2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) 2.1.1. Deskripsi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (McKenzie & Yoshida 2009). Lamun dapat berkembang biak di perairan laut dangkal karena mempunyai beberapa sifat yang memungkinnya untuk hidup, yaitu (1) mampu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan air asin, (2) mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, (3) mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, (4) mampu melaksanakan penyerbukan bunga dalam keadaan terbenam dalam air (Kiswara 2009), (5) mampu bersaing dengan berhasil di lingkungan laut (Den Hartog 1970 in Phillips & Menez 1988). Lamun dapat menghuni perairan laut dangkal mulai berupa kelompokan kecil atau seluas beberapa meter persegi sampai seluas ribuan kilometer persegi (Tomascik et al. 1997 in Kiswara 2009). Lamun hidup dan berkembang baik pada lingkungan perairan laut dangkal, muara sungai, daerah pesisir yang selalu mendapat genangan air atau terbuka ketika air surut, dijumpai di daerah pasang surut sampai dengan kedalaman 40 m (Kiswara 2004). Lamun juga memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, berbunga, dan sistem transportasi internal untuk gas dan nutrien, serta stomata yang berfungsi dalam pertukaran gas dan nutrien. Akar pada tumbuhan lamun tidak berfungsi penting dalam pengambilan air, karena daun dapat menyerap secara langsung nutrien dari dalam air laut. Tumbuhan tersebut dapat menyerap nutrien dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung akar (McKenzie & Yoshida 2009). Lamun mempunyai bentuk tanaman yang sama seperti halnya rumput di daratan, yaitu mempunyai bagian tanaman seperti rimpang yang menjalar, tunas tegak, seludang atau pelepah daun, helaian daun, bunga dan buah. Bentuk vegetatif lamun mempunyai keseragaman yang tinggi. Hampir semua jenis lamun mempunyai rimpang yang berkembang baik dan bentuk helaian daun yang memanjang (linear) atau bentuk sangat panjang seperti pita dan ikat pinggang,
7 kecuali pada marga Halophila yang umumnya berbentuk bulat telur atau lonjong (Lanyon 1986 in Kiswara 2009). Gambar 2. Morfologi umum lamun (McKenzie & Yoshida 2009) Menurut Broun (1985) in Kiswara (1997), berdasarkan komposisi jenisnya pertumbuhan padang lamun dapat dikelompokkan menjadi vegetasi tunggal, yaitu padang lamun yang disusun oleh satu jenis lamun dan vegetasi campuran, yaitu padang lamun yang disusun mulai dari 2 atau lebih jenis lamun yang tumbuh bersama-sama pada satu habitat. Jenis-jenis lamun yang dijumpai membentuk komunitas padang lamun tunggal adalah Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Halodule pinnifolia, H. uninervis, Halophila ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum. Nienhuis et al. (1989) in Kiswara (1997) melaporkan adanya vegetasi campuran yang disusun oleh 8 jenis lamun. Padang lamun vegetasi campuran umumnya sering dijumpai daripada vegetasi tunggal. Pada substrat berlumpur di tepian luar formasi mangrove sering mempunyai padang lamun vegetasi tunggal dengan biomassa yang tinggi. Sementara padang lamun campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih rendah dan subtidal yang dangkal. Padang lamun umumnya hidup subur di
8 substrat pasir berlumpur yang terlindung dari arus (Phillips & Menez 1988). Zona intertidal dicirikan oleh vegetasi pionir, yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Halophila pinifolia. 2.1.2. Klasifikasi Lamun Di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 60 jenis lamun, yang terdiri atas 4 famili (Zosteraceae, Posidoniaceae, Cymodoceaceae dan Hydrocharitaceae), 2 ordo (Hydrocharithales dan Potamogetonales) dan 12 marga (Tomlinson 1982 in Kuo & Den Hartog 2001). Di perairan Indonesia terdapat 13 jenis lamun, yang terdiri atas 2 famili dan 7 marga (Kiswara 2009). Menurut Kuriandewa (2009), 13 jenis lamun telah dilaporkan terdapat di perairan Indonesia, yaitu Cymodocea serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia, Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, dan Halophila sulawesii. Halophila sulawesii adalah jenis lamun yang bersifat monoecious (berumah satu), ditemukan pada tahun 2007 di perairan Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, di kedalaman sekitar 10-30 meter (Kuo 2007 in Kuriandewa 2009). Dari 13 jenis lamun yang dapat tumbuh di perairan Indonesia, 8 jenis diantaranya dapat ditemukan di Kepulauan Seribu, yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halophila minor, H. ovalis, Syringodium isoetifolium dan Halodule uninervis (Mardesyawati & Anggraini 2009). Lamun adalah tumbuhan monokotil yang tidak sepenuhnya sama seperti rumput sejati, tetapi lebih dekat kekerabatannya dengan famili tumbuhan lily (Mckenzie & Yoshida 2009). Klasifikasi tumbuhan lamun yang ada di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut (Kuo & Den Hartog 2001 in McKenzie et al. 2003): Divisi : Magnoliophyta (Angiosperms) Kelas : Liliopsida (Monocotyledons) Ordo : Hydrocharitales Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus
9 Ordo Spesies : Enhalus acoroides Genus : Halophila Spesies : Halophila ovalis, H. minor Genus : Thalassia Spesies : Thalassia hemprichii : Potamogetonales Famili : Cymodoceaceae Genus : Halodule Spesies : Halodule uninervis Genus : Syringodium Spesies : Syringodium isoetifolium Genus : Cymodocea Spesies : Cymodocea rotundata, C. serrulata 2.1.3. Fungsi Lamun Secara ekologis lamun memiliki fungsi penting bagi wilayah pesisir dan lautan, yaitu: 1) Lamun sebagai produsen primer Lamun memiliki tingkat produktivitas primer tinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya di laut dangkal seperti mangrove dan terumbu karang (Azkab 1999). Sumber produktivitas primer dan sumber makanan bagi organisme dalam bentuk detritus (Kiswara 2009). 2) Lamun sebagai habitat biota laut Lamun memberikan tempat berlindung dan menempel bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae) (Azkab 1999). Tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan biota-biota laut (feeding ground) (Kiswara 2009) 3) Sebagai penstabil dasar perairan dengan sistem perakarannya yang dapat menangkap sedimen (trapping sediment) dan pelindung pantai dengan cara meredam arus (Kiswara 2009). Mengikat sedimen dan menstabilkan
10 substrat yang lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang (Bengen 2001). 4) Lamun Sebagai pendaur zat hara Lamun memegang peranan penting dalam pendauran berbagai zat hara dan elemen-elemen yang langka di lingkungan laut, khususnya zat-zat hara yang dibutuhkan oleh algae epifitik (Azkab 1999). 5) Penghasil oksigen dan mereduksi CO 2 di dasar perairan (Nybakken 1988). 6) Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari (Hemminga & Duarte 2000). Disamping itu, padang lamun telah dimanfaatkan secara langsung oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti untuk makanan, pupuk, obat-obatan (Kiswara 2009). 2.1.4. Pertumbuhan Lamun Lamun menunjukkan adanya bentuk keseragaman yang tinggi pada reproduksi vegetatifnya. Hampir semua marga lamun memperlihatkan perkembangan yang baik dari rimpang (rhizome) dan bentuk daun yang pipih dan memanjang, kecuali pada marga Halophila. Jadi umumnya lamun akan menjadi kelompok homogen dengan tipe pertumbuhan "enhalid". Menurut Den Hartog (1967) in Azkab (2006) karakteristik pertumbuhan lamun dapat dibagi enam kategori yaitu: 1) Parvozosterid, dengan daun memanjang dan sempit, misalnya pada Halodule, Zostera sub marga Zosterella. 2) Magnozosterids, dengan daun memanjang dan agak lebar. misalnya Zostera sub marga Zostera, Cymodocea dan Thalassia. 3) Syringodiids, dengan daun bulat seperti lidi dan ujung runcing, misalnya Syringodium. 4) Enhalids, dengan daun panjang dan kaku seperti kulit atau berbentuk ikat pinggang yang kasar, misalnya Enhalus, Posidonia dan Phyllospadix. 5) shalophilids, dengan daun bulat telur, elips, berbentuk tombak atau panjang, rapuh dan tanpa saluran udara, misalnya Halophila.
11 6) Amphibolids, dengan daun tumbuh teratur pada kiri dan kanan. Misalnya Amphibolis, Thalassodendron dan Heterozostera. Berbagai bentuk pertumbuhan dari lamun mempunyai kaitan dengan perbedaan ekologinya (Den Hartog 1977 in Azkab 2000). Parvososterids dan halophilids dapat ditemukan pada hampir semua habitat mulai dari pasir kasar sampai ke lumpur lunak, mulai dari pasang-surut sampai tempat yang cukup dalam, dan mulai dari laut terbuka sampai ke daerah estuaria. Halophilid dapat ditemukan pada kedalaman 90 m. Magnozosterid dapat dijumpai pada berbagai substrat, tetapi lebih terbatas pada daerah sublittoral. Batas kedalaman sebagian besar jenisnya adalah 10 sampai 12 m, tetapi pada perairan yang sangat jernih dapat dijumpai pada tempat yang lebih dalam. Syringodiid didapatkan sampai batas kedalaman sublittoral atas (upper sublittoral). Enhalid dan amphibolid juga terbatas pada bagian atas dari sublittoral, tetapi dengan beberapa pengecualian. Enhalid dan amphibolid hidup pada substrat pasir dan karang, kecuali Enhalus acoroides didapatkan pada habitat pasir berlumpur. Sebagai konsekuensi adanya perbedaan ekologis tersebut, maka terlihat adanya pola mintakat pertumbuhan lamun menurut kedalaman. Mintakat tersebut terutama terlihat di perairan tropik dan subtropik di mana jumlah jenisnya lebih besar dari yang ditemukan di perairan ugahari (temperate). Enhalus tumbuh terbatas pada daerah littoral dan surut rendah karena penyerbukannya tergantung pada arus. Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagianbagian tertentu seperti daun dan rhizoma dalam jangka waktu tertentu. Namun pertumbuhan rhizoma lebih sulit diukur terutama pada jenis-jenis tertentu yang umumnya berada di bawah substrat dibanding pertumbuhan daun yang berada di atas substrat, sehingga penelitian pertumbuhan lamun relatif lebih banyak mengacu pada pertumbuhan daun. Umumnya pertumbuhan daun baru lebih cepat dibanding pertumbuhan daun lama (Azkab 1999). Pertumbuhan lamun diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor eksternal, seperti zat-zat hara (nutrien) dan tingkat kesuburan perairan. Menurut Azkab dan Kiswara (1994) di Teluk Kuta, Lombok Selatan, menunjukkan bahwa kecepatan tumbuh daun jenis Thalassia hemprichii adalah 4,51 mm/hari untuk daun baru dan 4,06 mm/hari
12 untuk daun lama. Pada jenis Syringodium isoetifolium adalah 9,03 mm/ hari untuk daun baru dan 1,60 mm/hari untuk daun lama. Sedangkan untuk Cymodocea rotundata dalah 8,69 mm/hari untuk daun baru dan 4,11 mm/hari untuk daun lama. Lamun, seperti pada tanaman darat umumnya, mempersiapkan bibit atau benih untuk reproduksi. Hampir semua jenis lamun menyebarkan benih di dalam air dan kebanyakan jenis lamun memiliki bunga jantan dan bunga betina secara terpisah. Setiap jenis lamun telah beradaptasi dengan kondisi perairan laut, yaitu ada yang membenamkan bibitnya di dalam substrat, melepaskan serbuk sari ke dalam air, beberapa terapung dan pada Enhalus juga Ruppia penyerbukan terjadi secara singkat diatas permukaan air (Waycott et al. 2004). Selain itu lamun dapat tumbuh atau menyebar secara vegetatif menggunakan tunas (vegetative fragment). Lamun tumbuh dengan mengeluarkan daun baru (tunas) dari rimpang dengan cara yang sama seperti rumput darat, bambu atau jahe. Ketika segmen rhizome ini terpisah dan terus berkembang membentuk vegetasi yang baru. Sejauh ini, penelitian baru dilakukan pada beberapa jenis lamun (Waycott et al. 2004). 2.1.5. Biomassa Lamun Biomassa lamun adalah berat dari semua material organik lamun yang hidup pada suatu luasan tertentu, baik yang berada di atas maupun di bawah substrat yang sering dinyatakan dalam satuan gram berat kering per m 2 (gbk/ m 2 ). Data dari berbagai lokasi pengamatan di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat variasi biomassa yang cukup besar di lokasi-lokasi yang berbeda. Pada umumnya, rata-rata biomassa lamun berkisar antara 1 gbk/m 2-2479 gbk/m 2 (Kuriandewa 2009). Hal ini dipengaruhi faktor lingkungan masing-masing daerah tersebut Menurut Burkholder et al. (1959) in Azkab (2000) yang melakukan studi lamun Thalassia di Puerto Rico menemukan dari substrat lumpur ke substrat pasir terjadi peningkatan total biomassa dan terjadi penurunan rasio antara daun dan akar/rimpang. Mereka menemukan rasio daun dengan akar/rimpang 1:3 untuk lumpur halus, 1:5 pada lumpur dan pasir dan 1:7 pada pasir kasar. Berat biomassa daun tertinggi ditemukan pada sedimen pasir kasar/krikil.
13 2.2. Transplantasi Lamun Transplantasi lamun adalah memindahkan dan menanam di lain tempat; mencabut dan memasang pada tanah lain atau situasi lain (Azkab 1999, Calumpong & Fonseca 2001). Menurut Lewis (1987) in Calumpong & Fonseca (2001), restorasi adalah mengembalikan kondisi seperti sebelumnya dari gangguan atau mengganti dengan yang baru. Penanaman lamun yang dikenal dengan transplantasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki atau mengembalikan kembali habitat yang telah mengalami kerusakan. Davis (1999) & Campbell et al. (2000) in Calumpong & Fonseca (2001) memberikan strategi dalam pengambilan keputusan untuk menetapkan pemilihan lokasi penanaman yaitu intensitas cahaya, epiphytisasi, masukan nutrien, arus air, kedalaman, kemiripan lokasi donor dan tindakan alternatif seperti penyesuaian metode dengan karkteristik lokasi transplantasi. Beberapa kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi restorasi (transplantasi) lamun (Calumpong & Fonseca 2001) jauh dari lokasi asli yang mengalami kerusakan, sebagai berikut: 1) Memiliki kemiripan kedalaman relatif sama dengan lokasi padang lamun alami, 2) Memiliki sejarah pertumbuhan lamun, 3) Tidak ada gangguan dari aktivitas manusia dan gangguan lain, 4) Tidak ada gangguan secara regular oleh badai dan pergerakan sedimen, 5) Tidak mengalami rekolonisasi alami secara ekstensif oleh lamun lainnya, 6) Restorasi lamun telah berhasil di lokasi yang sama, 7) Terdapat area yang cukup untuk mendukung kegiatan transplantasi atau restorasi, 8) Memiliki kemiripan kualitas habitat dengan daerah alaminya. Kegiatan transplantasi lamun yang bertujuan untuk restorasi habitat telah dilakukan pada tahun 1947 oleh Addy dengan menggunakan biji dan bibit vegetatif lamun Zostera marina. Transplantasi dengan menggunakan biji tidak berhasil, tetapi penanaman yang menggunakan bibit vegetatif menunjukkan keberhasilan (Phillips 1974 in Kiswara 2009). Teknik transplantasi lamun di Indonesia secara garis besar dibagi dua, yakni yang mempergunakan jangkar dan tanpa jangkar.
14 2.2.1. Teknik Transplantasi tanpa Jangkar Teknik ini termasuk menanam tanaman yang lengkap dengan substratnya dan tanaman yang telah dibersihkan dari substratnya (Phillips 1994 in Kiswara 2004). Beberapa teknik penanaman lamun tanpa jangkar seperti dibawah ini: a. Turfs Turfs adalah sebuah unit lamun dengan luas sekitar 0,1 m 2 yang digali dan dipindahkan dari tempat donor dengan sebuah sekop. Unit dibawa ke lokasi penanaman dan unit transplantasi lamun ditanam dengan cara dimasukan pada sebuah lubang yang sebelumnya telah dipersiapkan. b. Plugs Metode plugs yaitu pengambilan bibit tanaman dengan patok paralon dan tanaman dipindahkan dengan substratnya. Biasanya menggunakan paralon (PVC) dengan diameter 10-25 cm. Metode plug dengan menekan tanaman masuk ke substratnya, kemudian ditransplantasi pada lubang pada kedalaman 15-20 cm (Azkab 1999). c. Biji Biji disebarkan di atas permukaan substrat di daerah dengan arus yang rendah. Kurungan plastik dipasang di sekeliling area penanaman untuk menghindari biji yang disebar hanyut terbawa arus. 2.2.2. Teknik Transplantasi dengan menggunakan Jangkar Teknik ini bertujuan untuk menghindari tanaman hanyut terbawa arus, cara untuk pananaman lamun dengan menggunakan jangkar adalah sebagai berikut: tunas tunggal diikat dengan karet gelang pada sepotong kawat atau besi, dibawa ke lokasi penanaman, menggali lubang dan setelah itu ditanam dan ditutupi dengan sedimen. Cara lain dengan mengikat sekumpulan tunas pada sebuah bata, di tempat penanaman mereka dijatuhkan kedalam air dari atas perahu, atau mengikat sekumpulan tunas (4-5 tunas) menjadi satu dengan kawat kemudian ditanam di areal penanaman bersama-sama kawatnya (Phillips 1974 in Kiswara 2004). TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame system) merupakan metode transplantasi lamun yang dikembangkan oleh F. T. Short di Universitas
15 New Hampshire, USA (Short et al. 2001). TERFs adalah unit penanaman lamun berupa tunas yang diikat pada frame besi (TERFs frame). TERFs kemudian ditanam dengan meletakkannya di atas sedimen substrat dasar dengan sedikit tekanan sehingga frame besi bagian bawah dapat masuk beberapa cm ke dalam substrat. 2.2.3 Metode Peat Pot (Calumpong & Fonseca 2001) Metode peat pot adalah metode transplantasi lamun yang menggunakan wadah dalam kegiatan penanaman, wadahnya ini dapat berbentu kotak ataupun bulat dan akan terdegradasi secara alami, berukuran 8 cm x 8 cm yang diperkenalkan oleh Fonseca et al. pada tahun 1994. Dengan menggunakan metode ini lamun donor diambil dari daerah yang memiliki kepadatan lamun tinggi dengan menggunakan cangkul ataupun corer. Pada saat penanaman pot, lubang terlebih dahulu dipersiapkan, kemudian pot dibenamkan ke dalam lubang tersebut sedemikian rupa sehingga terkubur dalam substratnya dengan kokoh. Penggunaan corer dimaksudkan agar seluruh bagian lamun beserta substratnya dapat terangkat secara utuh. 2.3. Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Transplantasi Lamun Parameter utama yang mempengaruhi distribusi dan pertumbuhan ekosistem padang lamun adalah sebagai berikut: 2.3.1. Kecerahan Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melakukan fotosintesis. Beberapa aktivitas yang dapat meningkatkan muatan sedimen pada badan air akan berakibat pada tingginya kekeruhan perairan, sehingga berpotensi mengurangi penetrasi cahaya. Cahaya merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun (Hutomo 1997). Cahaya minimum yang diperlukan lamun berkisar 10-20%, dibawah jumlah minimum ini, lamun akan mati. Peningkatan intensitas cahaya berbanding lurus terhadap pertumbuhan lamun (Short et al. 2001; McKenzie & Yoshida 2009).
16 2.3.2. Suhu Menurut Hutabarat & Evans (2006), suhu merupakan salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme laut, karena suhu mempengaruhi baik metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme-organisme tersebut. Umumnya suhu perairan di Indonesia berkisar antara 28-38 C (Dahuri et al. 1996). Suhu air permukaan dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-faktor meteorologi yang berperan ialah curah hujan, penguapan, kelembapan udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas radiasi matahari. Oleh sebab itu pola suhu di permukaan biasanya mengikuti pula pola musiman. Sebagai contoh di Teluk Jakarta ditemukan suhu air rata-rata perbulan berkisar antara 28-30 C (Nontji 2007). Walaupun padang lamun tersebar secara geografis luas yang diindikasikan oleh adanya kisaran toleransi yang luas terhadap temperatur pada kenyataannya spesies lamun di daerah tropik mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kisaran temperatur optimal bagi spesies lamun adalah 28-30 C. Lamun akan mengalami stres jika suhu di atas nilai optimum, yang juga berujung kematian (Zieman & Wood 1975 in Short et al. 2001). 2.3.3. Salinitas Salinitas ialah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air (Nontji 2007). Salinitas permukaan perairan Indonesia rata-rata berkisar 32-34 PSU (Dahuri et al. 1996). Spesies lamun memiliki kemampuan toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar, yaitu antara 10 dan 40 PSU. Nilai salinitas optimum untuk spesies lamun adalah 35 PSU. 2.3.4. Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Menurut Nybakken (1988), kisaran ph yang optimal untuk air laut berkisar antara 7,5-8,5. Menurut Phillips dan Menez (1988), kisaran ph yang baik untuk lamun adalah pada saat ph air normal, yaitu 7,8-8,5 karena pada saat tersebut ion bikarbonat yang dibutuhkan untuk proses fotosíntesis oleh lamun dalam keadaan melimpah.
17 2.3.5. Substrat Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan lumpur halus sebesar 40%. Kedalaman substrat berperan dalam menjaga stabilitas sedimen yang mencakup 2 hal, yaitu pelindung tanaman dari arus air laut, dan tempat pengolahan serta pemasok nutrien. Umumnya lamun dapat tumbuh subur mulai dari daerah berpasir sampai berlumpur karena akarnya mudah untuk terbenam, beberapa jenis tertentu bahkan dapat hidup di atas batu karang (Hemminga & Duarte 2000). 2.3.6. Kecepatan Arus Perairan Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, atau karena perbedaan dalam densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan bergelombang panjang, yang terakhir ini termasuk antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut (Nontji 2007). Arus laut lebih efektif sebagai media penyebaran dan pengenceran polutan yang masuk ke lingkungan laut (Mukhtasor 2007). Produktivitas padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus perairan. Umumnya lamun dapat tumbuh dengan baik pada perairan yang berarus tenang (kecepatannya sampai 3,5 knots) (Phillips & Menez 1988). 2.3.7. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen) Menurut Wibisono (2005), Konsentrasi gas oksigen terlarut di permukaan laut sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh suhu, makin tinggi suhu makin berkurang tingkat kelarutan oksigen. Oksigen terlarut di laut berasal dari dua sumber, yakni dari atmosfer dan hasil fotosintesis fitoplankton dan berbagai tanaman laut. Kelarutan oksigen sangat penting bagi keseimbangan komunitas dan kehidupan organisme perairan. Menurut Effendi (2003), perairan yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l. Kelarutan oksigen di laut sangat penting artinya dalam mempengaruhi keseimbangan kimia dan kehidupan organisme laut. Oksigen terlarut akan menurun apabila banyak limbah, terutama limbah organik yang masuk ke sistem
18 perairan (Mukhtasor 2007). Lamun juga berperan sebagai penghasil oksigen dan mereduksi CO 2 di dasar perairan (Nybakken 1988). 2.3.8. Nutrien Nutrien yang utama bagi jasad hidup di laut adalah fosfor (P) dan nitrogen (N) yang memegang peranan penting dalam daur hara, meskipun bukan diantara unsur-unsur kimia yang tinggi kadarnya dalam air laut (Romimohtarto & Juwana 2001). Kedua unsur ini menjadi faktor pembatas dalam daur bahan organik. Fosfor terdapat di laut dalam berbagai bentuk, terutama dalam bentuk fosfat anorganik (FePO 4 ). Jika produktifitas laut tinggi maka kadar fosfat anorganik rendah, mencapai kurang dari 50% dari seluruh fosfor. Salah satu senyawa fosfat anorganik yang teramat melimpah dalam daur fosfor adalah ortofosfat. Pada siang hari kadar fosfor minimum karena diserap oleh tumbuhtumbuhan, yaitu pada saat terjadi fotosintesis. Sedangkan nitrogen (N) terdapat dalam berbagai bentuk di laut. Dalam daur nitrogen, tumbuh-tumbuhan menyerap nitrogen anorganik dalam bentuk gabungan atau nitrogen molekuler (Romimohtarto & Juwana 2001). Kandungan nitrat alami dalam air laut sekitar 0,5 mg/l (Dahuri et al. 1996). Menurut McKenzie & Yoshida (2009), di wilayah pesisir keberadaan lamun terutama dibatasi oleh kandungan nitrogen dan fosfor, kebutuhan nutrien untuk kehidupan lamun dipengaruhi oleh musim. Wood (1987), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan C-organik dengan ukuran tekstur substrat, makin tinggi jumlah liat makin tinggi pula C-organik bila kondisi lainnya sama. Tinggi rendahnya kandungan C-organik dipengaruhi oleh pasokan air dari daratan sehingga lokasi juga mempengaruhi nilai C-organik.