BAB 4 RELEVANSI PEMURIDAN YANG SEDERAJAT BAGI KEHIDUPAN BERGEREJA DI INDONESIA PENDAHULUAN Telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa setiap orang baik laki-laki dan perempuan dipanggil untuk bergabung dalam basileia Allah dan memasuki sebuah komunitas yang inklusif. Berdasarkan hal ini, maka pada bagian ini penulis akan memaparkan cara membaca teks Yoh 20:11-18 dari sudut pandang teologi feminis dan relevansinya bagi kehidupan bergereja di Indonesia. Pada bagian akhir penulis akan memberikan kesimpulan Bab ini. 4.1. Membaca Teks Yoh 20:11-18 Dari Sudut Pandang Teologi Feminis Injil Yohanes sangat berbeda dengan injil sinoptik. Perbedaan ini tidak saja menyangkut substansi injil masing-masing melainkan juga mengenai cara penuturan kisah tentang pelayanan Yesus. Menyetujui pandangan beberapa teolog, injil Yohanes cocok disebut sebagai injil bagi perempuan dan anak-anak sebab ia memberi perhatian yang cukup banyak bagi perempuan dan anak-anak dalam injilnya. Yohanes memulai dan mengakhiri kisahnya dengan menempatkan pengaruh perempuan dalam setiap titik kritis kisahnya serta memposisikan mereka sebagai murid perempuan. 1 Karena itu, injil ini pantas disebut sebagai injil dari jiwa perempuan kepada jiwa perempuan yang terbelenggu, ditawan dari kebebasannya sendiri untuk menemukan kemanusiaannya yang utuh melalui kisah-kisah yang pemuridan yang sederajat dalam komunitas Yesus. 1 Lihat penjelasan pada bab 3 bagian 3.2.2. mengenai Peran Maria Magdalena 60
Borg mengatakan bahwa injil Yohanes sangat tepat jika dalam kerangka berpikir bahwa penulis dan komunitas dimana injil dituju sedang mengungkapkan Yesus pasca Paskah yang mereka imani dan alami. Injil Yohanes adalah suatu kesaksian yang berwibawa mengenai realitas dan makna serta kepentingan Yesus pasca paskah, sang Kristus yang hidup dari pengalaman kristiani. 2 Sekalipun demikian, injil ini tetap benar kendatipun tuturannya mengenai kisah hidup Yesus dan ucapan-ucapannya pada umumnya tidak benar-benar terjadi dalam sejarah namun ia memberikan sebuah gambaran yang utuh mengenai usaha penulisnya membuka jalan bagi penyelidikan dan penafsiran terhadap kehidupan Yesus dan komunitasnya yang menerapkan model pemuridan yang sederajat. Dalam hal ini, injil Yohanes menjadi jendela bagi penafsir untuk dapat melihat dengan lebih jelas ke dalam kehidupan komunitas Yesus, bagaimana komunitas Yesus dibangun dan dipertahankan serta lebih kritis terhadap peran dan kedudukan perempuan yang dalam tulisan ini diwakilkan oleh Maria Magdalena. Teks Yoh 20:11-18 merupakan sebuah kesaksian iman dari penulis injil untuk mengungkapkan beberapa hal mengenai komunitas Yesus yang sederajat dan usahausaha seorang penulis yang berjiwa feminis dalam memperjuangkan dan menegakkan peran dan kedudukan Maria Magdalena. Harus diakui tulisan ini dihasilkan oleh seorang feminis dalam konteks budaya patriarkal sehingga meninggalkan bias-biasnya yang oleh penyusun tulisan ini digolongkan sebagai bentuk-bentuk peredaman terhadap peran Maria Magdalena. Jadi, teks ini selain menonjolkan peran Maria Magdalena untuk menunjukkan perhatian penulis injil terhadap perempuan, pada saat yang sama ia juga menunjukkan usaha peredaman terhadap peran Maria Magdalena sebab ia 2 Borg, Kali Pertama Jumpa, 21 61
membawa serta konteks masyarakatnya yang patriarkal ke dalam teks sehingga usaha yang dilakukan tidak benar-benar berdasarkan kasih yang altruistik melainkan kasih yang dikondisikan dan disosialisasikan dalam kerangka berpikir androsentrik yang menekankan kepengarangan maskulin. Karena itu, penulis mengusulkan cara membaca teks Yoh 20:11-18. Ketika membaca sebuah teks, pembaca tidak benar-benar meninggalkan konteks dimana ia hidup dan dibesarkan. Asumsi, pengetahuan, dan pengalaman pembaca dibawa masuk sebagai prapaham ketika membaca teks dan tidak jarang prapaham ini membuat penafsiran yang dilakukan tidak pernah benar-benar objektif dan jujur. Keterbukaan untuk mengakui dan jujur menerima konteks pembaca saat ini sebagai sebuah konteks yang memang bermasalah karena tidak benar-benar memperhatikan keutuhan kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan akan memberikan kacamata yang baru agar dapat membaca teks ini dari sudut pandang yang baru dan membebaskan seperti yang telah penulis lakukan dengan studi hermeneutik feminis. Teks ini harus didekati dengan pendekatan yang berbeda dengan pertama-tama menggunakan hermeneutik kecurigaan dan menempatkan diri pada sudut pandang seorang perempuan Yahudi agar penafsiran yang dilakukan berjiwa feminis sekalipun dihasilkan dalam kepengarangan maskulin dan membebaskan perempuan (Maria Magdalena) terutama bagi konteks saat ini. 4.2. Relevansi Pemikiran Pemuridan Yang Sederajat bagi Kehidupan Bergereja Tulisan ini dapat direlevansikan dalam berbagai aspek kehidupan dimana perempuan dan laki-laki mengambil peran di dalamnya. Namun pada tulisan ini, penulis hanya akan memaparkan relevansi pemuridan yang sederajat bagi kehidupan bergereja 62
di Indonesia. Sepanjang sejarah kekristenan sebelum lahirnya teologi feminis, perempuan selalu tersubordinasi di bawah patokan keberadaan yang berbeda daulisari kaum laki-laki. Perempuan dipandang sebagai the second sex dan tidak layak disebut sebagai perempuan. 3 Bahkan pandangan beberapa bapa gereja sangat diskriminatif terhadap perempuan, seperti Tertulianus (±160-225 ZB) mengatakan perempuan adalah pintu gerbang iblis dan akar dari semua dosa, sedangkan Hieronimus (347-420 ZB) menyimpulkan bahwa perempuan bukan saja menjadi asal-usul dosa melainkan semua ajaran sesat sehingga perempuan sejajar dengan ajaran sesat. 4 Thomas Aquinas (1225-1274 ZB) menyatakan bahwa hanya laki-laki yang segambar dengan Allah dan perempuan hanya mencerminkan Allah sejauh ia bersama dengan laki-laki. 5 Gereja turut andil dalam posisi subordinasi perempuan sehingga bertahun-tahun lamanya perempuan tidak dapat menduduki jabatan kepemimpinan dalam gereja. Keadaan ini baru berakhir di akhir abad 20 dengan pengakuan pada kepemimpinan kaum perempuan dalam gereja tetapi pengecualian pada gereja Katholik Roma. Sebagai sebuah lembaga, gereja memiliki jabatan struktural dimana dibutuhkan pemimpinpemimpin untuk mengisi jabatan tersebut. Tetapi berdasarkan keputusan Sidang Raya PGI di Surabaya pada Oktober 1989 bahwa perempuan harus menduduki 30% jabatan kepemimpinan dalam gereja maka dapat disimpulkan bahwa presentasi keterlibatan perempuan dalam lembaga gereja masih sangat minim meskipun pengunjung gereja lebih banyak kaum perempuan. 6 Hal ini disebabkan oleh budaya organisasi yang 3 Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis, 14-15 4 Schüssier Fiorenza. Untuk Mengenang, 85-86 5 Barth-Frommel, Hati Allah, 8 6 Anne Homes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kanisius, 1992) 124 63
patriarki dan persepsi yang salah mengenai perempuan yang mengakibatkan ketidaklayakan seorang perempuan untuk menduduki jabatan kepemimpinan. Di sisi lain, secara spiritual, gereja pun bertanggung jawab terhadap ajarannya mengenai peran kaum laki-laki dan perempuan. Peran ini bersumber dari tiga hal, Alkitab, Zending yang datang ke Indonesia, dan budaya Indonesia yang cukup mendukung. 7 Dari Alkitab orang kristen belajar mempercayai Allah yang monoteis dalam Yahudi. Kepercayaan Monoteis ini berakar dari sistem patriarkat dimana unsur maskulin dominan terhadap unsur feminine. Cerita-cerita Alkitab sangat menekankan pada hukum pentahiran bagi seorang perempuan sehingga terdapat banyak pantangan bagi perempuan untuk datang mendekat dan menjalin relasi yang lebih intim dengan Allah baik dalam kebaktian sinagoge maupun dalam jabatan keimaman. Kedatangan Zending yang mengkristenkan suku-suku di Indonesia juga mendukung hal ini dengan pembagian kerja menurut jenis kelamin yang sukar diubah hingga kini karena budaya setempat ikut mendukung hal ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa gereja-gereja di Indonesia terutama gereja suku sangat kental dengan kebiasaan ini. Kaum yang dipercaya mampu memimpin dan mewakili Allah adalah kaum laki-laki karena sebagian besar suku di Indonesia mengutamakan keutamaan seorang laki-laki daripada perempuan. Hal ini menyebabkan laki-laki dapat dengan mudah memperoleh jabatan kepemimpinan dan keimanan dalam gereja tanpa memperhitungkan kemampuan dan potensi kaum perempuan untuk jabatan tersebut. Padahal jika mengacu pada gerakan Yesus dan gerakan Kristen, kaum perempuan diberikan kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki untuk menjadi anggota dan berperan aktif di dalamnya, bahkan dari teladan Maria Magdalena dalam solidaritas dalam kesederajatan menunjukkan bahwa 7 Anne Homes, Perubahan Peran Pria, 127 64
kaum perempuan membuktikan diri memiliki potensi dan kepekaan yang seringkali melebihi kaum laki-laki. Gereja-gereja masa kini perlu belajar dari kemuridan yang sederajat ini. Hukum pentahiran tidak lagi relevan untuk masa kini. Gerakan Yesus telah memungkinkan semua perempuan untuk tahir secara utuh dan dengannya dapat memasuki sebuah hubungan intim dengan Allah dalam kebaktian dan jabatan keimaman. Perempuan menjadi layak karena Allah dalam Yesus melayakkannya. Mengenai kepemimpinan, tidak ada yang salah dengan kepemimpinan perempuan. Kesalahan utama terletak pada respon dan ketidakpercayaan gereja untuk membiarkan laki-laki dan perempuan bergandengan tangan memasuki pemuridan yang sederajat dari gerakan Yesus karena pada dasarnya kaum perempuan pun adalah anggota jemaat Allah. Gelar apostle apostolarum dianugerahkan kepada Maria Magdalena karena ia pantas memperolehnya. Jika gereja peka, gelar ini seharusnya dikenakan kembali pada perempuan dan laki-laki yang telah menunjukkan dedikasi pelayanannya dalam perjalanan pemuridan bersama Yesus di dalam gereja KESIMPULAN Injil Yohanes lebih tepat disebut sebagai injil bagi perempuan dan anak-anak sebab ia memberi perhatian yang cukup banyak bagi perempuan dan anak-anak dalam injilnya. Harus diakui bahwa injil Yohanes merupakan kesaksian iman dari penulis injil untuk mengungkapkan beberapa hal mengenai komunitas pemuridan yang sederajat dari Yesus dan usaha-usaha seorang penulis yang berjiwa feminis dalam memperjuangkan dan menegakkan peran dan kedudukan Maria Magdalena. Karena itu, penulis mengusulkan cara membaca teks Yoh 20:11-18 dengan kacamata yang baru, yakni meninggalkan semua asumsi, pengetahuan, pengalaman, konteks pembaca, bersikap jujur terhadap konteks teks, mengawali usaha ini dengan hermeneutik kecurigaan 65
feminis kemudian menempatkan diri pada sudut pandang seorang wanita Yahudi sehingga penafsiran yang dilakukan benar-benar membebaskan perempuan dari belenggu budaya patriarkal. Relevansi tulisan ini dapat dipakai dalam pemahaman pemuridan yang sederajat dalam gereja di bawah kerangka pemahaman bahwa setiap anggota dalam gereja baik laki-laki maupun perempuan dipanggil dan diundang untuk turut serta dalam perjalanan pemuridan bersama Yesus dan menikmati solidaritas dalam kesederajatan seperti Maria Magdalena dan pantas memperoleh gelar apostle apostolarum. 66