Prolog Kotak-kotak sepatu kosong dan berdebu, yang ditumpuk lebih tinggi dan lebar daripada tubuh rampingnya, bergoyang ketika dia menyandarkan punggungnya di situ sembari mendekap lutut kurusnya ke dada. Bernapas. Bernapaslah. Bernapas. Sambil meringkuk di belakang lemari gelap itu, Mallory tidak berani bersuara saat mengisap bibir bawahnya di antara kedua baris giginya. Dia memusatkan perhatian untuk memaksa menarik setiap napas kotor ke dalam paru-parunya dan merasakan air matanya menggenang. Oh Tuhan, dia sudah melakukan kesalahan yang sangat besar, Miss Becky memang benar. Mallory anak yang nakal. Mallory mengulurkan tangan mengambil stoples kue kotor dan bernoda yang dibawanya tadi. Stoples itu berbentuk boneka beruang dan menyembunyikan kue kering yang rasanya aneh. Mallory tidak seharusnya mengambil kue atau makanan apa pun sendirian, tapi dia sangat lapar dan perutnya perih, Miss Becky sedang sakit lagi dan tertidur di sofa. Mallory tidak bermaksud menyenggol asbak dari konter hingga pecah berkepingkeping. Beberapa keping kaca bentuknya seperti es yang menempel di atap saat musim dingin. Yang lainnya tidak lebih besar dari serpihan. Mallory hanya menginginkan sepotong kue. Bahunya yang ramping tersentak mendengar suara dinding retak di luar lemari. Mallory menggigit bibirnya lebih keras. Rasa darah menyembur ke mulutnya. Besok akan ada lubang seukuran tangan besar Mr. Henry di plester dinding, dan Miss Becky akan menangis lalu sakit lagi. Derik pelan pintu lemari bagai sambaran petir di telinga Mallory.
Oh tidak, tidak, tidak... Seharusnya Mr. Henry tidak bisa menemukannya di sini. Lemari ini adalah tempat aman Mallory setiap kali Mr. Henry marah atau saat pria itu Mallory menegang, matanya membelalak ketika tubuh yang lebih tinggi dan lebih lebar daripada tubuhnya menyelinap masuk lalu berlutut di depannya. Di tengah kegelapan, Mallory tidak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas, tapi dia tahu pasti siapa orang itu. Aku minta maaf, Mallory terkesiap. Aku tahu. Ada tangan yang menyentuh bahu Mallory, bobotnya terasa menenangkan. Dia satu-satunya orang yang tidak mengusik perasaan Mallory saat sedang menyentuhnya. Aku ingin kau tetap di sini, oke? Miss Becky pernah bilang kalau anak laki-laki itu hanya enam bulan lebih tua dari usia Mallory yang enam tahun, tapi anak itu selalu tampak jauh lebih besar dan lebih tua daripada dirinya, karena di mata Mallory, anak itu memenuhi seisi dunianya. Mallory mengangguk. Jangan keluar, kata anak itu, lalu meletakkan boneka berambut merah yang Mallory jatuhkan di dapur setelah memecahkan asbak lalu melesat ke dalam lemari. Karena terlalu takut untuk mengambilnya, Mallory meninggalkan Velvet di tempat boneka itu terjatuh, dan sejak tadi dia merasa sangat sedih karena boneka itu adalah hadiah dari anak lakilaki itu berbulan-bulan lalu. Mallory sama sekali tidak tahu bagaimana anak itu bisa mendapatkan Velvet, tapi pada suatu hari dia muncul begitu saja dengan membawa boneka itu, dan Velvet adalah milik Mallory, hanya miliknya. Tetaplah di sini. Tidak peduli apa pun yang terjadi. Sambil mendekap erat si boneka, dijepit di antara lutut dan dadanya, Mallory mengangguk sekali lagi. Anak laki-laki itu bergeser, tubuhnya menegang ketika teriakan marah menggetarkan dinding di sekeliling mereka. Namanya membuat es serasa menetes di punggung Mallory; namanyalah yang diteriakkan dengan penuh kemarahan. Rintihan pelan terlontar dari bibir Mallory dan dia berbisik, Aku cuma mau sepotong kue. 2
Tidak apa-apa. Ingat? Aku janji aku akan melindungimu selamanya. Tapi jangan bersuara. Dia meremas bahu Mallory. Diam saja, dan saat... saat aku kembali, aku akan baca cerita untukmu, oke? Cerita si kelinci bodoh itu. Satu-satunya yang bisa Mallory lakukan hanya mengangguk lagi, karena ada masa ketika dia tidak bisa diam dan dia tidak pernah bisa melupakan konsekuensi yang didapatnya. Tapi jika Mallory tetap diam, dia tahu apa yang akan terjadi. Anak laki-laki itu tidak akan bisa membacakan cerita untuknya nanti malam. Besok anak itu akan bolos sekolah dan keadaannya tidak akan baik-baik saja meskipun dia tidak akan mengakui itu kepada Mallory. Anak laki-laki itu berdiam sesaat kemudian perlahan keluar dari lemari. Pintu kamar tidur tertutup dengan bunyi keras, dan Mallory mengangkat bonekanya, menekan wajahnya yang basah oleh air mata ke boneka itu. Satu kancing di dada Velvet menekan pipinya. Mr. Henry mulai berteriak. Suara langkah kaki terdengar di koridor. Seseorang dipukul. Sesuatu menghantam lantai, dan Miss Becky pasti sudah merasa lebih baik, karena wanita itu mendadak berteriak. Tapi di dalam lemari, satu-satunya suara yang penting adalah suara pukulan yang terdengar berulang kali. Mallory membuka mulut, berteriak tanpa suara ke bonekanya. 3
1 Banyak yang bisa berubah dalam waktu empat tahun. Sulit dipercaya sudah selama itu. Empat tahun sejak aku menjejakkan kaki di sekolah negeri. Empat tahun sejak aku berbicara kepada siapa pun di luar kelompok orang yang sangat kecil dan tertutup. Empat tahun mempersiapkan diri untuk momen ini, dan kemungkinan besar aku akan memuntahkan sereal di atas meja konter, beberapa suap sereal yang sanggup kupaksakan ke dalam mulutku. Banyak yang bisa berubah dalam waktu empat tahun. Pertanyaannya adalah, apakah aku sudah berubah? Suara sendok berdenting di dalam cangkir menarikku dari lamunan. Itu sendok penuh gula ketiga yang berusaha Carl Rivas masukkan diamdiam ke kopinya. Ketika Carl pikir tidak ada yang memperhatikannya, dia akan berusaha memasukkan dua sendok lagi. Untuk seorang pria berumur awal lima puluhan, Carl terlihat bugar dan ramping, tapi dia pecandu gula yang sangat parah. Di ruangannya, ruang kerja di rumahnya yang dipenuhi jurnal medis tebal, ada satu laci di mejanya yang dipenuhi makanan manis, mirip sebuah toko permen. Sambil berdiam di dekat mangkuk gula, Carl mengambil sendoknya lagi dan melirik ke belakang. Tangannya terhenti. Aku menyeringai dari tempatku duduk di konter yang besar, dengan semangkuk penuh sereal di depanku. Carl menghela napas sambil menghadapku dan mencondongkan tubuh nya ke belakang ke permukaan granit konter, lalu mengamatiku dari balik mulut cangkir sembari menyesap kopinya. Rambut hitam legamnya,
yang disisir ke belakang hingga memperlihatkan keningnya, baru-baru ini mulai memutih di dekat pelipis, sedangkan kulit gelapnya se warna zaitun, kupikir itu membuat Carl terlihat cukup terhormat. Carl berwajah tampan, begitu juga istrinya, Rosa. Yah, tampan bukan kata yang tepat untuk Rosa. Dengan kulit gelap dan rambut lebat bergelombang yang sama sekali belum memutih, Rosa sangat cantik. Bahkan memesona, terutama dengan sikapnya yang sangat percaya diri. Rosa tidak pernah takut menyampaikan pendapatnya atau pendapat orang lain. Aku menempatkan sendokku di dalam mangkuk dengan hati-hati, agar tidak berdenting di permukaan keramiknya. Aku tidak suka mem buat bunyi-bunyi yang tidak penting. Kebiasaan lama yang belum mampu ku - hen tikan dan mungkin akan menjadi bagian dari diriku untuk selama nya. Saat mendongak dari mangkuk, aku mendapati Carl sedang memperhatikanku. Kau yakin kau siap untuk ini, Mallory? Jantungku berdebar tidak keruan sebagai jawaban dari pertanyaan yang terasa seperti pertanyaan biasa, tapi sebenarnya setara dengan rentetan senapan berpeluru. Aku siap dalam segala hal yang seharusnya. Seperti orang bodoh, kucetak jadwalku juga peta sekolah Lands High, dan Carl sudah menelepon lebih dulu untuk mendapatkan lokasi lokerku, supaya aku tahu persis di mana tempatnya. Aku sudah mempelajari peta itu. Dengan sungguh-sungguh. Seolah hidupku bergantung kepada itu. Aku tidak perlu bertanya kepada siapa pun di mana letak kelas-kelasku dan aku tidak perlu berkeliaran tanpa tujuan. Rosa bahkan sudah menemaniku ke sekolah kemarin agar aku mengenali jalannya dan tahu seberapa lama aku berkendara ke sana. Aku mengira Rosa akan ada di sini pagi ini karena hari ini adalah hari yang sangat penting, sesuatu yang sudah kami persiapkan selama setahun terakhir. Sarapan selalu menjadi waktu kami bersama. Tapi Carl dan Rosa sama-sama berprofesi sebagai dokter. Rosa adalah seorang ahli bedah jantung, dan satu operasi dadakan membuatnya harus pergi bekerja bahkan sebelum aku sempat menyeret diriku turun dari tempat tidur. Bisa dibilang aku harus merelakan Rosa karena itu. Mallory? Aku mengangguk singkat sambil merapatkan bibir dan mengempaskan kedua tangan ke pangkuanku. 5