BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. lagi dan diubah menjadi PMS (penyakit menular seksual) karena seiring dengan

1. Pendahuluan FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN GONORE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS IBRAHIM ADJIE KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih merupakan masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. resiko penularan HIV melalui hubungan seksual (The United Nations High

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

Faktor-faktor resiko yang Mempengaruhi Penyakit Menular Seksual

BAB I PENDAHULUAN. uterus. Pada organ reproduksi wanita, kelenjar serviks bertugas sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi sexual transmitted disease. (STD) atau penyakit menular seksual (Fahmi dkk, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. seksual disebut infeksi menular seksual (IMS). Menurut World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. melalui hubungan seksual. PMS diantaranya Gonorrhea, Syphilis, Kondiloma

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

2015 GAMBARAN PENGETAHUAN SISWA SISWI KELAS XI TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL DI SMA NEGERI 24 BANDUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju (industri) maupun di

BAB I PENDAHULUAN. tinggal dalam darah atau cairan tubuh, bisa merupakan virus, mikoplasma, bakteri,

BAB I PENDAHULUAN. karena hubungan seksual (Manuaba,2010 : 553). Infeksi menular

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan bahwa homoseksual bukan penyakit/gangguan kejiwaan.di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. masuk dan berkembang biak di dalam tubuh yang ditularkan melalui free

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat umum dan penting, sedangkan infeksi bakteri lebih sering

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan insidens dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS) di seluruh dunia,

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pola penyakit yang masih banyak diderita oleh masyarakat adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB I PENDAHULUAN. akan mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I Pendahuluan. Penyakit gonore adalah penyakit infeksi menular. yang disebabkan oleh infeksi bakteri

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. HIV dan AIDS merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui

BAB 1 PENDAHULUAN. Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom. penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB I PENDAHULUAN. dan kreatif sesuai dengan tahap perkembangannya. (Depkes, 2010)

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

BAB 1 PENDAHULUAN. 1987). Penyakit Menular Seksual (PMS) dewasa ini kasuanya semakin banyak

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, makin banyak pula ditemukan penyakit-penyakit baru sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. Jumlah keseluruhan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau orang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di negara berkembang, dimana penyakit IMS membuat

BAB I PENDAHULUAN. gangguan pada saluran reproduksi (Romauli&Vindari, 2012). Beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. serta proses-prosesnya, termasuk dalam hal ini adalah hak pria dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi menurut World Health Organization (WHO) adalah

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN UKDW. tubuh manusia dan akan menyerang sel-sel yang bekerja sebagai sistem kekebalan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang besar. Penduduk

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

BAB I PENDAHULUAN. diselesaikan. Pada akhir abad ke-20 dunia dihadapkan dengan permasalahan

PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. PMS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat penting dan mahal harganya.

TINJAUAN PUSTAKA BAB II 2.1. HIV/AIDS Pengertian HIV/AIDS. Menurut Departemen Kesehatan (2014), HIV atau

BAB I PENDAHULUAN. (HIV/AIDS) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. World Health

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjalankan kebijakan dan program pembangunan kesehatan perlu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seks bebas atau dalam bahasa populernya disebut extra-marital intercouse

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial

BAB I PENDAHULUAN. Sebaliknya dengan yang negatif remaja dengan mudah terbawa ke hal yang

Dr Siti Nadia M Epid Kasubdit P2 AIDS dan PMS Kementerian Kesehatan RI. Forum Nasional Jaringan Kebijakan Kesehatan

Kebijakan Program PMTS Paripurna KPA Nasional Dibawakan pada Lecture Series: Overview PMTS Kampus Atmajaya Jakarta, 7 November 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Menular Seksual (PMS) disebut juga veneral (dari kata venus yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial secara utuh yang tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan,

Informasi Epidemiologi Upaya Penanggulangan HIV-AIDS Dalam Sistem Kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan gejala (asimtomatik) terutama pada wanita, sehingga. mempersulit pemberantasan dan pengendalian penyakit ini 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

Pelibatan Komunitas GWL dalam Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HIV bagi GWL

BAB I PENDAHULUAN. ditularkan melalui hubungan kelamin. Dahulu kelompok penyakit ini dikenal

PENELITIAN HUBUNGAN PENGETAHUAN WANITA PEKERJA SEKSUAL DENGAN KEJADIAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL. Anggia Suci W *, Tori Rihiantoro **, Titi Astuti **

BAB I PENDAHULUAN. yang diakibatkan oleh HIV (Human Immunodeficiency Virus). Jalur transmisi

Universitas Sumatera Utara

3740 kasus AIDS. Dari jumlah kasus ini proporsi terbesar yaitu 40% kasus dialami oleh golongan usia muda yaitu tahun (Depkes RI 2006).

BAB I PENDAHULUAN. macam pekerjaan rumah tangga. Sedangkan HIV (Human Immuno Virus)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. individu mulai berkembang dan pertama kali menunjukkan tanda-tanda seksual

BAB 1 PENDAHULUAN. sistem kekebalan tubuh yang terjadi karena seseorang terinfeksi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan mengaktualisasikan dirinya. Kesehatan juga berarti keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Karena begitu bernilainya kesehatan, seseorang rela membayar mahal untuk terhindar dari berbagai penyakit. Sistem reproduksimerupakan salah satu sistemyang harus dijaga kesehatannya. Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan reproduksi adalah kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan, dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Sedangkan menurut Depkes RI, kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat, secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kedudukan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi, dan pemikiran kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit, melainkan juga bagaimana seseorang dapat memiliki seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah (Nugroho, 2010). Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat baik ditinjau dari segi kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi. Infeksi Menular Seksual (IMS) adalah infeksi yang penularannya terutama melalui hubungan seksual yang mencakup infeksi yang disertai gejala-gejala klinis maupun asimptomatis (Daili, 2009).

2 Saat ini ada banyak jenis-jenis IMS dan yang sering terjadi di Indonesia yaitu sifilis, gonore, suspek go, sevisitis, urethritis non-go, trikomoniasis, ulkus mole, herpes genital, dan kandidiasis (Kemenkes RI, 2011). IMS yang terjadi pada saluran reproduksi menjadi penyebab utama penyakit dan kematian pada maternal dan perinatal. Komplikasi penyakit ini adalah terjadinya kehamilan ektopik, penyakit radang panggul, kelahiran prematur, keguguran, lahir mati, infeksi bawaan, cacat kronis (kemandulan dan kanker alat kelamin), menurunkan kemampuan reproduksi perempuan dan meningkatkan risiko penularan HIV (Depkes RI, 2006; Prabawati, 2012) Berdasarkan data yang dikeluarkan WHO tahun 2005, sebanyak 457 juta orang diseluruh dunia terkena infeksi menular seksual (IMS). Kasus penderita IMS sebagian besar berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara yaitu sebanyak 151 juta, diikuti Afrika sekitar 70 juta, dan yang terendah adalah Australia dan Selandia Baru sebanyak 1 juta (Suwandani, 2014). Di United States, dari Sexually Transmitted Disease Surveillance (2007), terdapat 23 kasus chancroid, 40.920 kasus sifilis, 355.991 kasus gonorrhea, 1.108.374 kasus klamidia dan di setiap tahun jumlah kasus penyakit IMS selalu meningkat. Menurut Survey Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kemenkes yang bertujuan untuk menentukan kecenderungan prevalensi Gonore, Klamidia, Sifilis dan HIV, diantara populasi paling beresiko di beberapa kota di Indonesia. Pada tahun 2011 prevalensi HIV tertinggi terdapat di kelompok penasun(36%), prevalensi sifilis tertinggi pada kelompok waria (25%) dan prevalensi gonore

3 danklamidia pada WPS adalah 56% (WPS langsung) dan 49% (WPS tidak langsung) (Najmah, 2016). Prevalensi kasus penyakit menular seksual di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013 terhitung sebanyak 10.479 kasus, jumlah tersebut mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2012 yang tercatat sebanyak 8.671 kasus. Jumlah penderita yang sempat terdata hanya sebagian kecil dari jumlah penderita sesungguhnya (Muallim, 2013). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, untuk kejadian Infeksi Menular Seksual (IMS) pada pasien IMS yang ditemukan tahun 2015 sebanyak 1.580 pasien, dan ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2012 sebanyak 1.256 pasien IMS yang ditemukan dan juga pada tahun 2011 sebanyak 1.226 pasien. Hal ini menunjukkan jumlah kasus infeksi menular seksual dari tahun ke tahun semakin meningkat. Di Banyumas sendiri terdapat beberapa klinik yang melayani pemeriksaan IMS, yaitu Puskesmas I Baturaden, Puskesmas II Baturaden, dan Puskesmas Purwokerto Selatan. Prevalensi IMS di klinik IMS Puskesmas II Baturaden berdasarkan laporan bulanan mulai dari tanggal 26 Desember 2015 sampai 25 September 2016, tercatat jumlah pengunjung layanan IMS sebanyak 479 orang, dan yang tertinggi pada kelompok WPS (Wanita Pekerja Seks) (40,7%), pada waria (3%), LSL (Lelaki Sama Lelaki)(24%), pasangan risti (5,7%), dan lain-lain (26,6%). Selain itu, tercatat juga dari 200 jumlah pasien IMS yang diobati, sebanyak 149 (74,5%) pasien adalah WPS. Dan dari 99 jumlah pasien IMS yang baru ditemukan, yang tertinggi merupakan kelompok WPS yaitu sebanyak 59 (59,6%) pasien. Dari data

4 tersebut, dapat dilihat bahwa pada klinik IMS Puskesmas II Baturaden ini, penyebaran penyakit infeksi menular seksual yang paling tinggi terjadi pada kelompok WPS. WPS atau wanita pekerja seks merupakan salah satu faktor resiko tinggi pada penularan penyakit IMS. Dikarenakan kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksual dengan pasangan yang tidak tetap, sehingga meningkatkan resiko penularan penyakit tersebut. Klinik IMS Puskesmas II Baturaden memiliki letak yang strategis dengan pusat prostitusi, jaraknya dekat dengan tempat wisata sehingga disana banyak djumpai pekerja seks komersial (PSK) yang sangat rentan dengan penyakit menular seksual (Reviliana, 2012). Pada dasarnya WPS dapat tidak tertular baik dari seorang laki-laki asing maupun pribumi dan tidak menularkan IMS dan juga HIV, asalkan WPS tersebut melakukan seks yang aman, salah satu pencegahannya yaitu pada saat berhubungan seksual selalu memakai kondom dengan cara yang benar dan tepat (Widodo, 2009). Menurut penelitian Muda (2014) hasil penelitian berdasarkan karakteristik tindakan pemakaian kondom didapatkan bahwa sebagian besar dari penderita IMS dengan kategori tindakan pemakaian kondom yang kurang yakni sebanyak 32 orang (94,1%), sedangkan penderita IMS dengan kategori tindakan pemakaian kondom baik sebanyak 2 orang (5,9%). Faktor-faktor yang terkait dengan kejadian infeksi menular seksual diantaranya adalah penyebab penyakit (agent), host (umur, jenis kelamin, pilihan dalam hubungan seksual, lama bekerja sebagai pekerja seks komersial, status

5 perkawinan dan pemakaian kondom) dan faktor lingkungan (faktor demografi, sosial ekonomi, kebudayaan dan medik). Pekerjaan seseorang berkaitan erat dengan kemungkinan terjadinya IMS, terutama pada WPS yang merupakan kelompok dengan resiko tinggi. Berdasarkan hasil penelitian Aridawarni (2014) dengan menggunakan analisis bivariabel diperoleh bahwa lama bekerja memiliki hubungan yang bermakna dengan infeksi menular seksual yang dapat dilihat dari nilai RR 1.97 yang berarti lama bekerja menjadi WPS lebih dari 4 tahun mempunyai peluang 2 kali lebih besar untuk mengalami IMS dibandingkan dengan yang tidak mengalami IMS. Handayani (2015) di Lokalisasi Djoko Tingkir Sragen menunjukkan WPS yang sudah menjadi WPS > 1 tahun sebagian besar mengalami kejadian IMS sejumlah 44 orang (97,8%), sedangkan WPS yang baru menjadi WPS < 1 tahun sebagian besar tidak mengalami kejadian IMS yaitu sejumlah 7 orang. Resiko penularan dapat meningkat seiring dengan lamanya menjadi WPS (Afriana, 2012). Menurut Kusnsan (2013) pada penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa frekuensi hubungan seksual dan umur responden merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian IMS pada WPS di kota Kendari. Dari hasil penelitian dikatakan responden yang menerima pelanggan >3 oranglebih beresiko dibandingkan dengan responden yang menerima pelanggan < 1 orang, sedangkan responden yang usianya < 29 tahun, akan lebih banyak menderita IMS dibanding dengan responden yang berusia > 29 tahun.di Amerika, sebagian dari kasus IMS terjadi antara usia 15-24 tahun (Staras, et al, 2016). Beberapa studi memperlihatkan bahwa usia yang lebih muda akan mudah mendapat pelanggan

6 dalam melakukan seks komersial ini dan akan beresiko tertular IMS dan HIV/AIDS yang berarti kelompok muda memiliki prevalensi tertinggi IMS dibanding kelompok tua baik laki-laki maupun perempuan pada kelompok umur 15-30 tahun (Aridawarni, 2014). Pada penelitian Budiman (2015) orang yang memiliki jumlah partner seksual >1 orang beresiko terkena IMS-gonore sebesar 4,23 kali dibandingkan dengan orang yang hanya memiliki 1 partner seksual. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prabawati (2012), WPS yang melakukan vaginal douching secara rutin memiliki odd lebih besar sebanyak 4,4 kali untuk mengalami kejadian IMS daripada PSP yang tidak menggunakan sabun cuci vagina. Dikarenakan tindakan tersebut dapat menimbulkan efek kering pada vagina karena kehilangan cairan vagina sehingga permukaan vagina menjadi kering, mudah lecet apabila ada gesekan, dan memudahkan terinfeksinya IMS. Selain itu, demografi (daerah asal) seseorang yang berasal dari luar daerah cenderung untuk berusaha mendapatkan penghasilan yang banyak dengan caramendapatkan pelanggan yang sebanyakbanyaknya sehingga mereka cenderung untuk berpindah-pindah, hal ini sangat berpotensi untuk mempercepat penyebaran IMS dan HIV&AIDS (Widodo, 2009). B. Perumusan Masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang,terutama pada WPS yang merupakan salah satu kelompok yang memiliki resiko tinggi untuk tertular dan menularkan penyakit IMS. Meskipun

7 demikian, tidak berarti bahwa semuanya melalui hubungan kelamin, tetapi beberapa ada yang dapat juga ditularkan melalui kontak langsung dengan alat-alat, seperti handuk, thermometer dan dapat ditularkan kepada bayi dalam kandungannya (Daili, 2010). Penyebab penyakit (agent), host (umur, jenis kelamin, pilihan dalam hubungan seksual, lama bekerja sebagai pekerja seks komersial, status perkawinan dan pemakaian kondom) dan faktor lingkungan (faktor demografi, sosial ekonomi, kebudayaan dan medik) merupakan faktor yang berpengaruh terhadap IMS. Melalui program dari pemerintah, sekarang terdapat kegiatan pengiriman WPS dari lokalisasi ke klinik IMS Puskesmas II Baturaden dan IMS mobile (kegiatan penyuluhan dari perawat klinik IMS Puskesmas II Baturaden dengan mendatangi lokalisasi yang di laksanakan sesuai jadwal) untuk menjalani pemeriksaan dan pengobatan, namun tidak tertutup bagi kalangan umum yang ingin memeriksakan diri, terutama terkait masalah IMS (Putri, 2009). Puskesmas II Baturaden dipilih oleh peneliti sebagai lokasi penelitian karena berdasarkan data yang didapatkan, puskesmas ini merupakan klinik yang tercatat memiliki prevalensi tinggi untuk kejadian IMS khususnya pada WPS, hal ini dikarenakan terdapatnya lokalisasi untuk para WPS. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Faktor-faktor resiko apa sajakah yang mempengaruhi IMS pada WPS di wilayah puskesmas II Baturaden

8 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor resiko IMS pada WPS di wilayah Puskesmas II Baturaden. 2. Tujuan khusus a. Untuk mengetahui hubungan lama bekerja menjadi WPS dengan kejadian IMS di wilayah Puskesmas II Baturaden b. Untuk mengetahui hubungan jumlah pasangan WPS dalam 1 minggu terakhir dengan kejadian IMS di wilayah Puskesmas II Baturaden c. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan cuci vagina WPS dengan kejadian IMSdi wilayah Puskesmas II Baturaden d. Untuk mengetahui hubungan demografi WPS dengan kejadian IMS di wilayah Puskesmas II Baturaden e. Untuk mengetahui hubungan usia aktif secara seksual dengan kejadian IMS di wilayah Puskesmas II Baturaden f. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian IMS di wilayah Puskesmas II Baturaden

9 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan serta praktek dalam menerapkan ilmu kesehatan terutama terkait faktor-faktor resiko IMS sehingga dapat melakukan pencegahan pada penyakit tersebut. 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sarana informasi bagi mahasiswa tentang pentingnya menjaga kesehatan, kebersihan diri terutama pada alat reproduksi sebagai upaya pencegahan penyakit IMS di wilayah Puskesmas II Baturaden. b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi pihak-pihak yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut. 3. Manfaat bagi institusi pendidikan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan atau masukan untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor resiko IMS di wilayah Puskesmas II Baturaden. 4. Manfaat bagi peneliti Penelitian ini sebagai sarana dalam mengembangkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang didapat selama pendidikan dengan kenyataan yang ada dilapangan serta untuk menambah wawasan dalam pembuatan skripsi.

10 E. Penelitian Terkait 1. Penelitian yang dilakukan oleh Widyanarti (2009) dengan judul Determinan Infeksi Menular Seksual pada Wanita Pekerja Seks di Klinik IMS Puskesmas II Baturaden. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Widyanarti (2009) adalah terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan jumlah pasangan dengan IMS pada WPS, dan dari 5 variabel independen (tingkat pendidikan, penggunaan kondom, jumlah pasangan, usia aktif secara seksual dan monogami serial), tidak ada variabel yang paling dominan berhubungan dengan IMS pada WPS. Perbedaan penelitian yang akan di lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah desain penelitian. Pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan desain Case control (kasus kontrol), serta penambahan variabel yaitu demografi, cuci vagina dan lama bekerja. 2. Penelitian yang terkait dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Prabawati (2012) dengan judul Faktor Determinan Keluhan Infeksi Menular Seksual Pada Pekerja Seks Perempuan Di Kecamatan Tabanan Tahun 2012. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prabawati (2012) adalah penggunaan kondom berpengaruh secara bermakna terhadap riwayat keluhan IMS (OR=9,95% CI=1,34-60,39), dan faktor dukungan sosial juga berpengaruhbermakna (OR=9,95% CI=2,52-32,14). Variabel lain yang juga berpengaruh dalam analisis

11 bivariate adalah sikap negative terhadap pencegahan IMS (p=0,018), akses terhadap kondom (p=0,007), akses ke layanan kesehatan (p=0,016), dan pencucian vagina (p=0,033). Untuk PSP yang melakukan vaginal douching secara rutin memiliki odd lebih besar sebanyak 4,4 kali untuk mengalami kejadian IMS daripada PSP yang tidak menggunakan sabun cuci vagina. Perbedaan penelitian yang akan di lakukan dengan penelitian sebelumnya adalah desain penelitian. Pada penelitian yang akan dilakukan ini menggunakan desain Case control (kasus kontrol), serta penambahan variabel yaitu lama bekerja menjadi WPS, jumlah pasangan, demografi, dan usia aktif secara seksual.