BAB I. Treatment, Short-course chemotherapy)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. TB Paru merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. bahwa penyakit tuberkulosis merupakan suatu kedaruratan dunia (global

BAB 1 PENDAHULUAN. Kegiatan penanggulangan Tuberkulosis (TB), khususnya TB Paru di

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi kronis yang masih menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bakterituberkulosis tersebut (Kemenkes RI,2012). Jumlah prevalensi TB di

BAB I PENDAHULUAN. Mycobacterium tuberculosis, dengan gejala klinis seperti batuk 2

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjangkit jutaan orang tiap tahun dan menjadi salah satu penyebab utama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. pengobatan. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional saat ini pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Analisis faktor-faktor..., Kartika, FKM UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mencapai kualitas hidup seluruh penduduk yang lebih baik. Oleh banyak

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terdapat di negara-negara berkembang dan 75% penderita TB Paru adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Tuberculosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. jiwa dan diantaranya adalah anak-anak. WHO (2014) mengestimasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut WHO (World Health Organization) sejak tahun 1993

PROGRAM KERJA PENERAPAN STRATEGI DOTS

I. PENDAHULUAN. secara global masih menjadi isu kesehatan global di semua Negara (Dave et al, 2009).

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit menular merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh basil TBC. Penyakit paru paru ini sangat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Organisasi Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) memperkirakan

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk yang paling banyak dan paling penting (Widoyono, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB

PRATIWI ARI HENDRAWATI J

BAB 1 PENDAHULUAN. TB.Paru merupakan penyakit yang mudah menular dan bersifat menahun, disebabkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2016 GAMBARAN MOTIVASI KLIEN TB PARU DALAM MINUM OBAT ANTI TUBERCULOSIS DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT DUSTIRA KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya kuman penyebab tuberkulosis oleh Robert Koch tahun 1882

BAB I PENDAHULUAN. Diperkirakan sekitar 2 miliar atau sepertiga dari jumlah penduduk dunia telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dan termasuk salah satu sasaran Millennium Development Goals (MDGs) dalam

BAB I. PENDAHULUAN. mengganti aktor pusat menjadi daerah dalam hal pengambilan kebijakan. dengan masyarakat. Dengan begitu, informasi tentang proses

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia sebagai negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang. disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium Tuberculosis yang pada

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2011, kesehatan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan sinar matahari, tetapi dapat hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan

BAB I PENDAHULUAN. komplikasi berbahaya hingga kematian (Depkes, 2015). milyar orang di dunia telah terinfeksi bakteri M. tuberculosis.

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Alsagaff,H, 2006). Penyakit ini juga

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan dalam masyarakat (Depkes RI, 2009). pembangunan berkelanjutan yang diberi nama Sustainable Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan terutama di Negara berkembang seperti di Indonesia. Penyebaran

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN MOTIVASI PETUGAS TBC DENGAN ANGKA PENEMUAN KASUS TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus di kalangan masyarakat. Menurut World Health Organization

BAB I PENDAHULUAN. dari golongan penyakit infeksi. Pemutusan rantai penularan dilakukan. masa pengobatan dalam rangka mengurangi bahkan kalau dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang


TENTANG. Modul Ini. Modul LJJ P2TB Bagi DPM PUSDIKLAT APARATUR-BPPSDMK Bekerjasama dengan DIREKTORAT P2ML DITJEN PP DAN PLDan PB IDI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Departemen Kesehatan RI (2008) tuberkulosis merupakan

PENERAPAN STRATEGI DOTS DI RUMAH SAKIT HBS MODUL F HDL 1

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) paru yaitu salah satu penyakit menular yang

Ari Kurniati 1, dr. H. Kusbaryanto, M. Kes 2 ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesehatan penduduk Indonesia. Mycrobacterium Tuberculosis (Mansyur, 1999). Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jumlah kematian per tahun. Kematian tersebut pada umumnya

PENDAHULUAN. M.Arie W-FKM Undip

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan. masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia.

BAB I BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas. Salah satu upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menimbulkan komplikasi kesakitan (morbiditas) dan kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Tuberkulosis (TB) masih menjadi masalah kesehatan dunia karena

BAB I PENDAHULUAN. paru yang disebabkan oleh kuman dari kelompok Mycobacterium

BAB I PENDHULUAN. dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan yaitu dengan mengawasi dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis dan dapat disembuhkan. Tuberkulosis

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat di dunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi Directly

BAB 1 : PENDAHULUAN. tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB), penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, sejak ditemukan di abad 20 telah menjadi masalah kegawatdaruratan global bagi kemanusiaan. Diperkirakan tahun 2010 terdapat 8.500.000 sampai 9.200.000 kasus dan 1.200.000 sampai 1.500.000 kematian (termasuk kematian akibat TB dengan HIV -positif). TB menjadi penyebab utama kematian penyakit karena infeksi di seluruh dunia setelah HIV (WHO, 2011). Menurut pengalaman dari berbagai negara, strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Short-course chemotherapy) telah terbukti efektif untuk pengendalian TB. Indonesia mengadopsi DOTS sebagai strategi penanggulangan nasional dengan ekspansi secara bertahap dan sampai saat ini Indonesia sudah menempati peringkat yang lebih baik, yaitu dari peringkat tiga menjadi peringkat kelima untuk penyakit TB di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus pada tahun 2011 adalah sebesar 680.000 dan estimasi insidensi berjumlah 450.000 kasus baru per tahun (WHO, 2012). Dalam program pengendalian TB di Indonesia tantangan menjadi semakin berat, dengan kondisi Negara Indonesia sekarang masih termasuk dalam kelompok negara yang berpendapatan menengah kebawah, dengan munculnya masalah penderita TB yang mengidap HIV (ko -infeksi TB/HIV) dan kejadian multiple drug resistance (MDR) TB yang merupakan permasalahan yang muncul sebagai risiko diantaranya karena faktor putus obat. Hal ini menjadikan tingkat kompleksitas masalah TB menjadi semakin tinggi (WHO, 2011). Sejak tahun 1995, Program Nasional Penanggulangan TB mengadopsi strategi DOTS dan telah diterapkan di semua puskesmas. Dalam perkembangannya, strategi DOTS dikembangkan untuk BP4 dan rumah sakit. Saat ini, jumlah rumah sakit yang sudah melaksanakan strategi DOTS sekitar 38% dari semua rumah sakit yang ada di Indonesia (Kemenkes RI, 2011). 1

2 Pada bulan Juli 2009 telah dilakukan evaluasi oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik terhadap rumah sakit tingkat provinsi diseluruh Indonesia (18 rumah sakit). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa hanya 17% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS dengan hasil optimal, 44% rumah sakit dengan hasil sedang dan 39% rumah sakit dengan hasil kurang. Hasil penilaian tersebut menunjukkan bahwa komitmen direktur rumah sakit sangat mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan DOTS di rumah sakit. Hal ini sangat penting mengingat permasalahan yang dihadapi di lapangan menunjukkan bahwa angka penemuan TB di rumah sakit cukup tinggi, tetapi keberhasilan pengobatan masih rendah dan angka putus berobat masih cukup tinggi, sehingga berpotensi menciptakan masalah besar yaitu peningkatan terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis. Dalam mengantisipasi keadaan ini maka diterbitkan pedoman manajerial DOTS di rumah sakit sebagai acuan dalam pelaksanaan pelayanan TB dan pelaksanaan manajemen pelayanan TB di rumah sakit merupakan bagian dari upaya pencapaian MDGs 2015 serta kaitannya dengan akreditasi rumah sakit (Kemenkes RI, 2010). Probandari et al., (2010) melakukan cross-sectional menggunakan laporan morbiditas pasien rawat jalan, register laboratorium dan register pasien TBC mulai dari 1 Januari 2005 sampai dengan 31 Desember 2005. Hasil studi ini menunjukkan bahwa dari 19% sampai 53% kasus TB dan 4% sampai 18% dari kasus TB dengan BTA positif di rumah sakit yang berpartisipasi dalam strategi DOTS-PPM (Publice Private Mix) diindikasikan tidak dilakukan diagnosis dan pengobatan dengan standar DOTS. Melihat hasil studi ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar pasien TB yang dirawat di PPM- DOTS rumah sakit yang telah terlibat dalam program TB yang dipilih sebagai lokasi tidak dikelola dengan strategi DOTS, hal ini merupakan permasalahan yang harus disikapi secara komprehensif. Komitmen individu yang kuat dari profesional kesehatan, dukungan organisasi, kepemimpinan, dan kebijakan yang relevan di rumah sakit dan program TB nasional sangat diperlukan untuk memperkuat implementasi DOTS di rumah sakit.

3 Pada fase 2010-2014, perluasan dan akselerasi strategi DOTS di rumah sakit lebih difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan RS dalam penanggulangan penderita TB yang secara garis besar meliputi: penemuan penderita TB secara mikroskopis, pengobatan, pemantauan keteraturan pengobatan, serta terjaminnya ketersediaan OAT yang mengacu pada International Standards for Tuberculosis Care (ISTC) dengan memperhatikan hak-hak pasien TB (ISTC, 2009). Melalui pemantapan jejaring internal dan eksternal rumah sakit yang terlibat dalam penyediaan pelayanan TB harus diperkuat. Dengan berpedoman pada faktor - faktor manajerial rumah sakit, perlu diupayakan cara-cara untuk menjaga agar penderita dapat berobat secara teratur, karena hal ini sangat mendukung keberhasilan dalam pengobatan TB. Salah satunya dengan memperkuat pemantauan terhadap keteraturan pasien selama menjalani masa pengobatan (Kemenkes RI, 2010). RSUD Muntilan telah melaksanakan strategi DOTS sejak bulan Maret tahun 2009, dengan menerapkan kerja sama jejaring internal antar semua unit yang terkait di rumah sakit dan jejaring eksternal dengan dinas kesehatan, puskesmas, fasilitas layanan kesehatan lain setempat serta merujuk kasus sulit kepada rumah sakit yang lebih memadai. Direktur telah berkomitmen dengan membuat kebijakan, penetapan standar operasional pelayanan, pengawasan kualitas pelayanan, serta pencatatan dan pelaporan dalam rangka penerapan DOTS di rumah sakit. Cakupan dari pelayanan RSUD Muntilan tahun 2011 menunjukkan 133 kasus TB dewasa, 93 diantaranya adalah kasus TB BTA positif, 27 kasus BTA (-) rontgen (+) dan 13 kasus TB ektra paru, serta kasus TB anak terdapat 97 kasus. Kontribusi rumah sakit secara keseluruhan mencapai 26,49 % terhadap semua kasus yang ditemukan di wilayah Kabupaten Magelang. Kasus ketidakteraturan berobat penderita dewasa ada 39 kasus atau 29,32% dari seluruh penderita yang diobati. Tercatat kasus pindah ke puskesmas sebanyak 5 kasus sedangkan kasus drop out ada 2 kasus atau 2,15% dari jumlah seluruh BTA (+) yang diobati. Hal ini menunjukkan untuk kasus defaut masih di bawah angka yang ditetapkan dari Depkes < 5%, namun angka kesembuhan ( cure rate) sebesar 74, 59 % masih dibawah target Depkes 85% (Depkes RI, 2007).

4 Data dari RSUD Muntilan tahun 2011 menunjukkan angka ketidakteraturan berobat sebesar 29,32%, hal ini disebabkan belum optimalnya pelaksanaan strategi DOTS di rumah sakit serta ketaatan penderita dalam menyelesaikan pengobatan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik melakukan tentang faktor-faktor manajerial pelayanan TB di rumah sakit yang dengan keteraturan pasien dalam berobat. Continuity of care diartikan sebagai kesinambungan perawatan, yaitu hubungan yang berkelanjutan antara pasien dan profesional kesehatan yang bertujuan untuk edukasi dan kelangsungan pengobatan pasien dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan dan akan berdampak pada keteraturan pengobatan pasien (Martin, 2008). Sehingga peran perawat dalam edukasi sangat bermanfaat bagi keteraturan berobat pasien TB, hal ini sesuai dengan standar 3 faktor manajerial TB rumah sakit (Kemenkes RI, 2010). Namun, beberapa penulis telah menunjukkan bahwa kontinuitas merupakan istilah yang telah digunakan dalam berbagai hal yang salah satunya dengan perawatan dari seorang profesional kepada pasien untuk menjamin kelangsungan informasi melalui pendekatan yang konsisten untuk kepentingan terapeutik kepada pasien (Salisbury et al., 2009). Ini sesuai dengan rantai efek perbaikan mutu, yaitu untuk mencapai tingkat mutu yang diharapkan diperlukan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang inisiatifnya harus dilakukan dari berbagai level/konteks yang didasarkan pada unsur-unsur yang terdapat dalam pelayanan kesehatan. Tingkat/konteks tersebut terdiri dari: pasien, sistem mikro, sistem makro, dan lingkungan (Berwick, 2002). Continuity of care dalam penanganan penderita TB merupakan bagian yang harus diupayakan untuk mencegah terjadinya resistensi akibat putus obat, sehingga menjadi hal yang sangat penting untuk keberhasilan pengobatan (Shlaes et al., 1997). Beberapa aspek continuity of care dalam sistem DOTS bisa diterapkan di rumah sakit seperti penunjukan pengawas menelan obat, yang diharapkan setiap hari bisa ikut memantau proses menelan obat di rumah, pemberian edukasi kepada penderita dan keluarga supaya pasien dapat memahami pengobatan terhadap penyakit yang dideritanya. Untuk pasien, karena alasan ekonomi bisa diberikan

5 pilihan alternatif fasilitas pelayanan yang terdekat dengan rumah supaya pasien dapat menekan ongkos transportasi. Monitoring dengan TB 01 dan TB 02 serta upaya mengontak pasien untuk mengingatkan ataupun pasien yang tidak datang pada saat hari kontrol merupakan hal yang bermanfaat supaya keteraturan pasien dalam berobat dapat dicapai. Berkaitan dengan jejaring eksternal terbatas pada mekanisme rujukan serta memastikan pasien sampai ditempat rujukan dan melanjutkan pengobatan. Pendidikan dan pelatihan teknis bagi petugas kesehatan merupakan upaya dalam rangka peningkatan pelayanan yang bermutu di rumah sakit. Beberapa unsur dalam faktor manajerial ini tertuang dalam beberapa standar manajerial yang diterbitkan oleh Kemenkes (Kemenkes RI, 2010). B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan adalah: Apakah faktor-faktor manajerial pelayanan TB di rumah sakit yang dengan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Menganalisis hubungan antara faktor-faktor manajerial pelayanan TB rumah sakit dan keteraturan berobat pasien dalam menjalani pengobatan TB di rumah sakit. 2. Tujuan khusus a. Mengidentifikasi hubungan antara monitoring dengan TB 01, TB 02 dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB. b. Mengidentifikasi hubungan antara penunjukan PMO dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB. c. Mengidentifikasi hubungan antara edukasi kepada penderita dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB. d. Mengidentifikasi hubungan antara edukasi kepada PMO dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB.

6 e. Mengidentifikasi hubungan antara upaya mengontak penderita pada waktunya kontrol dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB. f. Mengidentifikasi hubungan antara tawaran alternatif fasilitas pelayanan yang terdekat dengan rumah dan keteraturan berobat pasien pada pengobatan TB. g. Menggali sejauh mana kebijakan manajerial rumah sakit mempunyai implikasi terhadap upaya pemantauan keteraturan berobat pada tingkat mikro diatas. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan kepada RSUD Muntilan mengenai implikasi kebijakan manajerial rumah sakit terhadap upaya pemantauan keteraturan berobat pasien TB di rumah sakit. 2. Sebagai kajian terhadap pelaksanaan continuity of care dalam pengobatan TB di rumah sakit dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan DOTS di rumah sakit. E. Keaslian Penelitians Dari hasil penelusuran literatur, penulis mendapatkan beberapa yang dengan kepatuhan pengobatan TB, diantaranya adalah : Tabel 1. Keaslian Peneliti (tahun) Tujuan Lokasi Rancangan Subjek Hasil Widjanarko et al., 2009 Mengidentifikasi faktor-faktor yang dengan ketidakpatuhan, dengan membanding- kan pasientb patuh dan tidak patuh Kabupaten Semarang, Grobogan dan Kota Semarang, Jawa Tengah, Indonesia Studi retrospektif eksplorasi komparatif, dan deskriptif kualitatif 130 pasien TB untuk diwawancarai,63 berhasil diwawancarai, 67 tidak bisa diwawancarai karena pindah tempat/tidak bisa dilacak Ketidakpatuhan terhadap pengobatan dikarenakan pasien mera - sa sudah lebih baik, faktor ekonomi, reaksi efek samping maupun kurangnya dukungan

7 Vijay et al., 2010 Muture et al., 2011 Mengetahui faktor risiko yang dengan default pada pasien TB BTA positif yang ditangani secara DOTS di India Mengetahui faktor risiko yang dengan pengobatan mangkir yang ditangani di Nairobi, Kenya di India di Nairobi, Kenya Penelitian observasi dengan kohort retrospektif Studi kasus kontrol Pasien baru dengan TB BTA positif yang berusia di atas 15 tahun. Jumlah populasi 10.639 terdiri dari 9.952 patuh dan 687 tidak patuh. Kemudian diambil 687 kasus dan 687kontrol Jumlah populasi 5.659 diambil dari 30 lokasi, 120 kasus dan154 kontrol dipilih secara acak sosial Hal-hal yang menjadi faktor risiko terjadinya default di antaranya tingkat pengetahuan yang rendah, miskin, kurangnya dukungan keluarga, kurangnya motivasi dari petugas kesehatan, maupun reaksi efek samping obat Hal-hal yang dengan mang kir di antara nya adalah merasa sudah lebih baik, reaksi efek samping obat, pengetahuan yang rendah, miskin, lebih suka menggu nakan obat herbal, peng gunaan alkohol dan jenis kelamin lakilaki. Perbedaan yang akan dilakukan ini dengan yang sudah pernah dilakukan adalah sebelumnya meneliti faktor-faktor individu dan lingkungan yang mempengaruhi kepatuhan berobat pada pasien TB, sedangkan yang akan dilakukan ini meneliti faktor-faktor manajerial pelayanan TB di rumah sakit yang mempengaruhi keteraturan berobat pada pasien TB.