BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan kedokteran yang berdasarkan pada kompetensi mencakup tiga ranah (domain) yang saling terintegrasi yaitu kognitif, keterampilan, dan afektif. Kompetensi kognitif, keterampilan, dan afektif harus diuji dengan penilaian yang sesuai dengan pencapaian level kompetensi yang dimiliki individu. Penilaian knowledge dapat melalui uji tulis, untuk menguji kemampuan kognitif. Penilaian keterampilan untuk menguji kemampuan psikomotor. Sedang penilaian untuk menguji kemampuan afektif dapat melalui tes dan non tes (Amin dan Eng, 2009; Praptiningsih, 2014). Berdasarkan piramid Miller, kompetensi seseorang terbagi dalam empat tahap, mulai dari tingkat yang pertama yaitu mengetahui (know), kedua mengetahui bagaimana (know how), ketiga menunjukkan bagaimana (show how), hingga tingkat keempat yaitu melakukan (does). Salah satu elemen dalam kompetensi tingkat ketiga yaitu mampu mendemonstrasikan (show how) adalah keterampilan klinis (Turner dan Dankoski, 2008). Penguasaan keterampilan klinis merupakan elemen yang penting dari mutu profesional lulusan pendidikan tinggi kesehatan kedokteran. Menurut Amin dan Eng (2009), proses belajar dan mengajar pada pendidikan kedokteran sebesar 50%- nya merupakan proses pembelajaran keterampilan klinis. 1
2 Penilaian keterampilan untuk menguji kemampuan psikomotor mahasiswa kedokteran khususnya dalam bidang keterampilan klinis dapat menggunakan metode berupa Objective Structured Clinical Examination (OSCE). OSCE merupakan format uji yang sekarang banyak digunakan oleh berbagai institusi pendidikan kesehatan di dunia. OSCE diperkenalkan pertama kali oleh Harden pada tahun 1975, ujian ini didesain untuk menilai hasil belajar mahasiswa pada keterampilan klinis dan kompetensi mahasiswa kedokteran tingkat akhir. Harden berpendapat bahwa ujian OSCE lebih objektif dan reliabel dalam menilai keterampilan mahasiswa dibandingkan dengan ujian konvensional dan berperan penting pada pengembangan keterampilan klinis yang efektif (Khan et al., 2013; Praptiningsih, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Furlong (2005) menyatakan bahwa 90% mahasiswa merasa OSCE adalah peristiwa yang penuh tekanan (stresful), walaupun mahasiswa sudah mempersiapkan dengan baik. Selain itu OSCE juga menginduksi kecemasan lebih tinggi dibanding jenis ujian lainnya. Keadaan penuh tekanan dapat dialami oleh mahasiswa yang baru sekali menghadapi OSCE maupun yang sudah berkali-kali menghadapi OSCE, sehingga berdampak buruk pada performance mahasiswa (Fidment, 2012; Rushfort, 2007). Kondisi takut, gugup, tidak percaya diri menurut Zeidner (1998) merupakan gejala kecemasan. Kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri adanya respon fisiologis, perasaan tegang tidak menyenangkan dan mengeluhkan sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid, et
3 al., 2005). Dampak kecemasan mengakibatkan berkurangnya kemampuan mahasiswa untuk mengerjakan soal dengan baik sehingga hasil ujiannya menjadi buruk, karena pada kondisi ini seseorang akan mengalami distorsi pemrosesan informasi. Hal ini dapat mengganggu kemampuan memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan lain-lain (Hancock, 2001; Kaplan dan Sadock, 2010). Ada kekhawatiran kecemasan akan berdampak baik pada mahasiswa karena dapat mempertahankan perilaku mereka yang berorientasi pada tugas (task oriented). Namun dilain pihak, kekhawatiran yang berlebihan akan sangat melemahkan dan mengganggu mereka dalam menghadapi ujian jika tidak dikelola dengan benar (Maramis dan Maramis, 2009). Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret menetapkan 35 topik Skills Lab yang harus dikuasai mahasiswa selama 7 semester, dengan masing-masing 5 topik yang harus dikuasai tiap semesternya, dan beban 0,8 poin sks untuk tiap topiknya. Pada tiap akhir semester akan diadakan evaluasi pembelajaran Skills Lab melalui ujian OSCE (FK UNS, 2014). Walaupun beban kredit poin tiap semesternya cukup sedikit (total 4 sks tiap semester), ujian Skills Lab (OSCE) selalu menjadi momok bagi mahasiswa Prodi Kedokteran FK UNS. Kepadatan jadwal perkuliahan yang harus dihadapi mahasiswa, materi ujian OSCE yang banyak, suasana ujian dimana masing-masing peserta ujian akan langsung berhadapan dengan pasien dan dokter penguji, serta terbatasnya waktu di tiap-tiap station menjadi hal yang membuat ujian OSCE penuh tekanan (Fidment, 2012). Oleh karena itu pada penilitian ini saya tertarik untuk mencari dan menemukan lebih lanjut
4 bagaimana kecemasan dapat timbul pada mahasiswa kedokteran saat menghadapi Objective Structured Clinical Examination (OSCE), apa saja faktor-faktor penyebabnya, dan bagaimana mekanisme coping mahasiswa dalam menghadapinya khususnya di Prodi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. B. Rumusan Masalah : Bagaimana kecemasan timbul pada mahasiswa kedokteran saat menghadapi Objective Structured Clinical Examination (OSCE)? C. Tujuan Penelitian : 1. Tujuan Umum Menggali masalah kecemasan yang timbul pada mahasiswa kedokteran saat menghadapi Objective Structured Clinical Examination (OSCE). 2. Tujuan Khusus a. Menggali apa saja penyebab timbulnya kecemasan pada mahasiswa kedokteran saat menghadapi Objective Structured Clinical Examination (OSCE). b. Menggali bagaimana mekanisme coping mahasiswa kedokteran terhadap timbulnya kecemasan saat menghadapi Objective Structured Clinical Examination (OSCE)..
5 D. Manfaat Penelitian : 1. Manfaat Teoritis Sebagai bukti empiris dan tambahan informasi tentang kecemasan pada mahasiswa kedokteran saat menghadapi Objective Structured Clinical Examination (OSCE). 2. Manfaat Praktis Memberikan sumbangan pemikiran bagi institusi, dosen, mahasiswa, dan orang tua mahasiswa mengenai kecemasan pada mahasiswa saat menghadapi Objective Structured Clinical Examination (OSCE) sehingga dapat dilakukan pengendalian kejadian kecemasan pada mahasiswa yang menghadapi ujian OSCE.