BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Self-Efficacy. berhubungan dengan keyakinan bahwa dirinya mampu atau tidak mampu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini setiap orang berusaha untuk dapat bersekolah. Menurut W. S

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Muhammad (dalam Budiamin, 2011) komunikasi interpersonal

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, sehingga terus berusaha untuk memajukan kualitas pendidikan yang ada.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, baik di bidang ekonomi, politik, hukum dan tata kehidupan dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembelajaran siswa pada masalah yang nyata sehingga siswa dapat menyusun

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini akan dipaparkan hasil pengolahan data dari penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. Pada era gobalisasi ini, perkembangan masyarakat di berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya peranan pendidikan dalam kehidupan. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman mendorong terjadinya perubahan di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan lebih lanjut ke perguruan tinggi ( Perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, keadaan dunia pendidikan di Indonesia mengalami. perkembangan. Salah satu perkembangan terbaru yang terjadi adalah

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pengetahuan atau menambah wawasan. Penyelenggaraan. melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. akademik dan/atau vokasi dalam sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi. dan negara. Contoh peran pendidikan yang nyata bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas tersebut diciptakan melalui pendidikan (

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk

BAB I PENDAHULUAN. sumbangsih bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang. Untuk memajukan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi seperti sekarang ini, Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. semakin besar. Di tahun 2009 angka pengangguran terdidik telah mencapai

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU pendidikan No.2 Tahun,1989, pendidikan adalah usaha sadar untuk

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin maju, maka perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menambah

BAB I PENDAHULUAN. Di zaman sekarang ini kemajuan suatu negara dipengaruhi oleh faktor

BAB I PENDAHULUAN. Krisis multidimensional dalam bidang ekonomi, politik, dan budaya yang

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

BAB I PENDAHULUAN. latihan sehingga mereka belajar untuk mengembangkan segala potensi yang

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan Tinggi atau Universitas merupakan lembaga pendidikan tinggi di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakannya ( Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak yang lahir merupakan sebuah karunia yang besar bagi orang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan dapat bersaing secara global. Sebagai suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. yang dididik secara formal dan diberikan wewenang untuk menerapkan ilmu

BAB V PEMBAHASAN. Bandura 1997 mengungkapkan bahwa self efficacy membuat individu untuk

BAB I PENDAHULUAN. yaitu SD, SMP, SMA/SMK serta Perguruan Tinggi. Siswa SMP merupakan

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, untuk membentuk Sumber Daya Manusia yang berkualitas.

BAB II KAJIAN TEORITIK. a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Matematis. matematis merupakan sebuah cara dalam berbagi ide-ide dan

BAB I PENDAHULUAN. barang ataupun jasa, diperlukan adanya kegiatan yang memerlukan sumber daya,

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi, tampaknya persaingan bisnis di antara

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri. Menurut Bandura (1997) Efikasi diri merupakan bagian penting dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan menengah. Tujuan pendidikan perguruan tinggi ialah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan

PERSEPSI INTI KOMUNIKASI. Rizqie Auliana

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini, pertumbuhan di bidang pendidikan kian

BAB 3 METODE PENELITIAN. Dalam metode penelitian ini akan diuraikan mengenai identifikasi variable

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Hurlock (1999), masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam

Teori Albert Bandura A. Latar Belakang Teori self-efficasy

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan proses globalisasi, terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut maka terjadi banyak perubahan di segala bidang termasuk di bidang

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Self-efficacy mengarah pada keyakinan seseorang terhadap kemampuannya


BAB I PENDAHULUAN. Dari anak kecil sampai orang dewasa mempunyai kegiatan atau aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Undang undang Pemerintahan Negara Republik Indonesia tahun 2003 pasal

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN menjadi kurikulum KKNI (kerangka kualifikasi nasional Indonesia) (Dinas

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. perumahan Kota Modern , tentunya tidak bisa lepas dari berbagai

Self-efficacy Peserta Didik Homeschooling Kak Seto dalam Menghadapi Ujian Nasional Program Paket B

SELF-EFFICACY SISWA DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA

BAB I PENDAHULUAN. Zaman semakin berkembang seiring dengan berjalannya waktu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I LATAR BELAKANG MASALAH. kerja, mendorong perguruan tinggi untuk membekali lulusannya dengan kemampuan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. rendah. Data laporan pembangunan manusia yang dikeluarkan United Nation

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh. Otak manusia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian lain dari social loafing adalah kecenderungan untuk mengurangi

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TEORI SELF-EFICACY

BAB II KAJIAN PUSTAKA. mereka dan kejadian di lingkungannya (Bandura, dalam Feist & Feist, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam rangka menyongsong era persaingan bebas antar bangsa yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin kompleks. Hal ini disebabkan aspek-aspek dalam dunia pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. terutama perguruan tinggi mulai sungguh-sungguh dan berkelanjutan mengadakan

BAB II LANDASAN TEORI. Asisted Learning (PAL). PAL merupakan tindakan atau proses. a. Peer Teaching and Learning (belajar dan saling mengajari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Persaingan global saat ini menuntut individu agar mampu mencapai

BAB IX. Hubungan Antara Proses Penginderaan dan Persepsi

BAB II KAJIAN TEORI. A. Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization) siswa dengan kelompok heterogen. Sedangkan, Sunal dan Hans

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan tergolong tinggi, sehingga para petugas kesehatan seperti dokter,

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cara mengajar 2.1.1 Pengertian Cara mengajar Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara mengajar adalah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa. Menurut Robert M. Gagne (dalam Winkel, 1995), cara mengajar mencakup beberapa unsur dasar yaitu : 1. Teknik Mengajar, suatu pendekatan atau cara-cara tertentu dalam suatu proses belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan belajar yang lebih baik dan efektif. Teknik mengajar biasanya diwujudkan dalam bentuk model-model belajar, yang diterapkan oleh pengajar dalam proses belajar mengajar. 2. Gaya Pengajar, suatu kondisi dimana pengajar mempunyai ciri mengajar atau penampilannya dalam proses mengajar, untuk memberikan yang terbaik kepada siswa dalam proses belajar agar lebih dimengerti dan lebih memahami materi pelajaran. 3. Sikap Pengajar, dalam kegiatan belajar mengajar guru (pengajar) menerapkan aturan-aturan yang berhubungan dengan ciri pribadi masing-masing (karakter mengajar) dalam kegiatan belajar.

2.1.2 Teaching Styles Dari sumber members.shaw.ca (2012), yang peneliti ambil dari salah satu situs yang menjelaskan mengenai cara mengajar, ada 4 kategori cara mengajar (teaching style), yaitu: 1. Formal Authority: Pendekatan yang berpusat pada konten, guru merasa bertanggung jawab untuk menyediakan dan mengendalikan jalannya proses belajar mengajar. Guru mengajarkan materi berpusat pada konten dari materi yang ingin disampaikan kepada siswa/i tidak memperdulikan kedekatan dia dengan siswa/i. 2. Demonstrator or Personal model: Pendekatan yang berpusat pada guru di mana guru menunjukkan dan memberikan model apa yang diharapkan oleh siswa/i (keterampilan dan proses) dan kemudian bertindak sebagai pelatih atau panduan untuk membantu siswa dalam menerapkan pengetahuan. 3. Facilitator: Pendekatan yang fokus pada kegiatan, di mana guru memfasilitasi dan fokus pada kegiatan. Tanggung jawab lebih kepada siswa untuk mengambil inisiatif dari berbagai tugas untuk mencapai hasil yang baik. Siswa yang independen, aktif, kolaboratif berkembang dalam lingkungan ini. Guru biasanya merancang kegiatan kelompok yang memerlukan pembelajaran. 4. Delegator: Sebuah pendekatan yang berpusat pada siswa dimana guru mendelegasikan tugas dan memberikan tanggung jawab untuk belajar pada individu atau kelompok. Guru akan sering mengharuskan siswa/i untuk merancang dan melaksanakan sebuah proyek pembelajaran yang kompleks dan guru hanya sebagai tempat konsultasi saja. Siswa sering diminta untuk bekerja

secara mandiri atau dalam kelompok dan harus mampu bekerja secara efektif dalam berbagai situasi di dalam kelompok. 2.1.3 Persepsi Persepsi didalam ilmu psikologi merupakan interpretasi yang mengacu pada hal-hal yang kita dapatkan dari panca indera, misalnya saja membaca buku, mencium bau masakan, mendengarkan musik hal yang kita alami ini adalah lebih dari sekedar stimulasi sensorik. Kejadian yang kita alami tersebut diproses sesuai dengan pengetahuan kita tentang dunia, sesuai budaya, pengharapan. Ada beberapa pendapat menurut para ahli mengenai pengertian persepsi, diantaranya Solso,R.L., Maclin,O.H dan Maclin,M.K (2008) bahwa persepsi adalah proses identifikasi yang melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam penginterpretasian terhadap informasi sensorik. Sejalan dengan hal tersebut Irwanto (1990), mengungkapkan bahwa persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indra. Menurut Bimo Walgito (2002), persepsi adalah pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas integrated dalam diri individu. Menurut Ruch (1967), persepsi adalah suatu proses tentang petunjukpetunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Berdasarkan pendapat beberapa para ahli yang peneliti jelaskan diatas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan yaitu di dalam persepsi dibutuhkan adanya

objek atau stimulus yang dapat di terima/ditangkap oleh panca indera kemudian di lanjutkan ke otak dan mengalami suatu proses identifikasi dari apa yang dilihat melalui panca indera dan terjadilah persepsi. Disamping itu juga persepsi merupakan pengorganisasian dari kejadian yang dialami individu di masa lampau dan dapat memberikan penilaian dalam situasi tertentu. Menurut Krech dan Crutchfield dalam Sarwono (1998), faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi memiliki dua golongan variabel, yaitu: variabel struktural, yaitu: faktor-faktor yang terkandung dalam rangsang fisik dan proses neurofisiologik dan variabel fungsional, yaitu: faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat seperti kebutuhan (needs), suasana hati (moods), pengalaman masa lampau dan sifat-sifat individual lainnya. Perilaku membutuhkan bukti-bukti yang dapat diamati untuk mengidentifikasikan aktivitas seseorang. Orang mengandalkan perilaku nonverbal untuk menguatkan penilaiannya, namun sering kali hasilnya kurang akurat. Karena terlalu banyak perhatian yang ditujukan pada kata-kata, ekspresi wajah, isyarat bahasa tubuh dan perubahan intonasi. Didalam konteks ini peneliti lebih mengkhususkannya yaitu persepsi siswa tentang cara mengajar guru, yaitu dimana siswa melihat melalui panca inderanya bagaimana cara mengajar guru di dalam kelas dan memberikan penilaian terhadap gurunya bagaimana cara mengajar yang telah diberikan dan apakah berhubungan terhadap self-efficacy mereka.

2.2 Self Efficacy Menurut Albert Bandura self-efficacy adalah belief atau keyakinan seseorang bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil (outcomes) yang positif (Santrock, 2007). Siswa dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugastugas yang menantang, sedangkan siswa dengan self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya (Bandura dalam Santrock, 2007). 2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy Menurut Bandura (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya self- efficacy, yaitu: 1. Pengalaman Keberhasilan (mastery experiences) Keberhasilan yang sering didapatkan seseorang akan meningkatkan self efficacy yang dimilikinya, sedangkan kegagalan akan menurunkan self efficacynya. Apabila keberhasilan yang didapat seseorang lebih banyak karena faktorfaktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self-efficacy. Namun, bila keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang cukup besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan self efficacy-nya. 2. Pengalaman Orang Lain (vicarious experiences) Pengalaman orang lain yang berhasil memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self-efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self-efficacy tersebut didapat melalui social models. Pengaruh dari role-model seseorang terhadap self-efficacy

dirinya sangat kuat tergantung dari bagaimana dirinya merasa mirip dengan rolemodel yang ditirunya. Semakin besar pengaruh keberhasilan yang dia dapatkan dari role-model tersebut maka semakin yakinlah dirinya. Jika seseorang melihat role-model berbeda dari dirinya, maka keyakinannya tidak akan banyak dipengaruhi oleh role-modelnya. 3. Persuasi Sosial (social persuation) Bentuk nyata persuasi sosial yaitu, informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal, yang memberikan semangat, pujian oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas. Persuasi sosial bisa dalam bentuk social support yang dianggap sebagai peredam stress yang utama (Bandura, 1997). 4. Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and emotional states) Suasana hati sangat berpengaruh terhadap penilaian seseorang akan selfefficacy yang dimilikinya. Bila suasana hati sedang baik dapat meningkatkan selfefficacy, sementara suasana hati yang sedih akan membuat self-efficacy menurun. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan lainnya. Self-efficacy yang tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula. 2.2.2 Pengukuran Self-Efficacy Menurut Bandura (1997), pengukuran self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu:

1. Level Suatu tingkat ketika seseorang meyakini usaha atau tindakan yang dapat ia lakukan. Tingkat kesulitan tugas yang dikerjakan oleh individu dan dinilai tergantung dari persepsi dari individu itu sendiri mengenai tugas yang diberikan. Jadi, masing-masing individu memiliki persepsi yang berbeda-beda menentukan derajat kesulitan suatu tugas, tergantung dari penilaian yang dilakukan oleh individu tersebut. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan digunakan berdasarkan tingkat kesulitannya. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia persepsikan dapat ia lakukan dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan sulit untuk dilakukan. 2. Strength Suatu kepercayaan diri yang ada dalam diri seseorang yang dapat ia wujudkan dalam melakukan tugas tertentu. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya maka ia akan dapat melewati segala tugas yang diberikan dan akan semakin menyenangi tugas yang penuh dengan tantangan dan akan terus berusaha mengerjakannya. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap kemampuan dirinya, maka individu tersebut cenderung untuk menghindari tugas yang penuh tantangan dan mencari tugas yang tidak menantang. 3. Generality Sejauh mana individu yakin dengan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas yang diberikan, mulai dari aktivitas yang biasa dilakukan sampai aktivitas yang belum pernah dilakukan dalam serangkaian tugas atau situasi sulit yang bervariasi. Bagaimana individu merasa yakin akan kemampuan yang dia miliki

dalam menjalankan tugas yang berbeda baik secara tingkah laku, kognitif dan afektifnya. 2.3 Pemerolehan Bahasa Kedua Second Language Acquisition adalah kajian tentang bagaimana pembelajar mempelajari sebuah bahasa lain setelah dia memperoleh bahasa ibunya (Arifuddin, 2010). Second Language Acquisition (SLA) bukan merupakan fenomena seragam dan dapat diramalkan. Mempelajari bahasa kedua (bahasa Inggris) dilatar belakangi dari berbagai hal seperti tuntutan dalam pekerjaan, semakin umumnya penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, dan sebagainya. Proses dan pemerolehan bahasa kedua tersebut dipengaruhi dari pembelajaran formal maupun dari lingkungan. Pemerolehan bahasa kedua adalah istilah yang bisa berlaku untuk kedua situasi pemerolehan/pembelajaran bahasa, yaitu memperoleh secara alamiah atau melibatkan seseorang sebagai pengajar dan pemerolehan secara formal dikelas (Arifuddin, 2010, p. 117). Kemampuan untuk menguasai bahasa kedua (bahasa Inggris) ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut menyangkut faktor internal (dalam diri individu) dan faktor eksternal. Faktor internal seperti usia, bakat, aspek kognisi, motivasi, kepribadian, dan faktor eksternal, seperti situasi bahasa, strategi belajar, dan sebagainya, memperngaruhi perkembangan pemerolehan bahasa (Arifuddin, 2010).

2.3.1 Peran Lingkungan dalam Pemerolehan Bahasa Kedua Pemerolehan bahasa kedua, dalam hal ini bahasa inggris, menurut Ellis (dalam Suroso, 2011), terjadi dalam dua setting yang berbeda, yaitu secara naturalistik (naturalistic SLA) dan dalam lingkungan kelas (classroom SLA). Pemerolehan secara naturalistik adalah pemerolehan yang terjadi secara alamiah/ informal atau tanpa disadari sebagaimana terjadi dalam pemerolehan bahasa pertama. Yang tergolong lingkungan informal adalah bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan teman sebaya, orang tua, sedangkan pemerolehan dalam lingkungan kelas berlangsung secara formal di dalam ruang kelas dan keformalannya ditandai dengan adanya pengajar, pembelajar, kurikulum, silabus, materi dan tujuan serta evaluasi. Belajar bahasa kedua (bahasa Inggris) di sekolah akan membantu para siswa/i untuk mendapat pengetahuan mengenai cara berkomunikasi yang baik dan dapat mengasah kemampuan dalam structure, grammar maupun vocabullary (Darminah, 2004). Disamping lingkungan formal yang diterima pada saat di sekolah, lingkungan informal berpengaruh juga dalam pemerolehan bahasa Inggris yang siswa/i gunakan pada saat sedang bercakap-cakap dengan teman sebaya (Brown, 2007). Pada tahap pemerolehan bahasa kedua atau bahasa Inggris ini, bahasa yang digunakan oleh teman sebaya ataupun orang-orang yang berada disekitarnya memiliki peranan yang cukup penting dalam peningkatan kemampuan siswa/i.

2.4 Kerangka Berfikir Guru Siswa Cara Mengajar Struktural dan Fungsional Self-efficacy dalam pemerolehan Efektif Tinggi Tidak Efektif Sedang Rendah Sumber: Diolah Oleh Peneliti Gambar 2.1 Proses Pemerolehan Bahasa Inggris