I. PENDAHULUAN. menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL), kemacetan lalu lintas, papan reklame yang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. berjalan ke arah yang lebih baik dengan mengandalkan segala potensi sumber daya yang

I. PENDAHULUAN. Pasar sebagai arena atau suatu tempat pertukaran baik dalam bentuk fisik

I. PENDAHULUAN. dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah. Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disebut PKL adalah istilah untuk

IMPLIKASI METODE KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING BANDAR LAMPUNG

GERAKAN SOSIAL PEDAGANG KAKI LIMA (Studi Tentang Hegemoni pada Pedagang Kaki Lima Di Pasar Bambu Kuning Kota Bandar Lampung)

IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR YAIK SEMARANG (Studi Kasus : Persepsi Pengunjung Dan Pedagang) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. padat. Pemukiman kumuh terjadi disetiap sudut kota. Banyaknya pengamen,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tidak bisa dipungkiri bahwa zaman sekarang mencari pekerjaan untuk

PEDOMAN WAWANCARA PROFESIONALISME APARAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam waktu yang lain bekerja dalam waktu yang singkat. tingginya tuntutan biaya hidup di zaman saat sekarang ini.

I. PENDAHULUAN. lapangan kerja dan menyediakan barang/jasa murah, serta reputasinya sebagai

STRATEGI DINAS PENGELOLAAN PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG DALAM PEMBINAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING TRANSKRIP HASIL WAWANCARA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dimiliki secara langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area

IV. SETTING PENELITIAN. mampu menarik individu-individu untuk ditempatkan di medan magnet serta

BAB I PENDAHULUAN. antar aktor dalam proses negosiasi dan resolusi konflik Pasar Kranggan Yogyakarta. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. berekreasi, membuka lapangan pekerjaan dan berbelanja. Pada mulanya

I. PENDAHULUAN. Pasar adalah tempat yang mempunyai unsur-unsur sosial, ekonomi, kebudayaan,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Lima yang dilakukan oleh aparat pemerintah, seakan-akan para Pedagang

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 12 TAHUN 2007

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. pembeli berinteraksi. Pasar juga menjadi salah satu tempat dimana. menjadi pasar tradisional dan pasar modern.

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 8 C. Tujuan Penelitian... 9 D. Kegunaan Penelitian... 9

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN PASAR DESA

PEMAHAMAN DAN IMPLEMENTASI KETAATAN HUKUM PEDAGANG KAKI LIMA. (Studi Kasus pada PKL di Jalan R. Suprapto. Purwodadi Kabupaten Grobogan)

Executive summary EVALUASI POTENSI TERJADINYA KONFLIK SOSIAL PADA MASYARAKAT MISKIN KOTA

Pranata Pembangunan Pertemuan 14 Penertiban Kaki lima

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 12 TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah. Sehingga kebijakan tidak bersifat satu arah. Kebijakan bisa dibilang

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi tersebut. Kota ini terletak 140 km

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan tertentu pasti mempunyai tujuan yang sudah dirancang sebelumnya.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kota Padang merupakan salah-satu daerah di Sumatera Barat dengan roda ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. Apalagi untuk kehidupan di kota-kota besar, seperti: Jakarta, Bandung, Semarang,

BAB I PENDAHULUAN. penduduknya rapat, rumah-rumahnya berkelompok dan mata pencaharian

I. PENDAHULUAN. pemerintah dalam era otonomi daerah seperti saat ini. Hal tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan tidak lain merupakan suatu proses perubahan yang

BAB I PENDAHULUAN. tempat tinggal atau perumahan semakin banyak. 2. penduduk akan menuntut penambahan lahan pemukiman, jaringan jalan,

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya negara kita adalah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. terjadi proses tawar-menawar. Pada pasar tradisional terdapat kios-kios atau gerai,

RANCANGAN QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BAB V Simpulan dan Saran

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KONSEP SIMBIOSIS MUTUALISTIK SEKTOR FORMAL DAN INFORMAL PERKOTAAN UNTUK PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI SEPANJANG KORIDOR JALAN SAMANHUDI JEMBER

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

METODE PENELITIAN. tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2005: 4).

I.PENDAHULUAN. Pedagang Kaki Lima (PKL) menjadi pilihan yang termudah untuk bertahan hidup.

I. PENDAHULUAN. tujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia yang dibuat oleh

BAB I PENDAHULUAN. Masalah kemiskinan di Indonesia sudah lama sekali terjadi dan belum ada langkah

BAB I PENDAHULUAN. yang secara langsung melakukan transaksi jual beli yang biasanya dengan pola

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 28 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN PASAR DI KOTA TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. barang-barang untuk memenuhi kebutuhan pokok harian, pasar juga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Tata ruang dalam perkotaan lebih kompleks dari tata ruang pedesaan,

BAB I PENDAHULUAN. besar-besaran dari perusahaan-perusahaan swasta nasional. Hal ini berujung pada

WALIKOTA SERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA SERANG NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SERANG,

LEMBARAN DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 3

WALIKOTA PADANG PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. berkembang pesat dan semakin luas di berbagai kota di Indonesia.

KAJIAN KARAKTERISTIK BERLOKASI AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DI KAWASAN PECINAN SEMARANG TUGAS AKHIR

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGATURAN, PENERTIBAN DAN PENGAWASAN PEDAGANG KAKI LIMA

BUPATI BATANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

II PENATAAN TAMAN KOTA DALAM KONTEKS RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA KUPANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. masyarakatnya telah terpenuhi. Salah satu penghambat dari kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. mempersempit ruang gerak di sebuah wilayah. Dimana jumlah pertumbuhan penduduk tidak

BUPATI PURWAKARTA PERATURAN BUPATI PURWAKARTA NOMOR 45 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN KETERTIBAN JALAN, FASILITAS UMUM DAN JALUR HIJAU

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota besar di Indonesia yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. lima jalan Kapten Muslim Kota Medan. Kajian penelitian ini dilatar belakangi

BAB IV PRIORITAS DAN SASARAN PEMBANGUNAN DAERAH

- 1 - WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB I PENDAHULUAN. untuk berpindah atau bergerak tersebut akan semakin intensif. Hal ini tidak dapat

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang,

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

STUDI ARAHAN PENATAAN FISIK AKTIVITAS PKL DI KORIDOR JALAN SUDIRMAN KOTA SALATIGA TUGAS AKHIR

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2007

I. PENDAHULUAN. mempengaruhi tumbuh dan kembangnya pembangunan suatu kota, disamping faktor-faktor lain. Jumlah penduduk yang cenderung hidup di

PASAR TRADISIONAL DENGAN KONSEP MODERN DI KABUPATEN PEMALANG

UCAPAN TERIMA KASIH...

ANALISIS KARAKTERISTIK PARKIR KHUSUS TERHADAP INTENSITAS PARKIR DI KAWASAN SIMPANG LIMA TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. yang besar dan semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan kota-kota besar

I. PENDAHULUAN. guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan pasar modern di Indonesia saat ini menunjukkan angka yang

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 07 TAHUN 2014 TENTANG ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

BAB I. PENDAHULUAN. masyarakat yang bermukim di pedesaan, sehingga mereka termotivasi untuk

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota-kota di Indonesia pada umumnya memiliki persoalan dengan ruang publik, seperti persoalan parkir yang memakan tempat berlebihan ataupun memakan bahu jalan, masalah menjamurnya Pedagang Kaki Lima (PKL), kemacetan lalu lintas, papan reklame yang berserakan, dan penggunaan ruang publik yang kumuh. Persoalan-persoalan tersebut sejak awal Orde Baru hingga sekarang era reformasi, belum terselesaikan dengan baik, bahkan persoalannnya semakin menjadi-jadi. Berbagai kebijakan dan strategi yang diambil oleh para stakeholder dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan kota, khususnya yang menyangkut tata ruang kota, justru menimbulkan permasalahan baru, kurang mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat kota khususnya mereka yang menjadi korban kebijakan tersebut. Contoh kasus dari permasalahan ini misalnya penertiban pedagang kaki lima yang ada di Kota Bandar Lampung (Pasar Bambu Kuning), penertiban ini justru mendapat perlawanan dari para pedagang. Contoh lainnya adalah rencana relokasi pemukiman penduduk di sepanjang wilayah pesisir Kota Bandar Lampung sehubungan dengan adanya kebijakan Water Front City dari Pemerintah Kota Bandar Lampung. Kebijakan tersebut justru kurang mendapat sambutan yang baik dari penduduk yang ada di sepanjang wilayah pesisir Kota Bandar Lampung. Kota Bandar Lampung yang merupakan Ibu Kota Provinsi Lampung adalah salah satu kota terbesar ketiga yang ada di pulau Sumatera setelah Medan dan Palembang. Tetapi sebagaimana kota-kota besar di Indonesia lainnya, Kota Bandar Lampung kerap dihiasi oleh

wajah-wajah hitam khas perkotaan seperti pemukiman kumuh, kemacetan lalu lintas, pengemis dan anak jalanan, serta aksi-aksi penggusuran dan penertiban pedagang kaki lima. Hal yang menarik untuk diamati dan analisis adalah kehadiran pasar-pasar modern seperti mall dan swalayan di Kota Bandar Lampung yang sebenarnya menjadi ancaman bagi keberadaan pasar-pasar tradisional yang ada di Kota Bandar Lampung itu sendiri. Kehadiran pasar-pasar modern oleh sebagian orang memang dianggap sebagai kemajuan dalam bidang perekonomian. Tetapi di sisi lain kehadirannya justru akan membunuh para pedagang sektor informal hal ini dikarenakan mall atau swalayan mempunyai nilai lebih seperti kebersihan, kenyamanan, bahkan jika seseorang belanja ke mall dan swalayan seakan menjadi penanda status social seseorang yang tinggi dalam masyarakat. keadaan sebaliknya jika kita melihat pasar-pasar tradisional yang khususnya secara kebersihan, keindahan, dan kenyamanan memang belum tertata sehingga terkesan menimbulkan kesan jorok dan kampungan. Salah satu sektor informal yang sering dianggap sebagai perusak keindahan kota dan penyebab kemacetan lalu lintas adalah pedagang kaki lima. Ibarat benalu dalam konotasi positif, pedagang kaki lima akan selalu hidup dalam situasi pasar apa pun. Pedagang kaki lima akan selalu tumbuh pada setiap tempat transaksi jual-beli. Jika diibaratkan pedagang kaki lima seperti rumput, bayangkan rumput yang tiba-tiba tumbuh justru di dalam pot bunga walaupun tidak kita tanam sebelumnya. Cobalah cermati sebuah pot berisi bunga di halaman rumah, jika tidak kita urus maka akan tumbuh rumput-rumput yang lainnya. Begitu pula pedagang kaki lima, mereka akan segera tumbuh sepanjang kita menyebut pasar. Jadi pasar dan pedagang kaki lima atau sebaliknya pedagang kaki lima dan pasar tidak bisa kita pisahkan satu sama lainnya. Hanya saja, jelas ada perbedaannya. Jika pedagang kaki lima adalah para pedagang yang bermodal tidak besar yang kemudian kita golongkan sebagai pedagang ilegal karena tak punya toko (kios). Sedangkan pedagang legal adalah pengusaha

yang memiliki kios, counter, atau toko dengan modal melebihi yang dipunyai pedagang kaki lima. Berbeda dengan pedagang kaki lima, pedagang legal dikenai sewa pertahun dan ditarik pajak usahanya. Oleh sebab itu, pedagang legal cenderung "dimanjakan" oleh penguasa dalam hal ini pemerintah. Karena dapat membantu pembangunan. Biasanya pula pedagang legal lebih tertib, bersih, dan dianggap selalu bisa menjaga ketertiban dan kenyamanan. Sementara pedagang kaki lima kebalikannya: ditengarai kerap menciptakan keruwetan, kesemerawutan, kesumpekan, dan kemacetan di sekitaran pasar. Layaknya rumput di dalam pot, pedagang kaki lima harus dicabut hingga ke akarnya. Hak hidup pedagang kaki lima pada akhirnya sama dengan rumput di dalam pot, tidak diperkenankan. Kalau pun memaksakan diri untuk hidup, dengan cara kekerasan pun dilakukan demi ketertiban, keamanan, kenyamanan, dan keindahan kota. Pikiran dan pendapat seperti itulah, boleh jadi, yang memicu Pemerintah kota Bandarlampung untuk memperindah kotanya dengan cara menyapu bersih pedagang kaki lima. Pemerintah kota Bandar Lampung tidak ada cara lain dalam menghadapi persoalan pedagang kaki lima di Pasar Bambu Kuning, melalui Peraturan Daerah No. 8 Tahun 2000 dan ditambah Peraturan Daerah No. 10 Tahun 1999 tentang pedagang kaki lima. Memang sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung No. 8 Tahun 2000 tentang pembinaan umum, ketertiban, keamanan, kebersihan, kesehatan, dan keapikan dalam wilayah Kota Bandar Lampung. Berikut ini pasal yang mengatur tentang ketertiban umum yang menyangkut masalah keberadaan pedagang kaki lima. Perda Nomor 8 tahun 2000 pada bab III tentang larangan mempergunakan fasilitas umum, Pasal 16 ayat 1, 2, dan 3 tertulis jelas:

1. Mempergunakan jalan umum atau trotoar atau pada teras depan bangunan pertokoan atau bangunan yang menghadap pada jalan umum oleh pedagang kaki lima atau usaha lainnya kecuali pada tempat-tempat yang ditentukan atau ditunjuk oleh walikota. 2. Mempergunakan pasar atau bangunan komplek pertokoan yang tidak bertingkat atau lantai 1 (satu) sebagai tempat bermukim. 3. Mempergunakan halaman parkir pada komplek pasar/pertokoan/plaza untuk tempat mirip atau menetap kendaraan atau gerobak dagangan. Peraturan daerah inilah yang kemudian menjadi dasar hukum bagi pemerintah kota Bandar Lampung untuk melakukan penertiban pedagang kaki lima di lingkungan pasar maupun trotoar-trotoar jalan. Konsentrasi pengawasan dan tindakan penertiban oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung yaitu, mengarah pada wilayah Pasar Bambu Kuning, Pasar Baru/Smep, Pasar Gintung, Pasar Tugu, dan Pasar Panjang. Konsentrasi penertiban ditujukan pada wilayah ini karena jumlah pedagang yang banyak dan keberadaannya mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Penertiban yang dilakukan oleh Pemkot Bandar Lampung kerap kali diwarnai kericuhan. Bahkan barang dagangan dan tempat berjualan pedagang kaki lima seperti meja dan gerobak dibawa dan disita oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Walaupun para pedagang kaki lima telah ditertibkan, namun kenyataan menunjukan bahwa setelah mereka ditertibkan pada keesokan harinya mereka masih bisa berjualan. Hal ini menunjukan bahwa para pedagang kaki lima tetap eksis dan survive di tengah ancaman penertiban dari Pemkot Bandar Lampung. Dengan tetap membuka lapak atau tetap berjualan maka secara tidak sadar para pedagang kaki lima telah melakukan perlawanan. Karena

mereka tidak taat dan patuh terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap oleh para pedagang kaki lima bahwa kebijakan tersebut hanya merugikan mereka. Berdasarkan data yang dihimpun peneliti melalui media cetak seperti koran, majalah ataupun tabloid, penertiban pedagang kaki lima yang terbesar terjadi pada tanggal 30 Oktober 2007. Jumlah pedagang kaki lima Pasar Bambu Kuning yang ditertibkan pada akhir Oktober tersebut yaitu 686 pedagang yang dalam setiap harinya memiliki omzet 500 ribu/hari (Lampung post, 18 Oktober 2008) Ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh pedagang kaki lima terjadi akibat adanya peran dominan dan perampasan hak-hak dasar sebagai manusia dari rezim berkuasa. Para penguasa melakukan semua ini melalui sebuah institusi yaitu Negara. Dalam konteks ini, negara yang sedang kita analisis adalah Pemerintah Kota Bandar Lampung. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 ditegaskan bahwa negara berkewajiban memberikan pekerjaan yang layak kepada warga negara. Selain itu, seperti yang tertuang dalam Pancasila sila ke lima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka sudah selayaknya negara dalam hal ini Pemerintah Kota Bandar Lampung memberikan perlindungan, penghidupan yang layak serta menegakan keadilan sosial untuk masyarakatnya khususnya para pedagang kaki lima. Penggusuran dan penertiban yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung selaku penguasa, telah melakukan dan melucuti hak-hak azasi para pedagang kaki lima. Instrument yang mereka gunakan tidak lain adalah kebijakan dan aturan-aturan yang merugikan pedagang kaki lima. Para pedagang kaki lima dianggap sebagai sesuatu yang illegal dan melanggar hukum. Sehingga keberadaanya harus ditertibkan.

Kasus yang membelunggu antara Pemerintah Kota Bandar Lampung selaku penguasa dan mereka yang dikuasai yaitu pedagang kaki lima pada akhirnya melahirkan kelompok kepentingan, khususnya diantara sesama pedagang kaki lima. Individu-individu (dalam hal ini pedagang kaki lima) yang merasa memiliki kepentingan sama, mereka meleburkan diri menjadi satu dalam sebuah wadah organisasi. Tujuannya tidak lain untuk melindungi hak-hak para pedagang kaki lima, serta sebagai perisai atau benteng perlawanan terhadap Pemerintah Kota Bandar Lampung. Dari uraian-uraian di atas, penting untuk kita analisis secara lebih mendalam bahwa tanpa disadari para pedagang kaki lima telah melakukan sebuah gerakan sosial (social movement). Memang gerakan sosial pedagang kaki lima tidak seperti Komunie Paris 1871 yang begitu ekstrim, atau seperti gerakan apartheid di Afrika Selatan, dan tidak pula seperti gerakan reformasi 1998 yang berhasil menggulingkan sang penguasa (Orde Baru). Tetapi gerakan sosial pedagang kaki lima yang tidak hanya berkutat dalam masalah ekonomi, tetapi gerakan sosial pedagang kaki lima ini telah masuk ke dalam ranah kekuasaan. Perlawanan pedagang kaki lima terhadap penertiban dan penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandar Lampung menyiratkan sebuah pesan bahwa pedagang kaki lima pun memiliki kekuatan untuk melawan sang penguasa. Aksi-aksi protes atau demonstrasi, tetap berjualan di tengah ancaman penertiban dan penggusuran, serta para pedagang kaki lima melebur menjadi satu ke dalam sebuah wadah organisasi menjadi tanda bahwa mereka yang dinamakan pedagang kaki lima mempunyai kekuasaan yaitu kekuasaan untuk melakukan perlawanan baik secara terbuka maupun secara laten. Hal-hal tersebut menggambarkan

bahwa para Pedagang Kaki Lima (PKL) telah melakukan gerakan sosial (social movement. Di sinilah penting untuk diteliti mengenai Gerakan Sosial Pedagang Kaki Lima dalam Perspektif Konflik Marxisme. Perspektif konflik Marxisme yang digunakan dalam studi ini dikarenakan studi marxisme lebih menempatkan pengalaman pelaku-pelaku manusia di pusat analisis adalah berkenaan dengan konsep kelas yang hadir dalam masyarakat itu sendiri (Scott, 2000). Sehingga bagi peneliti ada sebuah relevansi jika studi ini dilakukan melalui pendekatan dan analisis konflik marxisme karena apa yang dilakukan oleh pedagang kaki lima merupakan yang peneliti anggap sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap kelas berkuasa yaitu Pemerintah Kota Bandar Lampung. B. Rumusan Masalah Dari uraian-uraian yang telah peneliti paparkan dalam latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gerakan sosial Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Bambu Kuning Kota Bandar Lampung ditinjau dari perspektif konflik marxisme? C. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis gerakan sosial yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima (PKL) di Pasar Bambu Kuning Kota Bandar Lampung yang ditinjau dari perspektif konflik marxisme. 2. Menganalisis power dan powerless di antara negara, local government (Pemerintah Kota Bandar Lampung), dan Pedagang Kaki Lima (PKL). D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini yaitu: 1. Secara Akademis Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan perbendaharaan kajiankajian sosiologis teraktual dan kontemporer. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan dalam mengkaji berbagai permasalahan yang berkaitan dengan gerakan sosial (social movement). 2. Secara Praktis Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan khususnya yang berkaitan dengan masalah Pedagang Kaki Lima (PKL). Selain itu, penelitian ini dirasakan sangat berguna bagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki perhatian terhadap nasib para Pedagang Kaki Lima (PKL).