TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman semusim, termasuk golongan rumputrumputan. Berasal dari genus Oryza, famili Graminae (Poaceae) dan salah satu spesiesnya adalah Oryza sativa L. Padi memiliki bagian vegetatif seperti akar, batang dan daun. Akar terdiri dari akar serabut atau adventif. Tumbuhan padi (Oryza sativa) termasuk golongan tumbuhan Gramineae ditandai dari batangnya yang beruas dan berbuku (Siregar, 1981). Padi pada saat ini tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek. Padi memiliki daun sempurna dengan pelepah tegak, helaian daun berbentuk lanset, tulang daun sejajar dan berwarna hijau muda hingga hijau tua. Bunga tersusun majemuk, tipe malai bercabang, satuan bunga disebut floret, yang terletak pada satu spikelet yang duduk pada panikula. Buah tipe kariopsis yang tidak dapat dibedakan mana buah dan bijinya, bentuk hampir bulat hingga lonjong, ukuran 3 mm hingga 15 mm tertutup oleh palea dan lemma yang dalam bahasa sehari-hari disebut sekam, struktur dominan adalah endospermium. Di Indonesia yang beriklim tropis, padi ditanam diseluruh daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Umumnya padi diusahakan sebagai padi sawah (85-90%) dan sebagian kecil (10-15%) sebagai padi gogo. Padi tergolong tanaman yang toleran terhadap kondisi air pengeringan, dapat ditanam pada tanah tergenang sebagai padi sawah, di tanah darat sebagai padi gogo, dan padi gogo rancah (ditanam sebagai padi gogo kemudian digenangi seperti padi sawah). Pertumbuhan padi dibagi menjadi tiga fase, yaitu vegetatif, reproduktif dan pemasakan. Fase vegetatif dimulai dari saat berkecambah sampai dengan inisiasi primordial malai. Fase reproduktif dimulai dari inisiasi primordial malai sampai berbunga. Fase pemasakan dimulai dari berbunga sampai panen. Lama fase vegetatif tidak sama untuk setiap varietas. Sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan umur panen, sedang fase reproduktif dan pemasakan umumnya sama untuk setiap varietas (Ismunadji et al., 1993).
5 Periode Kehidupan Benih Menurut konsep viabilitas benih Steibauer-Sadjad (Sadjad, 1994), benih mengalami 3 fase kehidupan. Periode I disebut Periode Pembangunan Benih, Periode II adalah Periode Simpan dan Periode III merupakan Periode Kritikal. Gambar 1. Konsepsi Steinbauer-Sadjad Keterangan : Periode I : Periode Pembangunan Benih Periode II : Periode Simpan Periode III : Periode Kritikal. Vp= Viabilitas Potensial; Vg=Vigor; Vss=Viabilitas Sesungguhnya; PKs= Periode Konservasi sebelum simpan; PK T = Periode Konservasi sebelum tanam; D= Nilai Delta. Periode III dijabarkan oleh tingkat Vigor Daya Simpan (V DS ) padaa saat benih mengakhiri Periode Simpan (PS). Periode III merupakan fase kritis karena benih berada pada kondisi suboptimum sehingga vigor akan menurun tajam dibanding viabilitasnya. Pada periode III, benih menunjukkan viabilitas potensial yang masih tinggi, tetapi vigor kekuatan tumbuh secara drastis menurun (Sadjad, 1994). Suatu lot benih dinyatakan kadaluarsa apabila telah kehilangan daya simpan dan status viabilitasnya mulai memasuki Periode Kritikal. Jangka waktu antara Periode Simpan sampai Periode Kritikal merupakan Periode Konservasi
6 Pratanam. Berakhirnya Periode Konservasi Pratanam adalah batas penilaian suatu lot benih dinyatakan kadaluarsa (Basoeki, 1993). Benih yang sudah mendekati atau habis masa edarnya, di duga sudah masuk di Periode III pada konsep Steinbauer-Sadjad (1994). Perubahan dari keadaan yang masih tinggi viabilitasnya ke viabilitas yang sangat rendah dapat terjadi dengan cepat. Sehingga perlu adanya suatu uji yang bisa memprediksi viabilitas dalam kondisi suboptimum (tolok ukur vigor). Viabilitas Potensial dan Vigor Benih Ilyas (2010) menyatakan viabilitas benih menunjukkan daya hidup benih, aktif secara metabolik dan memiliki enzim yang dapat mengkatalisa reaksi metabolik yang diperlukan untuk perkecambahan dan pertumbuhan kecambah. Viabilitas benih dapat diukur dengan tolok ukur daya berkecambah (germination capacity). Daya berkecambah benih adalah muncul dan berkembangnya struktur terpenting dari embrio benih serta kecambah tersebut menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada kondisi lingkungan yang menguntungkan (Copeland dan McDonald, 2001). Dsadjad (1993) menyatakan daya berkecambah adalah peubah viabilitas potensial atau viabilitas optimum yang menunjukkan kemampuan benih untuk berkecambah normal dalam kondisi lingkungan yang optimum selama waktu yang ditentukan. Menurut Justice dan Bass (2002), benih disebut berkecambah pada uji daya berkecambah bila dapat menghasilkan kecambah dengan bagian-bagian kecambah yang normal atau mendekati normal. Perkecambahan harus cepat dan pertumbuhan kecambahnya kuat, dan ini mencerminkan kekuatan tumbuhnya, yang dapat dinyatakan dengan laju perkecambahan (Sutopo, 2004). Menurut penelitian Nugraha et al (2003), persentase kecambah normal mencapai nilai maksimum pada hari perhitungan terakhir (final count), yaitu hari ke 14 untuk benih padi yang diuji dengan metode baku. Definisi vigor menurut AOSA (1983) adalah suatu indikator yang dapat menunjukkan bagaimana benih tumbuh pada kondisi lapang yang bervariasi. Vigor merupakan gabungan antara umur benih, ketahanan, kekuatan, dan
7 kesehatan benih yang diukur melalui kondisi fisiologisnya, yaitu pengujian stress atau melalui analisis biokimia. ISTA (2007) mendefinisikan vigor sebagai sekumpulan sifat yang dimiliki benih yang menentukan tingkat potensi aktivitas dan kinerja benih atau lot benih selama perkecambahan dan munculnya kecambah. Copeland dan McDonald (2001) menyatakan kinerja tersebut adalah (1) proses dan reaksi biokimia selama perkecambahan seperti reaksi emzim, dan aktivitas respirasi, (2) rata-rata dan keseragaman dari perkecambahan dan pertumbuhan kecambah, (3) rata-rata dan keseragaman munculnya kecambah dan pertumbuhannya di lapang, (4) kemampuan munculnya kecambah pada kondisi dan lingkungan yang unfavorable. Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, masingmasing kekuatan tumbuh dan daya simpan benih. Menurut Sadjad (1994), parameter Vigor ialah Vigor Kekuatan Tumbuh (V KT ) apabila viabilitas benih diprakirakan untuk kondisi lapang di Periode III, dan Vigor Daya Simpan (V DS ) apabila diprakirakan untuk kondisi simpan di Periode II yang keduanya suboptimum. Pengujian vigor merupakan indeks mutu benih yang lebih peka dibandingkan pengujian daya berkecambah. Penurunan vigor terjadi lebih dulu sebelum penurunan perkecambahan. Menurut Copeland dan McDonald (2001) kelebihan pengujian vigor dibandingkan pengujian daya berkcambah adalah : 1. Definisi perkecambahan benih menekankan pada struktur esensial yang akan menghasilkan tanaman normal. Tetapi penekanan pada kecambah sedikit hubungannya dengan kecepatan tumbuh, yang merupakan kriteria utama untuk keberhasilan pertanaman. 2. Metode uji daya berkecambah harus dilakukan pada media standar yang steril dalam ruang lembab dengan suhu terkontrol yang jarang berkorelasi dengan kondisi di lapang. 3. Standar pengujian daya berkecambah dirancang untuk memberikan pengamatan pertama dan pengamatan terakhir. Pengamatan pertama dimaksudkan untuk menjadi dasar menyingkirkan benih yang telah berkecambah norma dan optimasi medial. Pengamatan terakhir dirancang
8 untuk memberi cukup waktu sehingga kecambah yang lemah medapat peluang untuk berkembang menjadi kecambah normal. Oleh karena itu persentase perkecambahan merupakan jumlah dari kecambah normal kuat dan lemah. 4. Berdasarkan definisi, perkecambahan tidak berskala. Penilaian pengamata suatu benih terbagi dalam berkecambah (germinable) atau tidak berkecambah (non-germinable). Tidak ada pemisah kecambah kuat dan lemah. Uji daya berkecambah tidak dapat menduga sifat progresif deteriorasi benih yang berdampak pada tegaknya pertanaman. Pengujian vigor benih dapat memberikan informasi yang lebih banyak dibandingkan pengujian daya berkecambah, yang bermanfaat untuk melihat potensi daya simpan, estimasi nilai penanaman atau performa pertumbuhan benih di lapang (Dina et al., 2006). Menurut Lindayanti (2006) pengujian vigor dapat memberikan : 1. Petunjuk mutu benih yang lebih tepat dari pada pengujian daya berkecambah. 2. Memberikan tingkatan yang konsisten dari lot benih yang acceptable germination mengenai mutu fisiologis dan fisik lot benih. 3. Memberikan keterangan tentang pertumbuhan dan daya simpan suatu lot benih guna perencanaan strategi pemasaran. Benih yang mampu menumbuhkan tanaman normal, meski kondisi alam tidak optimum atau suboptimum disebut benih memiliki Vigor (V g ). Benih yang vigor akan menghasilkan produk diatas normal kalau ditumbuhkan pada kondisi optimum (Sadjad et al., 1999). Menurut Sutopo (2004), benih yang memiliki vigor rendah akan berakibat terjadinya : 1. Kemunduran benih yang cepat selama penyimpanan 2. Makin sempitnya keadaan lingkungan dimana benih dapat tumbuh 3. Kecepatan berkecambah benih yang menurun 4. Kepekaan akan serangan hama dan penyakit meningkat 5. Meningkatnya jumlah kecambah abnormal 6. Rendahnya produksi tanaman.