAN PUSTAKA. Matematika terdiri dari berbagai konsep yang tersusun secara hierarkis, sehingga

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalaran menurut ensiklopedi Wikipedia adalah proses berpikir yang bertolak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia dianugerahi kemampuan dan kekuatan berpikir. Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan kenyataannya sampai saat ini mutu pendidikan

BAB II LANDASAN TEORI. Kata komunikasi berasal dari bahasa latincommunicare, berarti. merupakan proses informasi ilmu dari guru kepada siswa.

Oleh Nila Kesumawati Jurusan Pendidikan Matematika, FKIP Universitas PGRI Palembang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Matematika perlu. diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar untuk

NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapaiderajat Sarjana S-I. Program Studi Pendidikan Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Konsep Pembelajaran Berbasis Masalah. a. Masalah, Pedagogi, dan Permbelajaran Berbasis Masalah. 2) Masalah dan Pedagogi

PROBLEM BASED LEARNING. R. Nety Rustikayanti, S.Kp., M.Kep. 2016

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan berbagai kompetensi tersebut belum tercapai secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. berpikir matematis tingkat tinggi (higher order thinking), yang diharapkan dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan yang diperlukan dalam pembelajaran matematik. Hal ini disebabkan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Kualitas suatu

BAB II KAJIAN TEORITIS. Kemampuan berpikir tingkat tingi dapat dikembangkan dalam proses

II. TINJAUAN PUSTAKA. baik. Efektivitas berasal dari kata efektif. Dalam Kamus Besar Bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008), efektivitas berasal dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Membangun Sikap Konstruktif Peserta Didik Dalam Pembelajaran Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah

I. PENDAHULUAN. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) saat ini semakin pesat.

BAB I PENDAHULUAN. mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Pendidikan juga proses membimbing

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Becker dan Shimada (1997: 1) mengungkapkan bahwa we propose to call problem

BAB I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam membantu siswa mencapai Standar. Kompetensi dan Kompetensi Dasar atau tujuan pembelajaran yang telah

II. KERANGKA TEORITIS. Belajar merupakan peristiwa sehari-hari di sekolah. Belajar merupakan hal yang

I. PENDAHULUAN. Mata pelajaran Biologi berdasarkan Standar Isi (SI) memiliki peran penting

I. PENDAHULUAN. yang telah di persiapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan. Dalam

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis. Berpikir merupakan aktivitas mental yang disadari dan diarahkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. suatu proses pembelajaran. Perubahan yang terjadi pada siswa sejatinya

BAB II KAJIAN TEORITIK. A. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis. dalam tugas yang metode solusinya tidak diketahui sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

I. PENDAHULUAN. pesat. Manusia dituntut memiliki keterampilan berpikir kritis, sistematis,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran siswa pada masalah yang nyata sehingga siswa dapat menyusun

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarakan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan : Hasil belajar siswa SMA Negeri 2 Serui Kabupaten Kepulauan Yapen,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model Problem Based Learning dikembangkan oleh Barrows sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tidak hanya menyelenggarakan pendidikan saja, tapi juga turut serta memberikan

BAB I PENDAHULUAN. perlu dikuasainya matematika oleh siswa. Matematika merupakan ilmu universal

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis, temuan, dan pembahasan yang telah

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Sebelum kita mengetahui pengertian kemampuan pemecahan masalah, terlebih dahulu kita harus mengetahui definisi dari masalah itu sendiri. Prayitno (1985) mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang tidak disukai, menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang lain. Sedangkan menurut Sumiati dan Asra (2008: 133), masalah diartikan sebagai kesenjangan antara kenyataan dan apa yang seharusnya. Dalam belajar matematika, pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah soal yang biasa dijumpai siswa. Suherman, dkk. (2003) menyatakan bahwa suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya, tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya. Menurut Yamin dan Ansari (2012: 81), masalah matematis adalah sesuatu persoalan yang dapat diselesaikan oleh siswa sendiri tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Sumiati dan Asra (2008: 134) menyatakan bahwa kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah itu berbeda-beda. Kemampuan ini ditunjang oleh latar belakang akademis, seperti spesialisasi keahlian, banyaknya membaca atau studi pustaka, program pendidikan yang ditempuh, menganalisis suatu bidang, ataupun

11 karena memberi perhatian khusus terhadap praktek kehidupan. Namun demikian tidak semua faktor yang disebutkan itu selalu menyebabkan seseorang mempunyai kemampuan dalam memecahkan masalah. Kemampuan ini akan muncul terutama jika yang bersangkutan terbiasa atau terlatih dalam hal ini. Menurut Sumiati dan Asra (2008: 139), pemecahan masalah adalah suatu proses untuk menemukan suatu masalah yang dihadapi berupa aturan-aturan baru yang tarafnya lebih tinggi. Sedangkan menurut Wardhani dalam Hamiyah dan Jauhar (2014: 119), pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum dikenal. Dengan demikian, pemecahan masalah adalah proses menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh untuk menemukan suatu masalah yang dihadapi. Menurut Syah (2010: 121), belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya adalah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas, dan tuntas. Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dibatasi pada rumpun materi geometri yaitu berupa materi pythagoras dan garis singgung lingkaran. Pokok bahasan pythagoras dipelajari oleh siswa pada kelas VIII semester ganjil, sedangkan garis singgung lingkaran dipelajari pada kelas VIII semester genap. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi geometri sangatlah penting untuk dikembangkan. Hal ini karena untuk memecahkan masalah geometri secara rasional, lugas, dan tuntas diperlukan

12 kemampuan dan kecakapan kognitif yang diperoleh dari belajar memecahkan masalah. Branca dalam Krulik dan Reys (1980) mengemukakan bahwa pemecahan masalah memiliki tiga interpretasi yaitu: pemecahan masalah (1) sebagai suatu tujuan utama; (2) sebagai sebuah proses, dan (3) sebagai keterampilan dasar. Ketiga hal itu mempunyai implikasi dalam pembelajaran matematika. Pertama, jika pemecahan masalah merupakan suatu tujuan maka ia terlepas dari masalah atau prosedur yang spesifik, juga terlepas dari materi matematika, yang terpenting adalah bagaimana cara memecahkan masalah sampai berhasil. Dalam hal ini pemecahan masalah sebagai alasan utama untuk belajar matematika. Kedua, jika pemecahan masalah pandang sebagai suatu proses maka penekanannya bukan semata-mata pada hasil, melainkan bagaimana metode, prosedur, strategi dan langkah-langkah tersebut dikembangkan melalui penalaran dan komunikasi untuk memecahkan masalah. Ketiga, pemecahan masalah sebagai ketrampilan dasar atau kecakapan hidup (life skill), karena setiap manusia harus mampu memecahkan masalahnya sendiri. Jadi pemecahan masalah merupakan ketrampilan dasar yang harus dimiliki setiap siswa. Hudoyo dan Sutawidjaya (1996/1997: 189) menyatakan bahwa pemecahan masalah matematis dapat diartikan sebagai penggunaan matematika dalam kehidupan sehari-hari untuk menyelesaikan masalah-masalah yang belum diketahui penyelesaiannya ataupun masalah-masalah yang belum dikenal. Branca (1980: 3) mengemukakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah dalam matematika diataranya menyelesaikan soal cerita

13 dalam buku teks, menyelesaikan soal-soal tidak rutin atau memecahkan masalah teka-teki, penerapan matematika pada masalah yang dihadapi dalam kehidupan nyata, serta menciptakan dan menguji konjektur. Menurut Bell (1978) hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi-strategi pemecahan masalah yang umumnya dipelajari dalam pelajaran matematika, dalam hal-hal tertentu dapat ditransfer dan diaplikasikan dalam situasi pemecahan masalah yang lain. Penyelesaian masalah secara matematis dapat membantu para siswa meningkatkan daya analitis mereka dan dapat menolong mereka dalam menerapkan daya tersebut pada bermacam-macam situasi. Turmudi (2008: 2) menyatakan bahwa pemecahan masalah dalam matematika melibatkan metode dan cara penyelesaian yang tidak standar dan tidak diketahui sebelumnya. Dengan demikian, metode yang digunakan harus bisa memecahkan masalah matematis yang ada. Menurut Marshal (1989), terdapat beberapa aspek penting dalam mengevaluasi kemampuan pemecahan masalah matematis. Aspek pertama adalah penguasaan pengetahuan faktual yang relevan dengan situasi masalah. Aspek kedua adalah penguasaan pengetahuan prosedural. Aspek ketiga adalah penguasaan terhadap prosedur matematis untuk mencari solusi masalah. Sedangkan menurut Jonassen (2004), aspek penting dalam mengevaluasi kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan memberikan argumentasi mengenai bagaimana proses pemecahan masalah dilakukan, mengapa strategi pemecahan masalah tertentu digunakan, dan mengapa solusi yang diperoleh benar atau sesuai.

14 Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis diperlukan beberapa indikator. Adapun indikator tersebut menurut Sumarmo (2006) adalah sebagai berikut: (1) mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, dan kecukupan unsur, (2) membuat model matematika, (3) menerapkan strategi menyelesaikan masalah dalam/diluar matematika, (4) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil, (5) menyelesaikan model matematika dan masalah nyata, (6) menggunakan matematika secara bermakna. Sedangkan Polya (1985) mengajukan empat fase dalam penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan. Berdasarkan uraian di atas, pemecahan masalah matematis memiliki peranan penting dalam pembelajaran matematika, sebab melalui pemecahan masalah matematis siswa mampu menyelesaikan masalah-masalah yang belum dikenal dengan menerapkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya seperti menyelesaikan soal cerita dalam buku teks dan soal-soal tidak rutin. Dalam penelitian ini, kemampuan pemecahan masalah matematis meliputi kemampuan merumuskan masalah, merencanakan strategi penyelesaian, menerapkan strategi penyelesaian, dan menguji kebenaran jawaban yang telah diperoleh. 2. Disposisi Matematis Selain kemampuan yang berkaitan dengan pemecahan masalah matematis, juga perlu dikembangkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah

15 (Departemen Pendidikan Nasional, 2006). Pengembangan ranah afektif yang menjadi tujuan pendidikan matematika disetiap jenjang sekolah menurut Kurikulum 2006 tersebut adalah menumbuhkan dan mengembangkan disposisi matematis. Pentingnya pengembangan disposisi matematis juga disampaikan oleh Sumarmo (2010) bahwa dalam belajar matematika siswa perlu mengutamakan pengembangan kemampuan berpikir dan disposisi matematis. Pengutamaan tersebut menjadi semakin penting manakala dihubungkan dengan tuntutan kemajuan IPTEK dan suasana bersaing yang semakin ketat terhadap lulusan semua jenjang pendidikan. Wardani (2008: 15) menyatakan bahwa disposisi matematis adalah ketertarikan serta apresiasi siswa terhadap matematika yaitu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak positif yang dapat berupa kepercayaan diri, keingintahuan, tekun dan gigih dalam mengahadapi permasalahan, antusias dalam belajar, fleksibel, mau berbagi dengan orang lain, dan bersikap reflektif dalam kegiatan matematik. Sedangkan menurut Katz (2009), disposisi matematis (mathematical disposition) dalam konteks matematika berkaitan dengan bagaimana siswa menyelesaikan masalah matematis; apakah percaya diri, tekun, berminat, dan berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Dalam konteks pembelajaran, disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa bertanya, menjawab pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide matematis, bekerja dalam kelompok, dan menyelesaikan masalah. Menurut Kilpatrick, dkk (2001), disposisi matematis adalah kecenderungan memandang matematika sebagai sesuatu yang

16 dapat dipahami, merasakan matematika sebagai sesuatu yang berguna dan bermanfaat, meyakini usaha yang tekun dan ulet dalam mempelajari matematika akan membuahkan hasil, serta melakukan perbuatan sebagai siswa dan pekerja matematika yang efektif. Polking dalam Sumarmo (2010) mengemukakan beberapa indikator disposisi matematis di antaranya yaitu: sifat rasa percaya diri dan tekun dalam mengerjakan tugas matematik, memecahkan masalah, berkomunikasi matematis, dan dalam memberi alasan matematis; sifat fleksibel dalam menyelidiki, dan berusaha mencari alternatif dalam memecahkan masalah; menunjukkan minat dan rasa ingin tahu, sifat ingin memonitor dan merefleksikan cara mereka berpikir; berusaha mengaplikasikan matematika ke dalam situasi lain, menghargai peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat dan bahasa. Sedangkan menurut NCTM (2000), disposisi matematis mencakup beberapa komponen sebagai berikut. a. Percaya diri dalam menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan ide-ide matematis, dan memberikan argumentasi. b. Berpikir fleksibel dalam mengeksplorasi ide-ide matematis dan mencoba metode alternatif dalam menyelesaikan masalah. c. Gigih dalam mengerjakan tugas matematika. d. Berminat, memiliki keingintahuan (curiosity), dan memiliki daya cipta (inventiveness) dalam aktivitas bermatematika. e. Memonitor dan merefleksi pemikiran dan kinerja.

17 f. Menghargai aplikasi matematika pada disiplin ilmu lain atau dalam kehidupan sehari-hari. g. Mengapresiasi peran matematika sebagai alat dan sebagai bahasa. Adapun kemampuan disposisi matematis yang diukur dalam penelitian ini adalah percaya diri terhadap kemampuan yang dimiliki siswa, rasa ingin tahu dalam mempelajari matematika, ketekunan yang gigih/perhatian/kesungguhan, berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah, merefleksi cara berpikir siswa atau memonitor hasil pekerjaan siswa, serta mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. 3. Model Problem Based Learning Menurut Arends (2008: 41), problem based learning adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga akan membantu siswa menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry dalam menyelesaikan masalah matematika. Sedangkan Tan dalam Rusman (2012: 232) menyatakan bahwa problem based learning merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada. Dengan demikian, problem based learning merupakan model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik dengan menggunakan berbagai macam kecerdasan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas yang ada sehingga siswa

18 dapat menyusun pengetahuannya sendiri dan menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiry. Menurut Ibrahim dan Nur (2000: 5), problem based learning memiliki beberapa karakteristik, yaitu: pembelajaran berpusat pada siswa, belajar terjadi dalam kelompok kecil siswa, guru adalah fasilitator atau pemandu, masalah membentuk fokus pengaturan dan stimulus pada pembelajaran, masalah adalah wahana pengembangan keterampilan dalam memecahkan masalah, masalah adalah struktur kacau dan ranah khas, dan informasi baru diperoleh melalui belajar mandiri. Sedangkan menurut Rusman (2012: 232), karakteristik problem based learning adalah sebagai berikut: (1) permasalahan menjadi starting point (poin utama) dalam belajar, (2) permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata yang tidak terstruktur, (3) permasalahan membutuhkan perspektif ganda, (4) permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, (5) belajar pengarahan diri menjadi hal utama, (6) pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam problem based learning, (7) belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif, (8) pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan, (9) keterbukaan proses dalam problem based learning meliputi sintesis dan integrasi dan sebuah proses belajar, dan (10) problem based learning melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswa dan proses belajar.

19 Berdasarkan uraian di atas, problem based learning memiliki beberapa karakteristik yaitu pembelajaran berpusat pada siswa dan guru berperan sebagai fasilitator, permasalahan merupakan hal yang paling utama dalam belajar, permasalahan yang diangkat dalam problem based learning adalah permasalahan yang ada di dunia nyata dan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, problem based learning memanfaatkan sumber pengetahuan yang beragam dan mengevaluasi sumber informasi yang telah diperoleh, pengembangan keterampilan inquiry dan pemecahan masalah sama pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari sebuah permasalahan. Guru, siswa, dan masalah pada problem based learning memiliki peranan yang sama pentingnya. Menurut Daryanto (2014: 29), peran guru dalam problem based learning adalah sebagai pelatih yaitu asking about thinking (bertanya tentang pemikiran), memonitor pembelajaran, menantang peserta didik untuk berpikir, menjaga agar peserta didik terlibat, mengatur dinamika kelompok, dan menjaga berlangsungnya proses pembelajaran. Peran siswa adalah sebagai problem solver yaitu peserta yang aktif, terlibat langsung dalam pembelajaran, dan membangun pembelajaran. Sedangkan masalah berperan sebagai awal tantangan dan motivasi yaitu menarik untuk dipecahkan dan menyediakan kebutuhan yang ada hubungannya dengan pelajaran yang dipelajari. Menurut Hosnan (2014: 299), tujuan utama problem based learning bukanlah penyampaian sejumlah besar pengetahuan kepada siswa, melainkan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus mengembangkan kemampuan peserta didik untuk secara aktif

20 membangun pengetahuan sendiri. Problem based learning juga dimaksudkan untuk mengembangkan kemandirian belajar dan keterampilan sosial siswa. Kemandirian belajar dan keterampilan sosial itu dapat terbentuk ketika siswa berkolaborasi untuk mengidentifikasi informasi, strategi, dan sumber belajar yang relevan untuk menyelesaikan masalah. Dari pendapat di atas, tampak bahwa tujuan problem based learning adalah agar siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah serta dapat mengembangkan kemandirian belajar dan keterampilan sosial. Adapun langkah-langkah problem based learning menurut Ibrahim dan Nur (2000: 13) dapat disajikan seperti pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Langkah-Langkah Problem Based Learning Fase Indikator Tingkah Laku Guru 1 Orientasi siswa pada masalah 2 Mengorganisasi siswa untuk belajar 3 Membimbing pengalaman individual/kelompok 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya 5 Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah Membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagai tugas dengan temannya Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses yang mereka gunakan

21 Dalam penelitian ini, langkah-langkah problem based learning yang peneliti lakukan adalah guru mengorientasi siswa pada masalah dengan menjelaskan tujuan pembelajaran terlebih dahulu dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah, kemudian siswa diorganisasikan untuk belajar dan dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi dalam memecahkan masalah yang diberikan, selanjutnya hasil diskusi yang diperoleh disajikan kepada kelompok lain, dan langkah yang terakhir yaitu guru mengevaluasi hasil pekerjaan mereka. Menurut Ibrahim dan Nur (2000), problem based learning memiliki beberapa kelebihan, antara lain: a. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan, sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut. b. Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi. c. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran lebih bermakna. d. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran, sebab masalah-masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari. e. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif di antara siswa. f. Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajaran dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.

22 Menurut Sanjaya (2008), selain memiliki kelebihan, problem based learning juga memiliki kelemahan diantaranya yaitu siswa merasa enggan untuk mencoba memecahkan masalah manakala mereka tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari tersebut sulit untuk dipecahkan. Selain itu, sebagian siswa akan berusaha memecahkan masalah yang sedang dipelajari jika mereka telah paham mengenai materi yang diperlukan. Hal ini dikarenakan, mereka beranggapan bahwa tanpa pemahaman mengenai materi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut mengapa mereka harus berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari. Selain memperhatikan keunggulan dan kelemahan di atas, ada beberapa aspek penting pula yang perlu diperhatikan dalam menggunakan Problem Based Learning (PBL) menurut Daryanto (2014: 31) yaitu: a. PBL memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat. b. PBL menekankan responsibility (dapat dipertanggung jawabkan) dan answerability (dapat dipertanyakan) para siswa ke dirinya dan panutannya. c. Kegiatan siswa difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi sebenarnya. d. Menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan siswa untuk menemukan jawaban yang relevan. e. Diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap siswa menghasilkan umpan balik yang berharga.

23 f. PBL dikembangkan tidak hanya pada keterampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self management. g. PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu siswa menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip, dan ilmu pengetahuan yang sesuai. Aspek-aspek di atas sangat perlu diperhatikan agar tujuan dari proses pembelajaran menggunakan problem based learning dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. 4. Efektivitas Pembelajaran Efektivitas pembelajaran terdiri dari dua kata yaitu efektivitas dan pembelajaran. Rahardjo (2011: 170) menyatakan bahwa efektivitas adalah kondisi atau keadaan dimana tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan hasil yang memuaskan. Pengertian efektivitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan pengertian pembelajaran menurut Dimyati dan Mudjiono (2006: 297) adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Menurut Sanjaya (2009: 26), pembelajaran adalah proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri maupun potensi yang ada diluar diri siswa. Menurut Syah (2010: 215), pembelajaran adalah proses

24 atau upaya yang dilakukan guru agar siswa dapat belajar. Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah proses atau upaya yang dilakukan guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada untuk membuat siswa belajar aktif. Sutikno (2005) menyatakan bahwa pembelajaran efektif merupakan suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Hamalik (2004: 171), pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sendiri dengan melakukan aktivitas-aktivitas belajar. Menurut Simanjuntak (1993: 80), pembelajaran dikatakan efektif apabila menghasilkan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan atau tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sedangkan Wicaksono (2011) mengemukakan bahwa pembelajaran dikatakan efektif apabila mengacu pada ketuntasan belajar. Pembelajaran dapat dikatakan tuntas apabila lebih dari atau sama dengan 60% dari jumlah siswa memperoleh nilai minimal 65 dalam peningkatan hasil belajar dan strategi pembelajaran. Menurut Suparno (2001: 112), ada beberapa tindakan-tindakan yang dapat membantu mengefektifkan seseorang dalam belajar, diantaranya membuat rangkuman, membuat pemetaan konsep-konsep penting, mencatat hal-hal yang esensial dan membuat komentar, membaca secara efektif (skimming, scanning, membaca kesimpulan, membaca untuk pendalaman, dan memanfaatkan indeks), membuat situasi yang kondusif, memanfaatkan sumber-sumber bacaan lain, menganalisis soal atau tugas, dan mengenal lingkungan.

25 Berdasarkan beberapa definisi di atas, pembelajaran yang efektif merupakan suatu pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar sendiri (mandiri) sehingga siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dalam penelitian ini, pembelajaran dikatakan efektif apabila jumlah siswa yang tuntas belajar lebih dari 60% dari jumlah seluruh siswa dengan nilai ketuntasan 75. B. Kerangka Pikir Problem based learning adalah model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah. Dalam pembelajaran problem based learning, siswa dituntut untuk terlibat secara aktif dalam memecahkan masalah. Masalah yang disajikan merupakan masalah kontekstual yang dapat membangun pemikiran konstruktif. Kemudian siswa diajak berpikir bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut. Penyelesaian soal-soal tidak rutin merupakan salah satu kegiatan yang dapat diklasifikasikan sebagai pemecahan masalah dalam matematika. Untuk menyelesaikan masalah-masalah matematika tersebut, siswa harus memiliki kemampuan pemecahan masalah matematis. Pelaksanaan problem based learning terdiri dari lima langkah yaitu mengorientasi siswa pada masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing siswa untuk individual dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, serta menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Pada langkah pertama yaitu mengorientasi siswa pada masalah, guru memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi, atau sumber dan keterampilan yang diperlukan

26 dalam pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan seperti pembentukan tugas kelompok, dan memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah. Dalam hal ini, siswa akan memiliki rasa ingin tahu dalam mengikuti pembelajaran matematika sehingga pada langkah ini rasa ingin tahu matematis siswa akan berkembang. Pada langkah kedua guru mengorganisasikan siswa untuk belajar dengan membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut serta mengarahkan siswa untuk melakukan kajian teori yang relevan dengan masalah dan mencari sumber belajar lainnya. Guru memberikan permasalahan pada saat pembelajaran, kemudian siswa melakukan diskusi kelompok untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan yang bervariasi untuk memecahkan masalah yang diberikan. Hal tersebut akan mengembangkan kemampuan siswa dalam merumuskan masalah. Pada langkah ini, siswa juga akan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada pemecahan masalah yang sedang mereka pelajari. Pada langkah ketiga guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang dapat membantu siswa dalam menentukan solusi permasalahan dengan tepat. Dalam hal ini, siswa akan bekerja sama dengan kelompoknya mencari informasi penting untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan dengan berbagai kemungkinan solusi pemecahan masalah. Hal tersebut akan mengembangkan kemampuan siswa dalam hal merencanakan dan menerapkan strategi penyelesaian masalah serta mendorong siswa untuk menunjukkan sikap tekun, bersungguh-

27 sungguh, dan berpikir fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Pada langkah keempat siswa mengembangkan dan menyajikan hasil karyanya. Dalam hal ini, guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya yaitu dengan mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di depan kelas dan siswa lain menanggapi hasil tersebut. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam menguji kebenaran jawaban yang telah diperoleh kelompok lain dan merefleksi cara berpikir mereka. Pada langkah terakhir guru membantu siswa untuk menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yang mereka gunakan. Pada langkah ini, siswa akan menilai dirinya sendiri, apakah hasil yang telah diperoleh sesuai dengan tujuan pembelajaran. Kemudian siswa dapat mengaplikasikan apa yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari. Melalui langkah-langkah problem based learning yang dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan pendapat, ide, dan tanggapan terhadap pemecahan masalah yang bervariasi sehingga terjadi interaksi yang aktif pada saat pembelajaran yang akan berpengaruh terhadap disposisi matematis siswa, maka diduga penerapan model problem based learning efektif untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan disposisi matematis siswa. Dalam penelitian ini, problem based learning dikatakan efektif apabila kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah penerapan problem

28 based learning lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebelum penerapan problem based learning, persentase siswa tuntas belajar lebih dari 60% dari jumlah siswa dengan nilai ketuntasan 75 pada proses pembelajaran, dan disposisi matematis siswa setelah penerapan problem based learning lebih tinggi daripada disposisi matematis siswa sebelum penerapan problem based learning. C. Anggapan Dasar Penelitian ini mempunyai anggapan dasar sebagai berikut. a. Semua siswa kelas VIII semester genap SMPN 23 Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015 memperoleh materi yang sama dan sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). b. Model pembelajaran yang diterapkan sebelum penelitian bukan merupakan model problem based learning. c. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemampuan pemecahan pemecahan dan disposisi matematis siswa selain model pembelajaran dikontrol sehingga memberikan pengaruh yang sangat kecil. D. Hipotesis Berdasarkan kerangka pikir dan anggapan dasar di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut.

29 a. Hipotesis Umum Penerapan model problem based learning efektif ditinjau dari kemampuan pemecahan masalah, persentase siswa tuntas belajar, dan disposisi matematis siswa. b. Hipotesis Khusus 1. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa setelah penerapan problem based learning lebih tinggi daripada kemampuan pemecahan masalah matematis siswa sebelum penerapan problem based learning. 2. Persentase siswa tuntas belajar lebih dari 60% dari jumlah siswa. 3. Disposisi matematis siswa setelah penerapan problem based learning lebih tinggi daripada disposisi matematis siswa sebelum penerapan problem based learning.