BAB VI PENUTUP A. KESIMPULAN Paparan, analisis, dan argumentasi pada Bab-bab sebelumnya menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Video game merupakan permainan modern yang kehadirannya diawali sejak ditemukannya teknologi pencitraan tiga dimensi. Video game memiliki efek khusus pada gambar yang dapat menyalin realitas asli dan menghadirkan dunia permainan sebagai suatu dunia lain. Video game mampu mengolah cerita dengan kecanggihan gambar dan suara yang dapat membangun realitas virtual yang berbeda dengan realitas asli. Pada satu sisi permainan videogame memisahkan anak-anak dari realitas asli, namun pada sisi lain permainan online melalui internet mampu menghubungkan para anak yang bermain di suatu tempat dengan anak yang bermain di tempat lain, lintas daerah, negara dan bangsa. 2. Permainan mengambil tempat penting dalam ruang konseptual, atau meminjam istilah Huizinga disebut sebagai lingkaran magis (the Magic Circle), yakni bahwa aksi bermain dalam video game itu membutuhkan pemaknaan yang diatur khusus yang tidak dapat diterima di luar konteks permainan. Pada kasus tidak mudah menarik garis perbedaan tegas antara lingkaran magis dari suatu permainan (game) virtual dengan cara ungkap simbolik lainnya sebagai 424
425 perwujudan dunia sebagaimana seharusnya, walaupun permainan ini dapat juga dilihat sebagai kegiatan yang meniru kehidupan sebenarnya. Dalam konteks pendidikan anak, permainan merupakan alat yang sangat berpengaruh dalam mengubah cara pandang anak-anak tentang dunia, dan peran anak-anak sebagai agen di dalamnya. 3. Dunia yang dihadirkan dalam video game tersebut adalah sebuah sub-realitas dan separuh nyata, yang menurut Jean Baudrillard disebut sebagai simulasi atas realitas. Baudrillard mengatakan bahwa ciri khas masyarakat Barat dewasa ini sebagai masyarakat simulasi yang hidup dengan karut marut kode, tanda, dan model yang diatur sebagai produksi dan reproduksi dalam sebuah simulacra. Simulacra adalah ruang dimana mekanisme simulasi berlangsung. Manusia terjebak dalam ruang realitas yang dianggapnya nyata, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Dalam dunia simulasi, bukan realitas yang menjadi cermin kenyataan, melainkan model-model, dan teknologi bukan lagi sekedar perpanjangan tubuh atau sistem syaraf manusia. Video game menciptakan realitas baru dengan citra buatan dan menyulap fantasi, ilusi, dan bahkan halusinasi menjadi kenyataan. Realitas yang dihasilkan teknologi baru ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan menjadi model acuan yang baru bagi masyarakat. Permainan video game ditinjau dari perspektif simulacra ini kemudian berperan sebagai alat transfer realitas simulatif dalam praktik pendidikan anak.
426 4. Refleksi berdasarkan filsafat Jean Baudrillard atas permainan video game tentang internalisasi nilai dan pembentukan identitas anak ini kemudian memunculkan persoalan penting dalam filsafat pendidikan, yaitu tentang struktur dasar realitas yang diserap dan dibangun oleh anak tentang dunia yang ada dalam yang bertumpu pada satu bangunan logika yang separuh nyata dimana konsep ruang dan waktu, serta eksistensi subjek yang bermain, mampu melewati batas ruang faktual dengan berbagai kemungkinan logis yang tak terbatas. Anak-anak terbawa masuk ke dalam virtual worlds. Permainan videogame sebagai lingkaran magis yang menghadirkan konstruksi realitas yang berbeda, dan anak masuk dalam augmented reality, suatu kenyataan virtual yang ditopang oleh perangkat keras dan lunak itu. Teknologi virtual telah membuat dunia tak berjarak, antara yang real dengan yang tidak real. 5. Kajian-kajian mutakhir menemukan bahwa bermain videogame telah menjadi aktivitas utama anak-anak Indonesia yang seakan tidak dapat ditinggalkan, sama halnya dengan aktivitas anak-anak menonton televisi. Permainan video game ini telah mengalienasi anak-anak, selain permainan digital tersebut pelan-pelan juga telah menggantikan permainan anak tradisional yang mulai tergerus oleh zaman. Arus besar komodifikasi permainan anak melalui jelas bertentangan dengan nilai-nilai yang hendak dibangun melalui pendidikan. Jumlah anak-anak yang sangat besar dalam populasi cenderung dilihat sebagai
427 pangsa pasar yang secara ekonomi sangat menguntungkan dan soal edukasi menjadi terpinggirkan. 6. Merujuk pada konsep Baudrillard tentang hyper-reality dan simulation, permainan videogames telah mengungkung anak-anak dengan berbagai bentuk simulasi yang mencitrakan sebuah realitas semua yang pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Realitas yang tidak sesungguhnya tetapi dicitrakan sebagai realitas yang mendeterminasi kesadaran anak-anak itulah yang disebut dengan realitas semu (hyper-reality). Realitas ini tampil melalui media-media yang menjadi kiblat utama masyarakat massa. Realitasrealitas tersebut melalui media dikonstruksikan dan ditampilkan sebagai simulators, dan pada gilirannya menggugus menjadi gugusan-gugusan imaji yang menuntun manusia modern pada kesadaran yang ditampilkan oleh simulator-simulator tersebut. Hal inilah yang disebut gugusan simulacra. Ditinjau dari filsafat Baudrillard, dunia yang dibangun oleh permainan anak video game, bagi anak tidak saja berhenti menjadi cerminan realitas namun telah menjadi realitas itu sendiri, atau bahkan lebih nyata dari realitas virtual yang ada dalam dunia video game tersebut. Ketika anak kecanduan dunia virtual dan kesulitan membedakan realitas yang nyata dan realitas yang tidak nyata, maka proses internalisasi nilai dalam pendidikan akan mengalami gangguan yang besar. 7. Komodifikasi permainan anak melalui video game jelas merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia. Idealisme pendidikan yang menawarkan nilai-
428 nilai kultural dihadapkan pada saluran lain yang menawarkan ragam nilai lain, yang menyimpang jauh dari idealisme keluhuran budi pekerti dan intelektual. Permainan dengan sendirinya menawarkan hidden curriculum dengan agenda ekonomi politik ataupun penguasaan kesadaran dan tingkat konsumsi tinggi. 8. Meskipun demikian, bagi Baudrillard, video game di sisi lainnya juga menyisakan pertanyaan filosofis mendalam tentang hakikat kenyataan, subjektivitas, dan manusia di dunia yang serba canggih oleh teknologi. Apa hakikatnya manusia, ketika garis antara manusia dan teknologi dalam video game mengabur? Apakah identitas manusia dapat diprogram? Bagaimana kenyataan terkikis sekarang dan apa akibatnya? Secara jelas Baudrillard tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, tapi setidaknya, pandangan Baudrillard memaksa siapapun yang peduli dengan pendidikan, untuk memikirkannya. 9. Fenomena permainan video game dengan demikian memberikan pemetaan berharga tentang kemungkinan perjalanan dari masa kini menuju masa depan, dan menunjukkan perkembangan penting dalam teknologi yang akan menghasilkan masa depan berbeda. Video game bagi Baudrillard menawarkan pandangan meyakinkan dan realistis tentang kekuatan yang membentuk dunia anak-anak, suatu dunia simulasi yang jika dikelola dengan baik maka sebenarnya dapat dijadikan sebagai investasi untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas ke depannya, dengan cara diintegrasikan di kurikulum pendidikan, baik melalui pendidikan sekolah maupun pendidikan keluarga.
429 B. SARAN Berdasarkan kesimpulan penelitian sebagaimana tersebut di atas maka dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi para praktisi pendidikan yang menggunakan pendekatan teori simulacra Baudrillard-an, disarankan untuk mewaspadai rangkaian persoalan pelik pendidikan sebagaimana telah tergambar dalam penelitian ini bahwa di atas yang telah mengancam dunia pendidikan anak-anak menuju kerusakan sistemik. Namun demikian, dengan mengurai benang merah yang terlanjur berkelindan tak tentu ujung-pangkalnya itu, Baudrillard menekankan pentingnya pengharapan dan impian. Dua hal ini jelas bukan sekadar ilusi dan tipu daya. Mimpi dan harapan memberi manusia energi mewujudkan dunia yang lebih baik. Tidak ada perubahan tanpa impian, begitu pula tidak ada impian tanpa harapan. Tapi harapan dan impian harus ditindak lanjuti dengan aktualisasi, sehingga kekhawatiran akan efek ekstase dari dunia simulasi tadi tidak terjadi dan berlanjut. 2. Bagi para peneliti berikutnya, yang tertarik pada problem pendidikan kontemporer sebagaimana tercermin pada fenomena permainan video game ini, maka diharapkan peneliti dapat menelisik lebih jauh mengenai metode implementasi penggunaan teknologi permainan modern di dalam pendidikan. 3. Bagi pemerintah atau para pemangku kebijakan tentang pendidikan, diharapkan dapat mengambil kebijakan dengan selalu bertumpu pada nilai-nilai yang berbasis pada persoalan anak kontemporer, dengan tidak meninggalkan
430 nilai-nilai lokal, sebagaimana tercermin di dalam landasan filosofis kehidupan bangsa Indonesia yang terkenal dengan keharmonisan di segala bidang.