TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba lokal dapat didefinisikan sebagai domba hasil perkawinan murni atau silangan yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi iklim tropis dan diketahui sangat produktif dilihat dari frekuensi melahirkan yaitu 1,82 kali dalam satu tahun (Iniguez et al., 1991). Populasi domba di Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar 10.471.991 ekor. Angka ini mengalami kenaikan 8,28% dari tahun sebelumnya yaitu berjumlah 9.605.339 ekor. Populasi domba tertinggi terdapat di Propinsi Jawa Barat yaitu 5.524.209 ekor atau sebanyak 52,75% populasi domba di Indonesia terdapat di Jawa Barat (Direktorat Jenderal Peternakan, 2009). Domba lokal merupakan bangsa domba bertubuh kecil. Mulyaningsih (1990) berpendapat, sedikitnya terdapat tiga bangsa keturunan asli yang disebut domba pribumi, yaitu Domba Ekor Tipis (thin-tailed), Domba Priangan dari Jawa Barat dan Domba Ekor Gemuk dari Jawa Timur (fat-tailed). Asal-usul domba ini tidak diketahui secara pasti, namun diduga DET berasal dari India dan DEG berasal dari Asia Barat (Williamson dan Payne, 1993). Domba lokal mampu hidup di daerah yang gersang. Karakteristik domba ini antara lain memiliki badan yang relatif kecil, warna bulu dominan putih pada bagian mata dan pada hidung terdapat bercak hitam, telinga berukuran sedang dan tanduk melengkung ke dalam bagi jantan (Devendra dan McLeroy, 1992; Mulyaningsih, 2006). Domba Ekor Tipis Pulau Jawa memiliki beranekaragam bangsa domba. Domba Ekor Tipis (DET) merupakan domba asli Indonesia yang mudah ditemui di seluruh Pulau Jawa terutama Jawa Barat dan Jawa Tengah. Domba ini mampu hidup di daerah yang gersang dengan ciri-ciri tubuh kecil, ekor relatif kecil dan tipis serta bulu badan berwarna putih atau belang-belang hitam. Domba betina umumnya tidak bertanduk dengan berat dewasa sekitar 15-20 kg sedangkan domba jantan bertanduk kecil dan melingkar dengan berat dewasa sekitar 30-40 kg. Tubuh domba ini sedikit berlemak, sehingga karkas yang dihasilkannya pun lebih banyak. Dalam penelitian Rianto et al. (2006), Domba Ekor Tipis memiliki persentase lemak pada karkas berkisar antara 4,97% hingga 9,66%, sedangkan persentase daging pada karkas berkisar 67,09% hingga 69,41%. Rizal (2000) 3
menyatakan persentase karkas dipengaruhi oleh bobot badan dan perlemakan tubuh pada waktu mencapai kondisi dipasarkan. Komponen karkas terdiri dari tulang, daging dan lemak (Soeparno, 1994). Domba Ekor Gemuk Bangsa domba lokal lain yang terdapat di Indonesia ialah Domba Ekor Gemuk (DEG) yang banyak ditemui di daerah Jawa Timur dan Madura. Domba berekor gemuk (fat-tailed) seperti Domba Donggala dan domba-domba lainnya berada di daerah Jawa Timur. DEG juga terdapat di Surabaya dan Situbondo. Ciri khas dari DEG ini adalah bentuk ekor yang panjang, lebar, tebal, besar, semakin ke ujung semakin kecil dan berlemak yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan habitatnya yaitu beriklim kering. Domba ini memiliki ciri lain yaitu berwarna putih, wool kasar, domba jantan dan domba betina tidak mempunyai tanduk, sebagian besar domba bewarna putih, tetapi ada beberapa pada anaknya yang berwarna hitam atau kecoklatan. Domba betina sangat prolifik dengan selang beranak hanya 8-9 bulan, umur pertama kali beranak antara 11-17 bulan, dan dapat menghasilkan 2,34 anak sapihan per tahun (Devendra dan McLeroy, 1982) Pemeliharaan Domba Sistem pemeliharaan domba di Indonesia umumnya dilakukan dengan tiga cara, yaitu : Sistem Ekstensif Sistem ekstensif merupakan cara pemeliharaan domba dengan membiarkan seluruh aktivitas makan, perkawinan, pertumbuhan dan penggemukkan dilakukan di padang penggembalaan. Domba dilepas di padang penggembalaan dengan rumput yang cukup subur dan pertumbuhan domba ini sangat tergantung dari kualitas padang pengembalaannya. Sistem Semi Intensif Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem ekstensif dan intensif yang umumnya disebut juga dengan sistem pertanian terpadu. Sistem semi intensif banyak dilakukan oleh petani tradisional yang mempunyai tanah pertanian, sehingga dapat dikatakan memelihara ternak merupakan sampingan dari kegiatan bertaninya. Pada 4
sistem semi intensif ternak digembalakan saat siang hari di padang penggembalaan dan pada malam hari ternak dikandangkan serta pakan diberikan di dalam kandang. Sistem Intensif Sistem intensif banyak diterapkan pada peternakan komersial. Pemeliharaan dengan sistem ini yaitu ternak dikandangkan terus-menerus (sepanjang hari) (Tomaszewska et al., 1993). Sistem ini umumnya juga diterapkan di pedesaan yang padat penduduknya. Ternak yang dipelihara secara intensif umumnya menggunakan pakan berupa rumput secukupnya, sedangkan sisa kebutuhannya dipenuhi dengan memberikan konsentrat. Peternakan komersial di Desa Tegalwaru Kecamatan Ciampea, Bogor menggunakan sistem intensif karena sumber pakan cukup tersedia serta iklim sekitar lokasi cenderung mendukung tumbuhnya hijauan makanan ternak berkualitas. Sistem pemeliharaan secara intensif dapat memperbaiki pertambahan bobot tubuh harian karena pemberian pakan dasar dan pakan tambahan cukup sesuai dengan kebutuhan domba. Munier et al. (2003) menyatakan bahwa pemberian pakan tambahan terhadap domba yang dipelihara secara intensif dapat meningkatkan pertambahan bobot tubuh harian dan bobot akhir. Sistem pemeliharaan secara intensif dapat memperbaiki pertambahan bobot tubuh harian karena pemberian pakan dasar dan pakan tambahan cukup sesuai dengan kebutuhan domba. Selain itu dengan pemeliharaan secara intensif ini ternak domba dikandangkan penuh sehingga dapat menghemat energi dan dapat dimanfaatkan penuh untuk program penggemukkan (Mathius et al., 1998). Pertumbuhan Ternak Salamena (2006) menjelaskan pertumbuhan semua ternak pada awalnya lambat dan meningkat dengan cepat kemudian lambat pada saat ternak mendekati dewasa tubuh. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor genetis atau faktor keturunan dan faktor lingkungan seperti pemberian pakan, pencegahan atau pemberantasan penyakit serta tatalaksana, akan menentukan tingkat pertumbuhan dalam mencapai kedewasaan. Makanan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan (Natasasmita, 1979). Kecepatan pertumbuhan diukur dalam kilogram melalui penimbangan berulang-ulang dan dapat dilakukan setiap waktu. 5
Penggemukan Penggemukan saat ini telah banyak dilakukan oleh peternak maupun pedagang dengan prinsip memberikan perlakuan selama pertumbuhan untuk memperoleh nilai tambah yang lebih besar, dalam bentuk pertambahan bobot badan (Suharya dan Setiadi, 1992). Istilah penggemukan berasal dari kata fattening yang berarti pembentukan lemak dan istilah tersebut dewasa ini tidak sesuai lagi karena sistem produksi dan selera konsumen yang berubah-ubah. Tujuan program penggemukan adalah untuk memperbaiki kualitas karkas dengan cara mendeposit lemak seperlunya. Bila ternak yang digunakan belum dewasa, maka program tersebut sifatnya adalah membesarkan sambil menggemukan atau memperbaiki kualitas karkas (Parakkasi, 1999). Penggemukkan pada umumnya terdapat tiga kategori yaitu penggemukkan jangka waktu pendek (kurang lebih satu bulan), jangka waktu sedang (kurang lebih dua bulan) dan jangka waktu panjang (kurang lebih tiga bulan) (Parakkasi, 1999). Waktu penggemukan yang semakin lama akan menghasilkan pertambahan bobot badan menurun, tetapi presentase karkas akan meningkat seiring dengan lama penggemukan. Ukuran Tubuh Ternak sebagai Penduga Bobot Badan Fenotipik suatu bangsa ternak tidak lepas dari faktor proses pertumbuhan atau berubahnya ukuran tubuh pada ternak tersebut secara berkesinambungan. Ukuranukuran permukaan tubuh hewan mempunyai banyak kegunaan antara lain untuk menaksir bobot badan dengan ketelitian cukup tinggi serta untuk memberi gambaran bentuk tubuh hewan sebagai ciri khas suatu bangsa (Doho, 1994; Mulliadi, 1996). Ukuran-ukuran tubuh ternak dapat berbeda satu sama lain. Setiap komponen tubuh mempunyai kecepatan pertumbuhan atau perkembangan yang berbeda-beda, karena pengaruh genetik maupun lingkungan, tetapi dapat berkorelasi satu sama lain. Doho (1994) menyatakan bahwa ukuran tubuh memiliki korelasi yang erat dengan bobot badan. Korelasi tersebut mencerminkan adanya proses pertumbuhan yang terjadi pada ternak. Untuk menjaga keseimbangan biologis setiap pertumbuhan komponen-komponen tubuh akan diiikuti dengan meningkatnya ukuran-ukuran tubuh. 6
Pertumbuhan meliputi peningkatan bobot badan, pertambahan dalam masa organik, mitosis, migrasi sel, sintesis protein dan pertambahan ukuran linear tubuh. Korelasi disebut positif apabila peningkatan satu sifat menyebabkan peningkatan pada sifat lain. Apabila satu sifat meningkat sedangkan sifat lain menurun maka korelasinya disebut negatif (Laidding, 1996). Penggunaan ukuran tubuh dilakukan berdasarkan ukuran yang umum pada ternak, yaitu sifat kuantitatif untuk dapat memberikan gambaran eksterior seekor domba dan mengetahui perbedaan-perbedaan dalam populasi ternak ataupun digunakan dalam seleksi. Keragaman merupakan suatu sifat populasi yang sangat penting dalam melakukan seleksi. Seleksi akan efektif bila terdapat tingkat keragaman tinggi (Martojo, 1990). Penimbangan adalah cara terbaik dalam menentukan bobot badan ternak, namun bobot badan dapat diduga dengan mengukur ukuran tubuh ternak. Penelitian yang dilakukan Pesmen dan Yardimci (2008) menyimpulkan bahwa bobot badan dapat dijadikan ukuran penduga menggunakan beberapa ukuran tubuh pada Kambing Saanen yang dipisahkan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama menggunakan kambing umur 2-2,5 tahun pada periode laktasi awal sedangkan kelompok kedua digunakan kambing siap inseminasi untuk pertama kalinya. Bobot badan ditemukan berkorelasi positif dengan lingkar dada, lingkar sengkel, tinggi pundak, panjang badan dan dalam dada pada kelompok pertama, sedangkan pada kelompok kedua bobot badan berkorelasi sempurna dengan lingkar dada dan panjang badan. Persamaan regresi dugaan untuk kelompok pertama yaitu BB = -151,295 + 1,067 LD + 3,262 PB + 0,167 LS + 0,604 TP + 0,254 DD dan BB = -64,753 + 0,863 LD + 0,717 PB - 0,029 LS + 0,207 TP + 0,254 DD untuk kelompok kedua. Penelitian serupa dilakukan Jimmy et al. (2010) menyimpulkan bahwa lingkar dada dan tinggi pundak dapat memprediksi bobot badan di semua jenis kelamin, usia dan bangsa. Analisis regresi dilakukan untuk menduga bobot badan melalui semua ukuran tubuh linier. Data diklasifikasikan berdasarkan bangsa, usia, jenis kelamin dan pola warna bulu. Bangsa, umur dan jenis kelamin secara signifikan (P<0,05) mempengaruhi semua ukuran tubuh. Warna bulu tidak memiliki pengaruh yang signifikan (P>0,05) pada ukuran tubuh apapun. Hewan yang berumur lebih tua mempunyai ukuran lebih besar (P<0,05) dibandingkan ternak berusia muda. Di seluruh usia, jenis kelamin secara signifikan (P<0,05) mempengaruhi bobot badan 7
dan ukuran linear tubuh pada jantan menunjukkan supremasi. Semua ukuran tubuh secara signifikan lebih tinggi pada Kambing Mubende (P<0,05) menjelaskan bahwa kambing ini lebih besar bentuk tubuhnya dari dua kambing lainnya. Semua ukuran linear tubuh dan bobot badan sangat berpengaruh (P<0,001) dan berkorelasi positif pada segala usia kecuali kelompok dengan dua pasang gigi seri permanen (I 2 ). Penggabungan ukuran tubuh dalam regresi berganda, dapat meningkatkan nilai koefisien determinasi (R 2 ) menjadi 0,91. Ukuran-ukuran rangka seperti panjang badan kurang dipengaruhi oleh gizi dan dengan demikian menunjukkan ukuran yang melekat lebih baik dari dimensi yang terkait deposisi lemak dan otot, seperti ukuran-ukuran lebar lingkar tubuh serta bobot badan (Kamalzadeh et al., 1998). Coleman dan Evans (1985) melaporkan bahwa pembatasan nutrisi dalam pakan yang diberikan pada sapi, dapat menekan pertumbuhan tinggi dan panjang badan selama fase pertumbuhan. Ukuran linier dan bobot badan nyata dipengaruhi oleh bangsa, umur dan jenis kelamin, namun tidak dengan tingkat warna bulu (P<0,05). Warna bulu dikendalikan tunggal atau sedikit gen sehingga dengan demikian tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada sifat kuantitatif. Persamaan penduga bobot badan (BB) melalui lingkar dada (LD) yang diperoleh pada Kambing Mubende yaitu BB = -35,39 + 0,94 LD dengan koefisien determinasi disesuaikan (R 2 adjusted) sebesar 0,90 (P<0,001), sedangkan pada SEA (Teso/Lugware) yaitu BB = -25,85 + 0,76 LD dengan R 2 adjusted sebesar 0,88 (P<0,001) (Jimmy et al., 2010). Studi karakteristik morfometrik yang dilakukan Wirdateti et al. (2009) pada Rusa Sambar akan digunakan sebagai sifat dasar pertumbuhan terkait seleksi. Tujuan penelitian adalah untuk mengatur seleksi terbaik pada keturunan Rusa Sambar. Karakteristik morfometrik yang diamati pada penelitian yaitu masing-masing bobot badan, panjang badan, lebar dada, lingkar dada, panjang kepala, lebar kepala, lebar telinga dan panjang telinga. Hasil penelitian menunjukkan lingkar dada (LD) berkorelasi sangat nyata terhadap bobot badan (BB) dengan persamaan penduga BB = -108,004 + 1,875 LD. Dapat disimpulkan lingkar dada merupakan kriteria yang dapat digunakan untuk menyeleksi sifat pertumbuhan pada Rusa Sambar. Bobot badan Rusa Sambar jantan pada umur dara dan dewasa lebih tinggi dibandingkan betina, kecuali pada rusa muda. Hal ini diduga terjadi karena pengaruh 8
hormonal, sehingga rusa jantan lebih berat mulai umur dara. Menurut Lincoln (1985), sekresi hormon luteinizing (LH) erat hubungannya dengan pertumbuhan dan siklus reproduksi pada kelompok jantan dan betina. Rendahnya bobot badan pada Rusa Sambar dapat disebabkan oleh ketersediaan pakan yang tidak memadai, yaitu populasi rusa di lapang melebihi kapasitas tampungnya (Semiadi et al., 2005). Lingkar dada memberikan nilai korelasi fenotipik yang tertinggi kemudian diikuti oleh panjang badan, yaitu masing-masing 0,94 dan 0,90. Lingkar dada selanjutnya digunakan untuk menduga persamaan regresi linear yang paling baik sebagai penduga bobot badan. Nilai ketepatan (derajat determinasi) untuk persamaan regresi dengan variabel bebas gabungan lingkar dada dan panjang badan yaitu 0,88 sedangkan pada lingkar dada sebesar 0,87. Tampak bahwa semakin banyak variabel bebas yang dilibatkan untuk menduga bobot badan diperoleh derajat determinasi yang lebih tinggi. Persamaan linier penduga bobot badan dengan derajat determinasi (R 2 ) tertinggi berturut-turut BB = -116,24 + 1,44 LD + 0,52 PB (R 2 = 0,88) dan BB = -108,00 + 1,88 LD (R 2 = 0,87). Cam et al. (2010) menyimpulkan bahwa panjang badan dapat digunakan sebagai penduga bobot badan pada Kambing Kilkeci tanpa mempertimbangkan usia, kondisi lapang dan jenis kelamin yang dibesarkan di empat peternakan berbeda sebelum waktu kawin pada kondisi peternakan rakyat. Terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antara kelompok usia. Ditemukan korelasi positif dan signifikan (P<0,001) antara bobot badan dan ukuran tubuh. Korelasi tertinggi ditemukan antara bobot badan dan lingkar dada (0,847) dan dalam dada (0,775). Bobot badan dapat diduga menggunakan persamaan BB = -47,8 + 1,12 LD dengan koefisien determinasi (R 2 = 0,717), sedangkan panjang badan dapat digunakan sebagai penduga ukuran bobot badan menggunakan persamaan BB = -20,2 + 0,96 PB dengan koefisien determinasi yang rendah (0,368). Ukuran linear tubuh yang berhubungan erat dengan bobot badan adalah lingkar dada dan panjang badan. Hal serupa diungkapkan Fourie et al. (2002) bahwa lingkar dada dan panjang badan mempunyai pengaruh paling besar terhadap bobot badan. Apriliyani (2007) sependapat dengan Fourie et al. (2002) dan menyatakan bahwa lingkar dada selalu menjadi parameter penentu bobot badan pada tiap persamaan pendugaan bobot badan, bahkan menjadi parameter utama. Jamal (2007) 9
dan Utami (2008) menambahkan lingkar dada, tinggi pundak, dalam dada dan panjang badan, berkorelasi positif dengan bobot badan. Lingkar dada dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi karena berkaitan dengan produktivitas domba (Trislawati, 2006). Lingkar dada diukur melingkar di belakang sendi siku, sedangkan panjang badan pada domba ditentukan dengan mengukur jarak antara tulang duduk sampai bahu. Menentukan Umur Domba Umur ternak dalam pemeliharaan mempunyai peran yang penting karena melalui umur peternak dapat mengetahui kapan ternaknya dapat dikawinkan maupun digemukkan. Cara menentukan umur domba dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara, yaitu dengan melihat pergantian serta keausan (pergesekan antar gigi susu yang tumbuh menjadi gigi seri) gigi seri dan berdasarkan informasi dari peternak (pencatatan). Umur menentukan tingkat pertumbuhan domba. Pada umur yang berbeda, pertumbuhan domba cenderung tidak sama. Frandson (1992) menerangkan, saat paling baik untuk menentukan umur seekor ternak adalah ketika pemunculan gigi. Gigi depan disebut gigi seri (incisor) dan biasanya dinyatakan dengan huruf I. Gigi ini diberi nomor dari arah pusat mulut atau simfisis, ke arah lateral. Pasangan pertama diberi kode I 1 atau sentral, pasangan kedua disebut I 2 atau intermediet, selanjutnya I 3 disebut intermediet kedua dan yang terakhir (paling lateral) dengan nomor I 4 atau sudut. Penentuan umur berdasarkan pergantian dan keausan gigi seri diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1. Pendugaan Umur Domba Berdasarkan Pergantian Gigi Seri Gigi Seri Tetap Umur Keterangan Belum ada gigi tetap (gigi susu) Kurang satu tahun I 0 Sepasang gigi tetap (2 buah) l - 2 tahun I 1 Dua pasang gigi tetap (4 buah) 2-3 tahun I 2 Tiga pasang gigi tetap (6 buah) 3-4 tahun I 3 Empat pasang gigi tetap (8 buah) 4-5 tahun I 4 Sumber : Ludgate (1989) 10