BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal akan beragam suku dan budayanya, termasuk makanan khas daerah yang beraneka ragam. Yogyakarta sebagai salah satu sentra budaya juga memiliki makanan khas sendiri yang menjadi magnet khususnya bagi wisatawan. Salah satu makanan khas tersebut adalah gudeg yang sering disebut gudeg Jogja. Gudeg merupakan salah satu makanan tradisional khas Yogyakarta yang biasanya berbahan baku utama nangka muda yang dimasak secara matang dengan pemanasan berulang dan dipadukan dengan pelengkap lainnya yang dibagi menjadi 2 kategori, yakni gudeg basah dan gudeg kering. Di Yogyakarta sendiri terdapat banyak produsen gudeg yang rata-rata gudegnya dijual di rumah makan milik para produsen sebagai gudeg kendil, sehingga cukup banyak merek untuk makanan khas ini. Empat (4) merek terbesar adalah Yu Djum, Bu Ahmad, Bu Tjitro, dan Bu Lies. Pertukaran barang atau jasa dipengaruhi oleh adanya kebutuhan dan keinginan pelanggan sebagai permintaan serta dipengaruhi oleh produk dari produsen sebagai penawaran. Pada kondisi banyaknya produsen, tentu dibutuhkan adanya suatu keunggulan kompetitif terutama dalam menghadapi persaingan. Seluruh kegiatan pemasaran tentu harus mendukung hal tersebut baik pada aspek internal maupun eksternal. Salah satu pendukung keunggulan kompetitif adalah peran sebuah merek atau brand. Dengan merek yang kuat, maka akan terbangun suatu loyalitas yang 1
kuat dari sisi konsumen, sehingga dapat mendorong bisnis dengan laba yang diinginkan. Merek memberikan suatu peranan kunci sebagai brand equity di mana konsumen memiliki kesadaran akan merek tertentu di dalam benak mereka. Aaker (1991) mendefinisikan brand equity sebagai seperangkat aset dan liabilitas merek yang terkait dengan suatu merek, nama, simbol, yang mampu menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah produk atau jasa baik pada perusahaan maupun pelanggan. Taskin dan Akat dalam Uslu, Beril, and Berna (2013) menjelaskan bahwa evolusi pada teknologi informasi dan komunikasi memunculkan keragaman kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan dan keinginan pelanggan menuntut perusahaan-perusahaan untuk menciptakan berbagai macam strategi yang kompetitif. Strategi kompetitif yang efektif harus berkelanjutan. Saefulloh (2002) telah melakukan penelitian dalam skripsinya yang berjudul Analisis Brand Equity (Ekuitas Merek) Produk Ikan Kaleng Pengunjung Supermarket Matahari Sultan Plaza Kota Bandung yang bertujuan untuk menganalisis perbandingan kesadaran merek (brand awareness), asosiasi merek (brand associations), persepsi kualitas (perceived quality), dan loyalitas merek (brand loyalty) dari produk ikan kaleng di supermarket Matahari Sultan Plaza Kota Bandung. Hasilnya, pada analisis kesadaran merek menunjukkan bahwa merek gaga merupakan merek yang paling diingat konsumen, disusul merek Botan dan kemudian ABC. Asosiasi pembentuk image merek tersebut adalah harga terjangkau, rasa enak, dan keamanan untuk dikonsumsi. Merek Botan secara keseluruhan memiliki nilai rata-rata tertinggi pada setiap atribut produk 2
ikan kaleng berdasarkan analisis perceived quality. Sementara pada piramida terbalik brand loyalty rata-rata hanya mengecil pada level committed buyer. Secara keseluruhan analisis tersebut memberikan hasil bahwa merek Botan memiliki ekuitas terkuat. Implementasi model brand equity juga dilakukan pada kasus produk obat pencahar Diapet sebagai obat diare produksi PT. SOHO Industri Pharmasi, namun dengan model Brand Equity Ten. Diapet dapat membentuk citra yang baik di mata pelanggan sebagai obat diare dengan kategori tradisional yang berbahan alami namun dikemas secara modern. Diapet saat ini telah memiliki pangsa pasar peringkat dua (2) nasional walaupun merek ini baru diluncurkan pada bulan September tahun 2000. Dalam kaitannya dengan persaingan, dipilih Neo Entrostop sebagai pembanding karena merupakan merek lama dan merupakan pemimpin pasar sekaligus pesaing utama Diapet. Analisis dilakukan terhadap elemen kesadaran merek, asosiasi merek (perceived value, brand personality, dan organizational associations), persepsi kualitas, kepemimpinan, harga optimum, loyalitas, pangsa pasar, dan harga pasar serta jangkauan distribusi. Didapatkan ekuitas merek Neo Entrostop ternyata lebih tinggi daripada Diapet. Neo entrostop menonjol dalam hal kesadaran, loyalitas, pangsa pasar, dan jangkauan distribusi. Namun bukan tidak mungkin Diapet dapat menggeser Neo entrostop karena dari segi kesadaran, asosiasi, dan persepsi kualitas Diapet sudah cukup baik, bahkan dari segi kepemimpinan/popularitas dan harga pasar lebih baik daripada Neo Entrostop (Durianto dkk, 2004). 3
Dewasa ini, industri pangan sebagai bentuk agroindustri berkembang semakin pesat, baik untuk pangan tradisional maupun modern. Beragam makanan modern yang ada saat ini menjadi tantangan bagi industri makanan tradisional untuk tetap bertahan, termasuk gudeg Jogja. Apalagi kini gaya hidup masyarakat cenderung berubah yang menuntut adanya kepraktisan dan kemudahan. Gudeg kendil memiliki umur simpan yang pendek, yakni maksimal 3x24 jam. Hal ini tentu menjadi kendala dalam memperluas wilayah pemasaran produk ini. Oleh karena itu dibutuhkan adanya inovasi yakni merubah sesuatu yang pakem menjadi sesuatu yang customized. Dalam hal ini, pengalengan gudeg merupakan salah satu upaya pengembangan dan penyebarluasan makanan tersebut. Tren masyarakat disatukan dalam satu produk gudeg kaleng dengan daya tarik dari segi pengemasan dan juga umur simpan yang panjang. Gudeg Bu Lies berdiri pada tahun 1993 dengan produk utama gudeg kering. Dari awal berdiri, gudeg ini mengarah pada segmentasi pasar menengah ke atas baik wisatawan lokal, mancanegara, maupun masyarakat Yogyakarta sendiri dan mendapat respon pasar yang baik. Pada tahun 2010 Gudeg Bu Lies sudah mulai memproduksi gudeg basah dan hingga kini terus berjalan baik. Sejak awal, Gudeg Bu Lies menjual produknya di rumah makan Gudeg Bu Lies di Jalan Wijilan No.5A Yogyakarta yang dapat dikonsumsi di tempat maupun dibungkus. Akan tetapi, lama simpan gudeg ini maksimal hanya 3x24 jam, sehingga untuk wisatawan luar Yogyakarta maupun mancanegara sangat kesulitan untuk membawa pulang produk ini. Kemudian di tahun 2011 Gudeg Bu Lies mulai merintis sebuah inovasi pada produknya, yakni gudeg kaleng dengan merek Bu 4
Lies. Gudeg dengan kemasan kaleng ini diproses dengan pemanasan berulang sebagai bagian dari sterilisasi yang rasanya tidak berbeda dengan gudeg kendil yang dijual di rumah makan. Ide inovatif ini berasal dari Unit Pelaksana Teknis, Balai Pengembangan Proses dan Teknologi Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (UPT BPPK LIPI) di Kabupaten Gunung Kidul yang pada awalnya diikuti oleh dua produsen gudeg yakni Gudeg Bu Lies dan Gudeg Bu Tjitro. Pada awalnya, Gudeg Bu Lies melakukan produksi di UPT BPPK LIPI, kemudian pada tahun 2012 sudah melakukan produksi sendiri dengan mendirikan rumah produksi sendiri. Setiap kendil gudeg Bu Lies seharga Rp 90.000,00 dapat menghasilkan keuntungan yang sama dengan gudeg kaleng yang memiliki harga Rp 30.000,00. Oleh karena itu, perusahaan ini menilai bahwa gudeg kaleng lebih menguntungkan bagi produsen daripada gudeg kendil, karena dengan biaya produksi yang lebih kecil dapat memberikan laba setara dengan produk berbiaya produksi besar. Sementara itu bagi konsumen jarak jauh, adanya produk gudeg kaleng ini tentu menguntungkan karena memiliki umur simpan rata-rata satu (1) tahun, dikemas praktis, higienis, dan menarik terutama sebagai produk oleh-oleh khas Yogyakarta. Keputusan konsumen untuk membeli sebuah produk tentu dipengaruhi oleh banyak faktor baik harga, kualitas, hingga merek. Merek memiliki andil yang sangat besar karena membentuk suatu citra terhadap suatu produk karena menyangkut apa yang melekat pada produk tersebut. Merek yang kuat dapat tercermin melalui brand equity yang kuat pula, brand equity yang kuat akan 5
memberikan efek terhadap konsumen yang akan selalu menanamkan merek tersebut sebagai hal yang utama, apabila akan membeli ataupun memberikan informasi pada konsumen lainnya sebagai cara promosi yang tidak secara langsung. Hal ini terkait dengan seberapa besar kesanggupan seorang calon pembeli untuk mengenali dan mengingat kembali suatu merek, seberapa banyak kesan yang muncul di benak konsumen, dan seberapa baik citra merek tersebut. Kekuatan inilah yang akan digunakan perusahaan untuk melihat seberapa besar pengaruh mereknya terhadap pemasaran produknya dan bagaimana perspektif merek suatu produk tersebut di mata konsumen. 1.2 Perumusan Masalah Gudeg Kaleng Bu Lies bukanlah satu-satunya merek produk gudeg kaleng di Yogyakarta dan belum berada pada posisi pemimpin pasar (market leader). Saat ini, merek gudeg kaleng yang ada di Yogyakarta adalah Bu Tjitro yang produksinya masih bekerja sama dengan UPT BPPK LIPI dan Bu Lies yang telah memiliki rumah produksi sendiri. Gudeg Bu Tjitro 1925 saat ini memproduksi 8.000 hingga 10.000 kaleng per bulan, sedangkan untuk Gudeg Bu Lies masih berada pada kisaran 6.000 kaleng per bulan. Untuk penjualannya, gudeg kaleng Bu Lies masih berada pada kisaran 3.000 kaleng per bulan pada hari biasa hingga 5.000 kaleng per bulan pada musim liburan. Jumlah penjualan ini dinilai masih berada di bawah jumlah produksi perusahaan. Selain itu, perusahaan ingin menambah jumlah produksi gudeg kalengnya untuk memaksimalkan peralatan produksi yang sudah dimilikinya. Perusahaan 6
menyadari bahwa pembelian konsumen terhadap produk mereka dipengaruhi banyak faktor yang salah satunya merek yang dipahami dan melekat di benak konsumen yang akan menciptakan suatu loyalitas terhadap produknya. Suatu produk yang memiliki brand equity (ekuitas merek) yang kuat dapat membentuk landasan merek yang kuat dan mampu mengembangkan keberadaan suatu merek. Brand equity (ekuitas merek) yang kuat memungkinkan preferensi dan loyalitas dari konsumen terhadap perusahaan akan semakin kuat. Konsumen menjadikan merek sebagai salah satu pertimbangan penting ketika hendak membeli suatu produk atau jasa. Dengan mengetahui kekuatan merek, Gudeg Bu Lies akan memperoleh informasi sejauh mana keberhasilan pemasaran gudeg kaleng mereka karena merek memberi keunggulan kompetitif tersendiri serta mengetahui perspektif konsumen terhadap merek Gudeg Kaleng Bu Lies. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya penelitian yang akan mengukur elemen-elemen penyusun brand equity, yakni brand awareness, brand associations, perceived quality, dan brand loyalty, sehingga setelah diketahui besaran keempat elemen tersebut dapat dijadikan dasar dalam merumuskan program perbaikan yang perlu dilakukan oleh perusahaan. 7
1.3 Batasan Masalah Penelitian ini memerlukan batasan masalah agar hasilnya lebih fokus. Penelitian ini menganalisis elemen-elemen utama Gudeg Kaleng Bu Lies melalui analisis brand equity meliputi pengukuran elemen brand awareness, selanjutnya brand associations, perceived quality atau persepsi kualitas, dan elemen terakhir yakni brand loyalty atau kesetiaan pelanggan terhadap merek tersebut. Selanjutnya dilakukan perumusan perbaikan berdasarkan analisis brand equity tersebut. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1.4.1 Mengukur brand equity produk Gudeg Kaleng Bu Lies. 1.4.2 Mengusulkan program perbaikan berdasarkan analisis brand equity tersebut. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi banyak pihak yang berkepentingan, di antaranya : 1.5.1 Bagi Gudeg Bu Lies, penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai kondisi usahanya khususnya dalam aspek brand equity produk Gudeg Kaleng Bu Lies dari segi brand awareness, brand associations, perceived quality, brand loyality, serta mengusulkan perbaikan 8
berdasarkan analisis brand equity tersebut sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan usaha ke depan. 1.5.2 Bagi mahasiswa dan perguruan tinggi, tulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan sebagai bahan rujukan serta informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya. 1.5.3 Bagi penulis, penelitian ini merupakan bahan pembelajaran dalam menerapkan teori-teori yang telah dipelajari dalam perkuliahan. 9