MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2)

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

TANGGUNG JAWAB NEGARA BERDASARKAN SPACE TREATY 1967 TERHADAP AKTIVITAS KOMERSIAL DI LUAR ANGKASA

TANGGUNG JAWAB NEGARAA PELUNCUR ATAS KERUGIAN YANG DITIMBULKAN ANTARIKSA BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION Waode Zessica Harta Setiati.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasion

KEBIJAKAN INTERNASIONAL PENGATURAN LEMBAGA GANTI RUGI DALAM PENYELESAIAN GANTI RUGI AKIBAT PENGOPERASIAN BENDA-BENDA ANGKASA BUATAN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAHAN KULIAH HUKUM ORGANISASI INTERNASIONAL Match Day 8 HAK-HAK ISTIMEWA DAN KEKEBALAN ORGANISASI INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. menyadari apa yang akan terjadi bilamana suatu bangsa atau negara secara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SILABUS FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SEMARANG 2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. cepat dan menghasilkan kejadian-kejadian yang luar biasa, misalnya pesawat

BAB I PENDAHULUAN. Aspek Hukum Internasional itu sendiri yang menjadi alasan utama dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

- Dibentuk oleh suatu Perjanjian Internasional - Memiliki organ yang terpisah dari negara-negara anggotanya - Diatur oleh hukum internasional publik

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PERKEMBANGAN HUKUM UDARA DAN RUANG ANGKASA

BAB I PENDAHULUAN. negara melakukan tindakan-tindakan yang dianggap menguntungkan kepentingannya yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2013, No Mengingat d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang ten

BAB II OPEN SKY POLICY SEBAGAI INSTRUMEN HUKUM UDARA. 1. Sifat dan Tujuan / Jenis Hukum Udara Internasional

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERJANJIAN INTERNASIONAL DI ERA GLOBALISASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjamin keselamatan setiap penerbangan udara sipil. 1

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

HUKUM LAUT. Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi permukaan bumi.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB III PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai negara kepulauan yang luas maka modal transportasi udara

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam memahami hukum Organisasi Internasional. tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN PENERBANGAN SIPIL MENURUT HUKUM INTERNASIONAL. Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan alat transportasi lainnya karena banyaknya keuntungan yang didapat

BAB II PEMBENTUKAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI KEGIATAN DI RUANG ANGKASA. A. Pengertian Ruang Angkasa dan Hukum Ruang Angkasa

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

TANGGUNGJAWAB NEGARA PELUNCUR BENDA ANGKASA TERKAIT MASALAH SAMPAH LUAR ANGKASA (SPACE DEBRIS) BERDASARKAN LIABILITY CONVENTION 1972

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA NEGARA INDONESIA. A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Udara di Indonesia

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

BAB II TINJAUN UMUM TENTANG PEMBAJAKAN UDARA. aircraft) dengan pesawat udara negara (state aircraft). Perbedaan antara pesawat

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO).

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

PERSETUJUAN MULTILATERAL ASEAN TENTANG JASA ANGKUTAN UDARA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia di dalamnya dan perlu pengaturan yang jelas dan pasti. Berbeda dengan

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar dengan menempatkan prioritas pembangunan pada bidang

NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEANTARIKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA

Pertanggungjawaban Pengangkutan Udara Komersial dalam Perspektif Hukum Penerbangan di Indonesia

Transkripsi:

MATERI PERKULIAHAN HUKUM INTERNASIONAL MATCH DAY 8 HUKUM KEWILAYAHAN NEGARA (BAGIAN 2) Setelah membahas tentang teori kewilayahan negara dan hukum laut internasional, pada bagian ini akan dilanjutkan pembahasan hukum kewilayahan negara di udara dan ruang angkasa. Hukum udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hukum internasional yang relatif baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke-20 setelah munculnya pesawat udara. Oleh karena itu, berbeda dengan hukum laut yang pada umumnya bersumber pada hukum kebiasaan, hukum udara dan antariksa terutama didasarkan pada ketentuan-ketentuan konvensional, sedangkan hukum kebiasaan hanya mempunyai peran tambahan dalam pembentukan hukum udara dan antariksa. 1 C. HUKUM UDARA Berdasarkan praktik dan perkembangan yang terjadi selama Perang Dunia I, maka status ruang udara nasional menjadi jelas yaitu negara-negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan laut wilayah. Berbeda dengan hukum laut, pada hukum udara tidak ada hak lintas damai melalui ruang udara nasional, yang ada hanyalah pemberian izin untuk melakukan lintas udara baik secara unilateral atau berdasarkan persetujuan bilateral maupun melalui konvensi-konvensi multilateral kepada pesawat udara sipil asing. 2 1. Konvensi Paris 13 Oktober 1919 Peristiwa ditandatanganinya Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara, materi yang diatur antara lain: 3 a. Kedaulatan penuh dan ekslusif negara-negara peserta terhadap ruang udara di atas wilayah darat dan lautnya, tapi udara akan bebas dari kedaulatan suatu negara bila membawahi laut lepas (Pasal 1); b. Ada klausul kebebasan lintas, negara-negara peserta pada masa damai untuk mengizinkan hak lintas damai pesawat udara negara pihak lain di atas wilayahnya sesuai dengan syarat-syarat yang dimuat dalam konvensi (Pasal 2); c. Hak lintas terbang damai dibatasi oleh negara di bawahnya atas alasan militer atau kepentingan keamanan publik, sehingga negara pihak bisa menetapkan larangan terbang di zona-zona tertentu dari wilayahnya terhadap pesawat asing atupun nasional (Pasal 3); d. Konvensi ini hanya berlaku pada masa damai, dalam keadaan perang, konvensi memberikan kebebasan bertindak bagi negara yang berperang dengan memperhitungkan hak negara-negara netral (Pasal 2 dan 38); e. Terbentuk organ permanen di bawah LBB yaitu Komisi Internasional Navigasi Udara dengan tugas untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan ketentuan-ketentuan konvensi; 1 Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 422. 2 Ibid., hlm. 423. 3 Baca Ibid., hlm. 423-427.

f. Tiap-tiap pesawat udara untuk dapat diizinkan melakukan penerbangan internasional harus mempunyai kebangsaan tertentu dan hanya mempunyai satu kebangsaan tertentu. Penentuan kebangsaan ini mempunyai kepentingan dari segi tanggung jawab dan kepentingan perlindungan; g. Konvensi ini kelihatannya hanya merupakan suatu instrumen hukum yang pelaksanaannya terbatas pada hubungan antar negara yang menang PD I, keikutsertaan negara bekas musuh hanya dapat menjadi pihak setelah masuk keanggotaan LBB atau paling tidak atas keputusan ¾ negara pihak (Pasal 42). Konvensi ini pada perkembangannya mengalami beberapa perubahan materi, terutama mengenai keanggotaan dalam konvensi. Merujuk pada literatur lain, ada 6 enam prinsip dalam Konvensi Paris 1919, yaitu: 4 a. Setiap negara mempunyai kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang berada di atasnya; b. Berisikan hak lintas damai; c. Larangan terbang melintasi daerah/area tertentu. Dengan alasan tidak boleh lain dari alasan pertahanan militer (military interest) atau keselamatan rakyat (public safety); d. Membangun kerjasama di antara negara-negara untuk mengamankan penerbangan dan navigasi internasional. e. Mengatur aturan penerbangan ber-scheduled; f. Mengatur aturan penerbangan un-scehduled. 2. Konvensi Chicago 1944 Pelaksanaan masalah kebebasan navigasi udara Konvensi Paris dirasa hanya sebagai konvensi yang diberikan atas dasar resiprositas semata kepada para pihak, bukan penilaian objektif. Di samping itu perkembangan pesat dalam lalu lintas udara juga membuat Konvensi Paris harus direvisi kembali. USA berinisiatif untuk membuat revisi Konvensi Paris, 1 November 7 Desember 1944 diadakan konferensi di Chicago yang dihadiri 53 negara. Konferensi tersebut membatalkan Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Inter Havana 1928 dan menghasilkan: 5 a. 2 kebebasan dasar yaitu hak lintas damai (innocent passage) dan hak mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan-bahan dan reparasi/perbaikan (technical stop); b. 3 kebebasan komersial yang berkaitan dengan lalu lintas komersial, yaitu: (1). hak untuk menurunkan di semua pihak para penumpang dan barang dagangan yang dimuat di wilayah negara pihak yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan dari negara tersebut; (2). hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan negara tersebut; (3). hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua wilayah negara pihak dan menurunkannya di wilayah negara-negara pihak lainnya. Khusus untuk kebebasan komersial hanya diterima untuk pesawat udara pengangkut yang melakukan pelayanan internasional yang teratur atas dasar traffic convention. Untuk 2 kebebasan dasar diberikan kepada semua pesawat udara sipil negara pihak tanpa otorisasi khusus dan hanya atas dasar ketentuan Konvensi. Di samping konvensi mengenai Penerbangan sipil Internasional, Konferensi Chicago ini juga menghasilkan Persetujuan 4 T.May Rudy, 2002, Hukum Internasional 2, Refika Aditama, Bandung, hlm. 31. 5 Boer Mauna, Op.cit., hlm. 427-428.

mengenai Transit Jasa-jasa Udara Internasional dan Persetujuan mengenai Alat Angkutan Udara Internasional. Dalam literatur lain, disebutkan bahwa Konvensi Chicago 1944 ini memiliki 4 prinsip yaitu: 6 a. Airspace Sovereignity (prinsip kedaulatan di ruang udara); b. Nationality of Aircraft (prinsip kebangsaan dari setiap pesawat udara); c. Condition to Fulfill with Respect to Aircraft or by Their Operators (prinsip adanya persyaratan tertentu yang harus dipenuhi baik oleh pesawat udara atau pun oleh operatornya); d. International Cooperation and Facilitation (prinsip kerjasama dan penyediaan fasilitas internasional). 3. International Civil Aviation Organization (ICAO) Konvensi Chicago menghasilkan pendirian organisasi penerbangan sipil internasional dengan nama International Civil Aviation Organization (ICAO). Suatu organisasi teknik yang bertujuan untuk menyeragamkan ketentuan navigasi udara. ICAO bermarkas besar di Montreal, Kanada. Pasal 44 menegaskan fungsi ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi internasional dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman. 7 Struktur ICAO terdiri dari wakil-wakil negara anggota dan memiliki beberapa komite seperti The Air Navigation Commission, Air Transport Committee, Legal Committee, Committee on Joint Support of Air Navigation and Finance Committee. Di samping peranannya di bidang teknik, ICAO juga memuat mekanisme yang orisinil mengenai penyelesaian sengketa antara negara-negara pihak mengenai implementasi atau pelaksanaan Konvensi. 8 4. Wilayah Udara Nasional Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiap negara mempunyai kedaulatan penuh dan ekslusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negara juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. 9 Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat udara merupakan aspek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh negara-negara. Demikianlah untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, negara-negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional di bidang kerjasama pengawasan atau keamanan. 10 Di samping itu, dalam kegiatan lalu lintas udara internasional, sering terjadi pelanggaran kedaulatan udara suatu negara oleh pesawat militer atau sipil. Dalam hal ini negara yang kedaulatan udaranya dilanggar dapat menyergap pesawat asing tersebut dan diminta untuk mendarat. Sepanjang menyangkut pesawat sipil, negara tidak boleh 6 T.May Rudy, Op,cit., hlm. 31. 7 Boer Mauna, Op.cit., hlm. 429. 8 Ibid., hlm. 430. 9 Ibid., hlm. 430. Lihat juga Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 tentang hal ini. 10 Ibid., hlm. 432.

menggunakan tindakan balasan tanpa batas. Tindakan yang diambil harus bijaksana dan tidak membahayakan keselamatan penumpang. 11 5. Pesawat Udara Publik dan Sipil 12 Pasal 3 Konvensi Chicago menegaskan bahwa pesawat udara publik adalah yang digunakan untuk dinas militer, duane atau polisi. Mengenai pesawat sipil, Konvensi Chicago mengharuskan pesawat harus dan hanya mempunyai satu kebangsaan dimana pesawat tersebut di imatrikulasi (didaftarkan). Adapun kategori pesawat udara adalah sebagai berikut: a. Pesawat udara sipil yang tidak melakukan pelayanan pengangkutan komersial menikmati 2 bentuk kebebasan, yaitu kebebasan transit tanpa mendarat dan kebebasan mendarat dengan tujuan non komersial. b. Pesawat udara yang melakukan pelayanan komersial tidak reguler juga mendapat 2 kebebasan tersebut, ditambah kemudahan untuk melakukan pendaratan komersial dengan syarat negara teritorial dapat memberlakukan pembatasan-pembatasan yang dianggap perlu sesuai dengan Pasal 5 alinea 2 Konvensi Chicago. c. Pesawat udara yang melakukan pelayanan komersial reguler juga mendapat kebebasan dengan syarat bila negara mereka masing-masing juga telah menjadi pihak dalam perjanjian mengenai transit dan pengangkutan udara internasional. Hak-hak yang diberikan antara lain hak untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, surat-surat dan barang dagangan yang dibawa dan dimuat di wilayah negara yang pesawatnya mempunyai kebangsaan negara tersebut dan hak untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, surat-surat dan barang dagangan dari dan menuju wilayah negara pihak lainnya. d. Pesawat yang melakukan cabotage ialah pelayanan komersial oleh penerbangan intern dari suatu tempat ke tempat lain dari wilayah negara yang sama dan yang secara prinsip harus mempunyai kebangsaan dari negara tersebut. Cabotage oleh pesawat asing harus tunduk pada otorisasi negara yang bersangkutan, apakah itu penerbangan reguler atau tidak. e. Pesawat publik dapat melintasi suatu wilayah setelah mendapatkan otorisasi sebelumnya dan menikmati kekebalan-kekebalan bila penerbangan telah diizinkan sebelumnya dan mencabut kekebalan-kekebalan tersebut bila terjadi pelanggaran. D. HUKUM RUANG ANGKASA (ANTARIKSA) Sebelumnya perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa yang disebut dengan kegiatan keruangangkasaan meliputi aspek-aspek berikut, antara lain: peluncuran, pengorbitan, penempatan, pengoperasian (eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa), pengawasan dan pengendalian benda-benda angkasa, pengangkutan ke bumi hasil-hasil eksploitasi, serta pengembalian ke bumi benda-benda angkasa yang telah habis masa fungsinya. 13 Berikutnya, perlu diketengahkan juga sebuah pertanyaan bagaimana membedakan antara ruang udara dan ruang angkasa? mengingat di kedua wilayah tersebut status 11 Ibid. 12 Ibid., hlm. 436-438. 13 Ida Bagus Wyasa Putra, 2001, Tanggung Jawab Negara Terhadap Dampak Komersialisasi Ruang Angkasa, Refika Aditama, Bandung, hlm. 74.

yuridisnya berbeda sama sekali. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat digunakan beberapa teori tentang kedaulatan wilayah negara berikut ini: 14 1. Kedaulatan ruang udara adalah tegak lurus di tanah suatu negara (teori ini lemah karena bumi bundar menyebabkan adanya ruang kosong); 2. Teori cerobong asap, kedaulatan udara itu adalah melebar dari bumi seperti cetobong asap; 3. Teori sampai ketinggian tidak terbatas (teori ini lemah karena gaya tarik bumi tidak ada pada ketinggian tertentu); 4. Teori kedaulatan sampai batas gravitasi bumi; 5. Teori kedaulatan ruang udara sampai pilot bisa terbang tanpa menggunakan masker O 2 (sampai sekarang teori ini dipergunakan). 1. Sejarah Hukum Angkasa dan Space Treaty 1967 Perkembangan teknologi untuk menjelajah ruang angkasa semakin berkembang pesat, diawali dari peluncuran satelit pertama, SPUTNIK, oleh Uni Soviet pada bulan Oktober 1957, kemudian disusul peluncuran manusia pertama, Yuri Gagarin, juga dari Uni Soviet pada tahun 1961. Seiring dengan perkembangan IPTEK ruang angkasa, berkembang pula pengaturan-pengaturan terhadap status ruang angkasa. Hukum ruang angkasa ini mempunyai ciri-ciri khusus, yaitu sifatnya hukumnya yang asli, menyangkut kepentingan universal dan peranan penting USA dan Uni Soviet. Perkembangan pembuatan hukum angkasa ini bermula dari perjanjian-perjanjian bilateral antara kedua negara besar tersebut yang kemudian berlanjut dengan pembahasan-pembahasan di Majelis Umum PBB yang kemudian merumuskan prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh resolusi-resolusi dan perjanjian-perjanjian yang bersifat universal. 15 Segera setelah peluncuran SPUTNIK, Majelis Umum PBB sadar akan peranannya dalam mendukung perkembangan progresif hukum ruang angkasa, 13 Desember 1958 terbentuk Ad Hoc Committee on The Peaceful Uses of Outer Space yang berganti dengan Committee on The Peaceful Uses of Outer Space pada 12 Desember 1959. Pembentukan komite ini menandai dimulainya perumusan hukum mengenai eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa secara damai angkasa luar yang diselenggarakan di Wina tahun 1968 dan 1982. 16 Dalam perkembangannya, 20 Desember 1961 Majelis Umum PBB menerima resolusi tentang prinsip kebebasan ruang angkasa. 16 Juni 1966 atas usul USA dan Uni Soviet diajukan konsep Prinsip-prinsip yang mengatur Kegiatan-kegiatan Negara di Bidang Eksplorasi dan Penggunaan Angkasa Luar termasuk Bulan dan Benda-benda Angkasa Alamiah lainnya (Treaty on Principles Governing the Activities of State in the Exploration and Use of Outer Space, the Moon and other celestial bodies), yang kemudian treaty tersebut pada 9 Desember 1966 diterima secara aklamasi oleh Majelis Umum PBB. Treaty tersebut ditandatangani di Washington, London, dan Moscow pada tanggal 27 Januari 1967. Sebanyak 60 negara menandatangani treaty tersebut. Treaty tersebut selanjutnya disebut Space Treaty 1967 yaitu Treaty on Principles the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and other celestial bodies, 1967. 17 14 T.May Rudy, Op.cit. hlm. 53. 15 Boer Mauna, Op.cit., hlm. 439-440. 16 Ibid., hlm. 440. 17 Juajir Sumardi, 1996, Hukum Ruang Angkasa (Suatu Pengantar), Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 15. Indonesia meratifikasi treaty ini melalui UU Nomor 16 Tahun 2002 tanggal 17 April 2002.

Space Treaty 1967 dapat dianggap sebagai dokumen hukum induk bagi kegiatankegiatan di luar angkasa. Adapun prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya antara lain: 18 a. Eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa, bulan dan benda-benda ruang angkasa lainnya bagi semua negara untuk tujuan damai dan kerjasama internasional (Pasal 1 dan 2 Article I Space Treaty 1967). Terkandung juga dalam prinsip ini bahwa untuk merealisasikan kebebasan eksploitasi dan eksplorasi ruang angkasa, maka ruang angkasa dan benda-benda angkasa lainnya tidak boleh dijadikan sebagi objek pemilikan yaitu dengan melakukan suatu klaim kedaulatan oleh suatu negara (article II Space Treaty 1967); b. Pelaksanaan eksplorasi dan penggunaan ruang angkasa harus sesuai dengan hukum internasional dan Piagam PBB; c. Larangan penempatan senjata-senjata di ruang angkasa; d. Pemberian bantuan kepada astronot dan pemberitahuan mengenai gejala-gejala yang membahayakan di ruang angkasa; e. Tanggung jawab internasional harus dilakukan oleh negara yang melaksanakan kegiatan di ruang angkasa; f. Ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan ruang angkasa; g. Jurisdiksi negara peluncur atas person dan objek yang diluncurkan; h. Prinsip pencegahan terhadap pencemaran terhadap pencemaran dan kontaminasi dari ruang angkasa dan benda-benda ruang angkasa; i. Prinsip tentang keharusan memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan masyarakat internasional mengenai maksud dan tujuan serta hasil dari kegiatan ruang angkasa; j. Prinsip penggunaan sistem ruang angkasa secara bersama. 2. Status Yuridik Angkasa Luar 19 Antariksa tunduk pada suatu rezim hukum internasional yang ditandai oleh pelaksanaan dua prinsip, yaitu tidak dapat dimiliki dan kebebesan penggunaan, tetapi kebebasan penggunaan ini dibatasi oleh beberapa ketentuan, yaitu: a. Tidak dapat Dimiliki (Non Appropiation); Pasal 2 Space Treaty antariksa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya tidak dapat dijadikan milik nasional baik melalui pernyataan kedaulatan, penggunaan ataupun pendudukan maupun melalui cara lain apapun. b. Kebebasan penggunaan; dalam artian penggunaan ruang angkasa harus sesuai dengan Hukum Internasional dan Piagam PBB dan untuk tujuan damai serta untuk kepentingan seluruh umat manusia; c. Kekhususan status bulan dan benda angkasa lainnya; terdapat perbedaan mengenai ruang angkasa dan benda angkasa yang dirumuskan dalam Persetujuan 1979 yang intinya adalah: (1). Pelarangan penggunaan bulan dan benda angkasa lainnya untuk melakukan ancaman dan kekerasan, menempatkan di orbitnya atau meletakkan benda-benda yang membawa senjata-senjata nuklir atau senjata-senjata pemusnah massal lainnya, mendirikan basis-basis, instalasi dan fortifikasi militer atau melakukan 18 Ibid., hlm. 18-22. 19 Disarikan dari Boer Mauna, Op.cit., hlm. 444-449.

manuver-manuver militer, sebaliknya tidak dilarang untuk menggunakan personel militer atau perlengkapan militer untuk tujuan damai terutama untuk riset ilmiah; (2). Bulan dan benda-benda alamiah dan segala sumber dayanya merupakan milik bersama umat manusia. d. Orbit Geostationer (GSO); dalam ruang angkasa terdapat orbit geostationer yang terletak di khtulistiwa bumi dengan ketinggian sekitar 36.000 km dan ketebalan sekitar 75 km. GSO ini karena periode putarnya hampir sama dengan periode putar bumi mempunyai kelebihan dibanding bagian ruang angkasa lainnya. GSO dapat dimanfaatkan untuk kepentingan telekomunikasi, meteorologi dan geofisika. GSO ini digunakan secara adil dan merata bagi semua negara. 3. Space Liability Convention 1972 Seringkali kegiatan ruang angkasa oleh suatu negara menimbulkan kerugian pada negara lain, untuk itu dibuatlah Space Liability Convention 1972 yang intinya berisi: 20 a. negara peluncur atau negara yang ikut bersama- sama meluncurkan atau negara yang memberi fasilitas peluncuran benda-benda ruang angkasa harus bertanggungjawab secara internasional atas kerusakan dan/atau kerugian yang diderita oleh negara lain baik terhadap harta benda dan manusia, badan hukum maupun terhadap masalah kerugian yang diderita oleh suatu pesawat udara dalam penerbangan sebagai akibat dari pelaksanaan keantariksaan dari negara peluncur; b. yang dimaksud dengan benda-benda angkasa adalah juga termasuk segala peralatan dan/atau bagian dari benda angkasa yang diluncurkan ke ruang angkasa dan yang dimaksud damage atau kerusakan adalah termasuk kerusakan pada kesehatan manusia, harta benda dan hilangnya nyawa manusia; c. kerusakan yang terjadi itu harus dipertanggungjawabkan secara internasional oleh negara peluncur, di mana kerusakan-kerusakan tersebut dapat terjadi di pemukaan bumi juga terhadap pesawat ruang angkasa dan pesawat udara milik negara lain yang sedang mengadakan penerbangan; d. tanggung jawab yang harus dipikul oleh negara peluncur adalah strict liability dan liability based on-fault; Strict liability: jika kerugian itu terjadi di permukaan bumi, misalnya tertimpa suatu bangunan oleh kepingan benda angkasa, rusak alam karena kontaminasi nuklir di permukaan bumi, meninggal manusia karena benda angkasa tersebut, tertabrak atau tertimpa pesawat udara oleh pecahan benda angkasa atau tertabrak oleh benda yang sementara diluncurkan ke ruang angkasa, maka dalam keadaan atau kejadian semacam ini negara peluncur bertanggung jawab secara penuh dan mutlak (absolut) terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga tersebut sebesar kerugian yang diderita. Pihak yang dirugikan dalam kejadian ini tidak perlu memberikan suatu pembuktian tentang adanya unsur kesalahan pada pihak negara peluncur, cukup dengan menunjukkan fakta adanya kerugian tersebut yang disebabkan oleh suatu benda yang diidentifikasi sebagai milik negara peluncur. Liability based on fault: prinsip ini diberlakukan bila kerugian itu terjadi bukan di permukaan bumi dan di udara, akan tetapi kerugian terjadi di ruang angkasa yaki dalam hal benda angkasa tersebut merugikan negara lain karena telah merusak atau menabrak 20 Disarikan dari Juajir Sumardi, Op.cit., hlm. 39-44.

benda-benda angkasa milik negara peluncur lainnya yang telah ditempatkan pada orbitnya. e. tanggung jawab kerusakan dapat dipikul oleh satu atau lebih dari satu negara; f. tuntutan kerugian oleh negara yang dirugikan dilakukan melalui saluran dipomatik; g. untuk pembayaran kompensasi atau ganti rugi, mata uang yang digunakan adalah mata uang negara penggugat, kecuali disepakati sesuai dengan persetujuan para pihak; h. penuntutan pembayaran kompensasi atau ganti rugi dapat dilakukan melalui Komisi Penuntut yang dibentuk berdasarkan persetujuan para pihak yang dituntut. MP7