5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. transformasi struktur ekonomi di banyak Negara. Sebagai obat, industrialisasi. ketimpangan dan pengangguran (Kuncoro, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Industri pengolahan

BAB I PENDAHULUAN. dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Proses perubahan struktural di Indonesia dapat ditandai dengan: (1) menurunnya pangsa

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

IV. DINAMIKA DISPARITAS WILAYAH DAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

I. PENDAHULUAN. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Setiap wilayah umumnya mempunyai masalah di dalam proses. pembangunannya, masalah yang paling sering muncul di dalam wilayah

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan ekonomi nasional bertujuan untuk. membangun manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan tersebut harus

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi suatu bangsa. Industrialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

4 DINAMIKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN JAWA BARAT

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Dari satu periode ke

ANALISIS EKONOMI REGIONAL PADA SATUAN WILAYAH PEMBANGUNAN (SWP) II PROPINSI JAWA TIMUR (KAB. SAMPANG, KAB. PAMEKASAN DAN KAB.

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah. Sumber daya alam nantinya dapat digunakan sebagai pendukung

TREN KONSENTRASI DAN FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AGLOMERASI INDUSTRI MANUFAKTUR BESAR SEDANG DI JAWA BARAT PURWANINGSIH

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN. A. Kesimpulan 1. Kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian Provinsi Jawa Tengah

I. PENDAHULUAN. yang adil, makmur dan sejahtera. Salah satu strateginya adalah melalui

BAB I PENDAHULUAN. bukan lagi terbatas pada aspek perdagangan dan keuangan, tetapi meluas keaspek

I. PENDAHULUAN. mengimbangi pertambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja. memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi secara terus-menerus

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi di setiap negara. Tujuan peningkatan penyerapan tenaga kerja sering

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

IV. GAMBARAN UMUM. Pulau Jawa merupakan salah satu bagian dari lima pulau besar di

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. kapita Kota Kupang sangat tinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya

BAB I PENDAHULUAN. diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Teori Pengertian Konsentrasi Spasial

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya perekonomian nasional yang optimal. Inti dari tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. Sektor industri merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang berperan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, program pembangunan lebih menekankan pada penggunaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

I. PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam arti tingkat hidup yang

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

II. TINJAUAN PUSTAKA. penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam periode jangka panjang mengikuti

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB IV GAMBARAN UMUM Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang sangat fluktuatif (Gambar 4.1).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. antara ketimpangan dan pertumbuhan ekonomi. pembangunan ekonomi yang terjadi dalam suatu negara adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. ketertinggalan dibandingkan dengan negara maju dalam pembangunan

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. Industrialisasi telah menjadi kekuatan utama (driving force) di balik

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dipecahkan terutama melalui mekanisme efek rembesan ke bawah (trickle down

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN TULUNGAGUNG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini tidak lain

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

Transkripsi:

5 DISPARITAS REGIONAL DAN KONSENTRASI INDUSTRI MANUFAKTUR DI JAWA BARAT Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang seperti Indonesia termasuk juga Jawa Barat sebagai bagiannya. Perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga terjadi karena adanya perbedaan sumber daya. Daerah yang mempunyai banyak sumber daya akan mempunyai aktifitas ekonomi yang lebih tinggi. Aktifitas tersebut banyak dimotori oleh industri manufaktur. Industri manufaktur di satu sisi dipandang sebagai motor pertumbuhan namun disisi lain dapat menyembabkan ketimpangan antar daerah yang semakin meningkat. Untuk itu pada bab ini dilakukan analisis terhadap dinamika ketimpangan pembangunan dan dinamika konsentrasi industri di Jawa Barat. 5.1 Dinamika Ketimpangan Pembangunan Adanya sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi, yang antara lain disebabkan oleh keberadaan daerah konsentrasi industri manufaktur di daerah tersebut menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Jawa Barat. Daerah tersebut antara lain Kabupaten Bekasi, Kota Cirebon, Kota Bandung dan Kabupaten Karawang. Kabupaten Indramayu juga mempunyai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi, namun disebakan karena hasil ninyak dan gas. Indeks Williamson dapat digunakan sebagai ukuran untuk melihat disparitas regional. Hasil perhitungan Indeks Williamson di Jawa Barat pada kurun waktu 2000 sampai 2008 dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai indeks Williamson yang menunjukkan ketimpangan antar kabupaten/kota di Jawa Barat dari tahun 2000-2008 masi tergolong tinggi, yaitu berada pada kisaran 0,64 sampai 0,69. Berdasarkan hal tersebut, dapat diartikan bahwa antar kabupaten di Jawa Barat masih terjadi ketimpangan pendapatan. Hal ini tidak terlepas dari perbedaan kemampuan fiskal tiap daerah yang berimplikasi terhadap PDRB dalam perekonomian antar daerah. Berdasarkan Gambar 8 yang menjadi catatan bagus

72 yaitu bahwa tingkat ketimpangan antar kabupaten/kota tersebut mempunyai tren yang semakin turun dari tahun ke tahun. Pada tahun 2000-2008, indeks Williamson terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 0,69 (Gambar 13). 0.70 0.69 0.68 0.67 0.66 0.65 0.64 0.63 0.62 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Indeks Wiliamson Gambar 13 Tingkat disparitas di Jawa Barat tahun 2000-2008 Semenjak tahun 2002 mulai diberlakukan Undang-undang Otonomi Daerah. Dengan adanya otonomi daerah, setiap wilayah mempunyai kewenangan untuk mengatur daerahnya masing-masing. Daerah yang mempunyai potensi yang besar dan kelembagaan yang solid akan lebih cepat berkembang dibandingkan daerah lainnya. Masing-masing daerah bersaing untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pada awal pelaksanaan otonomi daerah ketimpangan regional meningkat, hal ini disebabkan perbedaan kesiapan dari masing-masing daerah dalam menghadapi otonomi daerah. Pada tahuntahun selanjutnya, setiap daerah mulai dapat mengembangkan daerahnya masing-masing dalam rangka mendorong proses pembangunan ekonomi di era otonomi daerah. Dengan demikian segala upaya tersebut mampu membuahkan hasil berupa tingkat kesenjangan antar kabupaten kota yang semakin lama semakin kecil.

73 Berdasarkan letak geografisnya dan kemudahan dalam koodinasi pembangunan kabupaten/ /kota di Jawa Barat dapat dikelompokkan empat Wilayah Koordinasi Pemerintahan dan Pembangunan (WKPP). Dalam setiap WKPP terdapat daerah pusat pertumbuhan. Pengelompokan Kabupaten Kota berdasarkan WKPP dapat dilihat pada Gambar 14. Pengelompokkan ini bukan berati untuk memperbesar wilayah pusat pertumbuhan, namun untuk meningkatkann interaksi saling menguntungkan yang tidak bertentangan dengan kebijakan di tingkat nasional, propinsi maupun kebijakan regional kabupaten/kota yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kecepatan penyebaran pembangunan antar daerah. Daerah pusat pertumbuhan relatif mempunyai sarana infrastruktur yang lebih lengkap daripada daerah daerah pendukungnya. Dengan adanya WKPP diharapkan pembangunan dapat terkoordinasi sehingga daerah yang kaya infrastruktur dapat menyebarkan hasil pembangunannya, agar tidak terjadi eksploitasi pada daerah pendukungnya. 2 1 2 2 3 1 1 2 2 3 3 1 4 4 3 1 1 4 4 4 4 4 3 4 Sumber : Bappeda Jawa Barat Keterangan 1 : WKPP I 2 : WKPP II 3 : WKPP III 4 : WKPP IV Gambar 14 Peta wilayah Jawa Barat menurut daerah administrastif 26 Kabupaten/Kota 4

74 Tabel 12 Jumlah penduduk, luas area dan kepadatan di Jawa Barat menurut kawasan tahun 2007 Wilayah Pengembangan Jumlah Penduduk Luas Area jiwa Persentase Km 2 Persentase Kepadatan WKPP I 11.461.951 27,16 8.746,07 29,87 1.310,53 WKPP II 8.603.343 20,39 5.421,34 18,52 1,586,94 WKPP III 6.677.221 15,82 4.517,32 15,43 1.478,14 WKPP IV 15.452.354 36,62 10.591,99 36,18 1.458,87 Jawa Barat 42.194.869 100,00 29.276,72 100,00 1.441,24 Sumber: BPS 2008 (diolah) Penyebaran penduduk yang tidak merata antar WKPP memberikan dampak pada kondisi perekonomian di kedua wilayah tersebut. Sumbangan sektoral dalam PDRB digunakan sebagai salah satu ukuran dalam melihat struktur perekonomian suatu wilayah. Di wilayah WKPP I sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 61,33 persen. Sektor kedua yang memberikan sumbangan terbesar adalah perdagangan hotel dan restoran yaitu sebesar 16,70 persen. Di wilayah WKPP II sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 60,32 persen. Sektor kedua yang memberikan sumbangan terbesar adalah perdagangan hotel dan restoran yaitu sebesar 19,07 persen. Di wilayah WKPP III sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 30,06 persen. Sektor kedua yang memberikan sumbangan terbesar adalah pertanian yaitu sebesar 18,13 persen. Di wilayah WKPP IV sumbangan yang diberikan oleh sektor industri pengolahan mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan sektor yang lain yaitu sebesar 31,31 persen. Sektor kedua yang memberikan sumbangan terbesar adalah perdagangan hotel dan restoran yaitu sebesar 27,66 persen.

75 Struktur Ekonomi WKPP I Struktur Ekonomi WKPP II 3.30 3.57 16.70 4.16 1.54 3.47 2.58 2.14 4.71 60.32 19.07 61.33 1.21 4.17 2.57 7.64 2.06 3.47 Struktur Ekonomi WKPP III Struktur Ekonomi WKPP IV 0.88 3.15 2.12 3.56 30.06 18.07 6.47 31.31 27.666 11.85 18.13 8.34 3.05 0.35 14.21 8.68 4.47 7.65 pertanian pertambangan industri listrik bangunan perdagangann pengangkutan keuangan jasa Gambar 15 Struktur ekonomi tiap WKPP menurut lapangan usaha tahun 2008 Jika dibandingkan keempat WKPP tersebut perbedaannya terletak pada urutan sektor yang memberikan sumbangan terbesar di tiga WKPP yaitu WKPP I, WKPP II, dan WKPP III tiga sektor yang memberikan sumbangan terbesar berturut-turut yaitu sektor industri pengolahan, dan perdagangan, hotel dan restotan. Sementara untuk WKPP IV sektor terbesar kedua adalah sektor pertanian (Gambar 15). Kondisi tersebut mengakibatkan tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah tersebut tidak terlalu besar. Untuk melihat ketimpangan antar

76 kabupaten/kota dapat digunakan indeks Williamson. Adapun hasil perhitungan Indeks Williamson menurut masing masing WKPP dapat dilihat pada Gambar 15. 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 WKPP I WKPP II WKPP III WKPP IV 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Gambar 16 Tingkat ketimpangan antar kabupaten /kota menurut WKPP di Jawa Barat Tahun 2002-2008 Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa disparitas antar kabupaten/kota di WKPP I dari tahun 2002-2008 relatif kecil, yaitu berada pada kisaran 0,28-0,33 akan tetapi nilai ketimpangan ini mempunyai tren yang cenderung meningkat (Gambar 16). Pada WKPP II mempunyai tingkat ketimpangan yang berada pada kisaran 0,52-0,65 akan tetapi nilai ketimpangan ini mempunyai tren yang cenderung menurun. Pada WKPP III mempunyai tingkat ketimpangan yang berada pada kisaran 0,54-0,57 akan tetapi nilai ketimpangan ini mempunyai tren yang cenderung menurun. Pada WKPP II mempunyai tingkat ketimpangan yang berada pada kisaran 0,31-0,49 akan tetapi nilai ketimpangan ini mempunyai tren yang cenderung meningkat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa antar kabupaten/kota di WKPP II dan WKPP III terjadi ketimpangan pendapatan yang besar (Gambar 17). Hal ini tidak terlepas dari perbedaan faktor endowment di tiap daerah yang berimplikasi terhadap nilai tambah bruto (PDRB) dalam perekonomian daerah. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Barat lebih disebabkan oleh ketimpangan antar kabupaten/kota dalam satu WKPP, namun sesuatu yang positif yaitu bahwa ketimpangan tersebut bersifat konvergen. Wilayah WKPP yang ketimpangannya relatif tinggi berangsur

77 menurun, sementara daerah yang relatif rendah ketimpanganya justru mengalami kenaikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelompokkan wilayah dengan adanya pusat pertumbuhan dalam setiap WKPP sudah menunjukkan peran yang tepat. Daerah pusat pertumbuhan mampu menyebarkan hasil pembangunan dan mendorong daerah pendukung untuk berkembang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pusat pertumbuhan yang telah mapan tumbuh dengan cepat relatif lebih sulit untuk dikejar daerah pendukungnya. 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 WKPP I WKPP II WKPP III WKPP IV 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Gambar 17 Tingkat disparitas dalam propinsi tahun 2002 2008 5.2 Dinamika Konsentrasi Industri Manufaktur 5.2.1 Kesenjangan Total Jawa Barat Aktifitas industri manufaktur modern di Jawa Barat jika dilihat menurut wilayah pengembangan maka terkonsentrasi di Wilayah Koordinasi Pembangunan II dan IV. Bahkan bila kita telah mengelompokkan 23 kabupaten/kota di Jawa Barat ke dalam empat wilayah koordinasi pembangunan, maka WKPP II dan WKPP IV menyerap lebih dari 70 persen tenaga kerja Jawa Barat selama periode 2001-2008 (Tabel 13). Pangsa tenaga kerja dari WKPP IV cenderung menurun, sedangkan pangsa WKPP II cenderung naik secara substansial. Pangsa WKPP IV (Bandung dan sekitarnya) turun dari 44 persen pada tahun 2001 menjadi 33 persen pada tahun 2008. Pangsa WKPP II (Bekasi dan sekitarnya) tumbuh dari 30 menjadi 36 persen dalam periode yang sama. Persentase tenaga kerja manufaktur yang

78 paling sedikit adalah WKPP III (Cirebon dan sekitarnya) hanya sekitar empat persen pada 2001 dan 7 persen pada 2008 (Tabel 13). Tabel 13 Distribusi tenaga kerja IBS menurut WKPP WKPP 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 WKPP I 22,00 23,39 22,55 23,74 23,64 24,21 24,63 23,27 WKPP II 29,78 34,97 35,68 35,91 36,31 34,30 34,13 36,54 WKPP III 4,13 4,61 4,85 4,80 5,04 5,69 5,85 6,38 WKPP IV 44,08 37,03 36,91 35,55 35,02 35,80 35,39 33,82 Jawa Barat 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Untuk mengetahui seberapa jauh perkembangan kesenjangan distribusi geografis aktifitas industri manufaktur dapat dianalisis dengan menerapkan indeks entropi Theil. Hasil menemukan bahwa indeks entropi total memberikan indikasi sangat tingginya konsentrasi spasial selama periode 2001-2008. Rata-rata indeks entropi total Jawa Barat adalah sekitar 0,1 dalam periode tersebut (Tabel 14). Tabel 14 Indeks entropi Jawa Barat menurut WKPP Tahun Antar WKPP Dalam satu WKPP Total Sumbangan Ketimpangan dlm WKPP thd Ketimpangan Total 2001 0,0112 0,0872 0,0985 88,58 2002 0,0090 0,0844 0,0934 90,37 2003 0,0112 0,0848 0,0960 88,35 2004 0,0125 0,0815 0,0940 86,69 2005 0,0172 0,0802 0,0974 82,32 2006 0,0278 0,0753 0,1030 73,06 2007 0,0336 0,0592 0,0928 63,79 2008 0,0375 0,0694 0,1069 64,94 Penemuan penting yang lain adalah bahwa tren indeks entropi total memperlihatkan bentuk kurva cembung (Gambar 18). Periode sebelum tahun 2003 memiliki pola menurun. Ini mencerminkan adanya peningkatan penyebaran industri manufaktur di Jawa Barat. Dengan kata lain, sampai dengan tahun 2003

79 terdapat bukti bahwa konsentrasi spasial cenderung menurun. Namun pola sebaliknya terjadi antara tahun 2004 sampai 2008, konsentrasi spasial cenderung naik. Hal ini menunjukkan dalam periode tersebut telah mendorong terjadinya kecenderungan konsentrasi geografis di Jawa Barat. 0.108 0.106 0.104 0.102 0.100 0.098 0.096 0.094 0.092 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Gambar 18 Total entropi dan trennya di Jawa Barat, 2001-2008 5.2.2 Kesenjangan Antar Wilayah Koordinasi Pengaruh kesenjangan antar WKPP relatif kecil jika dibandingkan dengan pengaruh kesenjangan dalam WKPP itu sendiri. Hal ini diakibatkan oleh pembagian wilayah koordinasi yang hanya berdasarkan kedekatan geografis yang kurang memperhatikan spesialisasi dari daerah itu sendiri. Selain itu pembagian WKPP diupayakan sebagai langkah untuk meningkatkan perekonomian suatu daerah, sehingga dalam satu WKPP terdapat satu daerah pusat pertumbuhan dan daerah sekitarnya diupayakan menjadi daerah pendukungnya. Sebagai contoh WKPP satu dengan pusat pertumbuhannya Bogor, WKPP II dengan pusat pertumbuhan Bekasi, WKPP III dengan pusat pertumbuhan Cirebon dan WKPP IV dengan pusat pertumbuhan Bandung. Penemuan menarik adalah pola kesenjangan antar WKPP ternyata tidak menunjukkan kurva "U", melainkan tren meningkat (Gambar 19). Indeks entropi antar WKPP meningkat terus selama 2001-2008. Ini mencerminkan bahwa terdapat tren kenaikan konsentrasi industri manufaktur secara spasial. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan pembentukan wilayah koordinasi pembangunan lebih berperan dalam menurunkan tingkat ketimpangan dalam satu WKPP, akan

80 tetapi membuat ketimpangan antar WKPP meningkat. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena besaran ketimpangan antar WKPP relatif kecil jika dibandingkan dengan ketimpangan dalam satu WKPP. 0.045 0.040 0.035 0.030 0.025 0.020 0.015 0.010 0.005 0.000 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Gambar 19 Entropi antar WKPP dan trennya di Jawa Barat, 2001-2008 5.2.3 Kesenjangan dalam Satu WKPP Penemuan penting lainnya adalah kesenjangan spasial di Jawa Barat disebabkan terutama oleh perbedaan pangsa tenaga kerja industri manufaktur yang signifikan dalam satu wilayah koordinasi pembangunan periode 2001-2008. Kolom terakhir Tabel 14 menunjukkan sekitar 65-90 persen kesenjangan spasial di Jawa Barat dijelaskan oleh derajat ketimpangan pangsa tenaga kerja antar kabupaten/kota dalam satu wilayah koordinasi pembangunan. Tabel 15 Kesenjangan spasial dalam satu WKPP Tahun WKPP I WKPP II WKPP III WKPP IV 2001 0,0049 0,0012 0,0054 0,0612 2002 0,0154 0,0016 0,0083 0,0350 2003 0,0167 0,0019 0,0079 0,0379 2004 0,0193 0,0015 0,0087 0,0317 2005 0,0223 0,0016 0,0088 0,0276 2006 0,0016 0,0008 0,0023 0,0200 2007 0,0053 0,0010 0,0034 0,0104 2008 0,0131 0,0011 0,0071 0,0117

81 Tendensi terjadinya penyebaran industri manufaktur secara gamblang ditunjukkan oleh tren penurunan kesenjangan dalam satu wilayah koordinasi pembangunan. Entropi dalam satu WKPP cenderung menurun (Tabel 15 dan Gambar 20). Hal ini dapat diartikan bahwa derajat perbedaan antar kabupaten/kota pada setiap WKPP jika dilihat dari pangsa tenaga kerja industri, cenderung menurun selama periode tersebut. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peranan pusat pertumbuhan (pusat industri dan kegiatan ekonomi) mampu menggerakkan daerah daerah pendukungnya. Akibatnya terjadi penyebaran jumlah tenga kerja industri yang tentu saja juga berhubungan dengan jumlah industri dan nilai tambah yang tercipta. 0.090 0.085 0.080 0.075 0.070 0.065 0.060 0.055 0.050 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Gambar 20 Entropi dalam WKPP dan trennya di Jawa Barat, 2001-2008 5.2.4 Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur Jawa Barat Pada Propinsi Jawa Barat terdapat tiga daerah konsentrasi industri, yaitu Kabupaten Bekasi, Bogor, dan daerah Bandung dan sekitarnya. Data pada tahun 2001 menunjukkan bahwa 24,8% tenaga kerja industri manufaktur besar dan menengah Propinsi Jawa Barat terkonsentrasi pada Kabupaten Bandung, sebanyak 13,8% pada Kabupaten Bogor. Selain itu, data tahun 2001 juga menunjukkan bahwa 14,1% tenaga kerja industri manufaktur Propinsi Jawa Barat berada pada Kabupaten Bekasi. Perkembangan pada tahun 2008 menunjukkan bahwa 14,8% tenaga kerja industri manufaktur besar dan menengah Propinsi Jawa Barat terkonsentrasi pada Kabupaten Bandung. 13,6% pada Kabupaten Bogor. Selain itu,

82 data tahun 2001 juga menunjukkan bahwa 18,6% tenaga kerja industri manufaktur Propinsi Jawa Barat berada pada Kabupaten Bekasi. Industri manufaktur di Kabupaten Bandung cenderung terspesialisasi pada industri tekstil. Hasil analisis LQ sebesar 5,7 pada industri tekstil, menunjukkan bahwa subsektor tersebut merupakan subsektor unggulan pada Kabupaten Bandung, hal itu didukung oleh data tahun 2001 yang menyebutkan bahwa 47% tenaga kerja subsektor industri tekstil Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bandung. Data juga menunjukkan bahwa 32% tenaga kerja industri manufaktur Jawa Barat bekerja pada subsektor tersebut. Perkembangan pada tahun 2008 menyebutkan bahwa 14% tenaga kerja subsektor industri tekstil Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bandung. Data juga menunjukkan bahwa 21% tenaga kerja industri manufaktur Jawa Barat bekerja pada subsektor tersebut. Tabel 16 Pengukuran konsentrasi spasial; perbandingan Ellison Glaeser Indeks tahun 2001 dan 2008 Digit Industri H01 geg01 GEG01 H08 geg08 GEG08 15 2,07632 1,82667 1,83740 1,9889 1,2713 1,2828 16 0,00257 0,54900 0,54900 0,0007 0,0007 0,0007 17 2,18763 1,42100 1,57986 1,9120 1,3555 1,4203 18 0,85264 0,57613 0,59138 1,3382 0,6800 0,7017 19 0,04357 0,09103 0,09137 0,0284 0,0232 0,0233 20 0,07041 0,08898 0,08900 0,2171 0,1936 0,1937 21 0,00998 0,14152 0,14155 0,0149 0,0140 0,0140 22 0,00067 0,15715 0,15716 0,0020 0,0015 0,0015 23 0,00001 0,54590 0,54590 0,0000 0,0000 0,0000 24 0,13283 0,16578 0,16624 0,0681 0,0299 0,0299 25 0,33861 0,26367 0,26445 0,2050 0,1137 0,1142 26 0,74375 0,41942 0,42027 0,5526 0,4504 0,4517 27 0,00168 0,24994 0,24995 0,0015 0,0017 0,0017 28 0,01778 0,12107 0,12113 0,0168 0,0123 0,0123 29 0,03573 0,12548 0,12562 0,0267 0,0237 0,0237 30 0,00004 0,76034 0,76034 0,0001 0,0002 0,0002 31 0,00631 0,20454 0,20457 0,0154 0,0130 0,0130 32 0,04604 0,18635 0,18652 0,0300 0,0341 0,0341 33 0,00021 0,33794 0,33794 0,0352 0,0331 0,0331 34 0,04408 0,24826 0,24831 0,0416 0,0334 0,0334 35 0,01521 0,36851 0,36857 0,0210 0,0184 0,0184 36 0,49633 0,28419 0,28522 0,4790 0,3402 0,3418 37 0,00019 0,33400 0,33400 0,0010 0,0009 0,0009 H : Herfidahl indeks, menunjukkan distribusi lokasi. geg : Gini lokasional, menunjukkan tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi industri GEG : menunjukkan besarnya kekuatan agglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial

83 Pada tahun 2001 industri manufaktur di Kabupaten Bogor cenderung terspesialisasi pada industri kimia dan barang barang dari bahan kimia. Hasil analisis LQ sebesar 2,6 pada industri kimia dan barang barang dari bahan kimia, dan 2,0 pada subsektor industri barang galian bukan logam yang menunjukkan bahwa kedua subsektor tersebut merupakan subsektor unggulan pada Kabupaten Bogor, hal itu didukung oleh data tahun 2001 yang menyebutkan bahwa 47% tenaga kerja subsektor industri kimia dan barang barang dari bahan kimia dan 28% tenaga kerja industri barang galian bukan logam Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bogor. Perkembangan pada tahun 2008 ternyata menyebutkan bahwa 14% tenaga kerja subsektor industri industri kimia dan barang barang dari bahan kimia Jawa Barat terkonsentrasi di Kabupaten Bandung. Data juga menunjukkan bahwa 21% tenaga kerja industri manufaktur Jawa Barat bekerja pada subsektor tersebut. Pada Kabupaten Bekasi, data tahun 2001 menunjukkan bahwa 87% tenaga kerja yang bekerja pada subsektor industri mesin listrik dan perlengkapannya di Propinsi Jawa Barat berada di Kabupaten Bekasi. Akan tetapi jumlah tersebut hanya 0,6% dari seluruh tenaga kerja industri manufaktur di Kabupaten Bekasi, sehingga tenaga kerja di Kabupaten Bekasi kurang terspesialisasi pada industri tersebut. Sedangkan apabila melihat LQ industri tersebut pada Kabupaten Bekasi yang sebesar 6,2 pada 2001 dan 2008 dapat dilihat bahwa subsektor tersebut merupakan subsektor andalan pada Kabupaten Bekasi. Marshal menyatakan bahwa ketersediaan tenaga kerja spesialis akan menguntungkan perusahaan yang terspesialisasi di wilayah tersebut. Porter (1990) menambahkan bahwa tenaga kerja yang terspesialisasi merupakan bagian dari faktor yang merupakan determinan dari keunggulan suatu wilayah. Adanya tenaga kerja yang terspesialisasi akan mendorong perusahaan yang terspesialisasi untuk terkonsentrasi pada wilayah tersebut. Oleh karena itu, industri tekstil sangat layak untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Bandung sedangkan industri mesin listrik dan perlengkapannya sangat cocok dikembangkan di Kabupaten Bekasi. Data tahun 2001 dan 2008 juga menunjukkan bahwa bahwa industri manufaktur di Propinsi Jawa Barat terkonsentrasi pada subektor industri tekstil dan subsektor industri makanan dan minuman jadi. Hal ini menunjukkan

84 bahwa pada industri manufaktur di Jawa Barat cenderung terspesialisasi pada kedua subsektor tersebut. Indeks Herfindahl tahun 2001 pada subsektor industri tekstil sebesar 2,18 dan 1,91 pada tahun 2008, trennya menurun tetapi nilainya masih cukup besar yang menunjukkan bahwa distribusi perusahaan dan tenaga kerja pada subsektor tersebut tidak merata dan cenderung terkonsentrasi pada kabupaten-kabupaten tertentu. Sedangkan Geg 2001 sebesar 1,42 menunjukkan kecilnya keanekaragaman karakteristik yang terspesialisasi antar wilayah pada industri tersebut. Terjadi penurunan geg pada sektor industri tekstil pada tahun 2008 menjadi sebesar 1,36. Penurunan geg menunjukkan bahwa keanekaragaman karakteristik antar wilayah pada industri makanan dan minuman semakin berkurang. Hal itu disebabkan oleh terjadinya MAR (Marshal-Arrow-Romer) eksternalitas (knowledge spillover) dan eksternalitas yang disebabkan natural advantage yang besar pada industri tersebut (ditunjukkan oleh γ_eg sebesar 0,51 pada tahun 2001). Peningkatan γ_eg menjadi 0,53 pada tahun 2008 menunjukkan peningkatan eksternalitas yang disertai dengan penurunan dari kekuatan agglomerasi (terlihat dari penurunan GEG dari 1,58 pada tahun 2001 menjadi 1,42 pada tahun 2008) sedangkan apabila melihat peningkatan γ_ms dari 0,042 pada tahun 2001 menjadi 1,10 menunjukkan bahwa efek dari knowledge spillover meningkat dan terjadi consentration force, dan agglomerasi yang terjadi lebih disebabkan oleh knowledge spillover di Propinsi Jawa Barat. Indeks herfindahl pada 2001 dari industri makanan dan minuman jadi menunjukkan nilai sebesar 2,07 dan 1,99 pada tahun 2008 yang memperlihatkan bahwa distribusi perusahaan dan tenaga kerja pada subsektor tersebut tidak merata dan cenderung terkonsentrasi pada kabupaten-kabupaten tertentu, walaupun tingkat konsentrasinya sedikit menurun. Pada subsektor industri makanan dan minuman jadi di Propinsi Jawa Barat, terjadi penurunan geg dari 1,83 pada tahun 2001 menjadi 1,27 pada tahun 2008 hal ini menujukkan penurunan keragaman karakteristik dan spesialisasi antar wilayah pada subsektor tersebut. Hal ini diikuti oleh turunnya kekuatan agglomerasi pada industri tersebut (penurunan kekuatan agglomerasi terlihat dari turunnya nilai GEG dari 1,84 pada tahun 2001 menjadi 1,28 pada tahun 2008). Rendahnya dorongan agglomerasi tersebut disebabkan oleh menurunnya eksternalitas yang disebabkan knowledge spillover (diperlihatkan oleh

85 kenaikan γ_eg dari sebesar 0,06 pada tahun 2001 menjadi 0,14 pada tahun 2008). Hal yang sama diperlihatkan oleh peningkatan γ_ms dari 0,08 menjadi 0,19 yang memperlihatkan bahwa agglomerasi yang terjadi lebih disebabkan oleh pengaruh dari knowledge spillover (lampiran 1-6). Terkonsentrasinya industri manufaktur besar dan menengah secara secara spasial pada wilayah selain Kabupaten Bandung, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bekasi yang merupakan kawasan industri yang telah solid di Jawa Barat adalah fenomena yang menarik untuk dibahas. Kawasan industri Bogor, Bandung dan Bekasi berkembang dengan pertimbangan matang baik akses transportasi maupun kemudahan lainnya, akan tetapi, data tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadi penurunan konsentrasi tenaga kerja industri manufaktur di Kabupaten Bandung dan Bogor, tapi sebaliknya, terjadi kenaikan konsentrasi tenaga kerja industri manufaktur pada wilayah-wilayah yang tidak diperuntukkan secara sengaja sebagai kawasan industri. Sebagai contoh dapat dilihat pada Kabupaten Karawang dan Purwakarta. Pada sisi lain, cluster (konsentrasi spasial) pada industri manufaktur Propinsi Jawa Barat bisa terjadi akibat adanya agglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya transportasi dengan berlokasi di sekitar local demand yang besar serta upaya untuk memperoleh akses pasar yang luas (Krugman,1991) pendapat ini dapat membantu menjelaskan kenapa terjadi konsentrasi spasial pada industri makanan, minuman jadi, tekstil dan pakaian jadi di propinsi Jawa Barat. Jumlah penduduk Jawa Barat yang cukup banyak merupakan pasar potensial bagi output industry makanan, minuman jadi, tekstil dan pakaian jadi. Selain itu, dekatnya akses ke pelabuhan dan bandara internasional di Jakarta mempermudah akses menuju pasar industri tersebut, baik pasar dalam negeri maupun pasar ekspor Menurut Ellison dan Glaeser (1997) jumlah penduduk sebagai pasar potensial dan pelabuhan laut yang mendukung industri merupakan natural advantages dari suatu wilayah. Fujita dan Mori (1996) menambahkan bahwa adanya pelabuhan laut akan memperbesar skala propinsi dan meningkatkan ekternalitas positif dari konsentrasi spasial. Pada survei literatur telah dijelaskan bahwa dengan adanya konsentrasi spasial, akan menciptakan keuntungan yang berupa penghematan lokalisasi dan

86 penghematan urbanisasi yang merupakan faktor pendorong terjadinya agglomerasi. Penghematan lokalisasi berkaitan dengan eksternalitas yang terjadi pada suatu industri telah memunculkan fenomena kluster industri, yang sering disebut industrial cluster versi Marshal atau industrial districs. Pada propinsi besar yang aneka ragam seperti Jawa Barat sangat jarang dijumpai fenomena industrial district, yang merupakan kluster yang terjadi secara alami. Kluster pada industri manufaktur yang ada di Propinsi Jawa Barat sebagian besar berbentuk industrial complex cluster, yang tidak terjadi secara alami dan membutuhkan investasi maupun campur tangan oleh pemerintah maupun institusi lain yang terkait dalam membangun jaringan dengan berdasarkan rasionalitas. Penghematan urbanisasi terjadi ketika efisiensi perusahaan meningkat akibat meningkatnya produksi dan efisiensi seluruh perusahaan dalam wilayah yang sama. Penghematan karena berlokasi di wilayah yang sama ini terjadi akibat skala perekonomian propinsi yang besar serta beranekaragam, dan bukan akibat skala suatu jenis industri. Penghematan urbanisasi memunculkan fenomena yang disebut dengan agglomerasi perpropinsian yang menyebabkan terjadinya perluasan wilayah metropolitan (extended metropolitan regions) dan mendorong industrialisasi pada suatu wilayah (Kuncoro, 2008). Hal tersebut terjadi juga di Jawa Barat yaitu dengan berkembangnya daerah daerah industri baru misalnya Karawang yang merupakan pengembangan dari Bekasi, dan Purwakarta baik itu pengaruh dari Bandung ataupun Bekasi. Pola pertumbuhan tenaga kerja dan nilai tambah ternyata secara absolut menunjukkan adanya penurunan pertumbuhan tenaga kerja, jumlah perusahaan maupun pertumbuhan nilai tambah. Hal ini dapat dilihat dari turunnya jumlah tenaga kerja pada sektor industri manufaktur di Propinsi Jawa Barat dari 1.265.645 pekerja pada tahun 2001 menjadi 1.142.690 pekerja pada tahun 2008. Fakta ini ditengarai sebagai pertanda bahwa telah terjadi deindustrialisai pada Industri manufaktur di Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan penelitian Dewi (2010) yang membuktikan bahwa telah terjadi deindustrialisasi negatif di Indonesia. Penurunan proporsi nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB dalam kurun waktu yang cukup panjang, padahal belum mencapai titik optimumnya (ratarata pada negara maju adalah 35 persen), bisa dipandang sebagai gejala dini

87 deindustralisasi. Indikator utama yang memperkuat fakta terjadinya gejala dini deindustrialisasi di Indonesia adalah: a. Jumlah perusahaan industri manufaktur berkurang Jumlah perusahaan industri besar dan sedang yang exit lebih banyak dibandingkan yang entry. Selain itu, kapasitas produksi perusahaan yang masih bertahan tidak berkembang dengan baik. b. Kecenderungan adanya penurunan daya saing produk manufaktur Indonesia Daya saing produk manufaktur Indonesia sejak krisis ekonomi tahun 1997 hampir selalu berada di peringkat kedua terbawah menurut World Competitiveness Yearbook. c. Indonesia kian tersingkir dari jaringan produksi manufaktur regional dan global Lemahnya struktur industri Indonesia membuat daya tarik penanaman modal asing (PMA) relatif rendah. Peran PMA dalam proses industrialisasi sangat penting yaitu dapat memberikan percepatan bagi proses industrialisasi. Sebagai contoh adalah China yang memiliki PMA cukup besar sehingga perekonomiannya menjadi sangat dinamis. Banyak opini yang dikemukakan oleh para pengamat ekonomi Indonesia mengenai tanda-tanda bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi. Opini tersebut didukung fakta bahwa proporsi pekerja sektor manufaktur terhadap total pekerja mulai menurun sejak tahun 2002 dan juga proporsi nilai tambah sektor manufaktur dalam PDB menurun sejak tahun 2005. 5.3 Kaitan Ketimpangan Ekonomi Regional dan Konsentrasi Industri dalam Hubungannya dengan WKPP Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang seperti Indonesia termasuk juga Jawa Barat sebagai bagiannya. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga terjadi karena adanya perbedaan sumber daya, baik itu sumber daya alam, daya dukung lingkungan, infrastruktur dan yang tidak kalah penting adalah sumber daya manusia. Daerah yang mempunyai banyak sumber daya akan mempunyai aktifitas ekonomi yang lebih tinggi. Aktifitas tersebut banyak dimotori oleh industri manufaktur. Industri manufaktur di satu sisi

88 dipandang sebagai motor pertumbuhan namun disisi lain dapat menyebabkan ketimpangan antar daerah yang semakin meningkat. Perbedaan tingkat pembangunan ekonomi dan tingkat konsentrasi industri memerlukan penanganan melalui kebijakan pemerintah yang tepat agar kesejahteraan di semua wilayah dapat terwujud. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk meyebarkan hasil pembangunan adalah melalui pembentukan WKPP. Dalam setiap WKPP terdapat satu pusat pertumbuhan, dan beberapa daerah pendukung. Pusat pertumbuhan tersebut biasanya mempunyai aktifitas industri dan ekonomi yang padat. Konsentrasi indusri tersebut seharusnya mampu menggerakkan aktifitas ekonomi di daerah konsentrasi dan juga menggairahkan perekonomian di daerah daerah pendukungnya sehingga pada akhirnya kesejahteraan dapat merata. Hasil analisis sebelumnya menyatakan bahwa konsentrasi industri yang semakin meningkat (terkonsentrasi) kurang sejalan dengan ketimpangan ekonomi antar wilayah di Jawa Barat. Banyak terdapat daerah konsentrasi industri, namun dampak yang muncul adalah adanya ketimpangan antar daerah yang tinggi, hal ini mengindikasikan adanya interkoneksi antar daerah yang kurang bagus. Sesuatu hal yang sangat memegang peranan untuk menghubungkan antara pusat pertumbuhan dan daerah pendukung adalah adanya infrastruktur. Permasalahan disparitas regional dan konsentrasi industri tidak akan terlalu menonjol apabila interkoneksi antar daerah sudah bagus. Penemuan menarik, Indeks entropi antar WKPP meningkat terus selama 2001-2008. Ini mencerminkan bahwa terdapat tren kenaikan konsentrasi industri manufaktur secara spasial. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan pembentukan wilayah koordinasi pembangunan lebih berperan dalam menurunkan tingkat ketimpangan dalam satu WKPP. Tendensi terjadinya penyebaran industri manufaktur secara gamblang ditunjukkan oleh tren penurunan kesenjangan dalam satu wilayah koordinasi pembangunan. Namun hal tersebut tidak menjadi masalah karena besaran ketimpangan antar WKPP relatif kecil jika dibandingkan dengan ketimpangan dalam satu WKPP. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan yang terjadi di Jawa Barat lebih disebabkan oleh ketimpangan antar kabupaten/kota

89 dalam satu WKPP, namun sesuatu yang positif yaitu bahwa ketimpangan tersebut bersifat konvergen. Wilayah WKPP yang ketimpangannya relatif tinggi berangsur menurun, sementara daerah yang relatif rendah ketimpanganya justru mengalami kenaikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelompokkan wilayah dengan adanya pusat pertumbuhan dalam setiap WKPP sudah menunjukkan peran yang tepat. Daerah pusat pertumbuhan mampu menyebarkan hasil pembangunan dan mendorong daerah pendukung untuk berkembang, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pusat pertumbuhan yang telah mapan tumbuh dengan cepat yaitu Kota Bandung relatif lebih sulit untuk dikejar daerah pendukungnya.