BAGIAN I FENOMENOLOGI

dokumen-dokumen yang mirip
MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

FILSAFAT SEJARAH BENEDETTO CROCE ( )

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim

BAB V PENUTUP. 1. Filsafat Perennial menurut Smith mengandung kajian yang bersifat, pertama, metafisika yang mengupas tentang wujud (Being/On) yang

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. pemikiran si peneliti karena menentukan penetapan variabel. Berdasarkan Kamus Besar

Sebuah sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan ke dalam Bahasa yang bisa dimengerti manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan

FILSAFAT MANUSIA LANDASAN KOMUNIKASI MANUSIA & BAHASA. Ahmad Sabir, M. Phil. Modul ke: Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi PSIKOLOGI

UKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

EPISTEMOLOGI MODERN DALAM TRADISI BARAT DAN TIMUR

BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS

ETIKA & FILSAFAT KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk

25. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DAN BUDI PEKERTI SD

KE ARAH PEMIKIRAN FILSAFAT

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN A. Pengertian Filsafat dan Filsafat Ketuhanan

Filsafat Ilmu dalam Perspektif Studi Islam Oleh: Maman Suratman

ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK: FILSAFAT, TEORI DAN METODOLOGI

PARADIGMA POSITIVISTIK DALAM PENELITIAN SOSIAL

BAB I. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,2009

A. Dari segi metodologi:

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB IV PANDANGAN WARGA JEMAAT GBI BANDUNGAN TERHADAP PSK BANDUNGAN. A. Pandangan Warga Jemaat GBI Bandungan Terhadap PSK Bandungan

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:

KAJIAN ILMIAH TERHADAP PANCASILA

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. manusia dan media. Baudrillard banyak mengkaji tentang fenomena media,

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

BAB I PENDAHULUAN. metafisika pada puncaknya. Kemudian pada pasca-pencerahan (sekitar abad ke-

UKDW BAB I PENDAHULUAN

MENYANGKAL TUHAN KARENA KEJAHATAN DAN PENDERITAAN? Ikhtiar-Filsafati Menjawab Masalah Teodise M. Subhi-Ibrahim

Filsafat Islam قولية كونية. Wahyu. Para Rasul. Alam. Akal Manusia. Problem Filsafat Islam tentang tuhan: Bentuk Aktifitas Manusia. Aktivitas Kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman

Filsafat Manusia. Sosialitas Manusia. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 03Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai apakah makna

Diterjemahkan oleh K.J. Veeger, (Jakarta: Gramedia, 1998), hlm Zainal, Abidin, Filsafat Manusia, (Jakarta: Rosda Karya, 2003), hlm.

BAB I PENDAHULUAN. Melihat dan mengalami fenomena kehidupan konkrit manusia di jaman

Imaji Vol. 4 - No. 2/ Februari 2009 RESENSI BUKU

Sek Se i k las tentang te filsafat Hendri Koeswara

Rahasia Alkitab. "Dapatkah engkau menemukan Allah"

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. teks yang isinya berbagai jenis, baik berupa ide, gagasan, pemikiran suatu tokoh

UKDW BAB I PENDAHULUAN

Filsafat Manusia. Manusia Sebagai Persona. Cathrin, M.Phil. Modul ke: 05Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

Tinjauan Ilmu Penyuluhan dalam Perspektif Filsafat Ilmu

FILSAFAT PENGANTAR TERMINOLOGI

Bab I Pendahuluan. Dorongan beragama bagi manusia merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari.

Kesalahan Umum Penulisan Disertasi. (Sebuah Pengalaman Empirik)

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman pengarang. Karya sastra hadir bukan semata-mata sebagai sarana

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada

Pertemuan 1 NISBAH (RELASI DAN RELEVANSI) ANTARA ILMU FILSAFAT DAN AGAMA

otaknya pasti berbeda bila dibandingkan dengan otak orang dewasa. Tetapi esensi otak manusia tetap ada pada otak bayi itu, sehingga tidak pernah ada

Menurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah

RESPONS - DESEMBER 2009

BAB IV IMPLEMENTASI KONSEP MANUSIA MENURUT PANDANGAN PLATO DENGAN AJARAN ISLAM

DUA MACAM PANDANGAN KEINDAHAN DALAM KARYA SENI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Clarry Sadadalam

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

Bentuk dasar pengetahuan ada dua: 1. Bentuk pengetahuan mengetahui demi mengetahui saja, dan untuk menikmati pengetahuan itu demi memuaskan hati

BAB I PENDAHULUAN. Sastra adalah seni yang tercipta dari tangan-tangan kreatif, yang merupakan

BAB V KESIMPULAN. serba terbatas, dengan konsep pemisahan ruang antara napi laki-laki dengan napi

BAB I PENDAHULUAN. Allah menciptakan manusia sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki

BAB VI PENUTUP. mempunyai objek kajian sebagaimana dijelaskan Wolff dibagi menjadi 3

BAB I PENDAHULUAN. Melalui perjalanan panjang sejarah, seni sebagai bidang khusus dalam pemahamannya telah mengalami banyak perubahan.

FILSAFAT????? Irnin Agustina D.A, M.Pd

Mata Kuliah Persepsi Bentuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Manusia terlahir dibumi telah memiliki penyesuaian terhadap lingkungan

BAB II KAJIAN TEORI. dikenal sebagai seorang raja Kediri yang hebat, tetapi juga dikenal dengan

TEORISASI DAN STRATEGI PENDIDIKAN ISLAM Oleh : Fahrudin

BAB I PENDAHULUAN. manusia tidak cukup dengan tumbuh dan berkembang akan tetapi. dilakukan dengan proses pendidikan. Manusia sebagai makhluk sosial

SEMIOTIKA ISLAM Oleh Nurcholish Madjid

FILSAFAT ILMU DAN METODE FILSAFAT. H. SyahrialSyarbaini, MA. Modul ke: 04Fakultas PSIKOLOGI. Program Studi Psikologi

PENDEKATAN ILMIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MADRASAH IBTIDAIYAH (Studi Analisis Desain Strategi Pendidikan Agama Islam)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN BAB Latar Belakang

BAB II URAIAN TEORITIS TENTANG KEPARIWISATAAN KEBUDAYAAN

The Elements of Philosophy of Science and Its Christian Response (Realism-Anti-Realism Debate) Rudi Zalukhu, M.Th

BAB II LANDASAN TEORI. masyarakat itu sendiri. Akan tetapi, masyarakat itu sangatlah kompleks. Untuk menjadikan

إحياء العربية : السنة الثالثة العدد 1 يناير -

CONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologis psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche dan logos.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat. Sebagai makhluk yang

BAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan

: Kemungkinan Studi Agama Secara Filsafati

KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2

Transkripsi:

BAGIAN I FENOMENOLOGI 1.1. Pengantar Fenomenologi secara umum adalah studi tentang kenyataan sebagaimana tampaknya dalam kesadaran manusia. Secara etimologis fenomenologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani phainomenon, yang berarti penampilan atau yang tampak, memperlihatkan diri (phainein) dan logos (Yun) yang berarti: kata, ilmu, ucapan, rasio, pertimbangan. Arti luas fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena-fenomena atau apa saja yang tampak. Arti sempit: ilmu tentang fenomena-fenomena yang menampakkan diri kepada kesadaran kita. Fenomenologi sebagai metode ilmu bermula sejak G.W.F Hegel mendeklarasikan karyanya The Phenomenology of Spirit, 1807. 1 Sejak itu banyak 1 Hegel memakai istilah fenomenologi seperti yang diartikan oleh Lambert dan Kant. Ia memperluas cakrawala pengertian fenomenologi sebagai ilmu mengenai pengalaman akan kesadaran, yakni suatu pemaparan yang dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak (absolut). Menurut Hegel, fenomen tidak lain adalah penampakan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomen merupakan manifestasi 1

pemikir menaruh minat serius untuk mempelajari agama. Hanya saja metode studi terhadap agama terlampau metafisik, sehingga persoalan agama lantas menjadi objek kajian filsafat. Tidaklah mengherankan bahwa para pemikir yang merujuk studi agama pada karya Hegel itu lantas tergiring pada metode kerja yang a priori dan metafisik. Mereka mengolah konsepkonsep ketuhanan dan rumusan-rumusan ajaran agama dalam rangka menangkap hakikat agama. Sejak saat itu pula studi atas agama mendapat sambutan kritis, yang bernuansa mencibir dan merendahkan agama, dari kubu ilmu-ilmu positif (positivistik) yang memang sedang naik daun pada masa itu juga. Kaum positivistik, yang meyakini ilmunya adalah cermin dari realitas (mirror of nature) dan dapat diverifikasi kepastiannya, tanpa ragu menendang agama keluar dari arena yang ilmiah. Di hadapan kaum positivistik, agama adalah tanda kesia-siaan manusia (kemalasan manusia) dalam mengoptimalkan potensi berpikir kritisnya dalam menghadapi kenyataan hidup. Karl Marx, yang begitu alergi terhadap agama, memandang agama tidak lebih dari pada warisan budaya manusia yang belum kritis, khayalan dunia yang terasing dari dunianya, sublimasi dari keinginankonkret dan historis perkembangan pikiran manusia. Lih. Lorens Bagus, 1992. Diktat Fenomenologi Agama, hlm. 2. 2

keinginan manusia yang tak akan pernah terwujud dalam kenyataan. 2 Lantas, adakah pembelaan berarti terhadap agama setelah dikritik oleh para pemikir positivistik (ateistik)? Mungkinkah agama itu ilmiah (empirik)? Rupanya kritik kaum positivistik itu tidak berhasil mengakhiri (menyudahi) minat studi atas agama. Kritik atas agama dari kubu ilmuan positivistik itu diimbangi oleh studi agama di bidang ilmu-ilmu lain seperti antropologi, arkeologi, sosiologi, dan filologi. Ilmu-ilmu itu melakukan studi atas agama dengan cara meneliti kehidupan dan tradisi suku-suku primitif dan menemukan dasar-dasar ilmiah dari agama. Penelusuran atas fakta-fakta agama berupa praktik peribadatan, ritus, upacara-upacara yang konkret sehingga tidak semata-mata konseptual, apriori atau metafisik menjadikan agama sungguh realistis. Faktafakta agama itu sungguh real dan tidak sebatas ajaran konseptual. Ia adalah cermin pengalaman langsung orang-orang primitif akan yang Absolut. Dalam konteks kajian ini, fokus pencarian para ilmuan adalah asal-usul agama dengan mengartikan aktivitas keagamaan sebagai tindakan simbolis penuh arti. 3 Dan fenomena agama adalah fenomena sosio-kultural. 2 Bdk. A. Sudiarja, dalam buku Mariasusai Dhavamony, hlm. 5-6. 3 Loc Cit. 3

Walaupun demikian, perkembangan ilmu antropologi belakangan ini menunjukkan gelagat baru bahwa para antropolog cenderung tidak lagi menggunakan metode-metode antropologis untuk menyelidiki masyarakat pra-tulis, tetapi menganalisis kehidupan masyarakat-masyarakat yang modern dan kompleks terutama berkaitan dengan simbolisme dalam agama dan mitos, serta mengembangkan metode baru yang tepat untuk studi agama dan mitos. 4 Dalam konteks perkembangan ilmu-ilmu lain yang mempelajari agama, fenomenologi agama selalu menempatkan diri sebagai mitra kerja ilmu-ilmu lain tanpa harus kehilangan identitas diri (menyamakan dirinya dengan yang lain). Artinya, meskipun fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu lain untuk bahan risetnya, ia tidak seperti ilmu-ilmu lain yang masing-masing merasa memiliki wilayah kebenaran hakiki tersendiri di mana pihak lain harus tunduk dan mengakuinya. Fenomenologi agama mengajarkan mereka (ilmu-ilmu lain yang mempelajari agama) untuk mengekang diri dan saling menghormati batas-batas penelitian. 5 Pentingnya 4 Mariasusai Dhavamony, hlm. 22. 5 Walaupun demikian, Fenomenologi Agama tetap membedakan diri dari disiplin-disiplin ilmu lain yang mempelajari agama. Ia 4

menghormati batas-batas yang dimaksud supaya apa yang menjadi ciri khas (aspek keunikan) dan tekanan masing-masing disiplin ilmu tidak menjadi sirna atau kabur. Maka, sejauh fenomenologi agama menggunakan hasil-hasil ilmu manusia lainnya seperti psikologi religius, sosiologi dan antropologi religius yang selalu berkembang sebagai bahan yang mendukung aktifitas studinya, ia adalah ilmu empiris. 6 Sebagai suatu mazhab dalam filsafat abad ke-20, fenomenologi pun berkembang pesat dan muncul dalam berbagai macam bentuknya, misalnya, fenomenologi transendental (E. Husserl), fenomenologi eksistensial (J.P. Sartre dan M. Merleau Ponty), fenomenologi hermeneutik (M. Heidegger dan P. Ricoeur). 7 Luasnya medan kajian dan beragamnya bentuk-bentuk fenomenologi sejatinya menjadi kekayaan dalam berfilsafat secara fenomenologis. Namun, dalam tulisan ini kami tidak hendak mengulas semua bentuk-bentuk itu secara komprehensif. bahkan berupaya mengajar mereka mengekang diri agar tidak angkuh satu terhadap yang lain. Artinya, masing-masing disiplin ilmu agama penting untuk tetap menjaga batas-batas penelitian supaya unsur hakiki yang menjadi identitas dirinya tidak menjadi kabur. Bdk. Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Dikta Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 15. 6 Ibid., hlm. 43. 7 Fransiskus Borgias M, 1994-1996. Diktat Kapita Selektat Fenomenologi Agama, hlm. 8. 5

Ulasan kami di sini lebih merupakan upaya membuat peta fenomenologi E. Husserl secara sederhana. 1.2. Sekilas Sejarah Fenomenologi Pengalaman akan yang Absolut, baik dalam masyarakat primitif maupun masyarakat modern, di hadapan fenomenologi dipandang sebagai data pengalaman yang menawarkan diri pada subjek di mana subjek dituntut untuk melepaskan diri dari asumsi-asumsi sementara berkaitan dengan data pengalaman tersebut. Sesuai dengan prinsip yang dicanangkan oleh Edmund Husserl sebagai tokoh besarnya, 8 fenomenologi haruslah kembali kepada data bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri (fenomen) yang harus menampakan dirinya. Husserl sepertinya berupaya memberi penjelasan kepada tradisi berpikir filosofis sebelumnya dan sekaligus memberi tanggapan atas kritik kubu positivistik 8 Dalam khazanah studi fenomenologi, Edmund Husserl seringkali dirujuk sebagai tokoh besarnya. Ia dipandang sebagai orang yang paling berjasa dalam mengembangkan fenomenologi. Walaupun demikian, istilah fenomenologi dalam pengertian filosofis digunakan pertama kali bukan oleh Husserl melainkan oleh Johann Heinrich Lambert (1764). Lambert memasukan ajaran mengenai gejala (fenomenologia) ke dalam masalah kebenaran (aletheologia). Maksudnya ialah, bahwa dalam masalah kebenaran menurut Lambert terdapat sebab-sebab subjektif dan objektif dari ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomena). Lih. Lorens Bagus, Op.Ci, hlm.1. 6

terhadap agama, bahwa pengetahuan hakiki adalah kehadiran data dalam kesadaran murni subjek, dan bukan konstruksi spekulatif daya pikiran dalam membangun konsep-konsep abstrak. Artinya, ia hendak menekankan pentingnya relasi-relasi eksistensial untuk menghadirkan eidos dalam kesadaran murni dan bukan dalam teori-teori. 9 Gagasan Husserl itu jelas merupakan paradigma baru dalam ilmu fenomenologi. Ia menebas tradisi fenomenologi yang sudah dirintis sejak Descartes hingga Hegel, di mana pengetahuan melulu dibangun secara spekulatif di dalam akal budi. Imannuel Kant, dalam suratnya kepada Johann Heinrich Lambert pada tahun 1770, bahkan menegaskan bahwa metafisika perlu didahului dan diperkenalkan oleh sebuah ilmu yang seutuhnya bersifat partikular. Dalam ilmu itu diharapkan agar ditemukan keabsahan dan batasbatas prinsip penginderaan. 10 9 E. Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisa deskriptif-introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung: religius, moral, estetis, konseptual, serta inderawi. Dalam konteks itu, perhatian fenomenolog hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang lebenswelt (dunia kehidupan). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris. Lih. Lorens Bagus, Ibid., hlm. 8. 10 Dalam karyanya Prinsip-Prinsip pertama Metafisika (1786) Kant memakai istilah fenomenologi untuk menjelaskan kaitan antara 7

Dalam konteks fenomenologi Husserl, fakta-fakta dan fenomena-fenomena agama adalah objek kajian bagi kesadaran setelah keduanya membangun relasirelasi timbal balik (subjek mengarahkan diri pada objek dan sebaliknya juga). 11 Dalam relasi itu prinsip epoche tetap berlaku bahwa yang bertindak sebagai subjek tetap menyortir atau memilah-milah lapisan demi lapisan setiap unsur sementara yang tidak hakiki dari objek kesadaran agar hakikatnya (eidos) dapat ditangkap oleh kesadaran murni. Perspektif ini jelas memungkinkan kita berdialog dengan pengalaman dan kesadaran murni (pra-reflektif). Artinya, di sana tersedia ruang luas dimana kita tidak perlu terjebak dalam tuntutan kepada yang hakiki atau yang esensial semata. Dengan demikian, yang harus dilakukan para fenomenolog ketika mereka berhadapan dengan setiap fenomena (kenyataan yang tampak) adalah sebatas membuat deskripsi atas fenomena sebagaimana ia hadir dan dialami dalam kesadaran. konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dari representasi, yakni fenomen indera-indera lahiriah. Ibid., hlm. 1-2. 11 Metode yang dikembangkan Husserl tampak menyajikan cara pandang dan kerangka berpikir (paradigma) refleksif-deskriptif secara timbal-balik (dialogal) dimana relasi-relasi antara subjekobjek, objek-objek, subjek-subjek dimungkinkan berlangsung setaraf. 8

Deskripsi yang dimaksudkan itu dibuat berdasarkan ketulusan dan kesadaran subjek. Maka deskripsi itu sejatinya mencerminkan sisi eksistensial fenomena secara utuh dan unik. Kondisi ini menunjukkan kesetaraan antara fenomena dengan subjek yang menganalisis dan mendeskripsikannya. Dalam relasi yang dialogal itu tidak lagi aspek yang hakiki yang hendak diburu, ditangkap dan ditunjukan subjek dalam dan melalui kesadarannya, melainkan kehadiran masing-masing pihak (subjek dan fenomena) sebagai subjek bebas. Oleh karena itu, fenomenologi Husserl akhirnya tidak lagi berkutat pada perkara mencari yang esensial, tapi justru mendeklarasikan fenomena secara deskriptif dan apa adanya. Ia bertindak sebagai metode studi dan sekaligus disiplin ilmu yang ilmiah karena mendeskripsikan fenomena-fenomena yang menyergap kesadaran subjek. Dalam konteks studi agama, fenomenologi merupakan metode studi yang paling berpengaruh karena berupaya mendeskripsikan fenomena agama sebagaimana fenomena tersebut dialami dalam kesadaran eksistensial. Jadi, fenomena merupakan data pengalaman yang dianalisis dan dideskripsi. Dalam perspektif itu, Husserl akhirnya menyadari bahwa ternyata tidaklah mungkin untuk menangkap 9

apa yang hakiki dari fenomena. Sebab apa yang disebut hakikat fenomena (yang esensial itu) sebetulnya selalu merupakan ia yang hadir dalam dirinya sendiri (thing in its self) secara utuh dan unik. 12 Kesadaran itu kelak menggiring Husserl menjadi anti-esensialisme (anti eidos). Husserl kemudian berpendirian teguh bahwa yang dapat dilakukan para fenomenolog ketika berhadapan dengan fenomena adalah memberikan deskripsi yang perlu mengenai apa yang ada sebagaimana dialami dalam kesadaran. Dalam tekanan yang terakhir ini fenomenologi Husserl lebih tepat disebut fenomenologi transendental. 13 Berangkat dari uraian di muka, terobosan baru fenomenologi dalam seni berpikir deskriptifintrospektif, sejak Edmund Husserl, sebetulnya lebih tepat dipandang sebagai ungkapan protes yang nyata terhadap metode-metode filsafat barat yang 12 Immanuel Kant membedakan antara fenomena dan noumena (benda dalam dirinya sendiri yang terlepas dari aktifitas kognitif pikiran). 13 Disebut fenomenologi transendental karena bidang telahaannya adalah kesadaran transendental, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi benda. Kesadaran demikian jelas melampaui kategori kognitif, konsep terdalam dan dasariah matematika dan logika, serta kegiatan psikis real. Kesadaran transendental berangkat dari keterarahan (intensionalitas) pada obyek tertentu demi menguak makna universal yang menjadi esensinya. 10

tradisional sejak J.H. Lambert dan Immanuel Kant yang memuncak pada Hegel di satu sisi karena terlampau abstrak, konseptual dan metafisik. Sementara pada sisi lain, fenomenologi Husserl juga dapat dipandang sebagai ungkapan pembelaan terhadap agama dari serangan kaum positivistik yang memandang agama sebagai wilayah yang nonilmiah. 14 Munculnya bentuk-bentuk baru studi agama secara fenomenologis dapat dipahami sebagai berkembangnya minat ke arah studi agama secara empiris. 1.3. Metode epoche Edmund Husserl Epoche adalah metode yang dicanangkan oleh Husserl ketika subjek berhadapan dengan fenomena agar subjek mampu melepaskan diri dari asumsiasumsi yang non-ilmiah terhadap fenomena. Tujuannya adalah agar subjek menghadapi fenomena dengan kesadaran murni. Bagi Husserl, ketika subjek berhadapan dengan fenomena maka ia sebetulnya bergumul dengan pengalaman akan yang lain (sebagai objek kesadarannya). Pergumulan itu pada awalnya dipahami atau dikira bersifat subjek-obyek (subjek mencari tahu esensi objek). Tetapi kemudian Husserl 14 Harold H Titus, dkk., 1979. Living Issues in Philosophy, 7 th Edition, 11

menegaskan bahwa sesungguhnya yang terjadi dalam pergumulan antara subjek dan fenomena adalah relasi subyek-subyek (intersubyektif). Artinya, pergumulan pengalaman tentang yang lain yang tertangkap oleh kesadaran subjek. Dalam pusaran pergumulan dengan fenomena, subjek belumlah sampai menangkap hakikat fenomena (belum memberi kepastian pengetahuan akan fenomena). Untuk mencapai kepastian, kita perlu mencarinya dalam pengalaman yang sadar, yakni bermula dari aku murni yang mengatasi semua pengalaman, dan bukan aku empiris. 15 Bagaimana caranya supaya aku bisa mencapai aku murni? Proses pencapaian aku murni itu ditempuh dengan metode epoche. Proses pencarian hakekat fenomena melalui metode epoche terjadi ketika subjek dengan sadar mau memasukan ke dalam tanda kurung (epoche) segala asumsinya terhadap fenomena ( akuempirisnya ) sehingga tinggallah subjek sebagai aku murni. Proses demikian oleh Husserl disebut metode epoche. Setelah proses epoche (pemurnian diri) ini 15 Aku empiris artinya aku yang tidak murni karena masih dipengaruhi oleh pengalaman pergaulan dengan dunia benda. Kondisi ini perlu dimurnikan dengan cara memasukan seluruh pengalamanku itu ke dalam tanda kurung (epoche) sehingga kini tinggallah aku murni. 12

ditempuh, kini pergaulan subjek dengan fenomena sungguh-sungguh mandiri dalam artian tidak lagi diintervensi oleh pengertian, pemahaman dan praduga-praduga tertentu. Pandangan Husserl dengan epoche membuatnya sebidang dengan metode keragu-raguan (cogito ergo sum) Descartes. Dalam hal ini, Husserl melihat bahwa dalam ukuran tertentu, fislafat yang dibangun Descartes sudah mengantisipasi fenomenologi. Ia menekankan pula bahwa eksistensi dari diri dalam pengertian sebagai substansi rohani/spiritual, atau seperti dikatakan Descartes res cogitans mesti dikurung supaya mencapai kepastian, yakni eksistensi diri murni. Perbedaan Husserl dari Descartes terletak pada pemahaman mengenai kesadaran. Bidang kesadaran transendental (kesadaran akan makna, yang menjadi esensi benda), bukan dalam cogito (abstrak) seperti yang ditemukan dalam filsafat Descartes. 1.4. Tiga Macam Reduksi Berkaitan dengan metode epoche di atas, dalam rangka menemukan hakikat fenomena, Husserl membedakan tiga macam reduksi, yakni: reduksi fenomenologis, reduksi eidetik dan reduksi transendental. Itulah sebabnya fenomenologi yang 13

dikembangkan Husserl kemudian lebih dikenal dengan fenomenologi transendental karena memuncak pada kesadaran murni, yakni kesadaran akan makna yang menjadi esensi fenomena. Ketiga jenis reduksi ini perlu dilakukan ketika berhadapan dengan fenomena agar kita dapat menangkap esensinya (hakekatnya) dengan intuisi. a. Reduksi fenomenologis: ketika berhadapan dengan fenomena kita perlu menyingkirkan semua yang bersifat subyektif. Kita harus terbuka terhadap fenomena (reflektif). b. Reduksi eidetis: ketika berhadapan dengan fenomena, kita perlu menyingkirkan semua pengetahuan dan pengertian sebelumnya mengenai fenomena (melalui metode epoche), supaya kita sampai pada hakekat fenomena (eidos). c. Reduksi transendental. Ketika berhadapan dengan fenomena kita harus berdiri sebagai subjek yang memiliki kesadaran murni akan fenomena. Kita sampai pada kesadaran murni tentang fenomena ketika kita tidak lagi dipengaruhi oleh pengetahuan lain tentang fenomena. Dalam konteks itu, kita mampu mengintuisi makna esensial fenomena. 14

1.5. Fenomen Fenomenologi seperti diuraikan di muka merupakan ilmu yang mempelajari fenomen. Fenomen ialah apa yang tampak. Dari pengertian ini terdapat implikasi rangkap tiga. Pertama, mesti ada sesuatu. Kedua, sesuatu itu menampak, mencuat keluar. Ketiga, justru karena sesuatu menampak maka menjadi fenomen. Fenomen sendiri mempunyai dua segi: segi obyektif dan segi subyektif. Segi obyektif dimaksudkan, pefenomenan sesuatu mengacu pada sesuatu yang tampak. Segi subyektif, proses pefenomen itu ada karena sesuatu mesti menampak pada seorang pribadi. Jadi, fenomen itu tidak murni obyektif yang menyangkut realitas aktual, juga tidak murni subyektif, sebagai gejala psikologis sematamata. Fenomen perlu dilihat sebagai hubungan antara subyek dan obyek. Dalam fenomen mesti dipahami obyek yang dihubungkan dengan subyek dan subyek dihubungkan dengan obyek. Fenomen bukanlah produk dari subyek. Hakekat dari fenomen justru terdapat dalam penampilan, pencuatan itu sendiri. Pencuatan itu tertuju pada seseorang dan kalau seseorang mulai mendiskusikannya, muncullah fenomenologi. 15

Berkaitan dengan seseorang, yang kepadanya fenomen menampak, terdapat tiga aras (inti) fenomenalitas. 16 Pertama, ada yang rahasia, tersembunyi. Kerahasiaan dari sesuatu itu merupakan sesuatu yang relatif saja. Sesuatu menjadi rahasia karena belum mencuat keluar dan belum menampakkan diri dan belum ditangkap oleh subyek. Kedua, pelan-pelan membuka atau mewahyukan diri. Ketiga, adanya kebeningan (transparansi). Dalam aras yang ketiga kita menembus ke inti. Tiga aras ini dapat dikaitkan, walaupun tidak sama dengan aras kehidupan: pengalaman, pemahaman dan kesaksian. Pengalaman bukanlah realitas hidup dalam arti murni. Pengalaman dikonstruksi secara obyektif oleh kondisi dan rangkaian peristiwa tertentu yang belum tentu melewati proses negosiasi secara sadar. Ada 16 Terkait dengan tiga aras fenomen ini, kita bisa mengilustrasikannya dengan buah durian. Ia mengeluarkan aroma yang harum seakan-akan menyampaikan pesan kepada kita bahwa ada sesuatu yang lezat di balik kulitnya yang tampak berbahaya itu (aspek rahasia, tersembunyi). Aroma yang harum itu secara pelan tapi pasti membuka rahasia tentang durian (menyatakan diri durian). Dari aroma yang harum itu ada kejelasan bahwa durian itu pasti enak kalau disantap (bagi orang tertentu lho). Tetapi, kita tidak pernah mengetahui secara pasti bagaimana enaknya rasa durian kalau kita tidak pernah berani membauinya, membukanya untuk kemudian menyantapnya. Bila kita melakukan itu, maka kita memiliki pengalaman tentang durian, memahami durian, dan memberi kesaksian bahwa durian itu enak. 16

kalanya peristiwa yang kemudian menjadi pengalaman terjadi di luar harapan kita dan berlangsung begitu cepat tanpa permisi kepada kesadaran dan akal sehat kita. Itulah sebabnya kita mesti mengajukan sikap atas pengalaman kita berupa interpretasi kritis atasnya sebagai pengalaman. Kehidupan itu sendiri adalah rangkaian peristiwa yang membentuk pengalaman, tetapi ia tidak dapat dipahami seluruhnya. Apa yang dibuka, bukanlah kehidupan tetapi bentuk-bentuk tertentu kehidupan. Artinya, ada sisi-sisi tertentu kehidupan yang membangun keutuhan kehidupan. Sisi-sisi kehidupan itu sejauh bisa kita interpretasi (dan pahami secara sadar maknanya), itulah pengalaman. Artinya, yang disebut pengalaman itu selalu menuntut interpretasi, pemahaman dan kemudian memberikan makna (esensi) bagi kita. Itulah sebabnya pengalaman disebut sebagai guru yang baik. Pengalaman pertama yang sebenarnya tidak dapat disebut pengalaman, 17 merupakan dasar dari pengalaman-pengalaman lain. Pengalaman pertama selalu berlalu begitu saja. Misalnya, pengalaman saya menulis dalam buku harian dua menit yang lalu, 17 Apakah ada yang disebut pengalaman pertama dalam arti yang sesungguhnya? Rasanya sulit bagi kita untuk mengingat dan menyebutkan apa dan bagaimana pengalaman pertama kita. 17

dimensi keberlaluannya sama dengan tulisan saya setahun yang lalu. Mengapa? Karena pengalamanpengalaman tersebut tidak dapat saya ulangi. Semuanya sudah berlalu. Pengalaman hanya sekali terjadi dan sudah selesai. Ia selau terkait dengan kondisi tertentu dalam rentang peristiwa, ruang, waktu dan nuansa emosi tertentu. Pengalaman menulis yang baru kubuat tidaklah lebih dekat padaku daripada naskah tulisan peninggalan orang-orang terdahulu, misalnya, tulisan orang Mesir empatribu tahun yang lalu. Seorang Mesir dan saya merupakan yang lain untuk sebuah tulisan yang sudah dibuat. Artinya, antara tulisan dan penulisnya sudah berjarak. Kehidupan itu menembus batas, selalu terlepas, sulit dikurung. 18 Kehidupan adalah sesuatu yang berlangsung (berproses) tidak pernah muncul begitu saja. Yang berlangsung itu selalu direkonstruksi (dimaknai) dan bagi kita sendiri, kita tidak dapat menemukan jalan masuk untuk bagian yang paling 18 Meskipun kehidupan itu terbatas oleh kenyataan fisik, tetapi ia sesungguhnya menembus batas, sulit digenggam dan dikurung. Namun, kita mesti menjalani kehidupan yang menembus batas itu dalam batas-batas tertentu dalam konteks sosial (secara normatif) sehingga ekspresi kehidupan itu memberi makna bagi diri kita dan orang lain. Dalam konteks itu, kehidupan yang menembus batas itu mesti dijalani secara tahu batas dalam pengertian melakukan perubahan sehingga kehidupan menjadi unik dalam batasan tertentu. 18

sublim. Kehidupan bukanlah ruang hampa atau tertutup di mana kita tinggal bebas tanpa batas atau aman tanpa gangguan. Kehidupan bukanlah sebatas tubuh, yang dengan segala pesona kelebihan potensinya memungkinkan kita menaklukan dunia. Namun, tubuh kita pada kenyataannya tidak pernah mampu menggenggam kehidupan menjadi milik kita selamanya. Sebaliknya, di hadapan kehidupan, keutuhan diri kita seolah-olah hadir sendiri berhadapan dengan sesuatu yang lain tanpa bantuan. Kita rupanya selalu terlambat untuk memahami esensi kehidupan. Ringkasnya, kita itu rapuh, fana, terbatas oleh ruang dan waktu. Namun, seluruh kenyataan ini sebetulnya merupakan hal yang biasa. Di antara yang aku dan yang bukan aku, orang atau benda, dan seterusnya, yang nampaknya memuat perbedaan mendasar sesungguhnya adalah hal biasa. Eksistensi segala sesuatu adalah perkara biasa. Jadi, perbedaan yang tampak ada di antara saya dan yang lain, jarak dekat dan jarak jauh, kemarin dan beribu-ribu tahun lampau. Semuanya itu adalah hal biasa. Mengapa? Karena eksistensi masing-masing sesuatu itu memuat dimensi biasa pada dirinya sendiri, yang sesungguhnya menjangkau kita pun mengalami 19

dilema: antara segala yang ada itu berbeda atau sama-sama biasa pada dirinya sendiri. Kita menemukan diri kita sendiri kalau kita mau mendekati kehidupan itu. Tetapi apa yang nampaknya terdapat perbedaan yang besar antara saya dan yang lain, sesama, baik yang dekat maupun yang jauh, kemarin atau beribu-ribu tahun yang lalu, semuanya merupakan hal yang sama-sama biasa. Seluruh yang sama-sama biasa yang kita kira berbeda-beda itu dipertemukan dan hadir secara serentak dalam diri kita sendiri. Kita rupanya sibuk bergulat dengan diri kita untuk meyakinkan diri kita bahwa ada perbedaan di antara segala yang ada. Padahal, segala yang ada itu sama-sama biasa, yakni sama-sama diadakan: adanya segala yang ada karena ada yang mengadakannya, sementara yang mengadakan segala yang ada itu adanya tidak diadakan, adanya adalah adanya. Interpretasi kita tentang perbedaan segala yang ada bermuara pada pergulatan diri kita sendiri. Kita bisa belajar dari pengalaman seorang sejarahwan. Ia dapat memulai penelitiannya tentang sesuatu atau seseorang dari mana saja dan terkait dengan apa dan siapa saja. Akan tetapi, sehebat apa pun penelitiannya itu, tidak bisa luput dari kenyataan bahwa sang sejarawan itu pada akhirnya berjumpa dengan dirinya sendiri. Dirinya adalah titik simpul pertemuan segala 20

peristiwa yang direkamnya. Ia sesungguhnya mengadakan rekonstruksi peristiwa yang sudah berlalu dan tidak mungkin dipanggil kembali. 1.6. Tahap-Tahap Pemilahan Fenomena Fenomenologi merupakan metode diskusi yang sistematis dan ilmiah mengenai fenomena untuk menyingkapkan esensinya. Selaras dengan itu, fenomenologi menelaah fenomena dalam beberapa tahap seperti dirunut di bawah ini: a. Memberi nama Sesuatu yang menampakkan diri pertama-tama harus menerima nama. Semua tuturan pertama-tama terdiri dari memberi nama: penggunaan nama penting karena ia menjadi dasar untuk membangun suatu bentuk berpikir yang bersifat antara memahami dan membayangkan. Dengan memberi nama, kita memisahkan fenomen-fenomen dan sekaligus memilahnya. Dengan kata lain, kita mengadakan klasifikasi. Kita menggabungkan fenomena-fenomena atau menyeleksi dan menyortirnya. Upaya demikian lebih tepat dinamakan sebagai pemurnian (purifikasi). Sejak manusia memberi nama, sesungguhnya kita menunjukkan diri kita dalam bahaya. Kita menjadi limbung atau puas dengan nama. Untuk itu, kita atasi 21

bahaya ini dengan tahap berikut, yakni menyisipkan fenomena dalam hidup kita. b. Fenomen masuk ke dalam hidupku Kita menyisipkan fenomen dalam hidup kita. Penyisipan ini bukan tindakan main-main. Realitas adalah realitasku, sejarah adalah sejarahku. Kita mesti sadar bahwa apa yang sedang kita buat bila kita mulai mengatakan apa yang nampak kepada kita dan yang kita namakan. Lebih lanjut perlu diingat bahwa apa yang nampak pada kita, tidak tunduk pada kita secara langsung, tuntas, tetapi hanya sebagai simbol suatu makna untuk kita interpretasikan (pahami), sebagai sesuatu yang menyerahkan diri kepada kita untuk diinterpretasikan. Interpretasi ini menjadi mustahil manakala kita tidak mengalami penampakan, dan interpretasi ini dilakukan bukan dengan paksaan dan setengah sadar, tetapi secara intensional (keterarahan yang sadar) dan metodis. d. Tidak Tuntas Ketika fenomen masuk kedalam hidupku, pada saat yang sama juga kesadaranku tak sampai pada eksistensinya. Untuk itu, fenomenologi perlu memperhatikan metode pengurungan (epoche) dan pemahamannya mengenai peristiwa-peristiwa 22

tergantung pada pengurungan-pengurungan. Dalam konteks itu, fenomenologi berkutat hanya dengan fenomen, yang menampakkan dirinya. Ia menggumuli seluruh fenomen apa adanya, tidak semata-mata yang ada di belakang fenomen. Metode pengurungan ini bukan semata-mata alat untuk bersikap terhadap realitas, tapi merupakan sebuah ciri khas sikap seluruh manusia pada realitas. Tujuannya adalah untuk mendapatkan essenstia fenomen (yang hakiki dari fenomen). Dalam hal ini, seseorang menjadi pasti hanya dengan memberi bentuk dan makna pada benda-benda yang menampakan diri pada kesadarannya. Maka fenomenologi sebenarnya berdiri di samping dan memahami apa yang nampak dalam pandangan, meski pemahamannya tidak tuntas. d. Klarifikasi Memperhatikan apa yang nampak berarti membuat klarifikasi mengenai apa yang diperhatikan. Semua yang ada dalam satu tatanan mesti disatukan, tetapi yang berbeda dalam tipe mesti dipisahkan. Pembedaan ini, seharusnya tidak diputuskan dengan mengacu pada hubungan kausal (A muncul dari B sementara C mempunyai asalnya yang menyatukannya dengan D), tetapi semata-mata dengan memanfaatkan hubungan struktural, bagaikan 23

pelukis yang melukiskan pemandangan dengan menyatukan obyek-obyek kedalam kelompok atau memisahkan mereka satu dengan yang lain. Ini berarti kita mencari interrelasi tipikal ideal, dan berusaha mengatur ini dengan keseluruhan yang lebih besar makna dan sebagainya. e. Pemahaman Lebih Murni Semua aktivitas yang dialami bersama dan serentak, menghasilkan suatu pemahaman sejati. Realitas yang bersifat kaotik dan kasar menjadi sebuah manifestasi, sebuah revalasi (penyingkapan). Fakta empiris, metafisik menjadi sebuah data, obyek, tuturan hidup, rigiditas, ekspresi. Ilmu-ilmu didasarkan pada hubungan antara pengalaman, ekspresi dan pemahaman. Dalam konteks itu, tampaknya pengalaman yang tak dapat diraba dalam dirinya sendiri, tak dapat ditangkap atau dikuasai, tetapi ia menampilkan sesuatu kepada kita, pencuatan: mengatakan sesuatu, perkataan/tuturan. Tujuan dari ilmu tidak lain adalah memahami logos, secara hakiki ilmu pengetahuan merupakan hermeneutik (penafsiran atas realitas). f. Koreksi terus menerus 24

Kalau fenomenologi harus menyempurnakan tugasnya, secara imperatif fenomenologi menuntut suatu koreksi terus-menerus oleh penyelidikan filologis (ilmu tentang manuskrip atau naskah kuno) dan arkeologis secara sadar. Fenomenologi harus selalu siap dikonfrontasikan dengan fakta-fakta material, dan ini berlangsung dalam interpretasi; berkutat dengan teks dan kemudian dengan fakta yang secara konkret termuat di dalamnya: sesuatu yang diterjemahkan dengan kata-kata lain. g. Obyektivitas Murni Prosedur yang seluruhnya dan kelihatannya rumit, pada akhirnya mempunyai tujuan ke obyektivitas murni. Fenomenologi berusaha untuk mencapai jalan masuk pada fakta-fakta; untuk ini fenomenologi membutuhkan makna, karena ia tidak dapat mengalami fakta sesuai dengan kesenangannya. Makna ini, murni obyektif. Artinya, semua reduksi, baik empiris, logis maupun metafisik tidak dapat dimasukkan. Fenomenologi memperlakukan semua peristiwa dengan cara yang sama dalam hubungan langsung dan serentak dengan Allah sehingga hasilnya tidak tergantung pada hasil darinya, tetapi pada eksistensinya sedemikian, pada dirinya sendiri. Dalam konteks ini, hanya satu keinginan 25

fenomenologi: memberi kesaksian pada apa yang telah ditunjukkan padanya. Hal ini dapat dilaksanakan dengan metode: Tidak langsung Pengalaman kedua mengenai peristiwa Rekonstruksi yang cermat Dalam konteks itu, fenomenologi dapat mengeluarkan semua kalangan demi mencapai keinginannya, yakni: memberi kesaksian. Melihat dari wajah ke wajah ditolak. Tetapi melihat dalam cermin dan sesuatu yang mungkin untuk berbicara mengenai benda yang dilihat. 26

BAGIAN II AGAMA DAN FENOMENOLOGI AGAMA 2.1. Pengantar Usia agama itu setua umur umat manusia. Dapat dipastikan bahwa tidak ada komunitas manusia yang hidup tanpa agama atau suatu kepercayaan tertentu kepada adanya Yang Mahatinggi, yang oleh agama monoteis disebut Allah atau Tuhan itu. Telah banyak definisi yang diberikan kepada agama. Ia dinalar baik dari segi etimologis, maupun dari segi esensi. Penalaran atas agama dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yakni vertikal dan horizontal. Semua definisi dan pendekatan dilihat dalam konteks fenomenologis. Maka definisi atas agama dapat beraneka ragam. Keanekaragaman definisi atas agama menunjukkan bahwa agama memang multi faset, sehingga cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi yang baku dan seragam. Maka, apa pun definisi yang diberikan kepadanya, sebetulnya bermaksud untuk melukiskan secara lain tentang esensi yang sama dari agama-agama. 27

2.2. Definisi Agama Sebagai hal yang multi faset, agama (religio) cukup sulit dikemas dalam sebuah definisi tunggal. Setiap definisi atasnya menyajikan sebuah pemahaman tertentu saja tentang esensi yang sama. Dalam bahasa Latin, religio berarti perasaaan, yang tersatukan dengan rasa takut dan ragu dalam menjalankan kewajiban yang berhubungan dengan dewa-dewi. Supaya kita terbantu dalam memahami definisi agama, berikut akan diuraikan secara esensial dan etimologis. Secara esensial agama pada umumnya dipahami sebagai kumpulan keyakinan atau tindakan penyembahan yang menunjukkan hubungan dengan yang kudus dan hubungan dengan keilahian. Secara etimologis, definisi atas agama menjadi bahan diskusi. Terkait dengan etimologi agama terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat mengenai akar kata agama yang dalam bahasa Latin disebut religio. Agustinus, Lattansius dan Servius mengatakan bahwa kata religio berasal dari kata RELIGARE (mengikat) dan reeligere, yang berarti memilih lagi. 19 Di sini agama dilihat sebagai suatu hubungan dengan 19 Heuken, A., ENSIKLOPEDI GEREJA, IA-G, hlm. 31. 28

kewajiban menjalankan praktik-praktik tertentu. Cicero berpendapat bahwa agama berasal dari kata dalam bahasa Latin relegere, (membaca kembali). Di sini agama memberi peluang kepada umatnya untuk melihat dengan penuh perhatian medan kehidupan (dievaluasi) dalam kaitannya dengan yang ilahi. Berdasarkan penelusuran secara etimologis di atas kita dapat menalar makna agama dalam tiga perspektif, yakni: mengikat, memilih dan membaca kembali. Pertama, religi merupakan cara (jalan yang selalu terbuka) untuk manusia mengikat lagi relasi yang sempat terputus dengan Allah karena keegoisan manusia. Manusia yang pernah melepaskan diri dari Allah diberi kesempatan untuk senantiasa kembali kepada-nya melalui religi. Kedua, agama bisa juga dimaknai sebagai wahana untuk manusia menentukan pilihan hidup secara tepat dan benar dalam konteks horizontal dalam rangka penghayatan relasi vertikal (dengan yang ilahi). Ketiga, agama juga diyakini sebagai institusi yang selalu memberikan ruang evaluasi untuk mengkritisi kembali lembaranlembaran pengalaman hidup dan berdasarkan itu pula dimungkinkan adanya rekonsiliasi untuk segala kekeliruan (dosa). Berdasarkan itu pula, agama bagaikan energi yang membebaskan manusia dari belenggu akibat tiranik tuntutan diri yang egois, 29

pongah, dan serakah. Manusia yang menyesali dosadosanya dan bertobat mendapat pengampunan Allah. Walaupun agama merupakan suatu institusi, tetapi ia perlu dibedakan dari institusi sosial yang lain. Pembedaan ini didasarkan pada ciri-ciri khusus yang ada pada agama. Ciri-ciri agama dapat dikenali melalui tiga hal, yakni: Pertama, pengikutnya menjalankan secara teratur ritus-ritus tertentu dan mengucapkan rumus-rumus tertentu untuk mengekspresikan keyakinan atas agama atau ajarannya. Kedua, iman (ungkapan iman) pada suatu nilai absolut (mutlak). Iman ini merupakan obyek yang dipertahankan oleh komunitas beragama. Ketiga, adanya kemungkinan (peluang) untuk individu (umat beriman) untuk menjalin relasi dengan satu kekuatan spiritual (ilahi, rohani) yang mengatasi manusia. Kekuatan spiritual itu diterima sebagai sesuatu yang memancar dan menyinari segala sudut semesta yang pada akhirnya memuncak dan bersatu dengan Allah. 2.3. Dua Pendekatan Untuk Memahami Agama Sebagai hal yang multi faset, agama perlu dipahami melalui dua pendekatan, yakni pendekatan horisontal (berlangsung mendatar dalam ranah 30

kehidupan) dan pendekatan vertikal (berlangsung dari atas ke bawah atau sebaliknya). Kita bisa mencoba memahami agama dari suatu bidang horisontal, yakni dari diri kita sendiri sebagai pusat (pengalaman manusia sebagai pribadi: sebab pengalaman agama tidak terlepas dengan pengalaman masing-masing pribadi). Kendati demikian, kita juga bisa memahami esensi agama sebagai anugerah pengertian yang hanya datang dari atas. Artinya berangkat dari inisiatif Allah kepada manusia. Dengan kata lain, kita bisa mengerti agama sebagai pengalaman yang bisa masuk akal karena anugerah dari Allah. Berbeda dari hal ini, kita juga dapat memandang agama dari perspektif wahyu sebagai hal yang tidak bisa dipahami secara tuntas. Secara relasi vertikal, pengalaman beragama sebetulnya bisa dipahami bahwa wahyu turun kepada manusia atas inisiatif Allah sendiri. Tetapi refleksi atas pengalaman tersebut sebagai sebuah tannggapan iman mentransformasikannya menjadi sebuah fenomen, meskipun wahyu pada dirinya sendiri bukanlah sebuah fenomen. Jawaban manusia kepada wahyu (pernyataan imannya) merupakan suatu fenomen. Dari fenomen ini secara tidak manusia langsung lantas menarik kesimpulan-kesimpulan atas wahyu. 31

a. Pendekatan Horizontal Telaah atas agama berdasarkan pendekatan horisontal dan vertikal menunjukkan bahwa agama secara implisit hendak menggarisbawahi kecenderungan manusia, yakni: manusia tidak begitu saja menerima hidup yang diberikan kepadanya. Seluas rentang hidup manusia ditandai oleh niat serius untuk mencari sang Kuasa. Manusia telah selalu berusaha menarik Sang Ilahi kepada hidupnya sendiri. Ia berusaha mengangkat hidup, meningkatkan nilainya, memberinya suatu makna lebih dalam dan lebih luas dalam kerangka keyakinannya akan yang Ilahi. Inilah yang disebut garis horisontal agama. Dengan cara ini insan beragama mengalami agama sebagai perluasan hidup kepada batasnya yang paling jauh. Agama rupanya memotivasi manusia untuk menggapai hidup yang lebih kaya, lebih dalam serta lebih luas. Dalam konteks itu, agama menjadi semacam instrumen suci untuk memenuhi hasrat abadi manusia, yakni memiliki keutuhan diri dengan Sang Daya (power) Ilahi yang kekal. Lantas, manusia yang tidak begitu saja menerima hidupnya apa adanya selalu berusaha mendekatkan dirinya pada Sang Kuasa agar ia menemukan suatu makna terdalam dari hidupnya. Dalam rangka itu, 32

manusia pun menata hidup ke dalam suatu keseluruhan yang bermakna. Proses demikian berlangsung secara evolutif hingga bermuara pada kebudayaan. Sebetulnya, upaya manusia yang abadi adalah mengejar makna hidup. Dalam rangka itu pula, manusia menebarkan gagasan dan kreasi yang dirajutnya secara sistematis agar dapat merengkuh hidup yang bermakna. Kreasi-kreasi manusia pun tampil dalam pelbagai variasi desain: karya seni baik yang bercorak religius dan non-religius, adat, ekonomi, pertanian (patung dari batu batu dan kayu, seperangkat perintah dan aturan sebagai rujukan hidup bersama, tanah garapan dari hutan belantara). Semuanya itu terjadi dalam rangka manusia mengembangkan daya, yang kian lama kian dalam dan luas. Maka agama menyiratkan kodrat manusia sebagai makhluk yang tak pernah puas. Seluruh rentang hidupnya diwarnai dengan pencarian akan makna hidup yang sejati. Manusia selalu menanyakan, mencari, dan berusaha menyimpulkan makna teraklhir yang merupakan dasar yang paling dalam. 20 20 Misalnya, meskipun manusia mengetahui bahwa sekuntum bunga indah dan menghasilkan buah, ia selalu terdorong untuk mencari dan menanyakan makna bunga yang lebih dalam dari bunga tersebut, makna yang terakhir. Bila ia tahu bahwa istrinya cantik; terampil bekerja dan dapat melahirkan keturunan atau bila ia memahami bahwa ia harus menghargai istri orang lain, 33

Oleh karena itu, makna religius dari segala sesuatu di muka bumi inj merupakan makna terakhir. Artinya, tidak ada lagi makna apa pun yang lebih dalam setelah makna religius sebab makna religius adalah makna dari suatu keseluruhan; makna terakhir. Sayangnya, makna religius ini tak pernah dimengerti secara tuntas. Ia merupakan suatu rahasia yang tak henti-hentinya menyingkapkan dirinya, namun terusmenerus lolos dari tangkapan inderawi manusia secara tuntas. Makna religius menyiratkan adanya suatu gerak maju ke arah batas terakhir, suatu batas di mana seluruh pengertian manusia dilampaui sehingga ia dengan sendirinya merupakan batas makna. Meskipun demikian, manusia beragama selalu berupaya menempuh jalan menuju suatu yang mahakuasa, yang kepadanya ia yakinkan dirinya untuk memperoleh suatu pengertian yang penuh akan makna terakhir. Manusia pun dengan senang hati mencoba menangkap hidup, untuk menguasainya. Oleh karena itu, manusia tak henti-hentinya mencari sebagaimana ia menginginkan orang lain menghargai istrinya, ia lalu terus mencari dan menanyakan makna terakhir istrinya. Dengan begitu ia menemukan rahasia bunga dan rahasia istri (wanita). Dan dengan begitu pula ia menemukan makna religius. Makna itu berangkat dari makna yang ada, makna yang paling mendasar. 34

keunggulan-keunggulan baru sebagai bukti bahwa ia mampu menguasai hidup ini. Upaya demikian berlangsung terus sampai pada akhirnya manusia berdiri pada batas terakhir dan ia memahami bahwa keunggulan terakhir tidak akan pernah ia gapai, tetapi keungulan terakhir itu menjamahnya secara misterius dan tak bisa dimengerti. Tuhan adalah keunggulan final hidup manusia. Agama memberi peluang lebar bagi manusia untuk terserap oleh keunggulan terakhir itu. b. Pendekatan Vertikal Bila pendekatan horisontal memahami agama bertolak dari pengalaman beragama manusia dalam bidang datar, pendekatan vertikal berusaha memahami agama dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah. Meski demikin, pendekatan ini tidak seperti pendekatan horisontal yang bertolak dari suatu pengalaman yang melintas di depan suatu batas. Pendekatan vertikal merupakan suatu wahyu, yang datang dari seberang batas itu. Pendekatan horisontal merupakan pengalaman yang tentunya merupakan suatu persiapan atau pratanda wahyu, tetapi tidak pernah sampai pada wahyu. Di lain pihak, pendekatan vertikal berangkat dari suatu wahyu, yang tidak 35

pernah dimengerti sepenuhnya kendati ia mengambil bagian dalam pengalaman. Pendekatan horisontal memang bukan suatu fenomen yang dapat di raba, tetapi lebih merupakan suatu fenomen yang dalam batas tertentu dapat dimengerti. Sementara pendekatan kedua (vertikal), sama sekali bukanlah fenomen dan tidak pernah bisa dicapai dan dimengerti. Maka, apa yang bisa kita peroleh dari pendekatan kedua secara fenomenologis hanyalah cerminannya dalam pengalaman. Tuhan tidak pernah bisa pahami dengan kemampuan intelektual belaka. Apa yang bisa kita pahami tentangnya hanyalah sebatas jawaban yang kita konsepsikan sendiri.pengertian kita tentang Tuhan hanyalah sebatas dunia yang kita alami saja. Maka upaya manusia dalam mencari yang ilahi, yang Kuasa dalam hidup tidak pernah mencapai batas. Dalam rentang pencariannya, ia sebatas menyadari bahwa dirinya bergerak menuju suatu wilayah yang sama sekali berbeda, sama sekali asing. Dalam pengertian ini, manusia yang sedang dalam perjalanan pencarian akan sang Kuasa itu memang berada dalam wilayah yang menawarkan suatu prospek tersingkapnya jarak tak terbatas itu kepadanya, tetapi ia juga serentak tahu bahwa perjalannanya itu dikitari oleh hal-hal yang sangat 36

mengagumkan dan jauh sekali. Ia menyadari kehadirsan sang Kuasa dan digenggam olehnya. Meskipun manusia sadar bahwa ia menuju wilayah yang menakutkan karena merupakan rumah Tuhan dan gerbang Surga, tetapi ia sungguh tahu pasti bahwa sesuatu menemuinya di jalan itu. Mungkin malaikat yang berjalan di depannya dan membimbingnya dengan aman: mungkin malaikat dengan pedang menyala yang melarangnya melewati jalan itu. Akan tetapi, yang pasti ialah bahwa sesuatu yang asing telah melintasi jalan itu dengan segala Kuasanya sendiri. Yang asing ini tidak mungkin di beri nama sebab tidak dijumpai di sepanjang jalan manusia sendiri. Rudolf Otto telah mengusulkan Yang Numinous, mungkin sekali karena ungkapan ini tidak mengatakan apa apa. Lagi-lagi unsur yang asing ini hanya bisa didekati lewat jalan negatif (per viam negationis: jauh lebih mudah untuk mengatakan Alah itu bukan ini-itu ketimbang berusaha membahasakannya bahwa ia adalah...). Lantas Rudolf Otto kembali mengajukan istilah yang tampaknya begitu netral, yakni: the wholly Other (Yang Lain Sama Sekali). Namun demikian, untuk yang asing ini agama-agama sendiri telah menciptakan istilah holy (kudus). Istilah Jermannya diambil dari Heil, penuh Kuasa ; bahasa 37

Latin, sanctus, dan ungkapan kuno, tabu punya arti dasariah terpisah, menyendiri. Semua istilah tadi adalah upaya untuk melukiskan pengalaman beragama sebagai: suatu Yang Lain Sama Sekali, asing, Sang Daya yang merasuki kehidupan. Sikap manusia terhadapnya pertama-tama adalah kagum dan bermuara pada pengakuan, penerimaan secara tulus dan ikhlas, yakni: iman. 2.4. Perpaduan Dua Pendekatan Kesimpulannya, batas keberdayaan manusia serta mulainya yang ilahi bersama-sama merupakan tujuan yang telah dicari dan ditemukan dalam agama segala zaman: keselamatan. Keselamatan ini mungkin saja peningkatan hidup, kemajuan, pengindahan, pendalaman, serta perluasan hidup. Tetapi dengan istilah keselamatan bisa juga dimaksudkan suatu hidup baru sepenuhnya, suatu penciptaan kehidupan baru yang telah diterima dari tempat lain. Akan tetapi, bagaimanapun juga, agama selalu diarahkan kepada keselamatan, tidak pernah kepada kehidupan sendiri sebagaimana sudah diberikan. Dan, dalam hal ini, semua agama tanpa kecuali merupakan agama keselamatan (pembebasan). 2.5. Makna Konotatif Agama 38

Dilihat dari aspek substantifnya, agama memiliki makna konotatif, yakni: berisi seperangkat nilai dan norma, perintah dan larangan, nasihat dan anjuran, serta perumpamaan-perumpamaan didaktis. Semuanya itu dicakupkan sebagai suatu ajaran suci yang mampu mempertemukan manusia beriman dengan Tuhan yang diimaninya. Seperangkat ajaran suci itu membuka hati manusia beriman untuk mampu melihat tanda-tanda zaman dengan mata imannya secara teliti. Ia juga merupakan wadah dan sarana untuk meningkatkan rasa persatuan; solidaritas antar-ciptaan yang berskala sosio-kosmik, yakni kesadaran manusia bahwa segala sesuatu berakar di dalam dan dinaungi oleh satu Realitas absolut dan Agung, yang oleh manusia beriman disebut Allah. Religi juga menggugah kesadaran manusia akan panggilan hakikinya sebagai manusia, yakni menjadi sosok manusia yang humanum, meminjam istilah Hans Küng, yakni manusia yang merasa bahwa sesamanya adalah tanggungjawabnya juga. Manusia yang bersatu secara utuh dan penuh dengan Allah dan sesamanya dalam suasana penghayatan iman, pengharapan, dan kasih. 21 21 Küng, Hans, 1986, Christianity and the World Religions: Paths of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhism. Trans. Peter Heinegg. New York: Doubleday, hlm. xvi. 39

Dilihat dari aspek konotatifnya, istilah agama atau religi memuat penalaran secara dualistik terhadap realitas: ada tempat sakral dan ada tempat profan, ada roh baik dan roh jahat, halal dan haram, ada dunia nyata dan dunia gaib, ada surga dan ada neraka, ada Tuhan sebagai penguasa Surga dan ada setan sebagai penguasa neraka. Konotasi lainnya adalah pemikiran tentang yang suci, mistis, ilahi, tabu, pantang, puasa, berkat, dan rahmat, dll. Pemahaman religi atau agama seperti itu erat kaitannya dengan penghayatan iman seseorang berdasarkan ajaran-ajaran agamanya. Singkatnya, istilah religi atau agama tertuju pada sikap percaya dan pasrah kepada realitas transenden yang diyakini bisa hadir secara imanen dalam dan melalui aktifitas-aktifitas spiritual. Adanya Wujud Tertinggi dan kelompok manusia yang percaya kepada-nya sebagai penyangga kehidupan semua makhluk di alam semesta ini. Namun secara konotatif pula, istilah religi menyiratkan adanya sosok pribadi yang figuratif untuk diteladani karena taat dan saleh dalam mentaati ajaran agama, yang disebut sebagai manusia religius. Jadi, secara konotatif agama atau religi menghantar seseorang ke arah to be religious. Tolok ukurnya adalah mencintai Allah di atas segala-galanya 40

dan mencintai sesama manusia melalui perbuatan nyata: amal, bersedekah, pengampunan dan penerimaan dalam persaudaraan, (toleran dan solider), serta berkomitmen etis, aktif dan proaktif dalam memelihara lingkungan alam dalam praksis kehidupan. 2.6. Makna Kualitatif Agama Sebagai sistem kepercayaan, agama memiliki beberapa makna bagi kehidupan para penganutnya, yakni mengarahkan manusia pada kondisi hidup sanitas (kesehatan jiwa), integritas (keutuhan psikologis), unitas (keutuhan diri secara lahir dan batin, jasmani dan rohani), sosialitas (kebersamaan secara bertanggungjawab), dan eskatologis (keselamatan pada akhir jaman, akhirat). Berikut ini adalah deskripsi singkat atas makna-makna di atas. Pertama, Sanitas, dalam artian bahwa manusia mengalami kesehatan jiwa tatkala ia menghayati religinya. Jadi, bukan sebaliknya seperti yang ditegaskan oleh Sigmund Freud bahwa religi itu menyeret manusia ke arah sakit jiwa dan mental kekanak-kanakan. Kedua, Integritas, memuat makna bahwa berkat penghayatan di dalam nilai dan norma religi, manusia beriman dapat mengalami keutuhan psikis, tidak 41

dirobek-robek oleh konflik psikis dan sosial. Manusia: individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok sanggup hidup berdampingan secara damai, saling menghargai dan mengasihi sehingga terciptalah persatuan dan solidaritas atas dasar kesadaran kesamaan hak, martabat, dan derajat antar manusia. Ketiga, Unitas, memuat makna bahwa religi adalah sumber kekuatan yang menyatukan. Manusia bisa hidup dalam suasana penuh persatuan dan kedamaian dalam penghayatan religi yang benar atas dasar kesadaran bahwa poros dan sentral setiap religi adalah satu, yakni Allah. Di sini perbedaan pemahaman dan ajaran tentang Allah dipahami tidak sebagai sumber pertentangan dan masalah, melainkan sebagai kekayaan khazanah iman atau cakrawala iman dan pemahaman akan Allah sebagai sosok yang misterium. Aspek unitas ini merupakan peluang bagi penghargaan terhadap hak, harkat, dan martabat manusia secara sama. Pemahaman dalam kadar seperti itu membuka peluang lebar bagi suasana hidup yang diliputi oleh keadilan, kedamaian, dan kerukunan. Keempat, Sosialitas, artinya setiap manusia yang menghayati religi atau agamanya dengan benar akan memiliki kesadaran tinggi tentang keberadaan 42