BAB I PENDAHULUAN I.1.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENGGUNAAN TEKNOLOGI GNSS RT-PPP UNTUK KEGIATAN TOPOGRAFI SEISMIK

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS) Mulkal Razali, M.Sc

On The Job Training PENGENALAN CORS (Continuously Operating Reference Station)

PETA TERESTRIAL: PEMBUATAN DAN PENGGUNAANNYA DALAM PENGELOLAAN DATA GEOSPASIAL CB NURUL KHAKHIM

Pemetaan Situasi dengan Metode Koordinat Kutub di Desa Banyuripan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

Studi Perbandingan GPS CORS Metode RTK NTRIP dan Total Station dalam Pengukuran Volume Cut and Fill

SURVEI HIDROGRAFI PENGUKURAN DETAIL SITUASI DAN GARIS PANTAI. Oleh: Andri Oktriansyah

BAB I PENDAHULUAN I.1.

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

BAB III GLOBAL POSITIONING SYSTEM (GPS)

METODE PENENTUAN POSISI DENGAN GPS

MODUL 3 GEODESI SATELIT

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

STUDI PERBANDINGAN GPS CORS METODE RTK NTRIP DENGAN TOTAL STATION

ANALISIS PENGARUH TOTAL ELECTRON CONTENT (TEC) DI LAPISAN IONOSFER PADA DATA PENGAMATAN GNSS RT-PPP

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang

BAB III METODE PENGUKURAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KONTUR ILMU UKUR TANAH II. DIII Jurusan Survei dan Pemetaan Universitas Indo Global Mandiri

PENENTUAN POSISI DENGAN GPS UNTUK SURVEI TERUMBU KARANG. Winardi Puslit Oseanografi - LIPI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

Aplikasi GPS RTK untuk Pemetaan Bidang Tanah

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1)

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Prinsip Kerja GPS (Sumber :

Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yan

2015, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR

KONTUR.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

ANALISIS PERBANDINGAN KETELITIAN POSISI GPS CORS RTK-NTRIP DENGAN METODE RAPID STATIK

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (MULTI)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Analisis Ketelitian Penetuan Posisi Horizontal Menggunakan Antena GPS Geodetik Ashtech ASH111661

dimana, Ba = Benang atas (mm) Bb = Benang bawah (mm) Bt = Benang tengah (mm) D = Jarak optis (m) b) hitung beda tinggi ( h) dengan rumus

Home : tedyagungc.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II Studi Potensi Gempa Bumi dengan GPS

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

BAB 3 PENGOLAHAN DATA DAN HASIL. 3.1 Data yang Digunakan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

PPK RTK. Mode Survey PPK (Post Processing Kinematic) selalu lebih akurat dari RTK (Realtime Kinematic)

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PENERAPAN NAVSTAR GPS UNTUK PEMETAAN TOPOGRAFI

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

EVALUASI KETINGGIAN BANGUNAN DALAM RANGKA UPAYA MENJAGA ZONA KKOP BANDARA JUANDA. (Studi Kasus : Masjid Ar-Ridlo Sedati Sidoarjo)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar belakang

STUDI EVALUASI METODE PENGUKURAN STABILITAS CANDI BOROBUDUR DAN BUKIT

PENGENALAN MACAM-MACAM PENGUKURAN SITUASI

BAB I Pengertian Sistem Informasi Geografis

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1)

Jurnal Geodesi Undip Januari 2014

BAB II CORS dan Pendaftaran Tanah di Indonesia

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI DAN DATA CHECKING

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

BAB I PENDAHULUAN I-1

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

Pengertian Garis Kontur, Peraturan, & Cara PembuatanDEFINISI, GEOGRAFI, IPS ON FEBRUARY 23, 2016 NO COMMENTS

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Global Positioning System (GPS) Konsep Penentuan Posisi Dengan GPS

B A B IV HASIL DAN ANALISIS

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan PP No.24/1997 dan PMNA / KBPN No.3/1997, rincian kegiatan pengukuran dan pemetaan terdiri dari (Diagram 1-1) ;

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

GEOTAGGING+ Acuan Umum Mode Survei dengan E-GNSS (L1)

PEMANTAUAN POSISI ABSOLUT STASIUN IGS

Bab 10 Global Positioning System (GPS)

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

Bab III Pelaksanaan Penelitian

BAB III KOREKSI PASUT UNTUK MENUJU SURVEI BATIMETRIK REAL TIME

BAB II SISTEM SATELIT NAVIGASI GPS

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBLE

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Jurnal Geodesi Undip Oktober 2016

Jurnal Geodesi Undip April 2015

Aplikasi Survei GPS dengan Metode Statik Singkat dalam Penentuan Koordinat Titik-Titik Kerangka Dasar Pemetaan Skala Besar

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

Bahan ajar On The Job Training. Penggunaan Alat Total Station

PENGENALAN GPS & PENGGUNAANNYA Oleh : Winardi & Abdullah S.

TACHIMETRI. Pengukuran titik detil tachimetri adalah suatu pemetaan detil. lengkap (situasi) yaitu pengukuran dengan menggunakan prinsip

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 1. prinsip proyeksi dari bidang lengkung muka bumi ke bidang datar kertas

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

MODUL 3 REGISTER DAN DIGITASI PETA

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b...

PRESENTASI TUGAS AKHIR

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Candi Borobudur adalah monumen Buddha termegah dan kompleks stupa terbesar di dunia yang diakui oleh UNESCO. Bangunan Candi Borubudur tersebut secara keseluruhan menjadi galeri mahakarya para pemahat batu yang menjadikan Candi Borobudur sebagai salah satu objek wisata terkenal di Indonesia dan di dunia. Selain bangunan candi yang menjadi daya tarik wisatawan, kawasan taman yang mengelilingi candi juga memberikan daya tarik tersendiri kepada wisatawan yang dapat menikmati pemandangan candi dari berbagai arah. Sebagai kompensasi dari hal tersebut, perlu dilakukan pengelolaan konservasi kawasan secara periodik. Kegiatan pengelolaan secara periodik yang dilakukan meliputi pemeliharaan kawasan secara fisik dan non fisik. Pemeliharaan kawasan secara fisik meliputi pengelolaan fasilitas-fasilitas yang terdapat di kawasan Candi Borobudur, sedangkan pemeliharaan kawasan secara non fisik dilakukan melalui kegiatan pemetaan. Pemetaan kawasan Candi Borobudur ini dilakukan dengan metode terestris dan ekstraterestris. Metode terestris yang dimaksud adalah ground survey menggunakan metode takhimetri dengan alat Total Station, sedangkan metode ekstraterestris yang digunakan adalah pengukuran menggunakan perangkat Global Positioning System (GPS) dengan metode RTK radio GNSS. Pekerjaan pemetaan menggunakan metode RTK radio GNSS dilakukan untuk pembuatan titik kontrol perapatan dan pengukuran detil-detil planimetrik pada kawasan taman wisata Candi Borobudur dengan luas ±77,485 ha. Tidak seluruh daerah terbebas oleh obtruksi, sehingga pengukuran detil planimetrik yang tidak dapat diakuisisi oleh metode RTK radio GNSS dapat diakuisisi secara takhimetri menggunakan Total Station. Pemilihan metode RTK radio GNSS dibanding metode takhimetri dikarenakan kecepatan metode tersebut dalam pengukuran detil untuk kawasan yang luas. Kapabilitas metode RTK radio GNSS di kawasan Candi Borobudur perlu dikaji untuk mengetahui seberapa banyak detil yang diakuisisi serta seberapa luas kawasan yang dapat dijangkau dengan mengunakan metode tersebut. 1

2 Pengkajian kapabilitas metode RTK radio GNSS dilakukan dengan membagi kawasan Candi Borobudur menjadi beberapa blok. Blok tersebut dibagi atas dasar metode pengukuran yang dilakukan untuk akusisi data detil di daerah tersebut. Daerah yang cocok untuk dipetakan dengan metode RTK radio GNSS dapat deketahui berdasarkan blok-blok pengukuran yang disajikan. Hasil pengkajian kapabilitas metode RTK radio GNSS ini berguna untuk kegiatan pengelolaan secara non fisik selanjutnya. Berdasarkan data kapabilitas tersebut, pengelola dapat mengetahui metode manakah yang cocok untuk proses pemetaan suatu area di kawasan Candi Borobudur. Pengetahuan mengenai metode yang efektif untuk pekerjaan pemetaan selanjutnya dapat digunakan untuk menekan biaya anggaran peralatan yang diajukan oleh konsultan pemetaan. Anggaran untuk sewa receiver GPS lebih tinggi dibanding Total Station, sehingga pengetahuan mengenai kapabilitas metode RTK radio GNSS dapat membantu pengelola untuk menentukan jenis metode yang tepat berdasarkan daerah yang dipetakan. Pengukuran detil menghasilkan data yang menjadi masukan untuk pembuatan peta situasi. Pengukuran detil dengan metode RTK radio GNSS dan takhimetri menghasilkan posisi dari setiap detil yang ada di kawasan Candi Borobudur dalam bentuk point. Proses penggambaran detil dan garis kontur di kawasan Candi Borobudur diperlukan agar hasil pengukuran dalam bentuk point tersebut dapat merepresentasikan detil dan keadaan topografi yang sebenarnya. Penggambaran detil dan kontur di kawasan Candi Borobudur dilakukan dengan software Computer Aided Drawing (CAD). Setelah dihasilkan gambaran detil dan kontur di kawasan Candi Borobudur, dilakukan proses uji peta yang meliputi uji ketelitian horizontal dan uji ketelitian vertikal. Proses uji tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa posisi dari setiap detil di peta sudah merepresentasikan keadaan sebenarnya di lapangan. Proses uji peta harus didukung dengan analisis statistik menggunakan uji signifikansi parameter. Uji signifikansi parameter untuk data jarak dan tinggi detil hasil ukuran di lapangan dengan data hasil ukuran di peta dilakukan untuk mengetahui apakah data uji di lapangan dan data ukuran di peta tersebut berbeda secara signifikan. Hal ini dikarenakan kedua data tersebut seharusnya memiliki nilai yang sama atau memiliki perbedaan namun tidak signifikan. Setelah diperoleh gambaran digital dari detil dan

3 kontur di kawasan Candi Borobudur serta proses uji yang menyatakan ketelitian hasil pengukurannya, gambar tersebut harus disajikan dalam bentuk peta situasi. Peta situasi tersebut disajikan dalam skala 1 : 250 menggunakan software ArcGIS. Peta situasi ini yang nantinya digunakan sebagai peta dasar untuk kegiatan pemetaan atau pekerjaan teknik yang dilakukan di kawasan Candi Borobudur. Kegiatan aplikatif ini menghasilkan informasi kapabilitas metode RTK radio GNSS untuk akuisisi data detil di kawasan Candi Borobudur dan peta situasi kawasan Candi Borobudur skala 1 : 250. Peta situasi tersebut menggambarkan keadaan terkini dari Candi Borobudur disertai dengan posisi setiap detil dan kontur yang merepresentasikan topografi kawasannya. Hasil kegiatan aplikatif ini dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan pertimbangan oleh pengelola kawasan Candi Borobudur dalam melakukan konservasi secara periodik yang berhubungan dengan perencanaan dan pengembangan kawasan. I.2. Lingkup Kegiatan Kegiatan aplikatif ini dilakukan di kawasan Candi Borobudur yang secara administratif terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gambaran kawasan Candi Borobudur tersebut dapat dilihat pada Gambar I.1. Lokasi kegiatan aplikatif ini ditunjukkan dengan daerah yang dibatasi oleh garis berwarna kuning pada Gambar I.1. Kawasan Candi Borobudur Gambar I.1. Citra Google Earth kawasan Candi Borobudur

4 Lingkup kegiatan aplikatif ini tidak meliputi seluruh kawasan Candi Borobudur yang memiliki luas 85,017 ha, melainkan hanya kawasan candi zona II dan zona III seperti yang terlihat pada Gambar I.2. Hal ini dikarenakan untuk kawasan candi zona I dengan luas 7,532 ha merupakan kawasan bangunan stupa Candi Borobudur yang dikelola oleh UNESCO. Lingkup dari kegiatan aplikatif ini hanya mencakup kawasan taman wisata Candi Borobudur yang terletak di zona II dan III dengan luas kawasan 77,485 ha. Gambar I.2 Pembagian zona kawasan Candi Borobudur (Sumber : http://berita.bhagavant.com/) Lingkup kegiatan aplikatif ini dilakukan agar kegiatan lebih terarah dan sesuai dengan tujuan. Lingkup kegiatan aplikatif ini menggunakan kriteria sebagai berikut: 1. Lokasi kegiatan yang digunakan dalam kegiatan aplikatif adalah kawasan Candi Borobudur zona II dan III seluas 77,485 ha yang merupakan kawasan taman wisata. 2. Kapabilitas metode RTK radio GNSS untuk akuisisi detil di kawasan Candi Borobudur ditentukan dari jumlah titik detil dan cakupan luas daerah yang berhasil dipetakan dengan menggunakan metode tersebut. 3. Pembuatan peta situasi kawasan Candi Borobudur skala 1 : 250 berdasarkan data pengukuran detil menggunakan metode RTK radio

5 GNSS dan metode takhimetri menggunakan Total Station. 4. Detil-detil yang diukur dalam pembuatan peta situasi kawasan Candi Borobudur skala 1 : 250 meliputi: a. topografi (kontur dan elevasi), b. infrastruktur (bangunan), c. jalan (aspal, paving, lava stone), d. elemen landscape (gazebo, pergola, signage, titik lampu, kolam, dan lain-lain), e. utilitas (panel listrik, CCTV, sanitasi, drainase terbuka, drainase tertutup dan lain-lain), f. pembatas (pagar dan batas lahan dengan lingkungan luar), dan g. vegetasi 6. Datum horizontal pembuatan peta situasi mengacu pada datum WGS 84, hal ini mengingat BM utama untuk pembuatan peta diikatkan dengan kerangka sistem acuan global International Terestrial Reference Frame 2000 (Lestari, 2015). 7. Proses uji ketelitian horizontal peta dilakukan dengan membandingkan data ukuran segmen jarak di lapangan dengan data segmen jarak di peta yang sudah dikalikan dengan angka skala peta. 8. Proses uji ketelitian vertikal peta dilakukan dengan membandingkan data tinggi hasil ukuran di lapangan dengan data tinggi di peta. Data tinggi di peta diperoleh dari proses drape sampel uji di lapangan terhadap DTM kawasan Candi Borobudur yang dibentuk. 9. Toleransi untuk uji ketelitian horizontal yang digunakan adalah 7,5 cm yang diperoleh dari rumus 0,3 mm dikali angka skala peta. Toleransi untuk uji ketelitian vertikal yang digunakan adalah 6,25 cm yang diperoleh dari rumus 0,5 dikali nilai interval kontur. Toleransi uji ketelitian horizontal dan vertikal didasarkan pada ketentuan Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No 15 tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Ketelitian Peta Dasar.

6 I.3. Tujuan Tujuan kegiatan aplikatif ini meliputi : 1. Teridentifikasi kapabilitas metode RTK radio GNSS untuk akuisisi data pemetaan situasi di kawasan Candi Borobudur. 2. Diperoleh peta situasi kawasan Candi Borubudur skala 1 : 250 berdasarkan data gabungan dari metode RTK radio GNSS dan takhimetri menggunakan Total Station. I.4. Manfaat Manfaat kegiatan aplikatif ini antara : 1. Setelah diperoleh informasi mengenai kapabilitas pengukuran detil menggunakan metode RTK radio GNSS di kawasan Candi Borobudur, maka dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan jenis metode akuisisi data posisi yang tepat untuk kegiatan pemetaan selanjutnya. 2. Diperolehnya informasi terkini yang lebih detail dan rinci mengenai kawasan Candi Borubudur guna mempermudah pekerjaan teknik yang berhubungan dengan kegiatan perencanaan dan pengembangan kawasan candi tersebut dalam bentuk peta situasi kawasan Candi Borobudur skala 1 : 250. I.5. Landasan Teori I.5.1. Pemetaan Situasi Pemetaan situasi adalah suatu metode untuk menentukan posisi tanda-tanda (features) buatan manusia maupun alami diatas permukaan tanah. Dalam pemetaan situasi, penyajian features meliputi semua detil planimetrik yang ada di permukaan bumi beserta garis kontur yang merepresentasikan keadaan topografi pada daerah pemetan tersebut. Pemetaan situasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain secara terestris, ekstraterestris menggunakan alat GPS, penginderaan jauh maupun fotogrametri (Basuki, 2006). I.5.1.1. Peta situasi. Peta situasi adalah gambaran tentang permukaan bumi dengan detilnya (jalan, sungai, jembatan, rumah dll) yang disajikan dalam bidang datar dengan skala tertentu. Pengertian lain mengenai peta situasi ada dua, yaitu peta yang menggambarkan relief permukaan bumi beserta bangunan alamiah maupun

7 buatan manusia yang ada di atasnya dan peta yang menggambarkan relief/sifat permukaan bumi yang digambarkan dengan garis kontur. Informasi yang diberikan pada peta situasi (Anonim, 2013) : 1. Kontur permukaan bumi, 2. Detil permukaan bumi, 3. Informasi peta (no.peta, judul peta, skala peta, koreksi peta, legenda, proyeksi peta dan satuan kedalaman laut serta informasi kelengkapan peta lainya), 4. Skala peta perbandingan satu satuan panjang di peta terhadap panjang sebenarnya. Tingkat kerapatan detil pada peta situasi bergantung pada skala dari peta yang ditentukan. Penentuan skala peta didasarkan pada tujuan dari peta yang dibuat. Skala peta adalah perbandingan antara jarak di peta dengan jarak sesungguhnya di lapangan (Sariyono, 2010). Untuk skala peta 1 : 250, berarti 1 cm jarak di peta sebanding dengan 250 cm atau 2,5 m di lapangan. Untuk peta situasi dengan skala peta 1 : 250, memiliki spesifikasi peta sebagai berikut : 1. Satu sentimeter jarak di peta sebanding dengan 2,5 m di lapangan atau satu milimeter jarak di peta sebanding dengan 25 cm di lapangan. 2. Dimensi dari detil planimetrik yang diukur di lapangan lebih dari 25 cm. 3. Interval kontur 12,5 cm. 4. Toleransi ketelitian horizontal peta 7,5 cm. 5. Toleransi ketelitian vertikal peta 6,25 cm. I.5.1.2. Kerangka dasar pemetaan. Pengukuran awal dari pekerjaan pemetaan situasi adalah pengadaan titik-titik kerangka dasar pemetaan (TKDP) yang cukup merata di daerah yang akan dipetakan. TKDP ini akan dijadikan ikatan dari detildetil yang merupakan objek dari unsur-unsur yang ada di permukaan bumi yang akan digambarkan dalam peta. Apabila kerangka peta ini baik, dalam arti bentuk, distribusi dan ketelitiannya sesuai dengan yang diharapkan, maka bisa diharapkan bahwa peta yang akan dihasilkan juga baik. Namun sebaliknya, apabila kerangka dasar pemetaannya tidak baik, peta yang dihasilkan juga diragukan kualitasnya (Basuki, 2006).

8 Kerangka dasar dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu kerangka horizontal dan kerangka vertikal. Kerangka dasar pemetaan horizontal bermacam-macam, pemilihan dan pemakaiannya ditentukan oleh banyak faktor, antara lain luas daerah yang dipetakan, ketersediaan peralatan, dan kemudahan perhitungan. Kerangka peta yang monumentasinya di lapangan berupa Bench Mark (BM) diperoleh dari beberapa metode pengukuran, salah satunya dengan teknologi GNSS. Metode penentuan kerangka dasar pemetaan dengan teknologi GNSS merupakan penentuan posisi titik-titik kontrol pemetaan dengan prinsip resection (pemotongan ke belakang), dimana receiver GPS didirikan pada titik-titik yang akan dicari koordinatnya dengan cara pengikatan terhadap titik referensi yang sudah terdefinisi sistem koordinatnya (Abidin, 1994). Dalam hal ini, titik referensi tersebut adalah satelit-satelit GPS dan GLONASS yang posisinya di orbit dapat diketahui melalui data broadcast ephemeris maupun precise ephemeris. Berdasarkan data ephemeris tersebut, dapat diketahui posisi satelit dari sinyal yang dipancarkan oleh satelit GNSS, sehingga posisi pengamat atau receiver GPS dapat ditentukan. Metode pengukuran kerangka dasar pemetaan horizontal dengan survei GPS ada beberapa macam yaitu (SNI10-6742, 2002): 1. Metode statik adalah metode survei GPS dengan waktu pengamatan yang relatif lama (beberapa jam) di setiap titiknya. Titik-titik yang diukur posisinya diam (tidak bergerak). 2. Metode stop and go adalah proses pengamatan GPS dengan melakukan inisialisasi di titik awal untuk penentuan ambiguitas fase, receiver GPS bergerak dari titik ke titik lainnya dan melakukan pengamatan dalam waktu yang relatif singkat (sekitar 1 menit) pada setiap titiknya. Metode penentuan posisi ini kadang disebut juga sebagai metode semi-kinematik 3. Metode pseudo-kinematik adalah metode survei GPS yang pengamatannya di dilakukan dua kali secara singkat (5 s.d 10 menit) pada satu titik dengan selang waktu yang relatif cukup lama (1 s.d 2 jam) antara keduanya. Sedangkan untuk penentuan posisi di bumi dengan GPS dibagi menjadi dua (Sunantyo, 2000) yaitu: 1. Metode absolut dikenal juga sebagai point positioning, menentukan posisi hanya berdasarkan pada 1 pesawat penerima (receiver) saja. Ketelitian posisi

9 dalam beberapa meter (tidak berketelitian tinggi) dan hanya diperuntukkan untuk keperluan navigasi. 2. Metode relatif atau sering disebut differential positioning, menetukan posisi dengan menggunakan lebih dari satu receiver. Metode ini menghasilkan posisi berketelitian tinggi umumnya kurang dari 1 meter dan diaplikasikan untuk keperluan survei geodesi atau pemetaan yang memerlukan ketelitian tinggi, seperti metode kinematik differential, sistem DGPS dan RTK. Pemilihan metode GNSS untuk pengukuran kerangka dasar pemetaan dikarenakan ketelitian koordinat yang dihasilkan dari metode tersebut memiliki spesifikasi yang tinggi yaitu mencapai fraksi milimeter. I.5.1.3 Pengukuran detil. Detil adalah segala objek yang ada di lapangan, baik yang bersifat alamiah seperti sungai, lembah, bukit, alur, dan rawa, maupun hasil buatan manusia seperti jalan, jembatan, gedung, lapangan, stasiun, selokan, dan batas-batas pemilikan tanah yang akan dijadikan isi dari peta yang akan dibuat (Basuki, 2006). Pemilihan detil, distribusi dan teknik pengukurannya dalam pemetaan sangat tergantung dari skala dan tujuan peta itu dibuat. Misal untuk peta kadaster atau pendaftaran hak atas tanah, yang diperlukan adalah unsur batas-batas pemilikan tanah, sedang beda tinggi atau topografinya tidak diperlukan. Sedang untuk peta teknik, yang diperlukan adalah unsur-unsur topografi, detil alamiah serta hasil budaya manusia yang konkrit ada di lapangan. Penentuan posisi dari titik-titik detil, diikatkan pada titik-titik kerangka pemetaan yang terdekat yang telah diukur sebelumnya atau mungkin juga ditentukan dari garis ukur yang merupakan sisi-sisi dari kerangka peta ataupun garis yang dibuat khusus untuk itu. Salah satu metode yang digunakan untuk pengukuran detil adalah metode polar atau ekstrapolasi koordinat kutub. Metode ini mengukur posisi tiga dimensi (X, Y, Z) dari setiap detil. Posisi detil ditentukan berdasarkan data jarak horisontal dan jarak miring, jarak vertikal, serta sudut horisontal dan sudut vertikal (Kavanagh, 1997) dari titik ikat atau BM ke titik detil. Banyaknya detil yang dikur mengharuskan pengukuran dilakukan dengan metode takhimetri. Pada metode takhimetri jarak titik detil diukur secara optis, azimut diukur dengan alat teodolit dan

10 beda tingginya ditentukan secara trigonometris. Dengan menggunakan alat Total Station yang merupakan gabungan antara teodolit dan Electronic Distance Meter (EDM), penentuan jarak secara optis, pengukuran sudut horizontal untuk azimut serta pengukuran sudut vertikal untuk penentuan beda tinggi dapat dilakukan secara bersamaan. Dalam pengukuran detil secara ekstrapolasi koordinat kutub pada metode takhimetri, komponen yang dikur meliputi : a. Azimut/sudut antara titik BM dan titik detil b. Jarak antara titik BM dan titik detil c. Beda tinggi antara titik BM dan titik detil Dalam penentuan posisi secara ekstrapolasi koordinat kutub pada metode takhimetri, penentuan koordinat horizontal (X, Y) ditentukan dengan mengukur jarak optis dan azimut antara titik BM dengan titik detil. Penentuan beda tinggi dari setiap detil dilakukan secara trigonometris, dimana pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut miring atau vertikalnya dengan jarak yang diketahui, baik jarak dalam bidang datar maupun jarak geodetik untuk menentukan nilai koordinat Z dari titik detil tersebut. I.5.1.4. Penggambaran peta secara digital. Tahapan penggambaran peta situasi dilakukan setelah semua detil yang terletak pada area pemetaan selesai diukur. Setelah tahapan pengukuran dilakukan, dilanjutkan dengan proses download data, baik data ukuran menggunakan Total Station maupun data ukuran yang diperoleh dari pengukuran menggunakan metode RTK radio GNSS. Untuk mengetahui bentuk fitur-fitur yang sudah diukur secara grafis, langkah selanjutnya adalah proses penggambaran peta secara digital. Disebut penggambaran secara digital dikarenakan data yang menjadi data masukan berupa data softcopy hasil download dari perangkat pengukuran elektronik seperti Total Station maupun GPS dan kemudian diolah serta digambar menggunakan software. Penggambaran peta secara digital dilakukan dengan mengolah data hasil download pengukuran, kemudian diolah dengan software Microsoft Excel untuk data yang diperoleh melalui pengukuran menggunakan Total Station. Untuk data hasil pengukuran GPS, khususnya data dengan format rinex hasil pengukuran GPS metode

11 RTK Radio, proses download data langsung dilakukan dari perangkat GPS tanpa harus diolah menggunakan Microsoft Excel seperti data ukuran dengan Total Station. Setelah proses download data, dapat dilakukan plotting titik-titik hasil pengukuran dengan menggunakan software CAD seperti AutoCAD Land Desktop. Penggambaran peta situasi secara digital menggunakan software CAD mencakup tahapan plotting, editing dan finishing dari data ukuran yang meliputi : 1. Penggambaran detil planimetrik. Detil planimetrik yang digambar berupa detil-detil yang telah diukur dan telah diklompokkan menurut layer nya. Fitur-fitur tersebut digambarkan agar peta situasi yang dihasilkan merepresentasikan kondisi sebenarnya dari daerah yang dipetakan. Proses penggambaran detil planimetrik dilakukan dengan cara mendigitasi titik-titik detil sesuai layer masing-masing menggunakan tools dari software CAD yaitu garis 3D polyline, kemudian dilanjutkan dengan mengatur properties layer seperti ketebalan garis, warna, dan jenis hatch. 2. Penggambaran garis kontur. Garis kontur perlu digambarkan dalam suatu peta situasi dengan tujuan untuk mengetahui gambaran topografi dari daerah yang dipetakan. Seperti misalnya pada kasus perbedaan topografi antara gunung dan lembah, agar perbedaan yang mencolok tersebut dapat dilihat dengan jelas pada peta yang menampilkan representasi permukaan bumi secara 3D diperlukan penggambaran garis kontur yang disertai dengan informasi nilai ketinggiannya. Garis kontur tersebut menggambarkan tren dari topografi di suatu daerah pemetaan karena memuat informasi tinggi yang ditampilkan dalam bentuk nilai dari interval kontur. Dalam proses penggambaran garis kontur harus mempertimbangkan karakteristik dan spesifikasi garis kontur yang benar, meliputi (Arifin, 2005): a. Berbentuk kurva tertutup. b. Tidak bercabang. c. Tidak berpotongan. d. Menjorok ke arah hulu jika melewati sungai. e. Menjorok ke arah jalan menurun jika melewati permukaan jalan.

12 f. Tidak tergambar jika melewati bangunan. g. Garis kontur yang rapat menunjukan keadaan permukaan tanah yang terjal. h. Garis kontur yang jarang menunjukan keadaan permukaan yang landai i. Garis kontur berharga lebih rendah mengelilingi garis kontur yang lebih tinggi. j. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "U" menandakan punggungan gunung. k. Rangkaian garis kontur yang berbentuk huruf "V" menandakan suatu lembah/jurang Penggambaran kontur dilakukan dengan menggunakan seluruh data dari titik tinggi topografi yang terkelompok dalam layer khusus yang disebut spot height (kode SH). Dalam pelaksanaannya, pembuatan kontur juga dipadu dengan layer-layer detil planimetrik yang telah dibuat sebelumnya. Layerlayer planimetrik seperti jalan, bangunan dan sebaiknya difungsikan sebagai breaklines agar kontur yang dihasilkan memiliki trend yang representatif atau sesuai dengan keadaan topografi di lapangan. 3. Penyajian peta. Proses editing yang dilakukan meliputi digitasi detil planimetrik dan pembuatan garis kontur. Setelah proses ini selesai, kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan peta situasi dengan menggunakan software ArcGIS agar kaidah-kaidah kartografi dalam penyajian suatu peta situasi dapat dipenuhi. Agar peta situasi yang disajikan memenuhi kaidah kartografi, suatu peta harus memiliki komponen peta yang meliputi isi peta, judul peta, skala peta dan simbol arah, legenda, indeks peta, grid, nomor peta, sumber peta dan jenis proyeksi peta yang digunakan (Saraswati, 1979). I.5.1.5. Uji Signifikansi Parameter. Uji signifikansi parameter digunakan untuk mengetahui apakah nilai parameter eksis secara stastistik dan berbeda signifikan dengan nilai nol (Ghilani, 2010). Pengujian signifikansi parameter ini menggunakan distribusi student. Pada kegiatan aplikatif ini, parameter yang diuji

13 adalah selisih antara data ukuran di lapangan dengan data ukuran di peta. Kriteria pengujian dilakukan dengan membandingkan nilai parameter dan simpangan baku parameter sesuai dengan persamaan I.1 (Ghilani, 2010). T = D SD...(I.1) Penerimaan untuk hipotesis nol (H 0 ) adalah sebesar T < t (df, α/2). Dalam hal ini, T D : nilai t-hitungan : selisih antara data ukuran di lapangan dengan data ukuran di peta SD : simpangan baku dari selisih antara data ukuran di lapangan denga data ukuran di peta t (df, α/2) : distribusi t pada tabel t (student) dengan tingkat kepercayaan sebesar α Nilai D dan S dapat dihitung dengan persamaan I.2. dan persamaan I.3. D = x 1 x 2...(I.2) S = Dalam hal ini, x 1 x 2 n (Di D )2 n 1...(I.3) : data ukuran jarak atau tinggi detil di lapangan : data ukuran jarak atau tingi detil di peta : jumlah data Pengujian tersebut mengidentifikasikan bahwa nilai parameter yaitu selisih antara data ukuran di lapangan dan data ukuran di peta besarnya sama seperti pada persamaan I.4. H 0 : D = 0, atau......(i.4) H 0 : D 0...(I.5) Daerah penerimaan untuk hipotesis nol (H 0 ) adalah sebesar T < t (df, α/2). Nilai kritis dari t dapat dilihat dari tabel-t yang terdapat pada Lampiran A. Nilai tersebut ditentukan dengan melihat level kepercayaan (α) dan nilai degree of freedom (df). Penerimaan H 0 ini mengindikasikan nilai parameter tidak eksis secara statistik. Artinya nilai D tidak berbeda signifikan dengan nilai nol. Penolakan H 0 mengindikasikan bahwa nilai parameter eksis secara statistik. Artinya nilai D berbeda signifikan dengan nilai nol.

14 I.5.1.6. Uji peta. Uji peta dimaksudkan untuk mengetahui apakah peta tersebut sudah layak dipakai atau tidak sesuai spesifikasi yang sudah ditentukan dalam kerangka acuan pekerjaan untuk mengetahui apakah hasil peta tersebut sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara melakukan pengukuran secara acak dan menyeluruh pada detil-detil planimetris, arah atau beda tinggi. Uji peta dilakukan dengan membandingkan dan menguji antara objek-objek dari peta yang diuji dengan keadaan sebenarnya di lapangan dengan cara dilakukan pengamatan dan pengukuran objek-objek tersebut baik pada peta maupun di lapangan (Basuki, 2006). Uji ketelitan posisi ditentukan dengan menggunakan titik uji yang memenuhi ketentuan objek yang digunakan sebagai titik uji peta, yaitu (Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial No 15 tahun 2014) : 1. Dapat diidentifikasi dengan jelas di lapangan dan di peta yang akan diuji. 2. Merupakan objek yang relatif tetap tidak berubah bentuk dalam jangka waktu yang singkat. 3. Memiliki sebaran yang merata di seluruh area yang akan diuji. Uji ketelitian posisi yang dilakukan meliputi uji ketellitian horizontal dan uji ketelitian vertikal. Hasil dari uji ketelitian horizontal dan ketelitian vertikal harus memenuhi toleransi uji peta. Nilai toleransi untuk ketelitian tersebut berbeda-beda tergantung pada skala peta yang dibuat. Toleransi uji ketelitian horizontal dan vertikal meliputi : 1. 90 % dari jumlah elevasi/koordinat tinggi yang diuji kesalahannya harus lebih kecil dari 0,5 kali interval kontur. 2. 90 % dari jumlah jarak/koordinat planimetrik yang diuji kesalahannya harus lebih kecil dari 0,3 mm pada skala peta. I.5.2. Penentuan Posisi dengan Metode RTK Radio GNSS Menurut Fahrurrazi (2010) Global Navigation Satellite System atau yang biasa disebut GNSS merupakan sistem satelit yang dirancang untuk keperluan navigasi, penentuan posisi, dan waktu. GNSS terdiri atas empat sistem satelit navigasi, yaitu Navstar GPS milik Amerika Serikat, GLONASS milik Rusia, Galileo milik Eropa, dan Compass milik China. Dari keempat sistem satelit tersebut, GPS

15 dan GLONASS yang sudah beroperasi, sedangkan untuk Galileo dan Compass masih dalam tahap pengembangan. I.5.2.1. Global Positioning System (GPS). Nama formal dari GPS adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positiong System). GPS merupakan sistem navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit yang dikembangkan dan dikelola oleh Amerika Serikat sejak tahun 1973. Sistem satelit ini terdiri atas 24 satelit dengan jarak ketinggian orbit 20.200 km dari bumi. GPS terdiri atas tiga segmen utama, yaitu segmen satelit, segmen kontrol, dan segmen pemakai (Abidin 2000). Segmen satelit terdiri dari satelit-satelit GPS. Segmen kontrol terdiri atas stasiun-stasiun pemonitor dan pengotrol satelit. Segmen pemakai terdiri atas pemakai GPS termasuk alat-alat penerima dan pengolah sinyal data GPS. Segmen GPS lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut (Abidin 2000): 1. Segmen satelit GPS merupakan stasiun radio di luar angkasa yang dilengkapi dengan antenna untuk mengirim dan menerima sinyal gelombang. Sinyal dari satelit kemudian diterima receiver GPS yang ada di permukaan bumi dan digunakan untuk menentukan posisi, kecepatan, serta waktu. 2. Segmen kontrol merupakan stasiun pengontrol dan pemonitor satelit selain bertugas untuk mengontrol dan memonitor satelit, juga berfungsi untuk menentukan orbit dari seluruh satelit GPS. 3. Segmen pemakai harus memiliki alat penerima sinyal GPS yang berfungsi untuk menerima serta memproses sinyal dari satelit GPS untuk penentuan posisi, kecepatan, serta waktu. I.5.2.2. Prinsip penentuan posisi dengan GNSS. Konsep dasar dari penentuan posisi dengan GNSS adalah space resection (pemotongan ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak ke beberapa satelit GNSS yang telah diketahui koordinatnya, dengan pengamatan secara simultan ke minimal 4 buah satelit untuk mendapatkan tiga parameter posisi dan satu parameter waktu. Jarak tersebut tidak dapat diukur langsung, tetapi dengan jalan mengukur besaran lain yaitu waktu rambat sinyal dari satelit ke stasiun pengamatan. Posisi yang diberikan oleh GNSS

16 adalah posisi 3D (X, Y, Z ataupun φ, λ, h) yang dinyatakan dalam datum World Geodetic System (WGS) 1984 (Abidin, 2000). Dalam penentuan posisi menggunakan GNSS, dikenal dua metode penentuan posisi secara umum, antara lain metode penentuan posisi secara absolute dan metode relative. Metode penentuan posisi secara absolute atau yang lebih dikenal dengan point positioning merupakan penentuan posisi suatu titik secara mandiri dimana suatu posisi suatu titik direferensikan terhadap pusat dari sistem koordinat. Metode ini merupakan desain awal dari penentuan posisi dengan teknologi GNSS. Dalam penentuannya, posisi titik yang ditentukan tidak bergantung pada titik lainnya, maka receiver yang digunakan hanya satu buah. Metode penentuan posisi secara relatif pada dasarnya adalah pengamatan posisi satelit GNSS dalam konstelasi yang sama secara bersamaan dengan rentang waktu yang sama dan bertujuan untuk menentukan posisi relatif dua atau lebih stasiun pengamatan serta menentukan jarak antara dua stasiun atau lebih yang dikenal dengan jarak basis (baseline). Dalam metode ini posisi suatu titik ditentukan relatif terhadap titik lain yang sudah diketahui koordinatnya. I.5.2.3. Penentuan posisi dengan metode RTK (Real Time Kinematic). Penentuan posisi secara RTK adalah pengukuran posisi secara relative dengan menggunakan satu receiver yang digunakan sebagai base station pada titik yang telah diketahui koordinatnya dan receiver yang lainnya digunakan sebagai rover dalam keadaan bergerak maupun diam. RTK merupakan metode yang akurat untuk penentuan posisi dalam waktu yang singkat berbasiskan diferensial data code dan carrier phase. Diferensial data code dan carrier phase digunakan untuk penentuan posisi yang diinginkan. Metode RTK dibedakan menjadi dua, yaitu RTK radio dan RTK NTRIP (Network Transported RTCM to Internet Protocol). Kedua metode tersebut dapat memberikan ketelitian dengan fraksi sentimeter (cm), namun untuk metode RTK Radio hanya dapat mencapai jangkauan 1 s.d 2 km dari base.

17 Gambar I.3. Konsep RTK GNSS (Atunggal, 2010) Dalam pengamatan dengan sistem RTK seperti pada Gambar I.3, dibutuhkan minimal dua receiver GPS untuk melakukan proses akuisisi data. Satu receiver berperan sebagai reference receiver dan receiver yang lain berperan sebagai rover receiver. Dalam pengukuran secara RTK, terdapat tiga jenis solusi ambiguitas fase yang diperoleh pada saat melakukan proses akuisisi data yaitu (Hersanto 2010): 1. Fix Rover telah terhubung ke stasiun referensi, memiliki ketelitian posisi dari 1 cm hingga 5 cm, ambiguitas fase telah terkoreksi, jumlah satelit yang teramati > 4, bias multipath terkoreksi. 2. Float Rover sudah terhubung ke stasiun referensi, memiliki ketelitian posisi dalam interval 5 cm hingga 1 m, ambiguitas fase belum terkoreksi, jumlah satelit yang teramati 4, bias multipath belum terkoreksi. 3. Standalone Rover tidak terhubung ke stasiun referensi, memiliki ketelitian posisi > 1 m, ambiguitas fase belum terkoreksi, jumlah satelit yang teramati 4, bias multipath belum terkoreksi. I.5.2.4. Penentuan posisi dengan metode RTK radio GNSS. Penentuan posisi dengan metode RTK radio GNSS merupakan metode berbasiskan pada carrier phase

18 dalam penentuan posisi secara relatif dengan tingkat ketelitian mencapai satuan sentimeter secara real time. Prinsip penentuan posisi secara RTK radio dengan cara menggunakan satu stasiun penerima siyal (referensi/base station) dan beberapa rover (receiver) yang dapat bergerak (mobile), dimana receiver GPS penerima sinyal carrier phase yang berfungsi sebagai rover station yang bergerak membandingkan pengukuran fase itu sendiri dengan pengukuran fase yang diterima dari stasiun referensi (base station) melalui gelombang radio. Selanjutnya diperoleh data koreksi yang dibutuhkan untuk pengukurannya secara real-time. Ada tiga komponen penting dalam pengukuran menggunkan metode RTK Radio (Abidin, 2000), yaitu : 1. Base station (stasiun referensi) Stasiun referensi atau base station ini terdiri atas receiver dan antena. Base station ini berfungsi untuk mengolah data differensial dan melakukan koreksi carrier phase berupa koreksi Radio Technical Commission for Maritime Service (RTCM) yang dikirimkan via radio modem base station ke radio modem rover station. 2. Rover station (stasiun rover) Fungsi rover adalah untuk mengidentifikasi satelit-satelit pada daerah pengamatan serta menerima data diferensial dan koreksi carrier phase dari base station. Cara kerja rover dalam melakukan pengukuran secara RTK dengan cara menggerakkan rover (mobile) dari suatu titik ke titik lainnya yang ingin diketahui posisinya. Koreksi carrier phase tersebut dikirim via radio link dengan radio modem antara base station dan rover sehingga bisa mendapatkan posisi yang lebih teliti. 3. Data link (hubungan data) diferensial Data link ini berfungsi mengirimkan data diferensial dan koreksi carrier phase dari base station ke rover melalui radio modem. Kecepatan radio modem dan band frekuensi pada base station dan rover harus sama sehingga proses pengiriman data bisa lancar. Jenis-jenis band frekuensi yang dimanfaatkan dalam survey RTK radio GNSS meliputi: a. Ultra Height Frequency (UHF) Bekerja pada frekuensi antara 300 Mhz sampai 3 Ghz dengan panjang gelombang antara 10 cm sampai 1m.

19 b. Very Height Frequency (VHF) Bekerja pada frekuensi antara 30 Mhz sampai 300 Mhz dengan panjang gelombang antara 1 m sampai 10 m. c. Height Frequency (HF) Bekerja pada frekuensi antara 3 Mhz sampai 30 Mhz dengan panjang gelombang antara 10 m sampai 100 m Perbedaan yang mendasar antara penentuan posisi dengan GPS metode RTK radio dan RTK NTRIP terletak pada data link yang digunakan untuk mengirim koreksi carrier phase berupa koreksi RTCM dari base station ke rover station dikarenakan rover terus berpindah posisinya terhadap base station. Untuk mengirimkan koreksi carrier phase tersebut, dalam metode RTK radio menggunakan gelombang radio sebagai data link sedangkan pada metode RTK NTRIP menggunakan Internet Protocol (IP) atau koneksi internet. Pengukuran dengan metode RTK radio memiliki kendala berupa jarak maksimum antara base station dan rover dikarenakan jangkauan maksimum pengiriman koreksi carrier phase adalah 2 km. Hal ini berbeda dengan metode RTK NTRIP yang tidak terkendala jarak maksimum antara base station dan rover dikarenakan koreksi carrier phase dikirimkan lewat koneksi internet. I.5.2.5. Pemilihan lokasi untuk survei GNSS. Pemilihan lokasi untuk titiktitik kontrol pemetaan, baik titik BM maupun titik kontrol perapatan berbeda dengan survei terestris. Survei GPS tidak memerlukan saling keterlihatan (intervisibility) antara titik-titik pengamat. Yang diperlukan adalah bahwa pengamat dapat melihat satelit (satellite visibility). Pada dasarnya lokasi titik GPS dipilh sesuai dengan kebutuhan serta tujuan penggunaan dari titik GPS tersebut. Disamping itu, secara umum lokasi titik GPS untuk penentuan BM dan BM perapatan, sebaiknya memenuhi persyaratan berikut ini (SNI10-6742, 2002): 1. Punya ruang pandang langit yang bebas ke segala arah di atas elevasi 15 o. 2. Jauh dari objek-objek reflektif yang mudah memantulkan sinyal GPS, untuk meminimalkan atau mencegah terjadinya multipath. 3. Jauh dari objek-objek yang dapat menimbulkan interferensi elektris terhadap penerimaan sinyal GPS.

20 4. Kondisi dan struktur tanahnya stabil. 5. Mudah dicapai (lebih baik dengan kendaraan bermotor). 6. Sebaiknya ditempatkan di tanah milik negara. 7. Ditempatkan pada lokasi dimana monumen/pilar tidak mudah terganggu atau rusak, baikakibat gangguan manusia, binatang, ataupun alam. 8. Penempatan titik pada suatu lokasi juga harus memperhatikan rencana penggunaan lokasi yang bersangkutan di masa depan. 9. Titik-titik harus dapat diikatkan minimal ke satu titik yang telah diketahui koordinatnya untuk keperluan perhitungan, pendefinisian datum, serta penjagaan konsistensi dan homogenitas dari datum dan ketelitian titik-titik dalam jaringan. Dalam hal ruang pandang ke langit, dua hal harus diperhatikan, yaitu berkaitan dengan lokasi dan ketinggian dari objek-objek yang dapat menghalangi penerimaan sinyal oleh receiver GPS. Selain penentuan posisi BM dan titik kontrol perapatan yang diukur dengan metode GNSS mengunakan alat GPS, pemilihan lokasi untuk survei GNSS juga berlaku dalam proses pengukuran detil. Proses pengukuran detil menggunakan teknologi GNSS seperti metode RTK radio memerlukan penentuan detil-detil mana yang dapat diukur dengan metode tersebut sangat diperlukan, hal ini dikarenakan pengukuran detil dengan metode RTK radio harus dilakukan pada detil-detil yang terbebas dari obstruksi. Daerah pengukuran dengan obstruksi menghambat proses peneriman sinyal L1 dan L2 oleh receiver GPS geodetic double-frequency yang dikirim oleh satelit GNSS, seperti yang tergambar pada Gambar I.4.

21 Gambar I.4. Obstruksi saat penentuan posisi dengan metode GNSS (SNI10-6742, 2002) Obstruksi yang dimaksud berupa objek-objek yang menghambat visibilitas satelit oleh receiver GPS seperti pohon, bangunan atau objek lain yang mengganggu ruang pandang langit antara receiver GPS dan satelit-satelit GNSS. Pengukuran yang bebas obstruksi menghasilkan nilai koordinat yang teliti. Hal ini berkaitan dengan solusi GPS yang diperoleh oleh receiver GPS. Daerah pengukuran yang terbebas dari obstruksi membuat solusi yang diterima oleh receiver adalah fix (ketelitian posisi 1 s.d 5 cm), berbeda dengan daerah dengan obstruksi yang menghasilkan solusi float (5 cm s.d 1 m). Sebelum proses pengukuran detil berlangsung perlu mengelompokkan detil-detil mana yang mungkin diukur dengan metode RTK radio GNSS dan mana yang diukur dengan Total Station. I.5.3. Penentuan Posisi dengan Metode Takhimetri Penentuan posisi dengan metode takhimetri dilakukan untuk mengetahui posisi X, Y dan Z dari suatu titik dengan cara pengikatan koordinat menggunakan metode ekstrapolasi koordinat kutub dari titik yang sudah diketahui koordinatnya seperti titik BM pemetaan atau titik kontrol perapatan. Penentuan posisi dengan metode takhimetri biasanya dilakukan dalam tahapan pengukuran detil dalam suatu pekerjaan pemetaan situasi. Penentuan posisi dengan metode ini terdiri atas dua tahapan pengukuran, yaitu pengukuran jarak antara titik BM dan titik detil yang diukur dengan cara optis disertai dengan pengukuran azimut untuk menentukan

22 koordinat horizontal (X,Y) dan beda tingginya ditentukan secara trigonometris untuk memperoleh tinggi detil terhadap titik BM (Z). Oleh karena itu, penentuan posisi titik detil dengan metode ini memerlukan perhitungan dengan waktu yang agak lama, terlebih-lebih apabila daerah yang dipetakan cukup luas dan topografinya bervariasi. Untuk mempercepat perhitungan jarak dan beda tinggi antara titik ikat dan titik detil, telah dibuat beberapa alat yang mampu menghitung langsung jarak datar dan beda tinggi antara titik stasiun berdiri alat dan titik detil, dengan hanya menembak reflektor seperti pada pengukuran menggunakan Total Station (Basuki, 2011). I.5.3.1. Pengukuran jarak optis dan azimut. Dalam penentuan nilai X dan Y pada metode takhimetri, terdapat dua komponen yang diukur yaitu: 1. Azimut/sudut antara titik BM dan titik detil. 2. Jarak antara titik BM dan titik detil. Azimut/sudut dan jarak antara titik BM dan detil diukur secara optis dengan alat ukur Total Station seperti pada Gambar I.5: Gambar I.5. Pengikatan detil P secara ekstrapolasi koordinat kutub pada metode takhimetri Keterangan Gambar I.5: α : azimut yang terbentuk antara titik BM A dan titik BM B β : azimut antara titik A-P (antara titik BM A dan titik detil P) λ : sudut horizontal yang terbentuk antara titik A-B dengan titik detil P Dap : jarak antara titik A-P (antar titik BM A dan titik detil P)

23 Berdasarkan nilai azimut antara titik BM A dan backsight BM B (α) dan nilai azimut antara titik BM A dan titik detil P (β), nilai sudut horizontal yang terbentuk antara titik A-B dengan titik detil P (λ) dapat dihitung dengan persamaan I.6. λ = β- α...(i.6) Nilai koordinat dari titik detil P (X P,Y P ) diperoleh dengan persamaan I.7. dan persamaan I.8. : X p = X A + d AP sin λ...(i.7) Y p = Y A + d AP cos λ...(i.8) I.5.3.2. Pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometris. Penentuan beda tinggi penentuan beda tinggi dari setiap detil dilakukan secara trigonometris. Pengukuran beda tinggi dengan cara trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan cara mengukur sudut miring atau vertikalnya dengan jarak yang diketahui, baik jarak dalam bidang datar maupun jarak geodetik. Terdapat dua kondisi pada pengukuran beda tinggi dengan metode trigonometris, yaitu kondisi target lebih tinggi dan target lebih rendah dari titik berdirinya alat. Ilustrasi dari pengukuran kerangka vertikal dengan metode trigonometris (target lebih tinggi) dapat dilihat pada Gambar I.6. dan metode trigonometris (target lebih rendah) pada Gambar I.7. Gambar I.6. Penentuan beda tinggi secara trigonometris untuk target lebih tinggi Keterangan Gambar I.6 : SD : slope distance (jarak miring) Z : sudut zenit V : vertical distance (jarak vertikal) tt : tinggi target

24 ta : tinggi alat Pada Gambar I.6, titik B adalah titik target. Perhitungan beda tinggi ( H) menggunakan persamaan I.9. Selanjutnya nilai H B dihitung dengan persamaan I.11. H = ta + V - tt...(1.9) V= SD cos Z...(1.10) H B = H A + H...(1.11) z ta A h SD V H tt B Gambar I.7. Penentuan beda tinggi secara trigonometris untuk target lebih rendah Keterangan Gambar I.7 : SD : slope distance (jarak miring) Z : sudut zenit V : vertical distance (jarak vertikal) ta : tinggi alat tt : tinggi target Pada Gambar I.7 tersebut, titik B adalah titik target. Perhitungan beda tinggi ( H) dihitung dengan persamaan I.12. Selanjutnya nilai H B dihitung dengan persamaan I.14. H = tt + V - ta...(1.12) V = - SD cos Z...(1.13) H B = H A + H...(1.14) I.5.4. Penggabungan Data Hasil Akuisisi Metode RTK Radio GNSS dan Takhimetri Proses penggabungan data antara data hasil akuisisi dengan metode RTK radio GNSS dengan data hasil akuisisi secara takhimetri menggunakan Total Station

25 meliputi penggabungan koordinat planimetrik (X,Y) dan tinggi (Z) dari setiap detil yang dipetakan. Penggabungan yang dimaksud adalah penyamaan sistem referensi agar nantinya detil yang diukur dengan metode yang berbeda dapat tetap ditampilkan dalam satu peta. Untuk pengabungan koordinat planimetrik (X,Y), bukan permasalahan utama dalam proses penggabungan data untuk pemetaan situasi kawasan Candi Borobudur. Hal ini dikarenakan, baik data yang diakuisisi dengan metode RTK radio GNSS maupun dengan TS sudah tereferensi dalam sistem koordinat terproyeksi yang sama. Untuk pengukuran dengan metode RTK radio GNSS, koordinat 3D yang diperoleh dari hasil pengamatan satelit merupakan koordinat geodetis pengamat dalam datum WGS 84. Agar dapat tersaji diatas peta, harus dilakukan proses proyeksi peta terlebih dahulu. Proyeksi peta merupakan metode penyajian permukan bumi pada suatu bidang datar dari koordinat geografis pada bola atau koordinat geodetis pada elipsoid (Aryono, 2010). Pada pengukuran dengan metode RTK Radio GNSS, proses proyeksi peta sudah berlangsung saat pengamat melakukan proses pendefinisian sistem koordinat pada controller saat proses setting base station. Oleh karena itu ketika pengamat mendapatkan koordinat dari suatu titik yang diberikan secara real-time melalui receiver GPS, koordinat tersebut sudah terdefinisi dalam sistem koordinat yang sudah ditentukan. Untuk pengukuran secara takhimetri menggunakan TS, koordinat yang diperoleh dari pengukuran bergantung dari sistem koordinat yang digunakan oleh titik ikat pengukuran. Hal ini dikarenakan, TS hanya mengukur jarak dan sudut dari target, sedangkan angka koordinat dari target diperoleh secara relatif terhadap koordinat titik ikatnya berdasarkan data pengukuran jarak dan sudut antara titik ikat dan target. Dalam pemetaan situasi kawasan Candi Borobudur ini, digunakan sistem koordinat UTM zone 49S. Artinya agar nantinya semua detil dapat ditampilkan dalam satu peta, setiap detil harus tereferensi dalam satu sistem referensi koordinat yaitu UTM zone 49S. Dalam pemetaan situasi ini, proses penggabungan data horizontal bukan menjadi persoalan. Hal ini dikarenakan sudah dilakukan proses penyamaan sistem koordinat UTM zone 49S, yaitu saat proses setting base station pada pengukuran dengan metode RTK radio GNSS dan saat penentuan koordinat titik ikat pada penentuan posisi dengan Total Station. Jadi dalam kegiatan ini, semua

26 detil baik yang diukur dengan metode RTK radio GNSS maupun secara takhimetri menggunakan Total Station sudah otomatis tereferensi dalam satu sistem koordinat yaitu UTM zone 49S. Berdasarkan penjelasan pada paragraf sebelumnya, permasalahan utama dalam penggabungan data antara data hasil ukuran dengan metode RTK radio GNSS dan metode takhimetri dengan Total Station adalah terkait sistem tinggi yang digunakan. Pengukuran dengan metode RTK radio GNSS menghasilkan tinggi suatu titik dengan referensi sistem tinggi geometrik, sedangkan pengukuran dengan metode takhimetri menggunakan Total Station menghasilkan ketinggian suatu titik dengan referensi sistem tinggi ortometrik. Kedua sistem tinggi tersebut berbeda dikarenakan bidang datum yang dijadikan sebagai acuan penentuan tinggi suatu titik di permukaan bumi berbeda, pengukuran dengan metode RTK radio GNSS menggunakan referensi datum elipsoid sedangkan pengukuran dengan metode takhimetri dengan konsep penentuan beda tinggi trigonometris menggunakan referensi datum geoid. I.5.4.1. Sistem tinggi ortometrik dan geometrik. Perbedaan antara sistem tinggi ortometrik dan geometrik terletak pada datum yang digunakan sebagai referensi penentuan tinggi suatu titik di permukaan bumi. Sistem tinggi geometrik menggunakan datum acuan elipsoid sedangkan sistem tinggi ortometrik menggunakan datum acuan geoid seperti yang dijelaskan pada Gambar I.8 berikut : n n A B Gambar I.8. Tinggi ortometrik dan tinggi geometrik

27 Keterangan Gambar I.8 : A : titik yang diukur menggunakan metode RTK Radio GNSS B : titik yang diukur menggunakan metode takhimetri dengan TS n : garis normal yang melalui titik A n : garis unting-unting yang melalui titik B h : tinggi geometrik H : tinggi ortometrik N : undulasi geoid atau ketinggian titik B di geoid terhadap ellipsoid Menurut Gambar I.8 dapat didefinisikan perbedaan antara tinggi ortometrik dan tinggi geometrik, yaitu : a. Tinggi ortometrik titik A adalah tinggi titik A di atas geoid yang diukur sepanjang garis gaya berat/garis unting-unting (n ) yang melalui titik A. Sistem tinggi ortometrik biasanya digunakan dalam pengukuran beda tinggi menggunakan sipat datar maupun secara trigonometrik menggunakan Total Station. b. Tinggi geometrik titik B adalah tinggi titik B di atas elipsoid yang diukur sepanjang garis normal (n) yang melalui titik B. Sistem tinggi geometrik biasanya digunakan dalam pengukuran beda tinggi menggunakan metode RTK radio GNSS. I.5.4.2. Konsep penentuan beda tinggi titik dengan metode RTK radio GNSS. Konsep penentuan tinggi suatu titik dengan metode RTK radio GNSS dilakukan dengan cara menentukan beda tinggi geometrik antara dua titik. Tinggi geometrik titik B dapat diperoleh dengan cara menghitung beda tinggi geometrik titik B terhadap titik A. Penjelasan konsep penentuan tinggi titik dengan metode RTK GNSS dapat dilihat pada Gambar I.9 berikut

28 SV 1 SV 2 Gambar I.9. Penentuan beda tinggi dengan metode RTK radio GNSS Keterangan Gambar I.9 : A : titik berdirinya base station B : titik berdirinya rover station h A : tinggi geometrik titik A h B : tinggi geometrik titik B H A : tinggi ortometrik titik A H B : tinggi ortometrik titik B N A : undulasi geoid di titik A N B : undulasi geoid SV 1 : satelite vehicle 1 SV 2 : satelite vehicle 2 Dalam penentuan tinggi dan beda tinggi dengan metode RTK radio GNSS, sistem tinggi yang digunakan adalah tinggi geometrik dengan acuan bidang elipsoid. Beda tinggi antara titik A dan titik B merupakan selisih tinggi geometrik di titik A (ha) dan tinggi geometrik di titik B (hb) seperti dapat dilihat pada persamaan I.15. h AB = hb ha...(i.15) I.5.4.3. Konsep penentuan beda tinggi titik secara trigonometris dengan metode takhimetri. Konsep penentuan tinggi suatu titik dengan metode trigonometris dilakukan dengan cara menentukan beda tinggi ortometrik antara dua titik. Tinggi ortometrik titik B dapat diperoleh dengan cara menghitung beda tinggi ortometrik

29 antara titik A dan B, kemudian hasil perhitungan beda tinggi kedua titik tersebut dijumlahkan dengan nilai tinggi ortometrik titik A. Penjelasan konsep penentuan tinggi titik B secara trigonometris dengan metode takhimetri terhadap titik A dapat dilihat pada Gambar I.10. : h AB Gambar I.10. Penentuan beda tinggi secara trigonometris pada metode takhimetri menggunakan Total Station Keterangan Gambar I.10 : A B P : tempat berdirinya alat Total Station : tempat berdirinya reflector : sumbu teropong Q : proyeksi Q pada bidang horizontal melalui A D : jarak mendatar antara P dan Q (PQ ) h : tinggi Total Station di atas titik A h S α : tinggi reflector terhadap sumbu teropong (QQ ) : tinggi garis bidik yang mendatar pada rambu yang didirikan di titik BM atau titik duga tinggi : sudut miring dari P ke Q Berdasarkan Gambar I.10, tinggi ortometrik titik B dapat ditentukan terhadap titik A dengan cara menentukan beda tinggi ortometrik kedua titik terlebih dahulu. Beda tinggi antara titik A dan B ( h AB) diperoleh dengan persamaan I.16. h AB = h + h BQ...(I.16)