BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cara mengajar 2.1.1 Pengertian Cara mengajar Menurut Tardif (dalam Muhibbin Syah, 2003) yang dimaksud dengan cara mengajar adalah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan kependidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa. Menurut Robert M. Gagne (dalam Winkel, 1995), cara mengajar mencakup beberapa unsur dasar yaitu : 1. Teknik Mengajar, suatu pendekatan atau cara-cara tertentu dalam suatu proses belajar mengajar untuk mencapai suatu tujuan belajar yang lebih baik dan efektif. Teknik mengajar biasanya diwujudkan dalam bentuk model-model belajar, yang diterapkan oleh pengajar dalam proses belajar mengajar. 2. Gaya Pengajar, suatu kondisi dimana pengajar mempunyai ciri mengajar atau penampilannya dalam proses mengajar, untuk memberikan yang terbaik kepada siswa dalam proses belajar agar lebih dimengerti dan lebih memahami materi pelajaran. 3. Sikap Pengajar, dalam kegiatan belajar mengajar guru (pengajar) menerapkan aturan-aturan yang berhubungan dengan ciri pribadi masing-masing (karakter mengajar) dalam kegiatan belajar.
2.1.2 Teaching Styles Dari sumber members.shaw.ca (2012), yang peneliti ambil dari salah satu situs yang menjelaskan mengenai cara mengajar, ada 4 kategori cara mengajar (teaching style), yaitu: 1. Formal Authority: Pendekatan yang berpusat pada konten, guru merasa bertanggung jawab untuk menyediakan dan mengendalikan jalannya proses belajar mengajar. Guru mengajarkan materi berpusat pada konten dari materi yang ingin disampaikan kepada siswa/i tidak memperdulikan kedekatan dia dengan siswa/i. 2. Demonstrator or Personal model: Pendekatan yang berpusat pada guru di mana guru menunjukkan dan memberikan model apa yang diharapkan oleh siswa/i (keterampilan dan proses) dan kemudian bertindak sebagai pelatih atau panduan untuk membantu siswa dalam menerapkan pengetahuan. 3. Facilitator: Pendekatan yang fokus pada kegiatan, di mana guru memfasilitasi dan fokus pada kegiatan. Tanggung jawab lebih kepada siswa untuk mengambil inisiatif dari berbagai tugas untuk mencapai hasil yang baik. Siswa yang independen, aktif, kolaboratif berkembang dalam lingkungan ini. Guru biasanya merancang kegiatan kelompok yang memerlukan pembelajaran. 4. Delegator: Sebuah pendekatan yang berpusat pada siswa dimana guru mendelegasikan tugas dan memberikan tanggung jawab untuk belajar pada individu atau kelompok. Guru akan sering mengharuskan siswa/i untuk merancang dan melaksanakan sebuah proyek pembelajaran yang kompleks dan guru hanya sebagai tempat konsultasi saja. Siswa sering diminta untuk bekerja
secara mandiri atau dalam kelompok dan harus mampu bekerja secara efektif dalam berbagai situasi di dalam kelompok. 2.1.3 Persepsi Persepsi didalam ilmu psikologi merupakan interpretasi yang mengacu pada hal-hal yang kita dapatkan dari panca indera, misalnya saja membaca buku, mencium bau masakan, mendengarkan musik hal yang kita alami ini adalah lebih dari sekedar stimulasi sensorik. Kejadian yang kita alami tersebut diproses sesuai dengan pengetahuan kita tentang dunia, sesuai budaya, pengharapan. Ada beberapa pendapat menurut para ahli mengenai pengertian persepsi, diantaranya Solso,R.L., Maclin,O.H dan Maclin,M.K (2008) bahwa persepsi adalah proses identifikasi yang melibatkan kognisi tingkat tinggi dalam penginterpretasian terhadap informasi sensorik. Sejalan dengan hal tersebut Irwanto (1990), mengungkapkan bahwa persepsi adalah suatu proses pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indra. Menurut Bimo Walgito (2002), persepsi adalah pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas integrated dalam diri individu. Menurut Ruch (1967), persepsi adalah suatu proses tentang petunjukpetunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Berdasarkan pendapat beberapa para ahli yang peneliti jelaskan diatas, maka peneliti dapat menarik kesimpulan yaitu di dalam persepsi dibutuhkan adanya
objek atau stimulus yang dapat di terima/ditangkap oleh panca indera kemudian di lanjutkan ke otak dan mengalami suatu proses identifikasi dari apa yang dilihat melalui panca indera dan terjadilah persepsi. Disamping itu juga persepsi merupakan pengorganisasian dari kejadian yang dialami individu di masa lampau dan dapat memberikan penilaian dalam situasi tertentu. Menurut Krech dan Crutchfield dalam Sarwono (1998), faktor-faktor yang berpengaruh pada persepsi memiliki dua golongan variabel, yaitu: variabel struktural, yaitu: faktor-faktor yang terkandung dalam rangsang fisik dan proses neurofisiologik dan variabel fungsional, yaitu: faktor-faktor yang terdapat dalam diri si pengamat seperti kebutuhan (needs), suasana hati (moods), pengalaman masa lampau dan sifat-sifat individual lainnya. Perilaku membutuhkan bukti-bukti yang dapat diamati untuk mengidentifikasikan aktivitas seseorang. Orang mengandalkan perilaku nonverbal untuk menguatkan penilaiannya, namun sering kali hasilnya kurang akurat. Karena terlalu banyak perhatian yang ditujukan pada kata-kata, ekspresi wajah, isyarat bahasa tubuh dan perubahan intonasi. Didalam konteks ini peneliti lebih mengkhususkannya yaitu persepsi siswa tentang cara mengajar guru, yaitu dimana siswa melihat melalui panca inderanya bagaimana cara mengajar guru di dalam kelas dan memberikan penilaian terhadap gurunya bagaimana cara mengajar yang telah diberikan dan apakah berhubungan terhadap self-efficacy mereka.
2.2 Self Efficacy Menurut Albert Bandura self-efficacy adalah belief atau keyakinan seseorang bahwa seseorang dapat menguasai situasi dan menghasilkan hasil (outcomes) yang positif (Santrock, 2007). Siswa dengan self-efficacy yang rendah mungkin menghindari pelajaran yang banyak tugasnya, khususnya untuk tugastugas yang menantang, sedangkan siswa dengan self-efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar untuk mengerjakan tugas-tugasnya (Bandura dalam Santrock, 2007). 2.2.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Efficacy Menurut Bandura (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya self- efficacy, yaitu: 1. Pengalaman Keberhasilan (mastery experiences) Keberhasilan yang sering didapatkan seseorang akan meningkatkan self efficacy yang dimilikinya, sedangkan kegagalan akan menurunkan self efficacynya. Apabila keberhasilan yang didapat seseorang lebih banyak karena faktorfaktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self-efficacy. Namun, bila keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang cukup besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan self efficacy-nya. 2. Pengalaman Orang Lain (vicarious experiences) Pengalaman orang lain yang berhasil memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self-efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Self-efficacy tersebut didapat melalui social models. Pengaruh dari role-model seseorang terhadap self-efficacy
dirinya sangat kuat tergantung dari bagaimana dirinya merasa mirip dengan rolemodel yang ditirunya. Semakin besar pengaruh keberhasilan yang dia dapatkan dari role-model tersebut maka semakin yakinlah dirinya. Jika seseorang melihat role-model berbeda dari dirinya, maka keyakinannya tidak akan banyak dipengaruhi oleh role-modelnya. 3. Persuasi Sosial (social persuation) Bentuk nyata persuasi sosial yaitu, informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal, yang memberikan semangat, pujian oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas. Persuasi sosial bisa dalam bentuk social support yang dianggap sebagai peredam stress yang utama (Bandura, 1997). 4. Keadaan fisiologis dan emosional (physiological and emotional states) Suasana hati sangat berpengaruh terhadap penilaian seseorang akan selfefficacy yang dimilikinya. Bila suasana hati sedang baik dapat meningkatkan selfefficacy, sementara suasana hati yang sedih akan membuat self-efficacy menurun. Pada umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan lainnya. Self-efficacy yang tinggi biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan kecemasan sebaliknya self-efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula. 2.2.2 Pengukuran Self-Efficacy Menurut Bandura (1997), pengukuran self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu:
1. Level Suatu tingkat ketika seseorang meyakini usaha atau tindakan yang dapat ia lakukan. Tingkat kesulitan tugas yang dikerjakan oleh individu dan dinilai tergantung dari persepsi dari individu itu sendiri mengenai tugas yang diberikan. Jadi, masing-masing individu memiliki persepsi yang berbeda-beda menentukan derajat kesulitan suatu tugas, tergantung dari penilaian yang dilakukan oleh individu tersebut. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan digunakan berdasarkan tingkat kesulitannya. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia persepsikan dapat ia lakukan dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan sulit untuk dilakukan. 2. Strength Suatu kepercayaan diri yang ada dalam diri seseorang yang dapat ia wujudkan dalam melakukan tugas tertentu. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya maka ia akan dapat melewati segala tugas yang diberikan dan akan semakin menyenangi tugas yang penuh dengan tantangan dan akan terus berusaha mengerjakannya. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap kemampuan dirinya, maka individu tersebut cenderung untuk menghindari tugas yang penuh tantangan dan mencari tugas yang tidak menantang. 3. Generality Sejauh mana individu yakin dengan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas yang diberikan, mulai dari aktivitas yang biasa dilakukan sampai aktivitas yang belum pernah dilakukan dalam serangkaian tugas atau situasi sulit yang bervariasi. Bagaimana individu merasa yakin akan kemampuan yang dia miliki
dalam menjalankan tugas yang berbeda baik secara tingkah laku, kognitif dan afektifnya. 2.3 Pemerolehan Bahasa Kedua Second Language Acquisition adalah kajian tentang bagaimana pembelajar mempelajari sebuah bahasa lain setelah dia memperoleh bahasa ibunya (Arifuddin, 2010). Second Language Acquisition (SLA) bukan merupakan fenomena seragam dan dapat diramalkan. Mempelajari bahasa kedua (bahasa Inggris) dilatar belakangi dari berbagai hal seperti tuntutan dalam pekerjaan, semakin umumnya penggunaan bahasa Inggris di sekolah-sekolah, dan sebagainya. Proses dan pemerolehan bahasa kedua tersebut dipengaruhi dari pembelajaran formal maupun dari lingkungan. Pemerolehan bahasa kedua adalah istilah yang bisa berlaku untuk kedua situasi pemerolehan/pembelajaran bahasa, yaitu memperoleh secara alamiah atau melibatkan seseorang sebagai pengajar dan pemerolehan secara formal dikelas (Arifuddin, 2010, p. 117). Kemampuan untuk menguasai bahasa kedua (bahasa Inggris) ditentukan oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut menyangkut faktor internal (dalam diri individu) dan faktor eksternal. Faktor internal seperti usia, bakat, aspek kognisi, motivasi, kepribadian, dan faktor eksternal, seperti situasi bahasa, strategi belajar, dan sebagainya, memperngaruhi perkembangan pemerolehan bahasa (Arifuddin, 2010).
2.3.1 Peran Lingkungan dalam Pemerolehan Bahasa Kedua Pemerolehan bahasa kedua, dalam hal ini bahasa inggris, menurut Ellis (dalam Suroso, 2011), terjadi dalam dua setting yang berbeda, yaitu secara naturalistik (naturalistic SLA) dan dalam lingkungan kelas (classroom SLA). Pemerolehan secara naturalistik adalah pemerolehan yang terjadi secara alamiah/ informal atau tanpa disadari sebagaimana terjadi dalam pemerolehan bahasa pertama. Yang tergolong lingkungan informal adalah bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan teman sebaya, orang tua, sedangkan pemerolehan dalam lingkungan kelas berlangsung secara formal di dalam ruang kelas dan keformalannya ditandai dengan adanya pengajar, pembelajar, kurikulum, silabus, materi dan tujuan serta evaluasi. Belajar bahasa kedua (bahasa Inggris) di sekolah akan membantu para siswa/i untuk mendapat pengetahuan mengenai cara berkomunikasi yang baik dan dapat mengasah kemampuan dalam structure, grammar maupun vocabullary (Darminah, 2004). Disamping lingkungan formal yang diterima pada saat di sekolah, lingkungan informal berpengaruh juga dalam pemerolehan bahasa Inggris yang siswa/i gunakan pada saat sedang bercakap-cakap dengan teman sebaya (Brown, 2007). Pada tahap pemerolehan bahasa kedua atau bahasa Inggris ini, bahasa yang digunakan oleh teman sebaya ataupun orang-orang yang berada disekitarnya memiliki peranan yang cukup penting dalam peningkatan kemampuan siswa/i.
2.4 Kerangka Berfikir Guru Siswa Cara Mengajar Struktural dan Fungsional Self-efficacy dalam pemerolehan Efektif Tinggi Tidak Efektif Sedang Rendah Sumber: Diolah Oleh Peneliti Gambar 2.1 Proses Pemerolehan Bahasa Inggris