BAB I PENDAHULUAN. Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang diharapkan memiliki kecakapan hidup dan mampu mengoptimalkan segenap

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. memperoleh pendidikan yang seluas-luasnya. Penyelenggaraan pendidikan di

repository.unisba.ac.id BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hal yang sangat mendasar untuk perkembangan

BAB I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PEND. ANAK LUAR BIASA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pendidikan terutama wajib belajar sembilan tahun yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

BAB I PENDAHULUAN. hidup di zaman yang serba sulit masa kini. Pendidikan dapat dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. dimensi kemanusiaan paling elementer dapat berkembang secara optimal ( Haris,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupan mereka,

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Implementasi Pendidikan Segregasi

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tumbuh dan berkembang baik hanya tertuju pada aspek psikologis saja,

BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh bagaimana kebiasaan belajar peserta didik. Segala bentuk

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi. manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya

BAB I PENDAHULUAN. para siswa mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam upaya

WALIKOTA PROBOLINGGO

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. Peraturan Mentri Pendidikan Nasional RI nomor 22 dan 23 tahun 2006.

BAB I PENDAHULUAN. anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata rata. Tuna

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara sehat, baik fisik,

BAB I PENDAHULUAN. dalam fungsi motorik, afektif maupun kognitifnya. Orang-orang yang fungsi. kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita,

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini, persaingan global semakin ketat, sejalan dengan telah berlangsungnya

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 1991 TENTANG PENDIDIKAN LUAR BIASA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

2015 PEMBELAJARAN TARI MELALUI STIMULUS GERAK BURUNG UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KINESTETIK PADA ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI SLB YPLAB LEMBANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2015 UPAYA GURU D ALAM MENGEMBANGKAN KETERAMPILAN VOKASIONAL BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN

2015 PENGARUH METODE DRILL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMAKAI SEPATU BERTALI PADA ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS 3 SDLB DI SLB C YPLB MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

NIM. K BAB 1 PENDAHULUAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN. taraf kelainannya. American Association On Mental Deliciency (AAMD) dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Indonesia, Fasli Jalal (Harian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

BAB I PENDAHULUAN. mental. Hal ini seringkali membuat orangtua merasa terpukul dan sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. kelas, tapi seorang guru juga harus mampu membimbing, mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah kata yang mudah untuk diucapkan tetapi sangat sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah baik yang diselenggarakan pemerintah maupun masyarakat

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan, sehingga menjadi orang yang terdidik. dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Di negara kita ini pendidikan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. masa depan dengan segala potensi yang ada. Oleh karena itu hendaknya dikelola baik

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. belajarnya. Segala bentuk kebiasaan yang terjadi pada proses belajar harus. terhadap kemajuan dalam bidang pendidikan mendatang.

ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS TUNAGRAHITA

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. diberikan oleh orang dewasa untuk mencapai kedewasaan. Henderson dalam. perkembangan individu yang berlangsung sepanjang hayat.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah Luar Biasa PKK Propinsi Lampung sebagai salah satu sekolah centara

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

BAB 1. Pendahuluan. Manusia bukan makhluk yang sempurna, karena memiliki kelebihan dan

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrayogi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan. Tujuan pendidikan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Setiap pasangan memiliki harapan serta keinginan-keinginan menjalani

BAB I PENDAHULUAN. tercapainya manusia dan masyarakat berkualitas yang memiliki kecerdasan

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan seseorang, sakit dapat menyebabkan perubahan fisik, mental, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. sangat penting dalam memajukan harkat dan martabat suatu bangsa yang

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. istri. Ketika pasangan suami istri memutuskan untuk memiliki anak, mereka

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Bahasa digunakan manusia sebagai sarana komunikasi di dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah internasional adalah sekolah yang melayani siswa yang berasal dari sejumlah

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan. bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. orang tua. Anak bisa menjadi pengikat cinta kasih yang kuat bagi kedua orang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

: UTARI RAHADIAN SETIYOWATI K

BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 58 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dari saat masih anak-anak yang mendapat pendidikan dari orang tuanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kelas unggulan dalam arti secara umum merupakan kelas yang berisi anakanak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembangunan. Oleh karena itu, guru yang merupakan salah satu unsur di bidang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Institusi pendidikan sangat berperan penting bagi proses tumbuh kembang anak dan memengaruhi anak dalam berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosialnya. Pendidikan merupakan hal yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia karena pendidikan bukan hanya merupakan sarana yang dapat meningkatkan kapasitas kemampuan individu tetapi juga dapat menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan individu saat ini maupun di masa yang akan dating. Oleh karena itu setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang sama tanpa pengecualian. Seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. dan Pasal 31 ayat 2 yang menyatakan bahwa Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Selain itu hak setiap anak untuk memperoleh pendidikan tanpa pengecualian pun tercatat dalam Undang-Undang no. 20 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat 2 yang berbunyi bahwa Warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Anak-anak yang terlahir dengan kebutuhan khusus sekalipun berhak mendapatkan pendidikan mulai dari jenjang PAUD, TK, SD, SMP, SMA tanpa pengecualian, selama kondisinya memungkinkan. 1

2 Pendidikan di Indonesia terdiri atas beberapa jenis yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, keagamaan, dan khusus (pasal 15 dalam Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003). Pendidikan umum adalah pendidikan yang bersifat general (bukan spesifik atau kejuruan), yang wajib diikuti oleh semua siswa. Sementara itu pendidikan kejuruan adalah pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakn jenis pekerjaan tertentu (PP 29 tahun 1990 pasal 1 ayat 3). Pendidikan khusus merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang diperuntukkan bagi peserta didik dengan tingkat kesulitan atau keterbatasan fisik, kognisi, emosi, dan sosial. Proses pembelajaran pendidikan khusus ini bertujuan membantu peserta didik dengan kelainan fisik atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengandalkan hubungan timbal-balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan (PP No. 72 Thn. 1991, Pasal 2). Oleh karena itu, pemerintah mendirikan lembaga pendidikan khusus yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) dengan tujuan memberikan pendidikan yang sesuai karakteristik dan kebutuhan dari anak-anak berkebutuhan khusus. SLB adalah lembaga pendidikan khusus yang dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak yang memiliki keterhambatan atau kekurangan yang meliputi fisik, mental, emosi dan sosial (Mikarasa, 2002). SLB merupakan salah satu bentuk sistem pendidikan segregasi yaitu suatu sistem pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang

3 terpisah dari sistem pendidikan anak normal (Undang-undan Pendidikan Nasional (UUSPN) no. 2/1989 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1991). Jenjang pendidikan SLB yang tercatat dalam PP no. 72 tahun1991, pasal 4 terdiri atas jenjang PAUD berupa Taman Kanak-kanan Luar Biasa (TKLB), jenjang Pendidikan Dasar berupa Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), serta jenjang Pendidikan Menengah adalah Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB). Salah satu anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan pendidikan khusus adalah anak tunagrahita atau yang lebih sering dikenal dengan istilah retardasi mental yang saat ini disebut dengan intellectual disability. Anak ini membutuhkan layanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuannya dibandingkan mengikuti pendidikan reguler, sebab anak tunagrahita memiliki taraf kecerdasan jauh di bawah rata-rata yang mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan reguler (Somantri, 2007). Pendidikan khusus memiliki kurikulum yang disesuaikan dengan karakteristik anak tunagrahita sehingga potensi yang ada di dalam diri mereka dapat berkembang dengan optimal. Definisi anak tunagrahita yang dikembangkan oleh AAMD (American Association of Mental Deficiency) adalah keterbelakangan mental yang menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku yang terjadi pada masa perkembangan (Kauffman dan Hallan, dalam Somantri, 2007). Pada DSM V istilah yang digunakan adalah intellectual disability, ditandai adanya keterbatasan

4 atau kekurangan dalam kemampuan mental secara umum, seperti penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, belajar akademik, dan belajar dari pengalaman. Kurangnya kemampuan mental secara umum mengakibatkan gangguan fungsi adaptif, sehingga individu gagal memenuhi standar kemandirian pribadi dan tanggung jawab sosial dalam satu atau lebih aspek kehidupan sehari-hari, termasuk komunikasi, partisipasi sosial, fungsi akademik atau pekerjaan, dan kemandirian pribadi di rumah atau di pengaturan masyarakat. Dengan adanya kekurangan atau keterbasan dalam kemampuan mental seacara umum, orang tua yang memiliki anak dengan tunagrahita sulit untuk berkomunikasi dengan anak dan tidak jarang orang tua menjadi kesal kepada anak. Lembaga pendidikan khusus yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita adalah SLB-C. SLB-C yang ada di kota Bandung merupakan lembaga pendidikan khusus yang disediakan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita. SLB-C ini memiliki dua program kelas, yaitu kelas C untuk tunagrahita ringan, dan kelas C1 untuk tunagrahita sedang. Jenjang pendidikan yang ada di SLB-C dimulai dari SDLB, SMPLB, SMALB, dan Kelas Keterampilan. Kurikulum yang digunakan berdasarkan kurikulum dua ribu tiga belas (KURTILAS), disesuaikan dengan jenis dan tingkat ketunaannya. Selain memelajari mata pelajaran umum, ada juga mata pelajaran kekhususan, untuk anak tunagrahita yaitu mata pelajaran Bina Diri didalamnya mencakup kemampuan merawat diri, mengurus diri, menolong diri, komunikasi dan sosialisasi.

5 Suatu sistem pendidikan dapat berjalan dengan baik bergantung pada beberapa faktor, seperti guru, murid, kurikulum dan fasilitas. Guru merupakan faktor yang penting dalam struktur pendidikan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan optimal. Peran dan fungsi guru memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Guru yang mengajar di sekolah reguler dan guru yang mengajar di sekolah luar biasa memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik dan mengembangkan potensi yang ada di dalam diri siswa-siswa, terlebih guru yang berada di jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) yang merupakan tahap awal dari jenjang pendidikan formal dan jenjang pendidikan yang paing lama penyelenggaraannya yaitu selama 6 tahun. Pada jenjang SD inilah kemampuan dan keterampilan dasar siswa dikembangkan sebagai bekal untuk pendidikan lanjutan dan bekal dalam kemasyarakatan untuk bersosialisasi. Guru memiliki fungsi dan tugas sebagai berikut (Ditjen Dikti P2TK, 2004 dalam Mulyasa, 2011): (1) Guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, dan pelatih yang memiliki tugas mengembangkan potensi murid, mengembangkan kepribadian murid, menciptakan suasana belajar yang kondusif, merencanakan pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran, membimbing murid memecahkan masalah dalam pembelajaran, melatih keterampilan yang diperlukan dan pembelajaran, dan membiasakan murid berperilaku positif dalam pembelajaran; (2) Guru sebagai pengembang program dan pengelola program yang memiliki tugas membantu mengembangkan program pendidikan sekolah dan hubungan kerjasama intra sekolah, dan membantu secara aktif dalam menjalin hubungan dan kerjasama antar sekolah dan masyarakat; (3) Guru sebagai tenaga

6 profesional, memiliki tugas melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kemampuan profesionalitas. Pada sekolah luar biasa, Guru Pendidikan Luar Biasa merupakan salah satu komponen pendidikan yang secara langsung memengaruhi tingkat keberhasilan anak berkebutuhan khusus dalam menempuh perkembangannya (Ineupuspita, 2008). Guru pendidikan luar biasa merupakan tenaga profesional yang memenuhi kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikasi pendidik bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial dan-atau potensi kecerdasan serta bakat istimewa pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, dan-atau satuan pendidikan kejuruan (Peraturan Mentri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 32 tahun 2008, pasal 1). Oleh karena itu selain fasilitas, prasarana dan sarana yang ada di SLB-C X kota Bandung juga menyiapkan guru-guru pada jenjang pendidikan sekolah dasar (SD) yang berkompeten, memiliki kemampuan mengajar dan memahami tugasnya dalam mendidik murid-muridnya berdasarkan karakteristik murid yang dihadapinya. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru SLB menurut Diktendik Depdiknas (2009) adalah kompetensi pengelolaan pembelajaran, yang meliputi penyusunan renacana pembelajaran, pelaksanaan interaksi belajar-mengajar, penilaian prestasi belajar murid, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar murid; kompetensi pengembangan potensi; dan kompetensi penguasaan akademik, yang meliputi pemahaman waawasan kependidikan, dan penguasaan bahan kajian akademik.

7 Dengan adanya tiga kompetensi sebagaimana disebutkan di atas, guru SLB-C diharapkan dapat memberikan pendidikan yang optimal bagi peserta didik. Selain itu para guru SLB-C diharapkan dapat mengerti dan menerima kekurangan yang dimiliki siswa tunagrahita serta dapat menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan tulus. Kompetensi guru SLB-C kekhususan bidang bina diri dan keterampilan hidup sehari-hari guru harus memiliki kompetensi (Diktendik Depdiknas, 2003): (1) Kemampuan dalam memahami konsep bina diri dalam keterampilan hidup sehari-harai pada murid tunagrahita; (2) Kemampuan dalam mengasesmen murid dalam bidang kajian bina diri dan mengembangkan anaisis tugas bidang kajian tersebut yang harus dikuasi oleh murid tunagrahita; (3) Kemampuan dalam mengembangkan komunikasi dan sosialisasi murid dalam melakukan kegiatan hidup sehari-hari; (4) Kemampuan dalam mengembangkan keterampilan hidup sehari-hari pada anak tunagrahita. Guru-guru SDLB-C memunyai peran yang sangat penting dan bertanggung jawab terhadap perkembangan muridnya. Guru SDLB dituntut untuk memiliki komitmen yang kuat, empati, memiliki kesabaran yang tinggi dalam menghadapi murid-muridnya, memiliki perhatian terhadap mereka, dan memiliki kesehatan fisik serta psikis yang baik dalam bekerja. Salah satu tugas guru SDLB- C adalah melakukan tugas fungsional yaitu mengajar satu per satu muridnya dengan penuh kesabaran karena anak tunagrahita memiliki keterbatasan inteligensi yang berbeda-beda sesuai dengan tingkatan keterbatasan yang disandangnya.

8 Anak tunagrahita memiliki IQ di bawah rata-rata anak normal; keterbatasan sosial, kesulitan dalam mengurus diri sendiri; dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya. Anak tunagrahita membutuhkan waktu yang lama untuk bereaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Selain itu anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa, kemampuan bahasa mereka kurang berfungsi dengan baik, mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya dan diajarkan secara berulang-ulang (Somantri, 2007). Dengan keterbatasan yang dialami anak tunagrahita, guru pun mengalami kesulitan untuk memberikan pengajaran karena kemampuan intelektual anak tunagrahita satu dengan anak tunagrahita yang lain berbeda-beda. Guru harus dapat memahami kemampuan setiap muridnya. Selain itu, anak tunagrahita memiliki emosi yang sering kali meledak-ledak dan sulit dikendalikan, guru harus sabar dalam mendidik anak tunagrahita dan memberikan pengarahan kepada siswa, guru harus melakukannya secara berulang-ulang dan jelas. Hal tersebut dapat membuat guru merasa kesal, lelah, mengabaikan siswanya dan dapat menimbulkan stres bagi guru yang bersangkutan. Pendidikan bagi murid-murid tunagrahita memerlukan suatu keahlian khusus, terutama bagi guru-guru yang mengelola proses belajar dan mengajar. Guru harus menyampaikan pelajaran yang bersifat konkrit, guru harus melakukan pengiulangan materi secara konsisten agar murid paham, guru jangan terlalu menuntut syarat-syarat akademik yang tinggi, kata-kata yang digunakan oleh guru harus sederhana dan mudah dipahami murid, guru jangan memerlihatkan sikap

9 menakut-nakuti murid, dan isi pengajaran menarik minat murid (Mangunsong, 1998). Menurut Kepala Sekolah SDLB-C X di kota Bandung tugas-tugas guru SDLB-C adalah membuat kurikulum/ materi pembelajaran, membuat alat peraga, membuat evaluasi perkembangan anak, membuat raport, ketika anak ujian guru pun membuat materi ujian sesuai dengan kemampuan anak, dan mengerjakan administrasi organisasi di sekolah. Dengan tugas-tugas dan karakteristik anak tunagrahita yang harus dihadapi guru SDLB maka guru SDLB harus memiliki kesabaran yang tinggi serta kesehatan fisik dan mental yang baik dalam bekerja untuk siap mengajar para murid tunagrahita yang memiliki tingkat kecerdasan yang berbeda-beda. Menangani anak tunagrahita pada jenjang pendidikan sekolah dasar dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental karena anak tunagrahita pada jenjang sekolah dasar membutuhkan lebih banyak perhatian dan pelatihan dibandingkan dengan anak normal yang bersekolah di sekolah reguler. Dibandingkan dengan guru SD sekolah reguler yang tugasnya mengajarkan pengetahuan dan keterampilan, guru SDLB selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan kepada anak tunagrahita guru SDLB juga harus mampu bertindak sebagai terapis, social worker, konselor, dan administrator. Dengan adanya perbedaan tingkat kecerdasan intelektual murid tunagrahita yang dihadapi guru SDLB maka guru SDLB harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dibandingkan dengan guru SD sekolah reguler

10 yang mengajar anak-anak normal. Peran dan tugas yang dihadapi oleh guru di sekolah dapat meningkatkan derajat stres guru yang bersangkutan dan terkadang menyebabkan timbulnya masalah emosional pada guru. Selain itu bila guru mengalami stres dan memengaruhi keadaan emosi guru, pekerjaan yang dilakukannya tidak akan optimal. Oleh karena itu selain diperlukan keterampilan mengajar yang tinggi, kecerdasan emosional yang tinggi pun harus dimiliki para guru SDLB untuk menghadapi siswa-siswanya yang memiliki karakteristik yang berbeda. Berbeda dengan guru yang mengajar di sekolah SDLB-C, guru yang mengajar di sekolah reguler mengajar murid yang memiliki tingkat intelegensi sekurang-kurangnya rata-rata atau di atas kecerdasan rata-rata anak tunagrahita sehingga tingkat kesulitan yang dihadapkan kepada guru sekolah regular berbeda dengan guru SDLB-C. Setiap guru memiliki kecerdasan emosional tetapi guru SDLB-C harus lebih terampil menggunakan kecerdasan emosional dibandingkan guru sekolah reguler karena kondisi peserta didik yang berbeda. Tugas guru SD reguler Y di kota Bandung menurut Humas SD reguler Y adalah memberi bimbingan emosional dan perilaku, memberi dan menjelaskan materi pelajaran, melakukan tugas administrasi seperti penulisan raport, dan menyusun soal ketika ulangan harian. Kompetensi yang harus dimiliki oleh guru SDLB dan guru SD sekolah reguler menurut Mulyasa, 2011 adalah kompetensi pedagogis yang mencakup kemampuan mengelola pembelajaran, guru SDLB-C harus mampu mengelola

11 pembelajaran bagi murid tunagrahita dan guru SD sekolah reguler harus mampu mengelola pembelajaran untuk murid-murid SD sesuai dengan jenjang pendidikannya; Pemahaman terhadap peserta didik, guru SDLB-C harus mampu memahami karakteristik murid tunagrahita yang memiliki kekurangan dalam intelegensi dibawah rata-rata, sosial, bahasa dan komunikasi begitupun dengan guru SD sekolah reguler yang harus mampu memahami peserta didik agar dapat mengajar dengan optimal; Perancangan pembelajaran, guru SDLB-C harus mampu membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan tingkat ketunaan pada murid tunagrahita seperti membuat alat peraga dalam menyampaikan materi pembelajaran, pada guru SD reguler pun harus membuat rancangan pembelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum dari dinas pendidikan; Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; Pemanfaatan teknologi pembelajaran; Evaluasi hasil belajar, guru SDLB-C tidak dapat menentukan nilai minimal dari setiap mata pelajaran karena guru mengikuti kemampuan murid tunagrahita tidak seperti guru SD reguler yang dapat menentukan nilai minimal dari setiap mata pelajaran; dan Pengembangan peserta didik. Dengan adanya perbedaan karakteristik murid yang dihadapi guru maka kecerdsan emosional yang dimiliki guru SDLB-C dan guru SD reguler pun berbeda. Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi dengan cara mengendalikan dorongan diri dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Terdapat lima aspek utama kecerdasan emosional,

12 yaitu Pertama, mengenali emosi diri, adalah kemampuan untuk mengenali perasaan ketika perasaan itu terjadi. Kedua, mengelola emosi, adalah kemampuan untuk menangani perasaan agar dapat terungkap di waktu yang tepat. Ketiga, memotivasi diri sendiri. Keempat, mengenali emosi orang lain, memahami perasaan dan masalah orang lain, dan berpikir dengan sudut pandang mereka; menghargai perbedaan perasaan mengenai berbagai hal. Kelima, membina hubungan dengan orang lain, kemampuan membina hubungan dengan orang lain berarti guru mampu mengendalikan dan mengolah emosinya dengan baik dalam berinteraksi dengan murid, mampu bersikap cermat dalam membaca situasi sosial di sekitarnya, mampu berinteraksi dengan baik dan lancar dengan setiap kalangan, serta mampu bertindak bijaksana dalam hubungannya dengan murid dan rekan kerja. Jika guru SDLB-C memiliki kecerdasan emosional yang rendah, guru tidak mampu mengendalikan stres pada pekerjaannya dan akan memengaruhi emosi guru dalam mengajar sehingga guru tidak akan optimal dalam melakukan pengajaran. Jika guru memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, guru akan dapat mengendalikan stres kerja sehingga dapat bekerja dengan optimal. Kecerdasan emosional dapat sangat membantu para guru untuk mengelola berbagai tujuan dan tekanan yang mereka hadapi ketika bekerja, membantu para guru SDLB untuk mengelola emosi yang sedang dialami dengan lebih baik. Menurut hasil wawancara yang dilakukan terhadap enam orang guru SDLB, kesulitan yang banyak dialami dan dirasakan oleh guru SDLB adalah ketika harus menghadapi murid yang tantrum dan berusaha menenangkannya agar

13 tenang dan mau belajar lagi, sulit memahami apa yang diinginkan oleh murid tunagrahita dikarenakan keterbatasan bahasa. Kesulitan lain yang dirasakan adalah setiap guru harus mencakup semua aspek bidang materi pelajaran serta tuntutan fisik yang lebih dalam menghadapi murid tunagrahita yang aktif dan sulit dikendalikan. SLB-C X di kota Bandung, memiliki 21 orang guru dengan jumlah murid SD 52 orang, satu orang guru bertanggung jawab terhadap dua hingga tiga orang siswa. Sedangkan kesulitan yang dihadapi guru SD reguler dari hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap enam guru SD reguler adalah menghadapi anak yang kelas 1 dan 2 yang masih membutuhkan perhatian lebih seperti menemani ke toilet, menangis ingin pulang, menyuapi makan ketika waktu istirahat, menghadapi anak yang malas belajar; sebaliknya menghadapi anak kls 5 dan 6 yang mulai sulit diatur, untuk guru kelas 6 kesulitan yang dihadapi adalah memberi pengarahan persiapan yang lebih bagi murid untuk menghadapi ujian nasional. SD reguler Y di kota Bandung, memiliki 80 orang guru untuk mendidik siswa kelas 1 hingga siswa kelas 6. Masalah yang timbul pada guru sekolah SD reguler tentu saja tidak sama dengan masalah yang timbul pada guru SDLB. Permasalahan yang timbul pada guru SDLB berupa beban kerja yang menuntut guru tidak hanya mampu mengajarkan sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang selaras dengan potensi dan karakteristik peserta didiknya, melainkan juga harus mampu bertindak seperti paramedis, terapis, social worker, konselor dan administrator. Menangani anak tunagrahita dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental karena anak

14 tunagrahita membutuhkan lebih banyak perhatian dan pelatihan dibandingkan anak normal. Sehubungan dengan keadaan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui seperti apakah gambaran perbedaan kecerdasan emosional antara guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler di kota Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Melalui penelitian ini ingin diketahui sejauh mana perbedaan kecerdasan emosional antara guru SDLB-C X dan guru SD sekolah reguler Y di Kota Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Memeroleh data tentang kecerdasan emosional guru SDLB-C X dan guru SD sekolah reguler Y di Kota Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C X dan guru SD sekolah reguler Y di Kota Bandung.

15 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberikan informasi mengenai kecerdasan emosional guru SDLB-C X dan guru SD sekolah reguler Y di kota Bandung untuk ilmu Psikologi Pendidikan. Memeroleh pemahaman tentang pentingnya kecerdasan emosional pada guru SDLB-C X. Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai derajat kecerdasan emosional. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah SDLB-C X di Kota Bandung dan Kepala Sekolah dari sekolah SD reguler Y di kota Bandung mengenai kecerdasan emosional guru-guru yang mengajar ketika memberikan pengajaran. Informasi yang diberikan dapat digunakan untuk meningkatkan derajat kecerdasan emosional guru yang rendah dalam rangka mencapai proses pembelajaran yang optimal dengan cara memberikan konseling. Memberikan informasi mengenai pentingnya kecerdasan emosional kepada guru-guru SDLB-C X dan guru-guru SD sekolah reguler Y proses belajarmengajar agar optimal dalam mengajar.

16 1.5 Kerangka Pikir Pendidikan merupakan hal yang penting bagi proses tumbuh kembang anak dan memengaruhi anak dalam berinteraksi dengan orang lain. Terdapat dua macam pendidikan yang ada di Indonesia yaitu pendidikan umum dan pendidikan khusus. Pendidikan umum adalah pendidikan yang diperuntukan bagi semua murid yang mengutamakan perluasan pengetahuan untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Pendidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi murid yang memiliki tingkat kesulitan atau keterbatasan fisik, kognisi, emosi, dan sosial dalam mengikuti proses pembelajaran. Pendidikan khusus atau luar biasa merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional, salah satunya adalah SLB-C yang diperuntukan bagi anak tunagrahita. Tunagrahita adalah keterbelakangan mental dengan fungsi intelektual di bawah rata-rata disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku yang terjadi pada masa perkembangan (Kauffman dan Hallan dalam Somantri, 2007). Guru-guru SDLB-C mempunyai peran penting dalam memengaruhi tingkat keberhasilan anak tunagrahita dalam menjalani perkembangannya dan bertanggungjawab secara khusus terhadap perkembangan muridnya. Anak tuna grahita memiliki IQ di bawah rata-rata anak normal; keterbatasan sosial, kesulitan dalam mengurus diri sendiri; dan keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya, membutuhkan waktu yang lama untuk bereaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Selain itu anak tuna grahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa, kemampuan bahasa mereka kurang berfungsi dengan baik sehingga mereka

17 membutuhkan kata-kata konkret dan sering diulang (Somantri, 2007). Dibutuhkan kesabaran, komitmen, dan empati dalam memberikan pengajaran kepada siswa tunagrahita. Mengingat tugas-tugas yang dihadapi tidak ringan, guru SDLB berpeluang mengalami tekanan-tekanan yang berdampak pada munculnya masalah emosional. Tekanan yang dialami ini membutuhkan adanya kemampuan untuk meregulasi kehidupan perasaannya agar kinerja guru tidak terganggu. Oleh karena itu dibutuhkan kecerdasan emosional bagi para guru SDLB-C untuk menghadapi siswa-siswanya yang memiliki karakteristik yang berbeda. Di sisi lain, guru sekolah reguler juga memunyai peran penting dalam memengaruhi tingkat keberhasilan siswa dalam mengembangkan potensi diri, ilmu, pengetahuan, spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Guru sekolah reguler memiliki tugas-tugas rutin, sebagaimana halnya guru SDLB-C, yang tidak jarang juga menyebabkan timbulnya masalah emosional. Dalam tataran tertentu, guru-guru sekolah regular juga membutuhkan kecerdasan emosional agar kinerjanya dapat berjalan optimal ditengah-tengah beban tugas yang tidak ringan. Menurut Goleman (1999), kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi dengan cara mengendalikan dorongan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa. Terdapat lima

18 aspek utama kecerdasan emosional, yaitu Pertama, mengenali emosi diri, kesadaran diri untuk mengenali emosi dan penyebab munculnya perasaan ketika perasaan itu terjadi. Ketika mengajar jika guru SDLB dan guru sekolah reguler sedang merasa senang, guru tersebut mengetahui bahwa ia sedang merasa senang dan mengetahui penyebab dari rasa senangnya. Ketika mengajar guru yang bersangkutan merasa senang terhadap muridnya, ia mengetahui penyebab rasa senangya karena murid-muridnya dapat menguasai materi yang diajarkan. Kedua, mengelola emosi, kemampuan untuk menangani perasaan agar dapat terungkap di waktu yang tepat. Dalam kegiatan mengajar jika guru sedang merasa kesal guru tersebut dapat mengatasi rasa kesalnya dan tidak dilampiaskan kepada muridnya. Rasa kesal yang dirasakan oleh guru kepada salah satu muridnya ketika mengajar tidak dilampiaskan kepada murid yang lain. Ketiga, memotivasi diri sendiri, kemampuan untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugas yang dikerjakan dan bertanggung jawab. Ketika guru SDLB dan guru SD sekolah reguler mengetahui ada siswa yang tidak menunjukan kemajuan, guru tidak merasa kecil hati, malah guru termotivasi untuk melakukan pengajaran yang optimal karena ia merasa bahwa memberikan pengajaran yang optimal merupakan tanggung jawabnya. Keempat, mengenali emosi orang lain, memahami perasaan dan masalah orang lain, dan berpikir dengan sudut pandang mereka; menghargai perbedaan perasaan mengenai berbagai hal. Guru mengetahui ketika muridnya sedang marah dan guru dapat menghadapi serta menenangkan anak tunagrahita yang sedang marah tersebut. Kelima, membina hubungan dengan orang lain, yaitu kemampuan membina hubungan dengan orang lain berarti guru mampu mengendalikan dan

19 mengolah emosinya dengan baik dalam berinteraksi dengan murid, mampu bersikap cermat dalam membaca situasi sosial di sekitarnya, mampu berinteraksi dengan baik dan lancar dengan setiap kalangan, serta mampu bertindak bijaksana dalam hubungannya dengan murid dan rekan kerja. Jika guru SDLB dan guru SD sekolah reguler merasa kesal, guru tetap dapat menjalin komunikasi yang baik dengan murid, rekan kerja, dan orangtua murid. Seorang guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler dengan kecerdasan emosional yang tinggi, mampu dan terampil dalam mengendalikan dirinya, memiliki semangat dan ketekunan yang tinggi, mampu memotivasi dirinya sendiri dalam mengerjakan sesuatu, dan mampu berinteraksi baik dengan orang lain, mampu memahami dan mengelola emosi orang lain, sehingga akan disenangi dalam pergaulan dan berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Dalam bekerja kecerdasan emosional yang tinggi dapat sangat membantu para guru untuk mengelola berbagai tuntutan tugas dan tekanan yang dihadapi. Guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler dengan kecerdasan emosional yang rendah, tidak mampu untuk mengenali emosi diri, kesulitan dalam mengelola emosi, tidak ada motivasi dalam diri, tidak mampu mengenali emosi orang lain, dan menarik diri dari orang lain. Dalam bekerja guru SDLB dan guru SD sekolah reguler akan menampilkan perilaku mudah lelah, mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan siswanya, dan selalu merasa cemas.

20 Kerangka pikir secara sistematis dapat dilihat pada skema di bawah ini: Aspek-aspek kecerdasan emosional: Mengenali emosi diri Mengelola emosi Memotivasi diri Mengenali emosi orang lain Membina hubungan Guru Sekolah Dasar Luar Biasa C di kota Bandung KECERDASAN EMOSIONAL Hasil Guru Sekolah Dasar Reguler di kota Bandung KECERDASAN EMOSIONAL Hasil Diuji beda bedakan Aspek-aspek kecerdasan emosional: Mengenali emosi diri Mengelola emosi Memotivasi diri Mengenali emosi orang lain Membina hubungan Gambar 1.1 Skema Rancangan Pemikiran 1.6 Asumsi 1) Tugas yang berkaitan dengan tuntutan kinerja guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler dan karakteristik siswa-siswa yang dihadapi dapat menimbulkan keadaan tertekan.

21 2) Kemampuan para guru dalam mengelola perasaannya ditentukan oleh seberapa baik kecerdasan emosionalnya. 3) Guru SDLB-C dengan kecerdasan emosional tinggi mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan siswa, didalam menjalankan proses pembelajaran. 4) Terdapat perbedaan karakteristik siswa yang dihadapi oleh guru SDLB-C dan guru SD sekolah reguler. 1.7 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini yaitu: Terdapat perbedaan kecerdasan emosional pada guru SDLB-C X dan guru SD sekolah reguler Y di Kota Bandung.