BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VI SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN. Pada bagian akhir penelitian ini disajikan simpulan dari keseluruhan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran, terhitung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan peraturan daerah (Sutaryo, Sutopo dan Wijaya, 2014). Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi di Indonesia telah bergulir selama lebih dari satu

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran dan ditetapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab pendahuluan menguraikan tentang latar belakang masalah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya otonomi daerah. Sebelum menerapkan otonomi daerah,

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dalam suatu daerah dapat terlaksana tergantung dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah otonom sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. rangka memperbaiki kesejahteraan rakyat. Pengembangan suatu daerah dapat

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah tentang Otonomi Daerah, yang dimulai dilaksanakan secara efektif

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah, salah satunya adalah terkait dengan manajemen keuangan

BAB I PENDAHULUAN. mencatat desentralisasi di Indonesia mengalami pasang naik dan surut seiring

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu dari perubahan tersebut adalah

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. dewan melainkan juga dipengaruhi latar belakang pendidikan dewan,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu rangkaian proses perubahan menuju keadaan. dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB I PENDAHULUAN. adanya akuntabilitas dari para pemangku kekuasaan. Para pemangku. penunjang demi terwujudnya pembangunan nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan ekonomi untuk daerah maupun kebijakan ekonomi untuk pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. berlebih sehingga untuk mengembangkan dan merencanankan daerah yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal. daerah, yang dikenal sebagai era otonomi daerah.

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. pemerintah pusat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. Pengukuran kinerja pemerintah merupakan hal yang sangat penting,

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah pada era reformasi ini dituntut untuk melaksanakan. perubahan penting dan mendasar yang dimaksudkan untuk memperbaiki

BAB I PENDAHULUAN. pertanggunggjawaban. Salah satu tujuan dari laporan pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Ulum, 2004). (Stanbury, 2003 dalam Mardiasmo, 2006).

reformasi yang didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor/XV/MPR/1998 berarti pada ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 menjadi dasar pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Anggaran merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu organisasi.

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada awal tahun 1996 dan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari masyarakat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

BAB I PENDAHULUAN. Organisasi sektor publik merupakan organisasi yang menjalankan

Bab 1 PENDAHULUAN. dilanjutkan dengan pertanyaan penelitian, tujuan, motivasi, dan kontribusi

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja Terhadap Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. sesungguhnya. Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Boediono (Sidik et

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian tersendiri bagi sebuah organisasi sektor publik. Pendekatan-pendekatan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. kepada daerah. Di samping sebagai strategi untuk menghadapi era globalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. wujud dari adanya tuntutan publik terhadap akuntabilitas dan transparansi manajemen

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undangan.undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik dalam era reformasi ini,

BAB I PENDAHULUAN. bagi bangsa ini. Tuntutan demokratisasi yang diinginkan oleh bangsa ini yaitu

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah yang sedang bergulir ini merupakan bagian dari adanya

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BERITA NEGARA. No.210, 2013 KEMENTERIAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Pelimpahan. Gubernur. TA 2013.

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Konsep tentang mekanisme penyusunan program kerja pemerintah daerah,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada era otonomi sekarang ini terjadi pergeseran wewenang dan tanggung

BAB I PENDAHULUAN. No.12 Tahun Menurut Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2014 yang

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sector publik terkait

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH BATANG HARI MITRA HUTAN LESTARI

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan teknis keuangan daerah mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya demokratisasi menjadi

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB I PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi keuangan daerah yang diawali dengan bergulirnya UU Nomor

BAB 1 PENDAHULUAN. Bab pendahuluan membahas tentang latar belakang masalah yang diteliti dan

BAB I PENDAHULUAN. monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

2015 ANALISIS STRATEGI BIAYA PENGALOKASIAN BELANJA LANGSUNG PADA APBD PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi telah memberikan peluang bagi perubahan cara-cara pandang

BAB II LANDASAN TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN Sebagai awal dalam rangkaian penelitian ini, pada bab I menjelaskan latar belakang masalah penelitian yang selanjutnya dikerucutkan dalam rumusan masalah. Atas dasar rumusan masalah tersebut, selanjutnya diuraikan dalam pertanyaan, tujuan, manfaat, dan batasan penelitian. Pada bab pendahuluan juga menampilkan rangkaian proses penelitian. 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan paradigma pemerintahan yang dimulai pasca reformasi tahun 1999 dan ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999), yang didalamnya mengatur tentang pemberian hak otonomi telah memberikan dampak yang besar bagi pemerintah daerah. Jika sebelum reformasi urusan pemerintah daerah lebih banyak diatur oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah hanya sekedar pelaksana dengan kewenangan yang sempit, maka dengan adanya otonomi daerah terjadi penyerahan kewenangan yang lebih luas dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004) yang merupakan penyempurnaan dari UU 22/1999, disebutkan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagai konsekuensi dari konsep pelaksanaan otonomi daerah seperti yang 1

telah disebutkan dalam UU 32/2004, segala hal meliputi penganggaran dan pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang merupakan bagian dari urusan pemerintahan harus diatur, ditetapkan dan dikelola secara mandiri oleh pemerintah daerah. Tindak lanjut dari penganggaran dan pengelolaan keuangan pada pemerintahan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam pelaksanaan otonomi daerah, APBD merupakan salah satu aspek terpenting bagi pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya masing-masing (Winarna dan Murni, 2007), serta berperan sebagai instrumen utama untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan sesuai dengan visi dan misi selama satu tahun anggaran demi tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004) menyebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD dibentuk melalui suatu proses penganggaran yang melibatkan kedua belah pihak eksekutif dan legislatif dengan mekanisme dan rangkaian tahapan yang cukup panjang dan saling berhubungan. Berawal dari proses perencanaan yang terstruktur dan sitematis, kemudian dilanjutkan dengan pengalokasian dan pembahasan anggaran hingga ditetapkan menjadi peraturan daerah tentang APBD. Dengan demikian dalam penyusunan APBD sangatlah diperlukan proses kerjasama dan interaksi yang dinamis antara 2

kedua belah pihak, sehingga pada proses tersebut menjadi kunci suksesnya aktivitas penyusunan APBD. Mensikapi pentingnya keselarasan dalam proses penyusunan APBD pada pemerintahan daerah, Kementerian Dalam Negeri selaku institusi yang berhubungan langsung, menetapkan suatu aturan yang digunakan sebagai pedoman bagi pemerintahan daerah dalam proses penyusunan APBD yaitu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Permendagri 13/2006). Dalam Permendagri tersebut mengatur berkaitan dengan proses rangkaian penyusunan APBD yang harus ditaati oleh seluruh pemerintahan daerah. Sebagai puncak dari rangkaian proses penganggaran tersebut adalah selambat-lambatnya sebelum tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya, APBD telah ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah. Mengingat kedudukan APBD sebagai suatu pedoman bagi pemerintah daerah untuk berjalannya roda pemerintahan serta berbagai fungsi penting yang melekat pada APBD, sesuai dengan yang disebutkan dalam Permendagri 13/2006 pasal 15 ayat 3, bahwa APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi, maka seharusnya proses penyusunan APBD yang telah diatur dalam Permendagri tersebut wajib untuk ditaati sebelum batas waktu akhir dalam proses penyusunan APBD. Akan tetapi pada kenyataan dilapangan banyak pemerintahan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang tidak mentaati setiap proses penyusunan APBD yang diatur 3

dalam permendagri tersebut, hingga berujung pada keterlambatan penetapan APBD. Dikutip dari situs berita on-line, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa sampai dengan bulan Desember 2013, hanya 62,32 persen atau 306 dari 350 kabupaten/kota yang telah menetapkan APBD untuk tahun anggaran 2014. Informasi lain yang diperoleh dari situs resmi Kementerian Dalam Negeri, pada tahun 2011 daerah yang mengalami keterlambatan adalah sebanyak 234 kab/kota, sedangkan pada tahun 2012 sebanyak 185 kab/kota. Dari tahun ke tahun fenomena tersebut selalu saja terjadi dan berulang-ulang, entah itu pemerintahan daerah yang memang selalu rutin mengalami keterlambatan APBD atau diisi dengan wajah-wajah baru yang silih berganti mengalami keterlambatan APBD karena berbagai alasan. Keterlambatan APBD apabila dikaitkan dengan aspek akuntansi manajemen sektor publik merupakan salah satu bentuk kegagalan dalam proses pengendalian manajemen. Dalam UU 32/2004 disebutkan bahwa pemerintahan daerah sebagai organisasi sektor publik terdiri dari pemerintah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Apabila diibaratkan dalam sektor swasta maka Bupati selaku pimpinan pemerintah kabupaten dan Ketua DPRD selaku pimpinan institusi DPRD Kabupaten, merupakan manajer tertinggi yang bertanggungjawab atas pengelolaan organisasi sektor publik untuk mewujudkan tujuan organisasi. Proses pengendalian manajemen yang melibatkan interaksi antar manajer dan manajer dengan bawahannya, menurut Halim dkk. (2009) adalah meliputi kegiatan: (1) perencanaan strategi, (2) penyusunan anggaran, (3) pelaksanaan, dan 4

(4) evaluasi kinerja. Kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan dapat terjadi karena adanya kelemahan atau kegagalan pada salah satu atau beberapa tahap dalam proses pengendalian manajemen (Mardiasmo, 2005). Dengan tidak ditetapkannya APBD sesuai batas waktu yang ditentukan, menunjukkan gagalnya interaksi antar manajer organisasi sektor publik dalam kegiatan penyusunan anggaran dalam hal ini adalah APBD yang disusun oleh eksekutif dan dibahas bersama dengan legislatif. Sebagai dampak dari keterlambatan APBD tersebut dapat menyebabkan program dan kegiatan yang telah disusun bersama tidak dapat segera direalisasikan karena sebagian besar pendanaan program-program tersebut berasal dari APBD, dan pada akhirnya dampak negatif tersebut akan berujung pada terhambatnya proses pelayanan kepada masyarakat yang merupakan tujuan utama dari organisasi sektor publik. Kabupaten Blora sebagai salah satu wilayah di Provinsi Jawa Tengah juga tak luput dari fenomena keterlambatan penetapan APBD. Bahkan diantara seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Blora hampir selalu menjadi yang terakhir dalam penetapan APBD setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) keterlambatan itu terjadi selama tahun 2002 hingga tahun 2014, bahkan hingga berakhirnya tahun anggaran 2014 dan dimulainya tahun anggaran baru 2015, APBD belum juga ditetapkan. Informasi penetapan APBD di Kab. Blora dari tahun 2003 seperti yang tersaji dalam tabel 1.1 berikut ini : 5

Tabel 1.1 Tanggal Penetapan APBD Tahun Perda Penetapan APBD Anggaran Nomor Tanggal 2002 1 Tahun 2002 2 Mei 2002 2003 1 Tahun 2003 5 Juni 2003 2004 1 Tahun 2004 20 Mei 2004 2005 10 Tahun 2005 31 Mei 2005 2006 2 Tahun 2006 11 Mei 2006 2007 2 Tahun 2007 14 Juni 2007 2008 1 Tahun 2008 28 April 2008 2009 1 Tahun 2009 7 Juni 2009 2010 1 Tahun 2010 23 Maret 2010 2011 16 Tahun 2011 26 April 2011 2012 1 Tahun 2012 13 April 2012 2013 2 Tahun 2013 24 April 2013 2014 1 Tahun 2014 12 Juni 2014 2015 Hingga 31 Desember 2014 belum ditetapkan Sumber : DPPKAD Kab. Blora tahun 2015 Dari tabel tersebut diatas dapat dilihat bahwa Kab. Blora sejak dari tahun 2002 menetapkan APBD pada periode bulan Maret hingga Juni. Sehingga secara efektif program dan kegiatan yang disusun dan didanai oleh APBD mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya dalam rentang waktu 3 hingga 6 bulan. Tentunya hal ini dapat menimbulkan suatu kerawanan mengingat waktu pelaksanaan APBD yang tidak lagi penuh 1 tahun anggaran. Adapun kerawananan yang dimaksudkan adalah ketika pemerintah daerah dihadapkan pada suatu kondisi untuk harus segera melakukan penyerapan anggaran. Dengan keterbatasan waktu yang tersisa dari sejak ditetapkannya APBD, realisasi program dan kegiatan menjadi terhambat dan tidak dapat terserap secara 6

maksimal. Hal tersebut tentunya akan membawa pengaruh pada penilaian kinerja pemerintah daerah yang buruk dalam melakukan penyerapan anggaran diakhir tahun nantinya. Kekhawatiran lainnya muncul ketika program dan kegiatan tersebut berkaitan dengan pengerjaan pembangunan proyek fisik. Dengan waktu yang terbatas dikhawatirkan pengerjaan pembangunan proyek fisik di Kabupaten Blora menjadi tidak efektif dan efisien. Muaranya adalah tujuan utama dari Pemerintah Kabupaten Blora untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di Kab. Blora tidak dapat terpenuhi secara maksimal. Proses penyusunan APBD di Kabupaten Blora yang mengalami keterlambatan selama belasan tahun, tentunya terjadi karena terdapat permasalahan pemicunya secara teknis maupun non teknis. Dugaan adanya isomorfisma kelembagaan dalam bentuk tekanan secara koersif ikut berperan dalam proses penyusunan APBD. Mengingat adanya aturan dari pemerintah pusat tentang tahapan penyusunan APBD yang harus ditaati oleh setiap pemerintah daerah, kurangnya pemahaman secara teknis oleh para pelaku penganggaran atas aturan tersebut membawa dampak pada terlambatnya penetapan APBD. Adapun permasalahan lainnya adalah berkaitan dengan adanya konflik kepentingan dalam hubungan keagenan antara dua pihak pelaku penganggaran yaitu pihak eksekutif dan legislatif serta hilangnya tanggung jawab moral untuk dapat segera menetapkan APBD secara tepat waktu. Pada penelitian Pandanwangi dan Ritonga (2009) yang melakukan identifikasi atas faktor-faktor keterlambatan APBD di Kabupaten Rejang Lebong 7

pada periode tahun anggaran 2008-2010 ditemukan faktor-faktor yang menjadi pemicu, yaitu : hubungan eksekutif dan legislatif, latar belakang pendidikan, indikator kinerja, komitmen, dan penyusunan APBD. Adapun Kartiko (2011) dalam analisis ekonomi politik menyebutkan bahwa suatu kondisi dimana pemerintahan terbelah, dapat menimbulkan tarik ulur pada proses pembahasan APBD yang menyebabkan berlarut-larutnya penetapan APBD. Selain itu adanya hubungan keagenan dan perilaku oportunistik pihak eksekutif dan legislatif dalam penyusunan anggaran (Halim & Abdullah, 2006), turut menjadi penyebab keterlambatan dalam penetapan APBD. Merujuk pada pernyataan Andersen et.al. (2010) yang mengatakan bahwa terdapat tiga alasan penting terkait objek studi keterlambatan dalam penetapan anggaran, yaitu: biaya ekonomi, ukuran produktivitas legislatif dan sebagai pengukuran pemerintahan yang baik. Mengingat permasalahan proses penyusunan APBD di Kab. Blora yang selalu mengalami keterlambatan telah berlangsung sekian lama, serta dengan pertimbangan sebagai daerah yang pertumbuhan perekonomiannya masih sangat bergantung pada APBD. Perlu kiranya untuk dilakukan evaluasi atas proses penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Kabupaten Blora. 1.2. Rumusan Permasalahan Sedemikian pentingnya APBD sebagai suatu komponen vital bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan, sudah seharusnya ditetapkan secara tepat waktu, namun pada kenyataannya di lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Blora penetapan APBD selama belasan tahun 8

belum pernah ditetapkan secara tepat waktu. Ketidaktepatan tersebut tentunya dipicu oleh berbagai kendala dan permasalahan dalam proses penyusunan APBD. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka dapat disusun pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana proses penyusunan APBD di Kabupaten Blora yang selalu mengalami keterlambatan dalam penetapan? 2. Permasalahan apa saja yang menjadi penyebab keterlambatan penetapan APBD di Pemerintah Kabupaten Blora? 3. Bagaimana hubungan teori keagenan pada proses keterlambatan penetapan APBD di Kab. Blora? Adakah konflik kepentingan dalam hubungan tersebut 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pertanyaan penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1. Memperoleh pemahaman secara mendalam atas proses penyusunan APBD di Kabupaten Blora yang selalu mengalami keterlambatan dalam penetapannya. 2. Menganalisis permasalahan yang menjadi penyebab keterlambatan penetapan APBD di Pemerintah Kabupaten Blora. 3. Memperoleh bukti tentang adanya konflik kepentingan pada hubungan teori keagenan pada proses keterlambatan penetapan APBD di Kab. Blora. 9

1.5. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran perbaikan atas proses penyusunan APBD di Pemerintah Kabupaten Blora sehingga di masa depan kemungkinan terjadinya keterlambatan dalam penetapan APBD dapat diminimalisir. 1.6. Proses Penelitian Secara garis besar tahapan-tahapan dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 1.1 Proses Penelitian 10

1.7. Batasan Penelitian Mengingat permasalahan keterlambatan APBD di Kabupaten Blora yang telah berlangsung sekian lama serta keterbatasan peneliti, maka dalam penelitian ini di batasi pada proses penyusunan APBD di Kabupaten Blora yang mengalami keterlambatan dalam rentang waktu tahun 2010 hingga tahun 2015, saat penelitian dilakukan. 11