LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA"

Transkripsi

1 VARIASI SPASIAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA BINANDRA DWINDARU SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Binandra Dwindaru C

3 RINGKASAN Binandra Dwindaru. C Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Dibawah bimbingan Ario Damar dan Am Azbas Taurusman Padang lamun merupakan ekosistem penyangga yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Padang lamun dapat ditemukan di sebagian besar perairan dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seperti di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua. Pada pulau-pulau yang menjadi resort wisata dan pemukiman, kerusakkan ekosistem lamun dalam skala besar mudah terjadi, seperti pada kedua pulau tersebut yang peruntukkannya menjadi kawasan pemukiman yang padat penduduk. Dengan banyaknya kerusakan ekosistem lamun yang terjadi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, maka diperlukan upaya-upaya manusia untuk memulihkan kondisi seperti semula. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan transplantasi lamun. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui variasi struktur komunitas lamun alami, tingkat keberhasilan transplantasi sumberdaya lamun transplantasi serta laju pertumbuhan daun lamun transplantasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua. Pengambilan data struktur komunitas lamun menggunakan metode seagrass watch untuk mengetahui status kawasan yang akan direhabilitasi. Metode transplantasi lamun yang dipergunakan adalah Plugs, yaitu pengambilan bibit tanaman dengan patok paralon berdiameter 10 cm dan tanaman dipindahkan lengkap dengan substratnya. Pengukuran tingkat keberhasilan transplantasi diamati dengan monitoring pertumbuhan lamun dilihat dari jumlah unit transplantasi, jumlah tegakan, serta jumlah daun yang dilakukan tiap minggu selama sebulan kemudian dilanjutkan tiap bulan. Pengamatan laju pertumbuhan daun lamun transplantasi menggunakan metode penandaan dan dilakukan monitoring yang sama setiap seminggu sekali selama sebulan. Bibit lamun yang dipergunakan dalam transplantasi ini berasal dari kawasan dengan kepadatan tinggi dan dari jenis lamun yang banyak ditemukan di tiap lokasi pengamatan yaitu Thalassia hemprichii, Cymodoceae rotundata, Halodule uninervis, Halophila pinifolia dan Enhalus acoroides. Pada perairan Pulau Pramuka terdapat 6 jenis lamun yaitu Cymodoceae rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Halophila pinifolia. Secara umum kondisi komunitas lamun di Pulau Pramuka termasuk kriteria miskin dengan rata-rata penutupan 22,38% dengan komposisi jenis dan frekuensi jenis terbesar yaitu T. hemprichii sebesar 7,27% dan 0,82. Pada Pulau Kelapa Dua ditemukan 5 jenis lamun yaitu C. rotundata, C. serrulata, H.uninervis, E. acoroides, T. hemprichii, dan H. ovalis. Komunitas lamun di pulau ini juga tergolong miskin dengan rata-rata penutupan 11,12% dengan komposisi jenis dan frekuensi jenis terbesar secara berturutturut adalah H. uninervis sebesar 7,47% dan T. hemprichii sebesar 0,94. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun dicapai oleh jenis lamun T. hemprichii di Pulau Pramuka dan H. uninervis di Pulau Kelapa Dua. Laju pertumbuhan daun lamun di Pulau Kelapa Dua lebih tinggi dibanding Pulau Pramuka, dapat dilihat dari laju

4 pertumbuhan jenis lamun T. hemprichii pada daun muda, sedang dan tua secara berturut-turut pada pulau Kelapa Dua 3,30 mm/hari; 4,36 mm/hari; 2,08 mm/hari dan pada Pulau Pramuka yaitu 2,64 mm/hari; 1,89 mm/hari; 1,78 mm/hari.

5 VARIASI SPASIAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN DI PULAU PRAMUKA DAN KELAPA DUA, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA BINANDRA DWINDARU C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Nama Mahasiswa NRP Program Studi : Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. : Binandra Dwindaru : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Komisi Pembimbing Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi, M.Si NIP NIP Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Ujian : 4 Januari 2010

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih yang sebesarbesarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam memberikan bimbingan, dukungan dan arahan sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan dapat menjadi bahan rujukan bagi peneliti dan mahasiswa untuk melakukan penulisan lebih lanjut. Bogor, Januari 2010 Penulis vii

8 UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, khususnya kepada : 1. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi. M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah banyak bersabar dalam membimbing penulis, memberikan banyak masukan, arahan, nasehat dan saran untuk penulis. 2. Yon Vitner, S.Pi. M.Si. selaku pembimbing akademik atas bimbingan yang diberikan kepada penulis baik saran maupun nasehat yang bermanfaat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. 3. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M.Sc. selaku dosen penguji tamu dan Ir. Zairion, M.Sc. selaku dosen penguji dari program studi yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berarti untuk penulis. 4. Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. sebagai kepala program rehabilitasi pesisir PKSPL- IPB di Kepulauan Seribu yang telah mengizinkan penulis memperoleh kesempatan dan bantuan finansial dalam penelitian ini. Serta Mas Arief dan Mas Momo yang selalu membantu di lapangan. 5. Keluarga tercinta; Bapak, Ibu, Mas Danar, Eyang Ncung, Iya, Hai dan masih banyak lagi atas doa, kasih sayang, dukungan, dan motivasinya. 6. Seluruh staff Tata Usaha dan civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan yang telah banyak sekali membantu penulis dalam urusan akademik dan non akademik. 7. Tim Melamun Glasnosta Ramadhan, Ahmad Wira Munawar Khotib, Ikhsan Abdul Aziz, dan Ruth Mirza selaku teman satu perjuangan atas suka duka, kerjasama, dan semangatnya dalam mendapatkan gelar sarjana. Tim Ngarang yang selalu membantu dan memberi semangat Dono, Agus, Tia dan Moro. 8. Teman-teman MSP 42 yang telah memberikan semangat dan motivasi, serta bantuannya, khususnya untuk Fitria, Avie, Qq, Ebith, Silfi, Endah, Lenny, Bolie dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. 9. Teman-teman di Fisheries Diving Club, khususnya diklat 24 (Bokep, Bayu, Nogel, Ji i, Dillah, Tia, Lily) yang telah bersama-sama berjuang sampai titik darah penghabisan atas dukungan dan semangat dalam menjalani dunia perkuliahan. viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Agustus 1987, merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Trijatmoko Siswanto dan Ibu H. Ariati Ontorini. Pendidikan formal pertama diawali dari SDS Budi Waluyo I Jakarta (1999), SLTP Negeri 12 Jakarta (2002), SMU Negeri 70 Jakarta (2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB (Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru). Setelah setahun melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Ikhtiologi Fungsional (2007/2008), Ekosistem Perairan Pesisir (2008/2009 dan 2009/2010). Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan. Pada tahun penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER). Penulis juga aktif sebagai pengurus organisasi selam ilmiah Fisheries Diving Club (FDC) sejak tahun Selain itu penulis tergabung dalam Tim Ekspedisi Zooxanthellae IX di Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada tahun 2007 dan Tim Ekspedisi Zooxanthellae X di Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak- Numfor, Papua pada tahun 2009 sebagai pengambil data Ekosistem Terumbu Karang. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Variasi Spasial Komunitas Lamun dan Keberhasilan Transplantasi Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta di bawah bimbingan Dr. Ir. Ario Damar, M.Si. dan Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi. M.Si. ix

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Lamun Deskripsi Lamun Fungsi Lamun Klasifikasi Lamun Zonasi dan Karakterisasi Habitat Lamun Komunitas Lamun Pertumbuhan Lamun Biomasa Lamun Transplantasi Lamun Teknik transplantasi lamun Parameter lingkungan untuk transplantasi lamun METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Penentuan Lokasi Rehabilitasi Lamun Pengukuran Parameter Fisika-Kimia Pengamatan Status Lokasi Rehabilitasi Lamun Biomasa Lamun Metode Transplantasi Lamun Pengukuran Pertumbuhan Unit Transplantasi Lamun Analisis Data Komunitas lamun Tingkat keberhasilan lamun transplantasi Pertumbuhan daun lamun Biomasa lamun HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Fisika - Kimia Perairan Komunitas Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Komunitas ekosistem lamun Pulau Pramuka Komunitas ekosistem lamun Pulau Kelapa Dua Biomasa Lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua Transplantasi Lamun xii xiii xiv x

11 4.4.1 Tingkat keberhasilan pertumbuhan transplantasi lamun Laju pertumbuhan lamun transplantasi Pengelolaan Kawasan Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Letak goegrafis lokasi rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian Parameter fisika dan kimia perairan Nilai rata-rata komposisi tekstur dan kandungan C-organik substrat (%) Komunitas lamun di Pulau Pramuka Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Pramuka (%) Frekuensi jenis lamun di Pulau Pramuka Komunitas lamun di Pulau Kelapa Dua Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Kelapa Dua (%) Frekuensi jenis lamun di Pulau Kelapa Dua Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua (gbk/m 2 ) Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka (mm/hari) Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Kelapa Dua (mm/hari) xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah Morfologi umum lamun (Mckenzie dan Yoshida 2009) Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Rancangan pengumpulan data komunitas lamun Pengambilan sampel biomasa lamun pada transek kuadrat 50 x 50 cm Bibit unit transplantasi metode Plugs Teknik pengukuran pertumbuhan daun lamun Penutupan lamun di Pulau Pramuka (%) Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Pramuka Penutupan lamun di Pulau Kelapa Dua (%) Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Kelapa Dua Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Pramuka Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Kelapa Dua. 45 xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Prosedur kerja pengukuran kualitas air Standar pengukuran persentase penutupan lamun dan algae Baku mutu air laut untuk biota laut (Kepmen LH no.51 tahun 2004) Peta sebaran unit transplantasi di Pulau Pramuka Peta sebaran unit transplantasi di Pulau Kelapa Dua Data struktur komunitas lamun di Pulau Pramuka Data struktur komunitas lamun Pulau Kelapa Dua Data keberhasilan transplantasi lamun metode Plugs di Pulau Pramuka Data keberhasilan transplantasi lamun metode Plugs di Pulau Kelapa Dua Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Pramuka Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Kelapa Dua Data pertumbuhan daun lamun di Pulau Pramuka Data pertumbuhan daun lamun di Pulau Kelapa Dua Foto kegiatan penelitian xiv

15 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang tumbuh dan berkembang biak pada lingkungan perairan pesisir. Jumlah jenis lamun di dunia adalah 60 jenis, dimana di Indonesia ditemukan sekitar 13 jenis (Kiswara 2009). Jenis lamun yang ditemukan di Kepulauan Seribu terdiri dari tujuh jenis yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, Cymodocea rotundata, Cymodocea serulatta, Halophila ovalis dan Syringodium isoetifolium (BTNKpS 2008). Padang lamun merupakan ekosistem penyangga yang penting bagi kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Padang lamun mempunyai beberapa fungsi ekologis yaitu sebagai produsen primer, pendaur ulang unsur hara, penstabil substrat dan perangkap sedimen, sebagai habitat dan makanan hewanhewan perairan, tempat peneluran dan pendewasaan, tempat pembenihan dan berlindung bagi organisme laut (Heminga dan Duarte 2000). Lamun menutupi sekitar 0,1-0,2% permukaan lautan, dan berkembang sebagai ekosistem yang tinggi produksinya dan memegang kunci penting dalam ekosistem pesisir (Kiswara 2009). Tingkat produksi primer yang tinggi dari padang lamun diketahui berhubungan erat dengan tingkat produksi perikanan yang tinggi. Selain itu, ekosistem padang lamun berhubungan erat dengan ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove, sehingga penting artinya bagi kelestarian sumberdaya pesisir secara terpadu. Hilangnya lamun secara luas telah terjadi diberbagai tempat di belahan dunia sebagai akibat dari dampak langsung kegiatan manusia termasuk kerusakan secara mekanis (pengerukan, perikanan dan jangkar), eutrofikasi, budidaya perikanan, pengendapan, pengaruh pembangunan konstruksi pesisir, dan perubahan jaring makanan serta dampak pengaruh tidak langsung kegiatan manusia termasuk pengaruh negatif dari perubahan iklim (erosi oleh naiknya permukaan laut, naiknya badai, naiknya penyinaran ultraviolet), baik dari sebabsebab alami, seperti angin siklon dan banjir. Hilangnya padang lamun ini diduga akan terus meningkat sebagai akibat tekanan pertumbuhan penduduk di daerah pesisir (Kiswara 2009).

16 2 Padang lamun dapat ditemukan di sebagian besar perairan pulau dalam kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu seperti pada Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua. Pada pulau-pulau yang menjadi resort wisata dan pemukiman, kerusakan ekosistem lamun dalam skala besar mudah terjadi, seperti pada kedua pulau tersebut yang peruntukkannya menjadi kawasan pemukiman yang padat penduduk. Beberapa faktor utama yang mengganggu dan mempengaruhi perubahan padang lamun di kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu antara lain adalah pencemaran, kegiatan pembangunan, aktivitas keseharian di pulau-pulau pemukiman dan kegiatan reklamasi dan pengerukan pantai (BTNKs 2008). Dengan banyaknya kerusakan ekosistem lamun yang terjadi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, maka diperlukan upaya-upaya manusia untuk memulihkan kondisi seperti semula. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah transplantasi lamun. Informasi mengenai tingkat keberhasilan jenis lamun diperlukan untuk mengoptimalkan dan mengefektifkan kegiatan pemulihan ekosistem lamun. Penanaman lamun yang dikenal dengan transplantasi lamun merupakan salah satu cara untuk mengembalikan habitat yang telah mengalami kerusakan. Cara ini belum berkembang luas di Indonesia dimana transplantasi lamun bertujuan untuk memperbaiki padang lamun yang mengalami kerusakan atau menciptakan padang lamun yang baru yang sebelumnya tidak ditumbuhi lamun (Kiswara 2004). Berbagai percobaan transplantasi lamun telah dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi LIPI di Teluk Banten, Pulau Pari dan Pulau Bidadari, serta oleh Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang dilakukan di Pulau Pramuka, Pulau Harapan, dan Pulau Kelapa Dua. Pengembangan transplantasi lamun telah dilaksanakan di luar negeri dengan berbagai tingkat keberhasilan (Nontji 2009). Informasi status kondisi suatu komunitas lamun dan laju pertumbuhan lamun transplantasi diperlukan untuk menyusun suatu strategi pengelolaan kawasan rehabilitasi untuk mencapai keberhasilan. 1.2 Perumusan Masalah Padang lamun merupakan ekosistem pesisir yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan perairan, namun pengelolaannya cenderung diabaikan

17 3 bahkan mengalami kerusakan dan penurunan populasi. Kerusakan habitat lamun akan menimbulkan kerusakan di habitat pesisir lainnya yang lambat laun akan mengancam sumberdaya dan ekosistem pesisir dan lautan. Kedua pulau ini merupakan lokasi yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh aktifitas manusia, seperti masukan bahan organik yang tinggi dari hasil buangan limbah domestik, budidaya ikan (KJA) ataupun kegiatan penangkapan ikan, pembangunan kawasan pesisir, pengerukan pasir dan kegiatan wisata yang cukup tinggi. Semua kegiatan tersebut jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan meningkatnya kerusakan terhadap padang lamun. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan habitat pesisir yang telah mengalami kerusakan adalah dengan metode rehabilitasi transplantasi lamun (Gambar 1). Ekosistem Lamun Pulau Padat Penduduk (Pulau Pramuka dan Kelapa Dua) Kerusakkan Akibat Manusia : - Pencemaran limbah domestik - Pembangunan konstruksi pesisir - Pengerukan dan reklamasi pantai - Kegiatan perikanan - Kegiatan wisata Kerusakan Alami : - Gelombang Pantai - Komunitas Ikan - Sedimentasi Kerusakan komunitas lamun Konservasi dan rehabilitasi padang lamun Transplantasi Lamun Status Komunitas Padang Lamun : - Struktur komunitas Lamun - Persen Penutupan - Biomasa Lamun Laju pertumbuhan lamun & tingkat keberhasilan transplantasi lamun Pengelolaan ekosistem lamun yang berkelanjutan Gambar 1. Skema perumusan masalah

18 4 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Mengetahui struktur komunitas lamun di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua; (2) Mengetahui tingkat keberhasilan sumberdaya lamun transplantasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua; (3) Membandingkan laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua. 1.4 Manfaat Penelitian Memberikan informasi ilmiah tentang komunitas padang lamun dan teknik rehabilitasinya di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua, serta dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait dengan pengelolaan Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua dalam upaya pelestarian ekosistem padang lamun dan kawasan pesisir di kedua pulau tersebut.

19 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkunga laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar, dan berkembang biak secara generatif (biji) dan vegetatif (tunas) (Hutomo 2009). Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya terdapat bunga jantan atau bunga betina saja. Menurut Arber (1920) dan den Hartog (1970) in Dawes (1981) lamun dapat berkembang biak di perairan laut dangkal karena mempunyai beberapa sifat yang memungkinkannya untuk hidup, yaitu: (a) Mampu untuk hidup pada media air asin (garam), (b) Mampu berfungsi normal dalam keadaan terbenam, (c) Mempunyai sistem perakaran yang berkembang dengan baik dan, (d) Mampu untuk berkembang biak secara generatif dalam keadaan terbenam (hidrophilus, melakukan polinasi di bawah air). Berbeda dengan rumput laut (seaweeds), lamun memiliki akar sejati, daun dan pembuluh internal yang merupakan sistem yang menyalurkan nutrien, air dan gas (Kawaroe 2009). Lamun memiliki bentuk tanaman yang sama seperti halnya rumput di daratan, yang mempunyai bagian-bagian tanaman seperti rimpang yang menjalar, tunas tegak, seludang/pelepah daun, helaian daun, bunga dan buah. Lamun memiliki perbedaan yang sangat nyata dalam struktur akarnya, yang sering dipakai pemberian namanya (Kiswara 2004). Rhizoma atau rimpang merupakan batang yang merayap mendatar dan terbenam, serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan berbunga. Dengan rimpang inilah lamun dapat menancap dengan kokoh pada substrat. Rimpang juga digunakan untuk menyimpan cadangan makanan. Genot et al. (1994) in Kumoro (2007) mengemukakan pentingnya persediaan karbohidrat dalam rimpang dan kandungan klorofil untuk keberhasilan transplantasi lamun. Secara teori, lamun yang memiliki rimpang lebih panjang akan lebih mampu bertahan dibandingkan lamun yang

20 6 memiliki rimpang lebih pendek jika ditransplantasi. Morfologi umum lamun ditunjukan pada Gambar 2. Gambar 2. Morfologi umum lamun (Mckenzie dan Yoshida 2009) Fungsi lamun Peranan atau fungsi dari komunitas lamun pada ekosistem perairan dangkal adalah sebagai produsen primer, habitat biota, stabilisator dasar perairan, perangkap sedimen, pendaur unsur hara dan blue carbon sink di laut (Azkab 2008; Kawaroe 2009). a. Produsen primer Lamun sebagai tanaman tingkat tinggi yang mempunyai klorofil dan mampu melakukan proses fotosintesa adalah produsen primer. Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan, baik secara langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah. Lamun mempunyai tingkat produktivitas primer tertinggi bila dibandingkan dengan ekosistem lainnya yang ada di laut dangkal (mangrove dan terumbu karang). Dalam komunitas lamun, satu are (1.000 m 2 ) lamun dapat menghasilkan lebih dari 10 ton daun per tahun. Biomas ini dapat menyediakan

21 7 makanan, tempat hidup dan daerah pemijahan untuk puluhan ribu dari vertebrata dan invertebrata baik dewasa maupun juvenil (Mukhida 2007 in Kiswara 2009). b. Habitat biota Lamun memberikan tempat perlindungan dan tempat menempel berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan (algae). Di samping itu, padang lamun (seagrass beds) dapat juga sebagai daerah asuhan, dan makanan bagi biota laut hingga 360 spesies ikan, 117 jenis makro algae, 24 jenis moluska, 70 jenis krustasea, dan 45 jenis echinodermata. Lamun dari jenis Syringodium isoetifolium merupakan makanan utama dari biota langka ikan Duyung (Dugon dugong) (Kiswara 2009). c. Penangkap sedimen Daun lamun yang lebat akan memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Di samping itu, rimpang dan akar lamun dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan. Jadi padang lamun yang berfungsi sebagai penangkap sedimen dapat mencegah erosi (Azkab 2008). d. Pendaur zat hara Lamun memegang peran penting dalam daur berbagai zat hara di lingkungan laut. Fosfat yang diambil oleh daun-daun Phyllospadix dan Zostera dapat bergerak sepanjang helai daun dan masuk ke dalam algae epifitik. Akar Zostera dapat mengambil fosfat yang keluar dari daun yang membusuk yang terdapat pada celah-celah sedimen. Zat hara tersebut secara potensial dapat digunakan oleh epifit apabila mereka berada dalam medium yang miskin fosfat (Azkab 2008). e. Blue carbon sink Blue carbon sink merupakan penyerapan karbon yang dilakukan oleh lautan termasuk di dalamnya organisme hidup. Walaupun biomas tumbuhan laut jika dibandingkan dengan tumbuhan darat hanya sekitar 0,05%, tetapi

22 8 siklus karbon yang terjadi di laut jika dijumlahkan selama setahun hampir sama bahkan lebih dibandingkan dengan tumbuhan darat. Blue carbon tersimpan dalam bentuk sedimen sampai dengan jutaan tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya tersimpan puluhan sampai ratusan tahun (Kawaroe 2009) Klasifikasi lamun Lamun memiliki bunga, berpolinasi, menghasilkan buah dan menyebarkan bibit seperti banyak tumbuhan darat. Klasifikasi lamun adalah berdasarkan karakter tumbuh-tumbuhan. Selain itu, genera di daerah tropis memiliki morfologi yang berbeda sehingga pembedaan spesies dapat dilakukan dengan dasar gambaran morfologi dan anatomi. Tumbuhan lamun mempunyai 2 (dua) famili, yakni Cymodoceae (9 genera) dan Hydrocharitaceae (3 genera). Padang lamun di Indonesia terdiri dari 7 (tujuh) marga dengan 13 spesies. Tiga marga dari suku Hydrocharitaceae, yaitu Enhalus, Thalassia dan Halophyla, dan empat marga dari suku Cymodoceae, yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan Thalassodendron (Wibisono 2005). Dari 13 spesies lamun yang terdapat di perairan Indonesia, terdapat 7 jenis diantaranya dapat ditemukan di Kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu yaitu Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata dan Cymodocea rotundata (BTNKSp 2008). Klasifikasi tumbuhan lamun yang ada di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut: Divisi : Antophyta Kelas : Angiospermae Sub Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Helobiae Famili : Hydrocharitaceae Genus : Enhalus Spesies : Enhalus accoroides Genus : Halophila Spesies : Halophila ovalis

23 9 Genus : Thalassia Spesies : Thalassia hemprichii Famili : Cymodoceae Genus : Cymodocea Spesies : Cymodocea rotundata, C. serrulata Genus : Halodule Spesies : Halodule uninervis, H. pinifolia Genus : Syringodium Spesies : Syringodium isoetifolium Zonasi dan karakteristik habitat Lamun tumbuh pada daerah mid-intertidal sampai pada kedalaman 40 m. Zonasi sebaran dan karakteristik habitat lamun di perairan pesisir Indonesia dapat dikelompokkan menurut (Kiswara 1992) : 1) Genangan air dan kedalaman Pengelompokan lamun menurut genangan air dan kedalaman dapat dibagi menjadi tiga yaitu : Jenis lamun yang tumbuh di daerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut. Spesies pada kelompok ini yaitu H. pinifolia, H. uninervis, H. ovalis, T. hemprichii, C. rotundata, C. serrulata, S. isoetifolium, E. acoroides. Jenis lamun yang tumbuh di daerah kedalaman sedang atau di daerah pasang surut. Spesies lamun yang dapat ditemukan pada kedalaman sedang adalah H. ovalis, H. uninervis, T. hemprichii, C. rotundata, C. serrulata, S. isoetifolium, E. acoroides. Jenis lamun yang tumbuh di daerah yang dalam dan selalu tergenang air. Jenis lamun yang dapat hidup di daerah ini adalah H. ovalis, S. isoetifolium, T. hemprichii. 2) Kecerahan perairan Berdasarkan kecerahan air tempat tumbuhnya lamun dapat dikategorikan menurut lamun yang tumbuh di air jernih dan air yang keruh. 3) Komposisi jenis Berdasarkan komposisi jenis pertumbuhan lamun dapat dikelompokkan menjadi vegetasi tunggal dan campuran.

24 10 4) Tipe Substrat Berdasarkan tipe substratnya, lamun yang tumbuh di perairan Indonesia dapat dikelompokan menjadi katagori yaitu lumpur, lumpur berpasir, pasir, pasir berlumpur, puing karang dan batu karang. 5) Asosiasi dengan sistem lain Jenis-jenis lamun dapat dikelompokan ke dalam jenis yang dapat tumbuh berasosiasi dengan terumbu karang dan mangrove. Dari karakteristik habitat dan sebaran lamun tersebut di atas dapat dikelompokan jenis lamun yang kosmopolitan (dijumpai hampir semua habitat), moderat (tumbuh pada habitat antara 50 % - 70%) dan lamun yang terbatas sebarannya (tumbuh pada katagori habitat kurang dari 50%) Komunitas lamun Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada lingkungan tertentu, saling berinteraksi dan bersama-sama membentuk tingkat tropik dan metaboliknya. Komunitas memiliki lima karakteristik yaitu keanekaragaman, dominansi, bentuk, dan struktur pertumbuhan, kelimpahan relatif serta struktur trofik (Krebs 1972). Padang lamun sebagai suatu komunitas mempunyai dua tipe vegetasi, yaitu vegetasi yang monospesifik dan vegetasi campuran. Vegetasi monospesifik adalah komunitas lamun yang hanya terdiri dari satu spesies atau dapat berupa padang lamun yang luas dan lebat. Vegetasi campuran adalah padang lamun yang terdiri lebih dari satu spesies dan dapat mencapai delapan spesies. Spesies yang pada umumnya membentuk vegetasi monospesifik adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Cymodocea serrulata, dan Thallassodendron ciliatum (Nienhuis et al in Hutomo 1997) Pertumbuhan lamun Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagianbagian tertentu seperti daun dan rhizoma dalam kurun waktu tertentu. Namun pertumbuhan rhizoma lebih sulit diukur terutama pada jenis-jenis tertentu yang umumnya berada di bawah substrat dibanding pertumbuhan daun yang berada

25 11 di atas substrat, sehingga penelitian pertumbuhan lamun relatif lebih banyak mengacu pada pertumbuhan daun. Umumnya penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan daun muda lebih cepat dibanding pertumbuhan daun tua (Azkab 1999a). Namun hal yang berbeda ditemukan oleh Azkab (1988) yang melakukan penelitian di Teluk Jakarta, dimana daun tua E. acoroides mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dibanding pertumbuhan daun mudanya. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi, metabolisme dan faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat, dan faktor lingkungan lainnya Biomasa lamun Biomasa lamun adalah materi tumbuhan, baik yang di atas maupun yang di bawah substrat, yang biasanya dinyatakan dalam gram berat kering per meter persegi (gbk/m 2 ). Standing crop adalah bagian materi tumbuhan yang diatas substrat saja yang sering digunakan untuk memperkirakan produksi. Banyak jenis lamun menyimpan lebih banyak energi di dalam biomasa di bawah substrat. Data dari berbagai penjuru Indonesia menunjukan bahwa terdapat variasi biomasa yang cukup besar di lokasi-lokasi yang berbeda. Pada umumnya rata-rata biomasa lamun berkisar antara gbk/m 2 (Kuriandewa 2009). 2.2 Transplantasi Lamun Transplantasi adalah memindahkan dan menanam di tempat lain; mencabut dan memasang pada tanah lain atau situasi lain. Restorasi adalah membuat kembali atau meletakkan kembali ke bentuk sebelumnya atau keadaan yang asli, memperbaiki; memperbarui; membuat kembali (Bethel 1961 in Azkab 1999b). Transplantasi lamun adalah suatu metode penanaman lamun yang telah dikembangkan untuk melakukan suatu usaha restorasi padang-padang lamun yang telah mengalami kerusakan (Hutomo dan Soemodihardjo 1992). Beberapa kriteria dibutuhkan untuk pemilihan lokasi transplantasi yang jauh dari tempat donor (Foncesa dan Calumpong 2001), yakni: (a) Memiliki kedalaman yang serupa dengan daerah donor,

26 12 (b) Memiliki sejarah pertumbuhan lamun, (c) Tidak ada gangguan dari aktivitas manusia dan gangguan lain, (d) Tidak ada gangguan reguler badai dan transpor sedimen, (e) Tidak mengalami rekolonisasi alami yang cepat dan meluas dari lamun lainnya, (f) Transplantasi lamun telah berhasil di tempat serupa, (g) Terdapat tempat yang cukup untuk mendukung kegiatan transplantasi dan, (h) Memiliki kualitas habitat yang serupa dengan daerah donor Teknik transplantasi lamun Proyek transplantasi lamun yang bertujuan untuk restorasi habitat telah dilakukan pada tahun 1947 oleh Addy dengan menggunakan biji dan bibit vegetatif lamun Zostera marina dekat Woods Hole. Teknik transplantasi lamun dengan menggunakan biji lamun tidak berhasil, tetapi penanaman dengan menggunakan bibit vegetatif menunjukan keberhasilan. Secara garis besar teknik transplantasi lamun dibagi menjadi dua, yaitu dengan mempergunakan dan yang tidak mempergunakan jangkar (Phillips 1994 in Kiswara 2009). a. Teknik transplantasi lamun tanpa jangkar Teknik ini termasuk menanam tanaman lengkap dengan substratnya dan tanaman yang telah dibersihkan dari substratnya. Teknik-teknik ini memerlukan dana yang besar dan tenaga yang banyak sehingga kurang ekonomis untuk diterapkan di daerah yang luas. Terdapat 3 cara melakukan transplantasi lamun tanpa jangkar yaitu Turfs (memindahkan unit lamun sekitar 0,1 m 2 yang digali dan dipindahkan menggunakan sekop), Plugs (memindahkan unit lamun berukuran bulat dengan kedalaman cm), dan biji (disebarkan di atas permukaan substrat di daerah berarus rendah). b. Teknik transplantasi dengan memakai jangkar. Teknik ini bertujuan untuk menghindari tanaman hanyut terbawa arus. Media jangkar dapat berupa kawat, besi ataupun bambu. Seperti yang dikembangkan oleh F. T. Short di Universitas New Hampshire (Short et al. 2002) yaitu TERFs (Transplanting Eelgrass Remotely with Frame systems), adalah unit

27 13 penanaman lamun berupa tunas yang diikatkan pada frame besi yang ditanamkan pada substrat. Cara lain dengan mengikat tunas tunggal dengan karet pada sepotong kawat atau besi. Dibawa ke lokasi penanaman, menggali lubang dan setelah itu ditanam dan ditutupi sedimen (Phillips 1974 in Kiswara 2004) Parameter lingkungan untuk transplantasi lamun a. Suhu Beberapa peneliti melaporkan adanya pengaruh nyata perubahan suhu terhadap kehidupan lamun, antara lain dapat mempengaruhi metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Marsh et al. (1986) in Badria (2007) melaporkan bahwa pada kisaran suhu C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Demikian juga respirasi lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, namun dengan kisaran yang lebih luas yaitu 5-35 C. Pengaruh suhu juga terlihat pada biomassa Cymodocea nodosa, dimana pola fluktuasi biomassa mengikuti pola fluktuasi suhu. Penelitian yang dilakukan Barber (1985) in Badria (2007) melaporkan produktivitas lamun yang tinggi pada suhu tinggi, bahkan diantara faktor lingkungan yang diamati hanya suhu yang mempunyai pengaruh nyata terhadap produktivitas tersebut. Pada kisaran suhu C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu. b. Kedalaman Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal. Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Holodule pinifolia, Sedangkan Thalassodendron ciliatum mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Selain itu, ke dalaman perairan juga berpengaruh terhadap kerapatan dan pertumbuhan lamun. Brouns dan Heijs (1986) mendapatkan pertumbuhan tertinggi E. acoroides pada lokasi yang dangkal dengan suhu tinggi.

28 14 c. Kecerahan Kecerahan perairan menunjukan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Pada perairan alami, kecerahan sangat penting karena erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Kebutuhan cahaya yang tinggi bagi lamun untuk kepentingan fotosintesis terlihat dari sebarannya yang terbatas pada daerah yang masih menerima cahaya matahari (Berwick 1983 in Kesuma 2005). Nilai kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh kandungan lumpur, plankton dan zat-zat terlarut lainnya (Mintane 1998 in Kesuma 2005). d. Arus Arus merupakan gerakan mengalir suatu masa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan periodik jangka panjang. Arus yang disebabkan oleh gerakan periodik ini antara lain arus yang disebabkan oleh pasang surut. Kecepatan arus perairan berpengaruh pada produktifitas padang lamun. Arus 0,66 m/s akan menghanyutkan semua transplantasi metode Plugs dalam kurun waktu dua minggu (Thorhaug 1976 in Azkab 1999b). Pada daerah yang arusnya lemah, sedimen pada padang lamun terdiri dari lumpur halus dan detritus. e. Substrat Substrat merupakan medium dimana tumbuhan secara normal memperoleh nutrien. Substrat dapat didefinisikan pula sebagai medium alami untuk pertumbuhan tanaman yan tersusun atas mineral, bahan organik, dan organisme hidup. Air dan udara berada dalam pori-pori substrat. Distribusi dan ukuran rongga pori-pori tergantung pada struktur dan tekstur substrat (Badria 2007). Tipe substrat juga mempengaruhi standing crop lamun (Zieman 1986 in Badria 2007). Selain itu rasio biomassa di atas dan di bawah substrat sangat bervariasi antar jenis substrat. Pada Thalassia, rasio bertambah dari 1 : 3 pada lumpur halus menjadi 1 : 5 pada lumpur dan 1 : 7 pada pasir kasar (Burkholder et al in Badria 2007).

29 15 f. Salinitas Salinitas adalah kadar seluruh ion-ion yang terlarut dalam air. Salinitas menunjukkan jumlah garam zat-zat terlarut dalam 1 kg air laut. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 1987). Tumbuhan lamun mempunyai toleransi yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar yaitu PSU. Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur. Lamun yang tua dapat menoleransi fluktuasi salinitas yang besar (Zieman 1986 in Badria 2007). Ditambahkan bahwa lamun jenis Thalassia ditemukan hidup dari salinitas 3,5-60 PSU, namun dengan waktu toleransi yang singkat. Kisaran optimum untuk pertumbuhan Thalassia dilaporkan dari salinitas PSU. g. Derajat keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) menyatakan intensitas keasaman atau kebasaan dari suatu cairan yang mewakili konsentrasi ion hidrogennya. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, kisaran ph optimal untuk kisaran air laut adalah 7,5-8,5. Menurut Beer, Eshel dan Waisel (1977) in Phillip dan Menez (1988), kisaran ph yang baik untuk lamun adalah pada saat ph 7,5-8,5. h. Oksigen terlarut (DO) Kelarutan oksigen dalam air laut dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Semakin tinggi temperatur dan salinitas perairan makin kecil kelarutan oksigen dalam air. Lapisan atas permukaan laut dalam keadaan normal mengandung oksigen terlarut sebesar 4,5-9,0 mg/l (KepMen No. 51 Tahun 2004 Tentang pedoman penetapan baku mutu air laut untuk biota laut). Sumber oksigen terlarut bisa berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer sekitar 35% dan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton (Novonty dan Olem 1994 in Effendi 2003).

30 16 i. Nutrien Karakteristik nutrien berkaitan erat dengan pertumbuhan dan tingkat produksi lamun. Meningkatnya nutrien pada keadaan tertentu secara kuantitatif dapat menaikan laju pertumbuhan dan produksi daun lamun. Keadaan ini merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi lamun (Azkab 1999a). Elemen penting yang diperlukan oleh lamun adalah nitrogen (N), fosfat (P), dan C-organik. Derivat N dan P yang banyak digunakan oleh lamun adalah nitrat, amonium, dan orthofosfat. Ketiganya termasuk ke dalam jenis bahan anorganik. Peran amonium adalah dalam proses nitrifikasi, yaitu mineralisasi nitrogen menjadi nitrit (sebagai produksi intermediet) dan nitrat (sebagai produksi tujuan). Nitrat dalam tanah diserap oleh tumbuhan secara cepat untuk membentuk biomassa sedangkan fosfat digunakan dalam proses fotosintesis dan respirasi lamun. Karbon disimpan dalam tanah ketika tanaman dan hewan membusuk (terurai). Bahan organik ini didekomposisi oleh bakteri, melepaskan CO 2 dan methana kedalam tanah lembab. Wood (1987), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan C-organik dengan ukuran tekstur substrat, makin tinggi jumlah liat makin tinggi pula C-organik bila kondisi lainnya sama. Tinggi rendahnya kandungan C-organik dipengaruhi oleh pasokan air dari daratan sehingga lokasi juga mempengaruhi nilai C-organik.

31 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Kedua pulau ini merupakan pulau dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Pada Pulau Pramuka lokasi rehabilitasi berada di timur pulau dimana terdapat tempat pembuangan akhir (TPA), dekat dengan daerah pengerukan pasir untuk pembangunan dan beberapa titik pembuangan limbah rumah tangga. Kemudian di Pulau Kelapa Dua lokasi rehabilitasi berada di utara pulau yang merupakan kawasan penangkapan ikan oleh penduduk dengan menggunakan alat tangkap jaring dan terdapat keramba jaring apung (KJA) dapat dilihat pada Gambar 3. Secara georafis kedua lokasi ini terletak pada lintang dan bujur yang ditunjukan pada Tabel 1. Tabel 1. Letak geografis lokasi rehabilitasi di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Lintang Bujur Pulau Pramuka 05 44,442' ,599' 05 44,412' 05 44,415' 05 44,442' ,003' ,306' ,024' Pulau Kelapa Dua ' ' ' ' ' ' ' ' Pengamatan status komunitas lamun dan parameter fisika - kimia pada kawasan rehabilitasi pada Pulau Kelapa Dua dilaksanakan pada bulan Desember 2008, sedangkan pada Pulau Pramuka dilaksanakan pada bulan Maret Tujuan pengamatan tersebut adalah untuk mengetahui kesesuaian lokasi untuk dilakukan transplantasi lamun. Pengamatan tingkat keberhasilan transplantasi lamun dilakukan tiap bulan setelah kegiatan transplantasi dan untuk pengamatan laju pertumbuhan daun lamun transplantasi dilakukan setiap minggu selama satu bulan pada Maret 2009.

32 18 Kep. Seribu Kep. Seribu Gambar 3. Peta lokasi penelitian di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua 3.2 Alat dan Bahan Tabel 2. Alat dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan dalam

33 19 Tabel 2. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian Parameter Unit Alat/Bahan Keterangan Fisika Temperatur C Termometer Pengukuran langsung Salinitas PSU Refraktometer Pengukuran langsung Kedalaman cm Tongkat berskala Pengukuran langsung Kecerahan % Secchi disk Pengukuran langsung Arus m/s Floating drauge, stopwatch. Pengukuran langsung Tekstur substrat % PVC Corer Analisis laboratorium Tanah ph Kertas indikator ph Pengukuran langsung Kimia Oksigen terlarut mg/l Pereaksi DO Metode Winkler Nitrat mg/l Spektrofotometer Analisis laboratorium Orthophospat mg/l Spektrofotometer Analisis laboratorium C-organik % Analisis laboratorium Tanah Biologi Panjang daun mm/hari Jangka sorong Pengukuran langsung Biomasa daun gbk/m2 Timbangan digital, oven, Analisis laboratorium alumunium foil Penutupan % Transek kuadrat ukuran Pengukuran langsung 50x50 cm 2 Jumlah spesies - Pengukuran langsung Tambahan Posisi koordinat GPS Pengukuran langsung Dokumentasi Kamera underwater Pengukuran langsung Lain-lain Roll meter, pasak bambu, tagging, kertas newtop, plastik sampel, masker dan snorkle, spidol permanen, tisu, alat tulis, saringan, sepatu boot, jarum. Keterangan : gbk/m 2 = gram berat kering per meter persegi. 3.3 Penentuan Lokasi Rehabilitasi Lamun Lokasi penelitian mengenai status lamun dilakukan pada lokasi rehabilitasi seluas 50 x 50 m 2. Penentuan lokasi pengamatan didasarkan pada kondisi kawasan yang memiliki sejarah pernah ditumbuhi lamun namun mengalami kerusakan dan dilihat dari kondisi perairan yang sesuai berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi (status komunitas lamun). Kemudian dipilih lokasi yang miskin lamun pada kawasan tersebut untuk dilakukan transplantasi lamun.

34 Pengukuran Parameter Fisika -Kimia Suhu Suhu perairan diukur sebanyak tiga kali ulangan pada tiap stasiun dengan menggunakan thermometer air raksa dengan cara dicelupkan kedalam perairan dan suhu dilihat di dalam perairan untuk menghindari berubahnya suhu apabila pengamatan dilakukan di luar air Kedalaman perairan Kedalaman perairan diukur dengan menggunakan tongkat berskala pada setiap transek kuadrat dengan satuan cm. Tongkat dicelupkan ke dalam perairan sampai menyentuh dasar, lalu diperoleh nilai kedalaman Kecerahan Kecerahan perairan diukur di setiap transek garis pada bagian ujungnya dengan menggunakan Secchi disk. Kecerahan dapat dihitung dengan rumus (Kesuma 2005) : ( m n) C 0,5 100% Z Keterangan : m = Panjang tali saat Secchi disk sudah tidak terlihat n = Panjang tali saat Secchi disk mulai terlihat lagi Z = Kedalaman Perairan Substrat Pengambilan substrat dilakukan dengan menggunakan corer berdiameter 10 cm dengan kedalaman cm pada setiap kedua ujung stasiun kemudian dimasukkan kedalam plastik sampel yang sudah diberi nomor dan dianalisis nilai kandungan C-organik dan ukuran partikel di Laboratorium Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Arus Arus perairan diukur pada setiap stasiun dengan tiga kali ulangan. Perhitungan arus menggunakan benda mengapung yang diikatkan dengan tali berukuran panjang 1 m, lalu diukur kecepatannya dengan menggunakan stopwatch.

35 Derajat keasaman (ph) Pengukuran ph dilakukan satu kali setiap stasiun dengan menggunakan kertas indikator ph yang dicelupkan di perairan setelah itu dicocokkan warna yang muncul di kertas ph dengan warna standar yang sudah mempunyai nilai baku Salinitas Salinitas diukur sebanyak tiga kali setiap stasiun dengan menggunakan refraktometer. Cara pengukurannya adalah contoh air laut diambil dengan menggunakan pipet kemudian diteteskan ke refraktometer dan nilai salinitas dapat dilihat dengan meneropong refraktometer. Sebelum melihat nilai sampel berikutnya dilakukan kalibrasi terlebih dahulu dengan aquades agar netral kembali Oksigen terlarut Nilai oksigen terlarut didapat dengan cara titrasi Winkler di lapangan. Contoh air laut diambil lalu direaksikan dengan pereaksi DO, sehingga didapatkan nilai kadar oksigen terlarut dari contoh air laut tersebut Nitrat dan ortofosfat Kandungan nitrat dan ortofosfat perairan dianalisis dengan menggunakan metode spektrofotometrik, analisis dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Contoh air laut diambil dengan menggunakan botol sampel dan dimasukkan kedalam kotak pendingin (cooler box) agar tidak terjadi perubahan kandungan nitrat dan ortofosfat di dalam air tersebut. Prosedur analisis nitrat dan ortofosfat dapat dilihat pada Lampiran Pengamatan Status Lamun di Lokasi Rehabilitasi Pengamatan status lamun di lokasi rehabilitasi diamati dengan menggunakan metode yang digunakan oleh seagrass watch (Mckenzie dan Yoshida 2009) yaitu dengan transek kuadrat berukuran 50 x 50 cm 2 pada bentangan tiga transek garis sepanjang masing-masing 50 m dengan jarak 5 m

36 22 seperti dijelaskan pada Gambar 4. Pengamatan status kawasan meliputi jenis lamun, biomasa lamun, penutupan dari masing-masing jenis lamun. Penentuan penutupan lamun menggunakan estimasi penutupan (%) berdasarkan acuan gambar seperti pada Lampiran 3. Penutupan lamun yang dihitung yaitu penutupan total dan penutupan jenis (%). St. 1 St. St 2 St. 3 5 m 50 m Ke arah tubir Ke arah daratan m Keterangan : St. = Stasiun = Transek kuadrat 50 x 50 cm m Gambar 4. Rancangan pengumpulan data komunitas lamun 3.6 Biomasa Lamun Sampel biomasa lamun diambil dari 3-5 titik di setiap transek kuadrat dengan menggunakan corer berdiameter 10 cm seperti pada Gambar 5, kemudian dipisahkan antara bagian daun, rimpang dan akar, simpan dalam plastik sampel yang diberi nomor. Selanjutnya dilakukan pengovenan 110 C selama 2 jam untuk menghilangkan kadar airnya dan didapatkan berat kering. Pemisahan antara biomasa bagian tumbuhan yang berada di atas substrat (above-ground biomass) dan yang berada di bawah substrat (below-ground biomass) dilakukan untuk memudahkan pembahasan (Azkab 2008).

37 23 50 cm 50 cm Petak pengambilan sampel biomas lamun Gambar 5. Pengambilan sampel biomasa lamun pada transek kuadrat 50 x 50 cm 3.7 Metode Transplantasi Lamun Tranplantasi lamun yang diujicobakan di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua menggunakan metode Plugs (Short dan Coles 2001). Kajian mengenai kesesuaian lokasi transplantasi dilakukan sebelum melakukan penanaman/transplantasi lamun dimulai. Penilaian parameter fisika-kimia perairan maupun substrat merupakan syarat utama keberhasilan dalam melakukan transplantasi lamun. Bibit lamun yang digunakan untuk transplantasi diambil dari area dengan kondisi lamun yang sehat dengan penutupan yang tinggi pada lokasi yang tidak jauh dari area. Jenis bibit lamun yang dipilih untuk transplantasi yaitu jenis lamun pionir yang mudah diamati dan yang paling banyak ditemukan di lokasi yakni Thalassia hemprichii di kedua pulau dan jenis yang mendominasi di kawasan tersebut seperti Cymodocea rotundata di Pulau Pramuka dan Halodule uninervis di Pulau Kelapa Dua. Bibit diambil dengan menggunakan corer yang berdiameter 10 cm dengan kedalaman substrat cm (Gambar 6). Pada daerah penanaman dibuat lubang dengan menggunakan corer yang sama untuk kemudian diletakkan bibit yang sudah diambil di dalamnya. Penomoran unit transplantasi dilakukan untuk memudahkan pengamatan selanjutnya. Penempatan unit transplantasi pada lokasi rehabilitasi didasarkan pada lokasi yang miskin dilihat dari hasil pengamatan status komunitas lamun. Peta lokasi penempatan unit transplantasi dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5.

38 24 Gambar 6. Bibit unit transplantasi metode Plugs 3.8 Pengukuran Pertumbuhan Unit Transplantasi Lamun Pengamatan keberhasilan transplantasi dilihat dari pertumbuhan unit transplantasi, pertumbuhan jumlah tegakan, dan jumlah daun. Laju pertumbuhan daun lamun dihitung dengan menghitung pertumbuhan mutlak daun. Pengamatan keberhasilan transplantasi dilakukan setiap bulannya setelah penanaman, sedangkan laju pertumbuhan lamun transplantasi dilakukan setiap minggu setelah penandaan selama satu bulan. Metode yang digunakan untuk pengukuran laju pertumbuhan daun lamun adalah metode penandaan daun, yang sejak awal tahun 1970 telah diperkenalkan oleh Patriquin (1973), Zieman (1974), dan Sand-Jensen (1975) (Short dan Coles 2001). Metode penandaan lamun didasarkan pada penandaan/pelubangan daun atau tegakan pada tinggi frekuensi tertentu. Pada penelitian ini pelubangan dilakukan pada titik awal daun mulai muncul. Pada hari pertama dilakukan pemilihan tegakan secara acak, kemudian dilakukan pelubangan pada tegakan tersebut pada tempat yang ditentukan. Tegakantegakan yang telah dilubangi diberi tanda penomoran (tagging) untuk memudahkan pada pengamatan dan selanjutnya pengamatan dilakukan pada setiap minggu selama satu bulan. 3.9 Analisis Data Komunitas Lamun Pengamatan struktur komunitas lamun yaitu penutupan jenis lamun (%) dan frekuensi jenis lamun. Frekuensi jenis adalah peluang ditemukannya suatu

39 25 jenis dalam petak contoh. Frekuensi masing-masing jenis lamun pada setiap stasiun dihitung dengan menggunakan rumus (Brower et al. 1997) : F Keterangan : F i = Frekuensi jenis ke-i = Jumlah petak contoh dimana ditemukan jenis i Pi p i 1 i P i p i 1 P = Jumlah total petak contoh yang diamati P Tingkat keberhasilan lamun transplantasi Analisis data tingkat keberhasilan lamun transplantasi berupa analisis komparatif, yakni membandingkan data setiap bulannya pada masing-masing metode transplantasi Pertumbuhan Daun Lamun Lubang Penandaan Kt bt at Gambar 7. Teknik pengukuran pertumbuhan daun lamun Berdasarkan ilustrasi teknik pengukuran pertumbuhan daun lamun yang ditransplantasi seperti Gambar 7 dibuat rumus pertumbuhan daun lamun sebagai berikut (Badria 2007) : Kt = at bt T Keterangan : Kt = Pertumbuhan lamun t (mm/hari) T = Waktu interval pengamatan (hari) at = Panjang total daun hari ke-t (mm) bt = Panjang total daun di atas lubang penandaan hari ke-t (mm)

40 Biomassa Lamun Biomassa lamun dihitung dengan menggunakan berat kering lamun dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Azkab 2008): W B A Keterangan : B = Biomassa lamun (gram/m 2 ) W = Berat kering (gram) A = Luas area (m 2 )

41 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika - Kimia Perairan Kelangsungan hidup biota perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kondisi lingkungan perairan yang mendukung. Pengamatan lingkungan perairan dilakukan dengan mengukur nilai kualitas perairan tersebut, meliputi parameter fisika kimia. Nilai-nilai parameter fisika kimia di perairan Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Parameter fisika dan kimia perairan Parameter Baku Mutu Pulau Pramuka Pulau Kelapa Dua Fisika Suhu ( C) ) Kedalaman (cm) Kecerahan (%) Kecepatan Arus (m/detik) 0,66 2) 0,33 0,05-0,14 Kimia Salinitas (PSU) ) ph 7-8,5 1) 8 8 DO (ppm) >5 1) 9,33-10,55 9,13-10,14 Nitrat (mg/l) 0,008 1) 0,031-0,072 0,039-0,049 Orthofospat (mg/l) 0,015 1) <0,001 <0,001 Sumber : 1) KepMen LH No. 51 Tahun 2004 (Lampiran 3) 2) Baku mutu untuk metode Plugs menurut Thorhaug 1976 in Azkab Parameter fisika a. Suhu Suhu perairan pada kedua lokasi penelitian sekitar 29 C. Kisaran yang kecil menandakan perbedaan suhu antar lokasi penelitian kecil sehingga dapat dikatakan selama penelitian suhu cenderung homogen. Menurut Barber (1985) in Badria (2007), pada kisaran suhu C produktivitas lamun meningkat dengan meningkatnya suhu, dan pada kisaran suhu C fotosintesis bersih akan meningkat dengan meningkatnya suhu. Jadi kisaran suhu pada saat penelitian berada pada kisaran yang optimum bagi tumbuhan lamun untuk berfotosintesis.

42 28 b. Kedalaman Kedalaman membatasi penyebaran dan pertumbuhan lamun. Lamun hanya dapat tumbuh pada kedalaman dimana sinar matahari dapat menembus sampai dasar perairan. Kedalaman perairan dan intensitas cahaya yang masuk ke perairan berpengaruh terhadap proses fotosintesis lamun. Kedalaman perairan yang diukur pada saat surut di Pulau Pramuka berkisar antara cm, dan pada Pulau Kelapa Dua antara cm. Kedalaman yang terukur pada kedua pulau merupakan kedalaman ideal bagi lamun yang merupakan vegetasi perairan dangkal. Hal ini akan mendukung proses fotosintesis lamun yang optimal, karena pada kedalaman tersebut cahaya yang masuk ke dalam perairan akan sampai ke dasar perairan dimana lamun tersebut tumbuh. Hal ini juga didukung oleh kecerahan perairan yang tinggi. c. Kecerahan Kecerahan perairan merupakan salah satu faktor pembatas yang penting bagi kelangsungan hidup tumbuhan lamun. Hal ini disebabkan lamun membutuhkan perairan dengan kecerahan tinggi agar cahaya matahari dapat menembus perairan sampai ke dasar agar tumbuhan lamun dapat tetap melakukan proses fotosintesis. Kondisi perairan di kedua pulau relatif jernih dan penetrasi cahaya mencapai seratus persen, karena lokasi penelitian merupakan perairan yang relatif dangkal dengan kedalaman rata-rata 74,2 cm pada Pulau Pramuka dan 69,4 cm pada Pulau Kelapa Dua dan sedikitnya partikel tersuspensi pada perairan. d. Kecepatan arus Rata-rata kecepatan arus yang diukur pada Pulau Pramuka adalah 0,33 m/detik, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua sebesar 0,10 m/detik. Pengukuran arus dilakukan ketika surut terendah menuju pasang, sehingga arah arus cenderung ke arah daratan. Pulau Pramuka memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua hal ini disebabkan lokasi Pulau Pramuka yang lebih terbuka dan tidak terlindungi seperti Pulau Kelapa Dua. Arus pada kedua tempat pengamatan masih berada di bawah kecepatan arus maksimum untuk transplantasi lamun yaitu 0,66 m/detik. Kecepatan arus yang

43 29 melebihi nilai ini akan dapat menghanyutkan semua transplantasi lamun metode Plugs dalam kurun waktu dua minggu (Thorhaug 1976 in Azkab 1999). Kedua lokasi pengamatan ini tergolong memiliki arus yang tenang sehingga menyebabkan permukaan daun ditumbuhi alga epifit dan ditutupi oleh sedimen yang terperangkap. Pada Pulau Kelapa Dua memiliki arus yang lebih kecil sehingga penutupan epifit lebih besar yaitu 24,70% dan penutupan algae sebesar 0,03% (Tabel 4) dibandingkan Pulau Pramuka sebesar 12,36% (Tabel 7). Penutupan epifit mengurangi penyerapan cahaya matahari oleh daun sehingga mengganggu proses fotosintesis pada lamun. Penutupan ini mempengaruhi pertumbuhan lamun, khususnya pada bagian daun. e. Substrat Substrat tidak terdiri dari satu komposisi melainkan tersusun atas tiga komposisi yaitu pasir, debu dan liat. Dominasi salah satu dari ketiga ukuran tersebut menentukan tipe substrat suatu perairan. Hasil analisis di laboratorium menghasilkan nilai komposisi tekstur substrat dari masing-masing pulau dan nilai konsentrasi C-organik dari substrat tersebut yang dapat di lihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai rata-rata komposisi tekstur dan kandungan C-organik substrat (%) Lokasi Tekstur Pasir Debu Liat Tipe Substrat C-organik Pulau Pramuka 94,88 2,44 2,69 Pasir 0,32 Pulau Kelapa Dua 94,77 2,54 2,69 Pasir 0,39 Ukuran partikel substrat mempengaruhi kandungan oksigen dan bahan organik dalam sedimen. Substrat halus memiliki kandungan bahan organik lebih besar daripada substrat dengan ukuran partikel besar/kasar. Sebaliknya kandungan oksigen pada substrat berukuran partikel besar/kasar lebih banyak daripada substrat halus. Tipe substrat di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua tergolong substrat pasir dengan komposisi pasir secara berurutan sebesar 94,88 % dan 94,77 %. Tipe substrat menentukan sejauh mana lamun tumbuh. Umumnya lamun tumbuh pada substrat pasir berlumpur meski ada pula yang dapat hidup pada

44 30 batu karang. Lamun yang hidup pada substrat berlumpur harus mengadaptasikan akarnya dengan kondisi anoksik dan mempunyai akar yang panjang dan dilengkapi akar rambut yang banyak. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan fotosintesis dan respirasi lamun. Sedangkan lamun yang hidup pada substrat kasar cenderung memiliki perakaran yang lebih kuat dibandingkan dengan substrat halus. Hal ini karena tingkat porositas pasir yang besar dan seragam sehingga akar perlu mencengkram kuat substrat supaya dapat bertahan dari arus dan gelombang. Wood (1987), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kandungan C- organik dengan ukuran tekstur substrat, makin tinggi jumlah liat debu makin tinggi pula C-organik bila kondisi lainnya sama. Dapat dilihat Pada Pulau Kelapa Dua memiliki komposisi pasir yang lebih rendah namun konsentrasi C-organik lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Pramuka. Hal ini juga dapat menandakan organisme yang hidup di substrat (bentos dan mikrobakteri) lebih padat di Pulau Kelapa Dua. Seperti diketahui bahwa C-organik terbentuk dari hewan dan tumbuhan yang telah busuk dan terakumulasi dalam substrat Parameter Kimia a. Salinitas Nilai salinitas yang diukur pada Pulau Pramuka berkisar antara PSU, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua antara PSU. Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004, baku muku parameter salinitas bagi biota laut khususnya tumbuhan lamun berkisar antara PSU, namun nilai yang terukur berada jauh di bawah baku mutu. Perbedaan nilai salinitas ini disebabkan oleh faktor alam yaitu turunnya hujan sehingga mempengaruhi besarnya nilai salinitas di kedua pulau tersebut. Ada jenis lamun yang memiliki toleransi yang besar terhadap perubahan salinitas (euryhaline) seperti jenis Thalassia hemprichii yang memiliki kisaran optimum untuk pertumbuhan antara PSU, sehingga jenis ini dapat bertahan hidup di lokasi pengamatan. b. Derajat keasaman (ph) Nilai rata-rata derajat keasaman hasil pengukuran pada kedua pulau adalah 8. Nilai ini sesuai dengan baku mutu Keputusan Menteri Lingkungan

45 31 Hidup No. 51 Tahun 2004 yaitu ph optimal untuk kisaran air laut adalah 7,5-8,5 Sehingga perairan pada ke dua pulau mendukung bagi kelangsungan hidup lamun. c. Oksigen terlarut (DO) Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas bagi makluk hidup terutama bagi organisme laut yang tidak dapat memanfaatkan oksigen bebas secara langsung. Oleh karena itu dalam air, oksigen ditemukan dalam keadaan terlarut. Berdasarkan pengukuran di lapang didapatkan nilai rata-rata kandungan oksigen terlarut dalam perairan Pulau Pramuka sebesar 9,94 mg/l dengan kisaran antara 9,33 10,55 mg/l, sedangkan pada Pulau Kelapa Dua sebesar 9,63 mg/l dengan kisaran antara 9,13 10,14 mg/l. Secara umum kandungan oksigen terlarut pada kedua pulau memenuhi standar baku mutu air untuk biota laut yaitu >5 mg/l, sesuai dengan KepMen LH No. 51 Tahun Nilai kandungan oksigen terlarut pada Pulau Pramuka sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua. Padang lamun merupakan habitat bagi berbagai macam organisme laut, baik yang hidup menempel di daun (kelompok epifit, termasuk alga) maupun di dalam sedimen (bentos dan mikrobakteri). Semua organisme laut ini memanfaatkan persediaan oksigen terlarut yang cukup besar untuk proses respirasi dan proses oksidasi (dekomposisi serasah daun lamun dan nitrifikasi). Sehingga diduga ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan kandungan oksigen terlarut antara dua pulau tersebut, antara lain : (1) Proses fotosintesis oleh daun lamun dan (2) Kepadatan biota. Proses fotosintesis dalam penelitian ini dipengaruhi oleh kecerahan perairan dan kecepatan arus. Kecerahan perairan berperan dalam penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan sedangkan kecepatan arus menentukan proses sedimentasi dan penutupan alga epifit pada permukaan daun lamun. Kecepatan arus pada Pulau Pramuka sedikit lebih tinggi sehingga diduga kondisi ini yang menyebabkan kandungan oksigen terlarut pada Pulau Pramuka lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua.

46 32 d. Nutrien Salah satu ciri khas lamun yang membedakan dengan tumbuhan laut lainnya adalah kemampuan menyerap nutrien melalui daun, selain oleh akar. Lamun tidak memiliki stomata tapi digantikan oleh kehadiran kutikula yang tipis sehingga daun mampu mengabrsorbsi nutrien secara langsung dari perairan. Nitrat dan orthofosfat merupakan salah satu bentuk bahan anorganik, dimana nitrat adalah turunan dari nitrogen sedangkan orthofosfat adalah turunan dari fosfor anorganik terlarut. Seperti telah diketahui bahwa fungsi nitrogen pada tumbuhan adalah memacu pertumbuhan dan sintesis asam amino dan protein namun karena lamun adalah tumbuhan air maka nitrogen harus diubah menjadi bentuk anorganik berupa nitrat dan ammonium supaya dapat dimanfaatkan. Besarnya kandungan nitrat di kolom perairan Pulau Pramuka berkisar 0,031-0,072 mg/l, sedangkan di Pulau Kelapa Dua sebesar 0,039-0,049 mg/l. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan baku mutu yaitu 0,008 mg/l. Sehingga kebutuhan lamun untuk membentuk biomasanya dapat terpenuhi dengan kandungan nitrat di kolom perairan yang mencukupi. Kandungan nitrat di Pulau Pramuka lebih rendah dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua. Perbedaan nilai ini diduga karena kondisi perairan tiap pulau berbeda. Pada Pulau Kelapa Dua konsentrasi oksigen terlarut lebih rendah sehingga mengakibatkan laju dekomposisi atau mineralisasi nitrogen (proses perubahan nitrogen organik menjadi anorganik) menurun, sehingga konsentrasi nitrat dalam kolom perairan menjadi lebih rendah namun dengan adanya lokasi budidaya perikanan dalam bentuk Keramba Jaring Apung (KJA) di dekat lokasi rehabilitasi di Pulau Kelapa Dua diduga mengakibatkan kandungan nitrat di perairan menjadi lebih tinggi. Tingginya kandungan nitrat diduga akibat sisa pakan yang tidak termakan oleh ikan budidaya yang kemudian terbawa arus perairan. Orthofosfat digunakan oleh tumbuhan lamun dalam proses fotosintesis dan respirasi. Nilai orthofospat di kolom perairan Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua terhitung sebesar <0,001 mg/l. Kedua pulau ini memiliki kandungan orthofosfat di kolom perairan yang sangat rendah dan berada dibawah nilai baku mutu. Akan tetapi rendahnya konsentrasi orthofosfat dalam kolom air bukan menjadi faktor pembatas pertumbuhan lamun namun menjadi indikator

47 33 bahwa perairan pada kedua pulau tergolong bersih, tidak tercemar limbah atau buangan rumah tangga. Pertumbuhan lamun di Pulau Kelapa Dua relatif lebih tinggi meski memiliki nilai konsentrasi orthofosfat yang rendah. Hal ini menandakan bahwa tumbuhan lamun memerlukan fosfor hanya dalam jumlah yang sangat sedikit. Kandungan nutrien pada Pulau Kelapa Dua cenderung lebih tinggi dari pada Pulau Pramuka. hal ini yang menyebabkan pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Kelapa Dua lebih tinggi karena lamun mendapatkan pasokan unsur hara yang cukup. 4.2 Komunitas Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Komunitas lamun Pulau Pramuka Pengamatan komunitas lamun di Pulau Pramuka didapatkan hasil seperti yang ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5. Komunitas lamun di Pulau Pramuka Stasiun Penutupan Lamun (%) Komposisi Spesies Lamun (%) Cr Cs Ea Th Ho Hp Tinggi Kanopi (cm) Penutupan Epifit (%) 1 6,64 2, ,43 0,09 0 6,50 11, ,68 12,48 0,49 0,87 9,09 0, ,55 16, ,82 5,86 12,57 3,45 8,30 0,89 5,75 13,62 9,45 Rata-rata 22,38 6,82 4,35 1,44 7,27 0,58 1,92 10,89 12,36 Keterangan : Cr = Cymodocea rotundata Ho = Halophila ovalis Cs = Cymodocea serrulata Hp = Halodule pinifolia Th = Thalassia hemprichii a. Penutupan jenis lamun Pulau Pramuka (%) Penutupan lamun menggambarkan seberapa luas lamun yang menutupi suatu kawasan tertentu. Selain dipengaruhi oleh kepadatan jenisnya, persen penutupan dipengaruhi juga oleh ukuran morfologi daun lamun itu sendiri. Dari tiga stasiun yang diamati dapat diketahui nilai persen penutupan dari stasiun 1 sampai stasiun 3 memiliki nilai yang berbeda-beda namun membentuk pola penyebaran tertentu (Gambar 8). Semakin ke selatan nilai persen penutupan lamun semakin tinggi.

48 34 40% 35% 36,82% 30% 25% 23,68% 20% 15% 10% 6,64% 5% 0% Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Gambar 8. Penutupan lamun di Pulau Pramuka (%) Nilai persen penutupan lamun terendah terukur pada stasiun 1 dengan nilai 6,64% dan nilai tertinggi terdapat pada stasiun 3 (Tabel 6). Perbedaan nilai ini diduga akibat perbedaan lokasi stasiun, pola distribusi dan kesediaan nutrien pada masing-masing lokasi pengamatan. Pada stasiun 2 nilai persentase penutupan lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun 1 yaitu 23,68%. Sedangkan nilai persen penutupan lamun terbesar adalah pada stasiun 3 yang terletak sebelah selatan dari kawasan pengamatan senilai 36,82%. Tabel 6. Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Pramuka (%) No. Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 Cymodocea rotundata 2,11 12,48 5,86 2 Cymodoceae serrulata - 0,49 12,57 3 Enhalus acoroides - 0,87 3,45 4 Thalasia hemprichii 4,43 9,09 8,30 5 Halophila ovalis 0,09 0,75 0,89 6 Halodule pinifolia - - 5,75 Total 6,64 23,68 36,82 Persen penutupan jenis lamun Cymodocea serrulata memiliki nilai tertinggi pada stasiun 3 yaitu sebesar 12,57% kemudian diikuti dari jenis C. rotundata sebesar 12,48% pada stasiun 2. Kedua jenis lamun ini merupakan jenis lamun yang paling banyak ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Pramuka.

49 35 Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam putusannya No. 200 Tahun 2004 menetapkan kriteria baku kerusakan padang lamun sebagai berikut (Nontji 2009): Tingkat kerusakan tinggi : luas area kerusakan 50% Tingkat kerusakan sedang : luas area kerusakan 30-49,9% Tingkat kerusakan rendah : luas area kerusakan 29,9% Sementara itu status padang lamun ditetapkan sebagai berikut : Kondisi baik : kaya/sehat 60% Kondisi kurang : kurang kaya/kurang sehat 30-59,9% Kondisi rusak : miskin 29,9% Kondisi Komunitas lamun di kawasan rehabilitasi di Pulau Pramuka tergolong rendah atau termasuk kriteria kurang pada stasiun 3 dan tergolong miskin pada stasiun 1 dan 2 sesuai dengan kriteria status padang lamun yang dinyatakan dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 200 tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. b. Komposisi jenis lamun Pulau Pramuka Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Pulau Pramuka ditemukan enam spesies lamun yang termasuk kedalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae dan Cymodoceae. Keenam spesies tersebut adalah Cymodoceae rotundata, Cymodocea serrulata (Cymodoceae), Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila pinifolia (Hydrocharitaceae), seperti tampak pada Gambar 9. Pada penelitian yang dilakukan oleh Meinar (2009) terdapat satu jenis lamun lagi yang ditemukan di Pulau Pramuka yaitu Syringodium isoetifolium. Jenis lamun ini banyak ditemukan di bagian utara Pulau Pramuka. Keberadaan keenam spesies tersebut tidak merata dan tidak semuanya terdapat pada setiap stasiun. Spesies lamun yang dapat ditemukan di semua stasiun pengamatan yaitu Cymodocea rotundata, Thalassia Hemprichii dan Halophila ovalis. Sedangkan spesies lamun Halophila pinifolia hanya ditemukan pada stasiun pengamatan ketiga (Gambar 9).

50 36 Halophila ovalis 1% Stasiun 1 Cymodocea rotundata 32% Thalassia hemprichii 67% Halophila ovalis 3% Stasiun 2 Cymodocea rotundata 53% Thalassia hemprichii 38% Enhalus acoroides 4% Halodule pinifolia 16% Cymodoceae serrulata 2% Stasiun 3 Halophila ovalis 2% Thalassia hemprichii 23% Enhalus acoroides 9% Cymodocea rotundata 16% Cymodoceae serrulata 34% Gambar 9. Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Pramuka Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada ketiga stasiun terdapat perbedaan komposisi jenis (Gambar 9). Perbedaan komposisi jenis lamun ini ditandai penyebaran dari jenis lamun yang tidak merata. Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga lamun hanya tumbuh pada titik titik-titik titik terten tertentu dimana tersedia nutrien yang mencukupi dan dilihat dari pola penyebaran jenis lamun, kemudian arah dan kecepatan arus mempengaruhi keberadaan beberapa jenis lamun karena ada jenis lamun yang dapat beradaptasi dengan kondisi arus yang cukup besar dan ada yang tidak, hal ini juga mempengaruhi pola penyebaran dari lamun itu sendiri.

51 37 Pada stasiun 1 ditemukan tiga spesies lamun dan didominasi dari jenis Thalassia hemprichii, pada stasiun 2 ditemukan lima spesies lamun dan didominasi oleh jenis Cymodocea rotundata, serta Pada stasiun tiga ditemukan enam jenis lamun dan di dominasi oleh jenis Cymodocea serrulata. Pada stasiun 3 jenis lamun yang ditemukan lebih beragam yaitu sebanyak 6 spesies dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Seperti halnya dengan persen penutupan, keberagaman spesies lamun pada stasiun 3 ini desebabkan oleh kondisi perairan yang lebih terlindung dari perubahan lingkungan dibandingkan dengan stasiun lainnya. Lamun-lamun pada stasiun ini dapat tumbuh dan berkembang lebih optimal. Zonasi sebaran lamun di Pulau Pramuka tergolong vegetasi campuran karena lamun yang ditemukan lebih dari satu jenis. Dari keenam jenis lamun yang ditemukan, sebaran lamun di pulau ini termasuk kedalam tipe jenis lamun yang tumbuh didaerah dangkal yang selalu terbuka saat air surut (Kiswara 1992) bahwa sebaran lamun dapat dikelompokan berdasarkan genangan air atau kedalaman. c. Frekuensi jenis lamun Pulau Pramuka Frekuensi jenis lamun adalah peluang ditemukannya suatu jenis lamun dalam suatu kawasan yang diamati. Nilai frekuensi masing-masing jenis lamun yang diamati dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Frekuensi jenis lamun di Pulau Pramuka No. Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 Cymodocea rotundata 0,55 0,91 0,36 2 Cymodoceae serrulata 0 0,18 0,55 3 Enhalus acoroides 0 0,36 0,36 4 Thalasia hemprichii 0,73 0,91 0,82 5 Halophila ovalis 0,09 0,27 0,45 6 Halodule pinifolia 0 0 0,64 Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa spesies Thalassia hemprichii memiliki nilai frekuensi jenis yang tertinggi sehingga dapat diketahui sebaran jenis ini cukup merata di ketiga stasiun pengamatan. Spesies lainnya yaitu Cymodocea rotundata dan Halophila ovalis juga berpeluang ditemukan di semua stasiun

52 38 pengamatan dengan nilai yang lebih rendah. Dari penelitian Dwintasari (2009) dapat diketahui bahwa lamun jenis T. hemprichii mempunyai pengaruh yang paling besar dibandingkan dengan jenis lamun lainnya, karena lamun jenis ini paling banyak dijumpai hampir di seluruh tipe perairan dan sangat baik tumbuh di kondisi perairan Pulau Pramuka yang dangkal dan terbuka saat surut. Selain itu, menurut Rohmimohtarto dan Juwana (2001) T. hemprichii merupakan jenis lamun yang memiliki daya tahan yang baik terhadap pencemaran. Hal ini menandakan jenis T. hemprichii adaptif terhadap gangguan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran Komunitas lamun Pulau Kelapa Dua Komunitas lamun di Pulau Kelapa dua berbeda dengan Pulau Pramuka. Hasil pengamatan komunitas lamun di Pulau Kelapa Dua dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komunitas lamun di Pulau Kelapa Dua Stasiun Penutupan Lamun (%) Komposisi Spesies Lamun (%) Cr Cs Th Ho Hu Tinggi Kanopi (cm) Penutupan Algae (%) Penutupan Epifit (%) 1 18,77 1,91 0 3,91 0,32 12,64 12, ,45 2 3,06 0,27 0,27 2,20 0,18 0,14 6, , , ,32 0,56 9,64 10,05 1,00 34,27 Rata-rata 11,12 0,73 0,09 2,48 0,35 7,47 9,92 0,33 24,70 Keterangan : Cr = Cymodocea rotundata Ho = Halophila ovalis Cs = Cymodocea serrulata Hu = Halodule uninervis Th = Thalassia hemprichii a. Penutupan jenis lamun Pulau Kelapa Dua (%) Pada Gambar 10 dapat dilihat nilai persen penutupan lamun pada tiga stasiun pengamatan di Pulau Kelapa Dua memiliki nilai yang berbeda-beda. Pada stasiun 1 terdapat nilai persen penutupan lamun tertinggi dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya yaitu sebesar 19%, sedangkan nilai terendah terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 3%. Perbedaan nilai ini menandakan jenis lamun di kawasan ini tumbuh dalam kelompok yang terpisah-pisah dengan batas yang tidak jelas serta penyebaran yang tidak merata seperti dilihat pada Tabel 9. Persen penutupan lamun di tiga stasiun berbeda tidak membentuk pola tertentu menandakan penyebaran lamun tidak merata. Hal ini seperti dijelaskan

53 39 sebelumnya diduga disebabkan oleh titik-titik tempat lamun itu tumbuh memiliki kondisi yang dapat mendukung perkembangan dari lamun itu sendiri, seperti tersedianya nutrien yang cukup, pola penyebaran lamun tersebut dan kondisi perairan sesuai dengan habitat lamun. 20% 19% 15% 12% 10% 5% 3% 0% Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Gambar 10. Penutupan lamun di Pulau Kelapa Dua (%) Tabel 9. Penutupan masing-masing jenis lamun di Pulau Kelapa Dua (%) No. Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 Cymodocea rotundata 1,91 0, Cymodoceae serrulata 0 0, Enhalus acoroides Thalassia hemprichii 3,91 2,20 1,32 5 Halophila ovalis 0,32 0,18 0,56 6 Halodule uninervis 12,64 0,14 9,64 Total 18,77 3,06 11,52 Spesies lamun yang memiliki nilai persen penutupan yang tertinggi adalah Halodule uninervis sebesar 12,77% pada stasiun 1. Jenis lamun ini merupakan yang paling banyak ditemukan di lokasi pengamatan Pulau Kelapa Dua. Dilihat dari nilai persen penutupan, kondisi Komunitas lamun tergolong miskin berdasarkan Keputusan Meteri Lingkungan Hidup no. 200 Tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun dengan nilai 29,9%.

54 40 b. Komposisi jenis lamun Pulau Kelapa Dua Pengamatan yang di lakukan di Pulau Kelapa Dua menunjukan terdapat lima spesies lamun yang termasuk kedalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae dan Cymodoceae. Kelima spesies tersebut adalah Cymodoceae rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis (Cymodoceae), Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis (Hydrocharitaceae). Keberadaan kelima spesies ini tidak merata dan biasanya tumbuh dalam kelompok-kelompok kecil. Spesies lamun yang dapat ditemukan di ketiga stasiun pengamatan adalah Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, dan Halodule uninervis. Sedangkan jenis Cymodoceae serrulata hanya ditemukan di stasiun 2 (Gambar 11). Berdasarkan hasil pengamatan ketiga stasiun yang dilakukan di Pulau Kelapa Dua terdapat perbedaan komposisi jenis (Gambar 11). Perbedaan komposisi jenis lamun ini disebabkan oleh penyebaran lamun yang tidak merata di kawasan tersebut dan tergabung dalam kelompok-kelompok kecil. Zonasi penyebaran lamun di Pulau Kelapa Dua tergolong vegetasi campuran karena lamun yang ditemukan lebih dari satu jenis. Pada Stasiun 1 ditemukan empat spesies lamun. Jenis lamun yang paling sering ditemukan dan memiliki penutupan terbanyak dari jenis lainnya adalah Halodule uninervis sebesar 67% dari total penutupan lamun sebesar 19%. Komposisi terendah di stasiun ini adalah Halophila ovalis sebesar 2%. Kiswara (2004) menyatakan H. ovalis tumbuh di daerah pasang surut tepi pantai sebagai vegetasi tunggal atau bersama C. rotundata dan H. uninervis di antara jenis lamun lainnya sehingga kadang-kadang tidak dapat terlihat. Jenis lamun ini memiliki ukuran yang kecil jika dibandingkan dengan ke tiga spesies lainnya yang ditemukan sehingga persen penutupannyapun juga kecil, namun H. ovalis dapat ditemukan di ketiga stasiun pengamatan sehingga dapat dikatakan jenis ini menyebar merata. Pada stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 11 terdapat lima spesies lamun yang teramati dan didominasi oleh jenis T. hemprichii sebesar 72% dari total penutupan lamun pada stasiun 2. Keempat spesies lainnya adalah H. ovalis, H. uninervis, C. rotundata, dan C. serrulata. Kemudian nilai penutupan jenis terendah adalah H. uninervis sebesar 4%.

55 41 Stasiun 1 Cymodocea rotundata 10% Thalassia hemprichii 21% Halophila ovalis 2% Halodule uninervis 67% Stasiun 2 Halodule uninervis 4% Halophila ovalis 6% Cymodocea rotundata 9% Cymodocea serrulata 9% Thalassia hemprichii 72% Stasiun 3 Thalassia hemprichii 11% Halophila ovalis 5% Halodule uninervis 84% Gambar 11. Komposisi jenis lamun berdasarkan penutupan di Pulau Kelapa Dua Pada stasiun 3 merupakan stasiun yang ditemukan jumlah jenis paling sedikit yaitu hanya tiga jenis da dan didominasi oleh jenis H. uninervis kembali dengan nilai persen penutupan sebesar 84%. Nilai penutupan terendah dimiliki oleh jenis H. ovalis sebesar 5%. c. Frekuensi jenis lamun Pulau Kelapa Dua Tabel 10 menjelaskan bahwa spesies Thalassia hemprichii tersebar cukup merata sehingga mempunyai frekuensi jenis yang tinggi di semua stasiun. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kuriandewa (2009) bahwa jenis lamun yang paling luas sebarannya dan paling dominan di perairan Indonesia adalah T. hemprichii. hemprichii

56 42 Spesies lain yang ditemukan di semua stasiun dengan nilai frekuensi jenis yang rendah yaitu H. ovalis dan H. uninervis. Nilai frekuensi masing-masing jenis lamun yang diamati di tiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Frekuensi jenis lamun di Pulau Kelapa Dua No. Jenis Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 1 Cymodocea rotundata 0,64 0, Cymodoceae serrulata 0 0, Enhalus acoroides Thalassia hemprichii 1,00 1,00 0,82 5 Halophila ovalis 0,18 0,09 0,27 6 Halodule uninervis 0,64 0,09 0, Biomasa Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Biomasa lamun dibedakan atas biomassa diatas permukaan substrat (above-ground biomass) dan biomasa di dalam substrat (below-ground biomass). Biomassa daun dinyatakan dalam gram berat kering (gbk) per satuan unit luas (m 2 ). Nilai biomasa lamun pada kedua pulau dapat dilihat pada Tabel 11 dan Gambar 12. Tabel 11. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua (gbk/m 2 ) Stasiun Pramuka Kelapa Dua Atas Bawah Atas Bawah 1 11, , , , , ,7053 6, , , , , ,4737 Rata-rata 25, ,0504 9, ,7147 Rasio Keterangan : gbk/m 2 = gram berat kering per meter persegi. Biomasa lamun alami pada Pulau Pramuka lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua. Hal ini disebabkan pada Pulau Pramuka jenis lamun yang ditemukan memiliki morfologi tubuh yang lebih besar dan penutupan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Kelapa Dua sehingga berpengaruh terhadap nilai biomasa lamun tersebut, seperti pernyataan Azkab (2007) bahwa padang lamun yang padat (rapat) menyebabkan biomasanya lebih tinggi, begitu pula dengan jenis lamun yang mempunyai ukuran daun dan rizhoma yang lebih

57 43 besar akan menyebabkan biomassanya lebih tinggi. Selain itu, rendahnya nilai biomasa lamun di Pulau Kelapa Dua dibandingkan dengan Pulau kelapa juga disebabkan oleh kadar nutrien yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan peningkatan biomasa makro algae. Deegan et al. (2002) in Kiswara (2009) menemukan suatu perubahan dalam produsen primer dari lamun ke makro algae sebagai reaksi terhadap peningkatan masuknya nutrisi adalah naiknya biomasa algae dan turunnya kerapatan dan biomas lamun , gbk/m ,56 9,75 61,71 Atas Bawah 0.00 Pramuka Kelapa Dua Gambar 12. Biomasa lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Biomasa bagian tumbuhan yang berada di bawah substrat pada kedua pulau lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tumbuhan di atas permukaan substrat. Hal ini disebabkan oleh tumbuhan lamun lebih banyak menyerap nutrien dari substrat dibandingkan dari kolom perairan seperti pernyataan Erftemeijer (1993) in Dahuri (2003) bahwa lamun mengambil ±90% nutrien untuk pertumbuhannya melalui sistem perakaran. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis substrat pada kedua pulau yang bertipe pasir sehingga dibutuhkan akar dan rimpang yang besar dan kuat untuk dapat bertahan dari arus dan gelombang. Rasio antara biomasa bagian atas dan bawah substrat pada Pulau Pramuka yaitu 1 : 5 dan pada Pulau Kelapa Dua 1 : 6. Nilai ini menandakan bagian tubuh tumbuhan lamun bagian bawah substrat lima kali lebih besar dibandingkan dengan bagian atas pada Pulau Pramuka dan pada Pulau Kelapa Dua enam kali lebih besar. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan

58 44 morfologi tubuh lamun yakni daun, rimpang dan akar yang berbeda ditiap lokasi, komposisi partikel substrat, kondisi lingkungan seperti kandungan nutrien dan kecepatan arus. Pada Pulau Pramuka morfologi daunnya lebih besar dibandingkan dengan di Pulau Kelapa Dua, jenis lamun yang ditemukan pun berbeda dari kedua pulau ini dengan komposisi jenis yang berbeda pula tiap jenisnya. Komposisi substrat dan kecepatan arus mempengaruhi ukuran akar dan rimpang seperti dijelaskan sebelumnya. 4.4 Transplantasi Lamun Tingkat keberhasilan pertumbuhan transplantasi lamun Tingkat keberhasilan dari berbagai jenis lamun transplantasi dengan menggunakan metode Plugs di Pulau Pramuka dan Kelapa Dua dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14. Unit Unit Transplantasi Minggu ke- Thalassia hemprichii Halodule pinifolia Cymodocea rotundata Enhalus acoroides Cymodocea serulata unit Jumlah Tegakan Minggu ke- Lembar Jumlah Daun Minggu ke- Gambar 13. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Pramuka

59 45 Dari kelima jenis lamun yang di transplantasi dengan metode Plugs dapat diketahui jenis yang tingkat keberhasilan tertinggi adalah T. hemprichii. Sedangkan jenis-jenis lainnya mengalami penurunan pada pertumbuhan baik dari jumlah unit transplantasi, jumlah tegakan maupun jumlah daun. Pada awal penanaman terjadi fluktuasi jumlah yang hidup hal ini disebabkan pada awal perlakukan tumbuhan lamun ini melakukan penyesuaian terlebih dahulu dengan lingkungan yang baru dan pemulihan pada bagian tubuh yang terluka akibat pemotongan, setelah beberapa waktu baru dapat tumbuh dengan perlahan dan stabil. Keempat jenis lainnya yaitu dari jenis H. pinifolia, E. acoroides, C. serrulata dan C. rotundata mengalami penurunan yang drastis, hal ini diduga karena ketiga jenis ini tidak mampu beradaptasi dengan perlakuan penanaman dan menjadikan perlakuan ini sebagai tekanan yang menjadi penghambat perkembangan hidupnya. Secara umum dapat dikatakan keempat jenis lamun ini kurang tepat untuk dilakukan transplantasi dengan metode Plugs. Unit Unit Transplantasi Minggu ke- Thalassia hemprichii Halodule uninervis Cymodocea rotundata Jumlah Tegakan Jumlah Daun Unit Minggu ke- Lembar Minggu ke- Gambar 14. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun di Pulau Kelapa Dua

60 46 Hasil yang didapatkan pada Pulau Kelapa Dua agak sedikit berbeda dengan Pulau Pramuka, seperti dilihat pada Gambar 14 jenis lamun H. uninervis memiliki pertumbuhan tegakan dan daun yang tertinggi. Walaupun pada tiga minggu pertama pengamatan jenis ini menurun cukup drastis tiap minggunya, namun pada pengamatan terakhir mengalami peningkatan. Hal ini diduga akibat jenis lamun H. uninervis membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi dengan lingkungan dan perlakuan penanaman agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Jenis T. hemprichii memiliki pertumbuhan unit transplantasi yang berfluktuatif dari awal pengamatan hingga mengalami peningkatan pada minggu ke dua belas. Jika dilihat dari pertumbuhan tegakan dan daun dapat dikatakan pertumbuhan jenis ini meningkat sedikit demi sedikit sehingga dapat dikatakan jenis ini cukup berhasil dilakukan transplantasi. Walaupun T.hemprichii memiliki jumlah unit transplantasi yang lebih tinggi dari H. uninervis, namun jumlah tegakan dan jumlah daun lebih rendah. Hal ini diduga karena morfologi tubuh H. uninervis yang tipis dan memanjang ke atas sehingga kerapatan tumbuh lebih tinggi. Sedangkan pada jenis T. hemprichii memiliki daun yang lebih lebar dan merunduk kesamping. Dapat dilihat pula pada minggu ke-3 dan 4 suatu pola pertumbuhan pada H. uninervis yang menurun dapat meningkatkan pertumbuhan dari jenis C. serrulata, begitu juga sebaliknya Laju pertumbuhan lamun transplantasi Pengukuran pertumbuhan lamun yang dilakukan pada penelitian ini berupa pertumbuhan panjang daun. Pertumbuhan panjang yang dimaksud disini adalah selisih panjang daun yang tumbuh antara waktu penandaan awal dan penandaan akhir pada interval waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari sebanyak tiga kali pengulangan (empat minggu pengukuran) yang dapat disebut pertumbuhan mutlak. Pengukuran pertumbuhan daun selain dibedakan atas jenis lamun, juga digolongkan berdasarkan kelompok umur yaitu daun muda, daun sedang dan daun tua. Daun muda adalah daun baru, yang tumbuh setelah tahap penandaan. Umumnya daun berwarna hijau muda, tipis dan kondisi ujung daun yang masih utuh dan tidak rusak akibat gangguan dari luar seperti dimakan oleh konsumer

61 47 atau patah karena aktifitas manusia. Daun sedang merupakan daun yang tumbuh saat penandaan berada dibagian tengah dari kumpulan daun dan memiliki daun yang lebih tebal, berwarna hijau dan ujung daun yang juga masih utuh belum terkena gangguan dari lingkungan seperti daun muda. Sedangkan daun tua adalah daun yang berada paling luar dari kumpulan daun pada tiap tunas. Daun tua melindungi daun yang lebih muda dengan seludangnya. Pada beberapa tegakan yang teramati di lapangan, daun tua terlihat meluruh. Tabel 12 menyajikan kisaran pertumbuhan panjang daun dari beberapa jenis lamun di Pulau Pramuka. Pada Pulau Pramuka terdapat dua jenis lamun yaitu T. hemprichii dengan pertumbuhan daun muda, sedang, dan tua secara berturut-turut adalah 2,64 mm/hari; 1,89 mm/hari; 1,78 mm/hari dan C. rotundata yaitu 1,00 mm/hari; 1,01mm/hari. Tidak didapatkan data pertumbuhan rata-rata daun tua untuk jenis C. rotundata. Pada T. hemprichii pertumbuhan terbesar sampai terkecil secara berturut-turut terjadi pada daun muda, daun sedang dan terakhir daun tua. Hal ini disebabkan daun muda cepat untuk mencapai ukuran yang stabil dan tahan terhadap tekanan lingkungan. Sedangkan pada jenis C. rotundata tidak didapatkan perbedaan hasil pengukuran pertumbuhan pada daun muda sedang dan tua yang signifikan. Hal ini disebabkan pengukuran daun muda yang tidak diketahui waktunya dengan pasti dan pertumbuhan daun tua yang tidak tercatat Hal ini disebabkan oleh antara lain konsumer yang memakan daun sehingga panjang awal lebih panjang dari pada panjang akhir dan pertumbuhan daun yang tidak sempat dicatat sudah meluruh dan terlepas dari seludangnya. Tabel 12. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Pramuka (mm/hari) Jenis Laju Pertumbuhan Daun (mm/hari) Daun Muda Kisaran Daun Sedang Kisaran Daun Tua Kisaran Thalassia hemprichii 2,64 1,03-3,80 1,89 0,76-3,03 1,78 0,77-1,74 Cymodoceae rotundata 1,00 0,79-1,59 1,01 0,69-1,33 Pada Tabel 13 dapat dilihat terdapat tiga jenis lamun transplantasi di Pulau Kelapa Dua yaitu T. hemprichii dengan rata-rata pertumbuhan daun muda, sedang dan tua secara berturut-turut adalah 3,30 mm/hari; 4,36 mm/hari; 2,08

62 48 mm/hari, kemudian C. rotundata adalah 1,40 mm/hari; 3,30 mm/hari; 1,88 mm/hari, serta H. uninervis yaitu 2,54 mm/hari; 3,91 mm/hari; 1,00 mm/hari. Tabel 13. Laju pertumbuhan lamun transplantasi di Pulau Kelapa Dua (mm/hari) Jenis Laju Pertumbuhan Daun (mm/hari) Daun Muda Kisaran Daun Sedang Kisaran Daun Tua Kisaran Thalassia hemprichii 3,30 1,29-4,11 4,36 2,39-10,27 2,08 2,36-3,49 Cymodoceae rotundata 1,40 0,94-2,20 3,30 2,01-4,20 1,88 1,40-2,61 Halodule uninervis 2,54 1,30-3,67 3,91 2,67-5,15 1,00 0,39-1,07 Panjang pertumbuhan daun lamun transplantasi lebih tinggi di Pulau Kelapa Dua karena beberapa faktor, diantaranya: (1) Nutrien menjadi faktor pembatas (penentu) pertumbuhan lamun. Kandungan nutrien dalam sedimen pada Pulau Kelapa Dua sedikit lebih besar dari pada Pulau Pramuka di lihat dari nilai kandungan C-organik sedimen sehingga pertumbuhan daun lamun lebih optimal sebab kebutuhan akan nutrisi dari substrat terpenuhi, nutrien pada kolom perairan juga menunjukan hasil yang sama yakni Pulau Kelapa Dua memiliki kandungan nitrat yang lebih tinggi; (2) Ukuran partikel substrat pada Pulau Pramuka memiliki kandungan partikel pasir yang lebih besar sehingga energi yang dikeluarkan untuk menancapkan akar kedalam substrat tidak sebesar pada Pulau Kelapa Dua. Ukuran partikel pasir yang besar dan beragam membuat akar perlu ekstra kuat mempertahankan diri dalam substrat. Ditambah lagi kecepatan arus pada Pulau Pramuka lebih besar. Oleh karena itu, hasil metabolisme lamun di Pulau Pramuka selain digunakan untuk pertumbuhan juga dipakai untuk ekstensif sistem perakaran ke dalam substrat. Menurut Badria (2007), kecepatan tumbuh pada daun muda lebih cepat dari pada kategori umur daun lainya, hal ini diduga disebabkan pada daun muda lebih cepat tumbuh untuk mencapai kondisi stabil karena struktur jaringan daun muda belum sepenuhnya beradaptasi dengan lingkungan laut dilihat dari masih tipisnya daun lamun. Lain halnya dengan daun berumur sedang yang telah mencapai tahap stabil. Struktur daun yang tebal dan kaku mampu bertoleransi terhadap salinitas yang tinggi dan menjalankan fungsinya menyerap nutrien dari kolom air. Adapun daun tua karena sudah mendekati fase peluruhan, laju pertumbuhan daunnya cenderung lambat. Namun pada penelitian ini, daun

63 49 muda tidak memiliki nilai pertumbuhan tertinggi. Hal ini disebabkan oleh waktu pertumbuhan yang tidak dalam kurun waktu yang pasti seperti yang ditentukan (tujuh hari). Daun muda merupakan daun baru yang tumbuh setelah tahap penandaan, sehingga tidak diketahui kapan waktu pasti daun ini tumbuh karena tidak ditandai. Namun nilai pertumbuhan masih lebih tinggi dari daun tua yang sudah mengalami perlambatan pertumbuhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azkab dan Kiswara (1994) in Rohmimohtarto dan Juwana (2001) di Teluk Kuta, Lombok laju pertumbuhan lamun alami jenis T. hemprichii pada daun muda dan tua secara berturut-turut sebesar 4,51 mm/hari dan 4,06mm/hari, dan jenis C. rotundata sebesar 8,69 mm/hari dan 4,11 mm/hari. Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan lamun transplantasi di kedua pulau nilai ini lebih tinggi, karena energi lebih banyak digunakan untuk bertahan hidup sehingga perlakuan transplantasi dapat mengurangi kemampuan tumbuhan lamun untuk tumbuh sehingga nilai laju pertumbuhannya menjadi lebih kecil. 4.5 Pengelolaan Kawasan Lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua Pengelolaan ekosistem lamun sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekologis ekosistem, sehingga kelestarian sumberdaya lamun tetap terjaga. Selain itu pengelolaan ekosistem lamun diperlukan untuk mengendalikan kerusakan ekosistem lamun di Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua yang semakin meningkat akibat pembangunan dan aktifitas kependudukan. Cara yang paling efektif untuk pengelolaan lamun adalah dengan mencegah terjadinya kerusakan yang semakin memburuk dibandingkan dengan daya pulih alam itu sendiri untuk mencapai keseimbangan. Oleh karena itu campur tangan manusia perlu dilakukan agar mempercepat proses pulih diri tersebut terhadap ekosistem lamun dengan transplantasi lamun. Menurut Kiswara (2009), sebelum melaksanakan kegiatan transplantasi lamun dilakukan pemberitahuan, penjelasan tujuan kegiatan dan izin kepada semua tingkat aparat pemerintahan mulai desa (kelurahan) sampai dengan kabupaten (BAPPEDA) untuk menjamin keselamatan areal rehabilitasi dari kegiatan pengurugan pantai selama kegiatan berlangsung. Penjelasan kepada nelayan yang mengoperasikan alat tangkapnya untuk tidak bekerja di areal

64 50 tersebut. Mengajak serta nelayan dan penduduk di kawasan pesisir dalam kegiatan transplantasi lamun untuk memberikan pengetahuan teknik tranplantasi lamun. Pengelolaan ekosistem lamun secara terpadu yang berbasis masyarakat (Community Based Management) sangat diperlukan untuk pengelolaan lamun di kedua pulau penelitian, hal ini disebabkan pulau-pulau ini merupakan pulau pemukiman yang cukup padat, dan masyarakatnya sebagai penyumbang kerusakan terbesar. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya ekosistem lamun bagi kehidupan masyarakat setempat dimasa depan. Pemberdayaan masyarakat dalam mencegah terjadinya kerusakan serta melakukan rehabilitasi kawasan lamun yang mengalami kerusakan perlu dilakukan agar terjadi keberlanjutan proses peremajaan kawasan. Upaya yang dilakukan antara lain: melakukan pelatihan dan bimbingan moral kepada masyarakat, serta sosialisasi mengenai arti penting ekosistem lamun bagi kehidupan manusia maupun kelestarian lingkungan pesisir. Selain itu peningkatan sarana dan prasarana yang menunjang dalam pengelolaan limbah sangat diperlukan agar pembuangan limbah tidak mencemari perairan. Kemudian pelatihan transplantasi lamun pada kawasan yang mengalami kerusakan. Pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan ini perlu dilakukan oleh pemerintah setempat atau pemangku kepentingan agar terjadi keberlanjutan sehingga kegiatan ini dapat berhasil.

65 51 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada perairan Pulau Pramuka terdapat 6 jenis lamun yaitu Cymodoceae rotundata, Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, Halophila pinifolia. Secara umum kondisi komunitas lamun di Pulau Pramuka termasuk kriteria miskin dengan rata-rata penutupan 22,38% dengan komposisi jenis dan frekuensi jenis terbesar yaitu T. hemprichii sebesar 7,27% dan 0,82. Hal ini menandakan lamun jenis T. hemprichii menyebar dengan rata di lokasi pengamatan dan dalam penutupan yang besar. Pada Pulau Kelapa Dua ditemukan 5 jenis lamun yaitu C. rotundata, C. serrulata, H.uninervis, E. acoroides, T. hemprichii, dan H. ovalis. Komunitas lamun di pulau ini tergolong miskin dengan rata-rata penutupan 11,12% dengan komposisi jenis dan frekuensi jenis terbesar secara berturut-turut adalah H. uninervis sebesar 7,47% dan T. hemprichii sebesar 0,94. H. uninervis ditemukan dalam jumlah besar namun sebarannya tidak merata, sedangkan T. hemprichii memiliki sebaran yang merata dengan penutupan yang lebih rendah. Tingkat keberhasilan transplantasi lamun tertinggi dicapai oleh jenis lamun T. hemprichii pada Pulau Pramuka dan H. uninervis pada Pulau Kelapa Dua, yang dapat hidup dan berkembang dengan baik pada perlakuan transplantasi metode Plugs. Sedangkan lamun jenis lainnya seperti H. pinifolia, C. rotundata,, E. acoroides dan C. serrulata kurang berhasil dilihat dari penurunan jumlah individu yang cukup drastis setiap minggunya. Laju pertumbuhan di Pulau Kelapa Dua lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Pramuka yakni dapat dilihat dari laju pertumbuhan jenis lamun T. hemprichii pada daun muda, sedang dan tua secara berturut-turut pada pulau Kelapa Dua 3,30 mm/hari; 4,36 mm/hari; 2,08 mm/hari dan pada Pulau Pramuka yaitu 2,64 mm/hari; 1,89 mm/hari; 1,78 mm/hari. Hal ini sangat erat kaitannya dengan kondisi nutrien baik di kolom perairan maupun yang terkandung di substrat, serta kondisi lingkungan perairan yang mendukung pertumbuhan lamun.

66 Saran Diperlukan campur tangan pemerintah dan pengelola kawasan dalam mewujudkan peran serta masyarakat setempat untuk terlibat langsung dalam pengelolaan ekosistem lamun, seperti sosialisasi mengenai peran penting lamun bagi masyarakat serta pelatihan transplantasi lamun dan pemeliharaannya yang dapat menunjang terciptanya pengelolaan lamun berbasis masyarakat. Perlu diadakannya penelitian lanjutan mengenai transplantasi lamun dengan metode lain yang lebih efektif dan dapat diterapkan pada jenis lamun lainnya.

67 53 DAFTAR PUSTAKA Azkab MH Pertumbuhan dan produksi lamun Enhalus acoroides (L.f) Royle di rataan terumbu Pulau Pari, Kepulauan Seribu. p In : Moosa MK, Praseno DP & Sukarno (eds.). Teluk Jakarta : Biologi, budidaya, oseanografi, geologi dan kondisi perairan. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. Azkab MH. 1999a. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun di Teluk Kuta Lombok p :26. In: Soemadihardjo S, Arinardi OH & Aswandy I (eds.). Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. Azkab MH. 1999b. Petunjuk penanaman lamun. In: Ruyitno, Rositasari R & Fahmi (eds.). Oseana : Majalah ilmiah semi populer, XXIV(3): Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. Azkab MH Status sumberdaya padang lamun di Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat. p In: Ruyitno (Editor). Status sumberdaya laut Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Jakarta. Azkab MH Modul lamun : Pedoman inventarisasi lamun. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta. 19 hlm. Badria S Laju pertumbuhan daun lamun (Enhalus acoroides) pada dua substrat yang berbeda di Teluk Banten [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 94 hlm. [BTNKpS] Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu Inventarisasi padang lamun di Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jakarta. 44 hlm. Brouns JJWM & Heijs FML Tropical seagrass ecosystem in Papua New Guinea a general account of the environment, Marine Flora and Fauna. Proc. K. Ned. AKAD. Wetnsch C88 : Brower JE, Zar JH & von Ende CN Field and laboratory methods for genera ecology fourth edition. McGraw-Hill Publications. Boston, USA. xi + 273p. Dahuri R Keanekaragaman hayati laut: Aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. xxxiii + 412p. Dawes CJ Marine botany. A Wiley-Interscience Publication. Canada, USA. p Dwintasari F Hubungan ekologis sumberdaya lamun (seagrass) terhadap kelimpahan ikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi].

68 54 Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 72 hlm. Effendi H Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius. Yog.yakarta. p Foncesa MS & Calumpong HP Seagrass transplantation and other seagrass restoration methods. Chapter 22, p.427. in : Short FT & Coles RG (eds.). Global seagrass research methods. Elsevier Science BV. Amsterdam. Hemminga MA & Duarte CM Seagrass ecology. Cambridge University. Press. Cambridge. 498p. Hutomo M & Soemodihardjo S Prosiding lokakarya nasional penyusunan program penelitian biologi kelautan dan proses dinamika pesisir. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Universitas Diponegoro. Hutomo H Padang lamun Indonesia : salah satu ekosistem laut dangkal yang belum banyak dikenal. Puslitbang Oseanologi-LIPI. Jakarta. 35 pp. Hutomo H Kebijakan, strategi dan rencana aksi pengelolaan ekosistem lamun di Indonesia. Prosiding lokakarya nasional I pengelolaan ekosistem lamun Peran ekosistem lamun dalam produktifitas hayati dan meregulasi perubahan iklim. Jakarta. 18 November Kawaroe M Perspektif lamun sebagai blue carbon sink di laut. Prosiding lokakarya nasional I pengelolaan ekosistem lamun Peran ekosistem lamun dalam produktifitas hayati dan meregulasi perubahan iklim. Jakarta. 18 November Kesuma AM Struktur komunitas lamun di perairan pantai Pulau Burung, Kepulauan Seribu [skripsi]. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 57 hlm. Kementrian Lingkungan Hidup Keputusan menteri lingkungan hidup nomor 51 tentang baku mutu air laut. Jakarta. Kementrian Lingkungan Hidup Salinan keputusan menteri lingkungan hidup nomor 200 tentang kriteria baku kerusakan dan pedoman penentuan status padang lamun. Jakarta. Kiswara W Vegetasi lamun (seagrass) di rataaan terumbu Pulau Pari, Pulau-Pulau Seribu, Jakarta. Pewarta Oceana 25: Pusat Penelitian Oseanografi LIPI. Kiswara W Kondisi padang lamun (seagrass) di Teluk Banten Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

69 55 Kiswara W Perspektif lamun dalam produktifitas hayati pesisir. Prosiding lokakarya nasional I pengelolaan ekosistem lamun Peran ekosistem lamun dalam produktifitas hayati dan meregulasi perubahan iklim. Jakarta. 18 November Krebs CJ Ecology: The experimental analysis of distribution and abundance. Harper and Row Publication. New York. 654p. Kumoro ED Transplantasi lamun Enhalus acoroides (L.f.) Royle di Perairan Teluk Banten. [skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 69 hlm, Kuriandewa TE Tinjauan tentang lamun di Indonesia. Prosiding lokakarya nasional I pengelolaan ekosistem lamun Peran ekosistem lamun dalam produktifitas hayati dan meregulasi perubahan iklim. Jakarta. 18 November McKenzie LJ & Yoshida RL Seagrass-watch: Proceedings of a workshop for monitoring seagrass habitats in Indonesia. The Nature Concervancy, Coral Triangle Center, Sanur, Bali, 9th May Meinar L Kajian keseimbangan ekologis sumberdaya lamun (seagrass) bagi pengembangan ekowisata bahari di Pulau Pramuka, Taman Nasional Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 128 hlm. Nontji A Laut nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. vii hlm. Nontji A Pengelolaan dan rehabilitasi lamun. Prosiding lokakarya nasional I pengelolaan ekosistem lamun Peran ekosistem lamun dalam produktifitas hayati dan meregulasi perubahan iklim. Jakarta. 18 November Phillip RC & Menez EG Seagrasses. Smitsinion, Smithsonian Institution Press. Washington D.C. p Rohmimohtarto K & Juwana S Biologi laut: Ilmu pengetahuan tentang biota laut. Djambatan. Jakarta. xii + 540p. Short FT & Coles RG (eds) Global seagrass research methods. Elsevier Science BV. Amsterdam. Short FT, Short CA & Burdick-Whitney LC A manual for community-based eelgrass restoration. University of New Hampshire. New Hampshire. p. 56.

70 56 Wibisono MS Pengantar Ilmu Kelautan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Wood EM Subtidal Ecology. Edward Arnold Publisher. London. p. 122.

71 57

72 58 Lampiran 1. Prosedur kerja pengukuran kualitas air a. Pengukuran DO 1. Pindahkan air sampel ke dalam botol BOD sampai meluap, tutup kembali dan jangan sampai terbentuk gelembung 2. Tambahkan 0,5 ml Sulfamic Acid dengan pipet ke dalam air sampel, tutup botol BOD tersebut lalu aduk dengan cara membolak-balikan botol 3. Tambahkan 1 ml MnSO 4 dan 1 ml NaOH+KI ke dalam air sampel, kemudian tutup dan aduk botol dengan cara yang sama. Biarkan beberapa saat hingga endapan coklat terbentuk di dasar botol BOD secara sempurna. 4. Lalu tambahkan 1 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati, aduk dengan cara yang sama hingga semua endapan terlarut. 5. Ambil 25 ml air dari botol BOD dengan pipet mohr atau gelas ukur, masukkan ke dalam erlenmeyer dan usahakan jangan terjadi aerasi. 6. Titrasi dengan Na2S2O3 hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua kekuning muda, kemudian tambahkan indikator amylum 2-3 tetes hingga terbentuk warna biru dan lanjutkan titrasi hingga warna biru hilang. DO = ml titran x Normalitas thiosulfat x 8 x 1000 ml sampel (ml botol BOD ml reagen terpakai ) ml botol BOD b. Pengukuran Nitrat 1. Saring sebanyak ml air sampel dengan kertas saring Whatman No.42 atau yang setara. 2. Pipet 5 ml air sampel yang telah disaring, masukkan ke dalam gelas piala. 3. Tambahkan 0,5 ml Brucine, aduk. 4. Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat (gunakan ruang asam), aduk. 5. Buat larutan blanko dari 5 ml akuades, lakukan prosedur 3 dan Buat larutan standar nitrat dengan konsentrasi 0,025; 0,05; 0,10; 0,25; 0,50; 0,75; 1, Dengan larutan blanko dan pada panjang gelombang 410 nm, set spektofotometer pada 0,000 absorbance, kemudian ukur sampel dan larutan standar.

73 59 Lampiran 1. (lanjutan) 8. Buat persamaan regresi dari larutan standar untuk menentukan kadar nitrat air sampel. c. Pengukuran Ortofosfat 1. Persiapan peralatan gelas dan filter. Semua wadah dan peralatan yang akan digunakan harus benar-benar bersih, bebas dari kontaminasi P. 2. Saring ml air sampel dengan millipore (0,45 µm), atau glass fibre filter atau yang setara, gunakan vacuum pump. 3. Pipet sebanyak 25 ml sampel tersaring. 4. Tambahkan 1 ml Ammonium molybdate, aduk. 5. Tambahkan 5 tetes SnCl 2, aduk diamkan (10 menit). 6. Buat larutan blanko dari 25 ml akuades, lakukan prosedur 3 dan Buat larurtan standar ortofosfat dengan konsntrasi : 0,01; 0,05; 0,10; 0,25; 0,50; 0,75; dan 1,00 ppm-p. 8. Setelah didiamkan 10 menit dan sebelum 12 menit, ukur air sampel dan larutan standar dengan spektofotometer pada panjang gelombang 690 nm. 9. Buat persamaan regresi atau grafik untuk menentukan kadar ortofosfat air sampel.

74 Lampiran 2. Standar pengukuran persentase penutupan lamun dan algae 60

75 61 Lampiran 3. Baku mutu air laut untuk biota laut (Kepmen LH no.51 tahun 2004) No. Parameter Satuan Baku Mutu FISIKA 1. Kecerahan a m Kebauan Kekeruhan a Padatan tersuspensi total b Sampah Suhu c Lapisan minyak 5 - NTU mg/l - 0C - coral: >5 mangrove: - lamun: >3 alami 3 <5 coral: 20 mangrove: 80 lamun: 20 nihil 1(4) alami 3(c) coral: mangrove: lamun: nihil 1(5) KIMIA ph d Salinitas e Oksigen terlarut (DO) BOD5 Ammonia total (NH 3-N) Fosfat (PO 4-P) Nitrat (NO 3-N) Sianida (CN - ) Sulfida (H 2S) PAH (Poliaromatik hidrokarbon) Senyawa Fenol total PCB total (poliklor bifenil) Surfaktan (deterjen) Minyak & lemak Pestisida TBT (tributil tin) 7 Logam Terlarut Raksa (Hg) Kromium hesavalen (Cr(VI)) Arsen (AS) Kadmium (Cd) tembaga (Cu) Timbal (Pb) Seng (Zn) Nikel (Ni) - 0 / 00 mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l µg/l mg/lmbas mg/l µg/l µg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l 7-8,5 (d) alami 3(e) coral: (e) mangrove: s/d 34 (e) lamun: (e) >5 20 0,3 0,015 0,008 0,5 0,01 0,003 0,002 0, ,01 0,01 0,001 0,005 0,012 0,001 0,008 0,008 0,05 0, BIOLOGI Coliform (total) g Patogen Plankton MPN/100 ml sel/100 ml sel/100 ml 1000 (g) nihil 1 tidak bloom 5 1. RADIO NUKLIDA Komposisi yang tidak diketahui Bq/l 4

76 62 Lampiran 3. (lanjutan) Catatan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan). 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). 4. Pengamatan oleh manusia (visual ). 5. Pengamatan oleh manusia (visual ). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis (thin layer ) dengan ketebalan 0,01mm. 6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri. 7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal. a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi ratarata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 o C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan ph e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi ratarata musiman

77 63 Lampiran 4. Peta sebaran unit transplantasi di Pulau Pramuka (Thalassia hemprichii, Halodule pinifolia, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, dan Cymodocea serulata) Lampiran 5. Peta sebaran unit transplantasi di Pulau Kelapa Dua (Thalassia hemprichii, Halodule uninervis dan Cymodocea rotundata)

78 55 Lampiran 6. Data struktur komunitas lamun di Pulau Pramuka Stasiun Quadrat Kedalaman (cm) % Penutupan Lamun % Komposisi Spesies Lamun Cr Cs Ea Th Ho Hp Tinggi Kanopi (cm) % Penutupan Epifit 1 (0m) (5m) ,3 1 3 (10m) ,3 1 4 (15m) (20m) , , (25m) (30m) , (35m) 64 0,5 0, ,5 5 9 (40m) , (45m) 67 0, , , (50m) ,7 12 Rata-rata 63,09 6,64 2,11 0,00 0,00 4,43 0,09 0,00 6,50 11,09 1 (0m) , (5m) , , , (10m) , , , (15m) ,5 4, ,7 9 5 (20m) , (25m) (30m) ,5 1,4 0, (35m) (40m) , ,2 0 15, (45m) , (50m) 82 0, , ,3 8 Rata-rata 75,00 23,68 12,48 0,49 0,87 9,09 0,75 0,00 12,55 16,55 1 (0m) , (5m) ,7 4 3 (10m) (15m) ,3 1 5 (20m) (25m) ,5 0 7,5 14,7 6 7 (30m) , , (35m) ,25 0 6,25 1,25 11,25 9, (40m) ,5 7,5 9, (45m) ,5 0,5 2 7, (50m) ,7 25 Rata-rata 84,64 36,82 5,86 12,57 3,45 8,30 0,89 5,75 13,62 9,45 Rata-Rata Total 74,24 22,38 6,82 4,35 1,44 7,27 0,58 1,92 10,89 12,36 64

79 56 Lampiran 7. Data struktur komunitas lamun Pulau Kelapa Dua Stasiun Quadrat Kedalaman (cm) % Penutupan Lamun % Komposisi Spesies Lamun Cr Cs Ea Th Ho Hp Tinggi Kanopi (cm) % Penutupan algae % Penutupan Epifit 1 (0m) , , (5m) , (10m) , , , (15m) , (20m) 67 0, , , (25m) , (30m) , (35m) , (40m) , (45m) (50m) , Rata-Rata 61,73 18,77 1,91 0,00 0,00 3,91 0,32 12,64 12,88 0,00 29,45 1 (0m) 60 0, , , (5m) 59 0, , , (10m) 61 0, , , (15m) (20m) (25m) , (30m) , (35m) (40m) , (45m) ,5 0 1, (50m) ,3 0 0 Rata-Rata 70,73 3,06 0,27 0,27 0,00 2,20 0,18 0,14 6,81 0,00 10,36 1 (0m) , (5m) 64 0, ,3 0,2 0 2, (10m) , (15m) , (20m) , (25m) , (30m) , (35m) , (40m) 73 0, , (45m) , (50m) , Rata-Rata 75,82 11,52 0,00 0,00 0,00 1,32 0,56 9,64 10,05 1,00 34,27 Rata-Rata Total 69,42 11,12 0,73 0,09 0,00 2,48 0,35 7,47 9,92 0,33 24,70 65

80 66 Lampiran 8. Data keberhasilan transplantasi lamun metode Plugs di Pulau Pramuka No. Jenis Plug 1-Mar 15-Mar 21-Mar 27-Mar 21 Mei 21 Mei PK 1 Thalassia hemprichii Halodule pinifolia Cymodocea rotundata Enhalus acoroides Cymodocea serulata No. Jenis Tegakan 1 Thalassia hemprichii Halodule pinifolia Cymodocea rotundata Enhalus acoroides Cymodocea serulata No. Jenis Daun 1 Thalassia hemprichii Halodule pinifolia Cymodocea rotundata Enhalus acoroides Cymodocea serulata Lampiran 9. Data keberhasilan transplantasi lamun metode Plugs di Pulau Kelapa Dua No. Jenis Plug 27-Feb 13-Mar 20-Mar 27-Mar 23 Mei 1 Thalassia hemprichii Halodule uninervis Cymodocea rotundata No. Jenis Tegakan 1 Thalassia hemprichii Halodule uninervis Cymodocea rotundata No. Jenis Daun 1 Thalassia hemprichii Halodule uninervis Cymodocea rotundata

81 67 Lampiran 10. Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Pramuka Stasiun Substasiun Biomas basah (grm/m 2 ) Biomas Kering (grm/m 2 ) Atas Bawah Atas Bawah 111 4,656 5,9376 0,8187 6, ,6705 2,4300 0,1964 2, ,8554 1,3906 0,4246 1, ,0063 0,7508 0,0042 0, ,0048 0,0418 0,0038 0, ,0837 0,0675 0,2554 0, ,3787 9,469 0, ,2303 Rata-rata 33, , , , ,1421 3,2539 0,4167 3, ,8326 0,3036 0, , ,0675 0,7201 0, ,2973 0,3164 0,4414 0, , , ,3357 Rata-rata 17, , ,7935 5, , ,5813 1, , ,2280 6,5955 1,8009 2, ,1327 4,2441 1,1582 1, ,8775 5,4304 0,1121 1, ,4372 1,5328 1,6331 0, ,9692 4,6451 0,1613 1, ,1392 0,1617 0,5102 0, , ,4990 5, , Rata-rata 246, , , ,1202 Total rata-rata 104, , , ,0504

82 68 Lampiran 11. Data biomasa basah dan kering lamun di Pulau Kelapa Dua Stasiun Substasiun Biomas basah (grm/m 2 ) Biomas Kering (grm/m 2 ) Atas Bawah Atas Bawah 111 0,1800 0,1733 0,0730 0, ,0369 0,0890 0,0284 0, ,8989 2,0209 0,6367 0, ,4019 6,8585 0,4686 2, ,5767 0,3259 0,1854 0, ,0874 0,6224 0,0242 0, ,3852 2,1268 0,5099 0, ,6465 1,8253 0,2825 0, ,2987 5,2869 0,3921 2, ,2256 7,7322 0,4490 4, , ,1723 0,7187 4, Rata-rata 23, , , , ,0492 0,1462 0,0308 0, ,9551 6,9157 0,7667 3, ,5433 4,7430 0,4502 2, ,6095 0, ,1015 0,5544 0,0343 0, , ,2779 0,1793 4, , ,6314 0, , ,2017 5,2075 0,4385 2, ,3718 0,8520 0,1256 0, Rata-rata 16, , ,8172 6, ,6048 0, ,3857 8,8406 1,2605 5, ,3848 1,0043 0,1040 0, ,1086 0,2805 0,0606 0, ,0036 0,0999 0,0026 0, ,0089 0,1579 0,0059 0, ,8188 0, Rata-rata 33, , , ,4737 Total Rata-rata 28, ,6305 9, ,7147

83 69 Lampiran 12. Data pertumbuhan daun lamun di Pulau Pramuka TAG Jenis Panjang Daun I II III Pertumbuhan Rata-rata total Pertumbuhan rata2 daun utuh 17 Thalassia hemprichii 4,14 6,26 3,07-0,535 2,12 4,96 6,7 2,62-1,17 1,74 2,58 2,99 3,64 0,53 0,41 Cymodocea rotundata 3,63 4,11 4,50 0,435 0,48 4,12 0,72 2,66 5 Cymodocea rotundata 5,97 4,85 0,55-2,71 1,51 2,44 0,44 1,11 19 Enhalus acoroides 23,77 16,02-7,75 23,28 18,33-4,95 5,83 14 Thalassia hemprichii 3,85 1,15 2,38-0,735 1,23 5,65 3,24 4,01-0,82 0,77 1,83 2,16

84 70 Lampiran 13. Data pertumbuhan daun lamun di Pulau Kelapa Dua TAG Spesies Panjang Daun Pertumbuhan Pertumbuhan I II III Rata-rata total rata2 daun utuh 4 Thalassia hemprichii 2,31 3,34 6,56 2,125 2,125 2,51 2,13 1,91-0,3 4,02 4,3-4,02 1,66 4,43 2,77 2,77 5 Cymodocea rotundata 2,72 4,76 7,43 2,355 2,355 5,64 8,58 5,36-0,14 2,94 11,61 12,59 0,98 0,98 0,66 0,66 0,66 Thalassia hemprichii 6,41 5,76 1,16 7,76 13 Thalassia hemprichii 7,29 2,76 8,55 12,61 2,03 2,03 5,83 10,76 2,465 2,465 0,9 0,9 9 Cymodocea rotundata 7,64 9,47 6,13-0,755 1,83 2,51 8,68 9,24 3,365 3,365 1,88 2,25 4,69 1,405 1, Cymodocea rotundata 2,41 3,9 1,49 1,49 2,19 5,02 6,16 1,14 1,51 2,25 1,125 0,74 1,54 1,54 6 Halodule uninervis 7,45 8,1 7,2-0,125 4,66 1,92 4,55 2,275 2,63 0,91 0,91 13 Thalassia hemprichii 2,54 5,89 13,15 5,305 7,26 1,27 2,02 6,16 2,445 2,445 1,92 1,45 5,22 1,65 1 Halodule uninervis 8,53 9,28 7,8-0,365 0,75 6,58 1,87-4,71 3,63 6,86 9,11 2,74 2,74 1,79 1,79 Thalassia hemprichii 12,62 8,81 10,87 2,06 2,06 1,75 5,8 6,56 2,405 2,405 1,11 1,11 2,56 2,56 11 Thalassia hemprichii 7,91 9,58 1,67 1,67 2,44 6,75 2,71-4,04 3,31 7,7 4,39 4,39 3 Thalassia hemprichii 2,17 5,51 7,56 2,05 2,05 2,16 5,79 3,63 3,63 4,06 2,88 2,88

85 71 Lampiran 14. Foto kegiatan penelitian Kawasan transplantasi Pulau Pramuka Kawasan transplantasi Pulau Kelapa Dua Pengamatan lamun di Pulau Pramuka Pengamatan lamun di Pulau Kelapa Dua Penandaan pada daun lamun Unit transplantasi metode Plugs Pengambilan sampel substrat Unit transplantasi yang siap ditanam dengan corer

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 17 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2008-Mei 2009 di Lokasi Rehabilitasi Lamun PKSPL-IPB Pulau Pramuka dan Pulau Kelapa Dua, Kepulauan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun Deskripsi lamun 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lamun 2.1.1 Deskripsi lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkunga laut; berpembuluh, berdaun, berimpang (rhizome), berakar,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-Oktober 2009 dalam kawasan rehabilitasi PKSPL-IPB di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau datar yang melintang di barat daya Laut Jawa dan memiliki ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Menurut Den Hartog (1976) in Azkab (2006)

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata 3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian laju pertumbuhan dan produksi lamun Cymodocea rotundata dan Cymodocea serrulata di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.000 pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km yang dilalui

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun ( Seagrass Deskripsi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lamun (Seagrass) 2.1.1. Deskripsi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (McKenzie & Yoshida 2009).

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

RIESNA APRAMILDA SKRIPSI

RIESNA APRAMILDA SKRIPSI STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN DAN KEBERHASILAN TRANSPLANTASI LAMUN PADA KAWASAN REHABILITASI DI PULAU PRAMUKA DAN HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA RIESNA APRAMILDA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI

AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI STATUS TEMPORAL KOMUNITAS LAMUN (SEAGRASS) DAN PERTUMBUHANNYA DENGAN BERBAGAI TEKNIK TRANSPLANTASI DALAM KAWASAN REHABILITASI DI PULAU HARAPAN, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AHMAD WIRA MUNAWAR KHOTIB SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 200 TAHUN 2004 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN STATUS PADANG LAMUN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun 2.2. Faktor Lingkungan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Padang Lamun Lamun merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mampu hidup terbenam dalam air di lingkungan perairan dekat pantai. Secara taksonomi, lamun termasuk ke dalam kelompok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi dan Peranan Lamun 2.1.1 Biologi Lamun Lamun (seagrass) termasuk dalam sub kelas monocotyledonae dan merupakan tumbuhan berbunga (kelas Angiospermae) (Yulianda 2002).

Lebih terperinci

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU KEPADATAN DAN BIOMASSA LAMUN Thalassia hemprichii PADA BERBAGAI RASIO C:N:P SEDIMEN DI PERAIRAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU SEMINAR KOMPREHENSIF Dibawah Bimbingan : -Dr. Sunarto, S.Pi., M.Si (Ketua Pembimbing)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009)

Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) LAMPIRAN Lampiran 1. Gambar Lembar Pengamatan yang digunakan (Mckenzie & Yoshida 2009) 59 Lampiran 2. Gambar pedoman penentuan penutupan lamun dan algae (McKenzie & Yoshida 2009) 60 61 Lampiran 3. Data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki jumlah pulau yang sangat banyak dan dilintasi garis khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. vegetatif. Rimpangnya merupakan batang yang beruas-ruas yang tumbuh BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Umum Tumbuhan Lamun Menurut Azkab (2006), lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang hidup dan tumbuh terbenam di lingkungan laut, berpembuluh,

Lebih terperinci

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS)

KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) KAJIAN EKOLOGIS EKOSISTEM SUMBERDAYA LAMUN DAN BIOTA LAUT ASOSIASINYA DI PULAU PRAMUKA, TAMAN NASIONAL LAUT KEPULAUAN SERIBU (TNKpS) Gautama Wisnubudi 1 dan Endang Wahyuningsih 1 1 Fakultas Biologi Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega-

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati membuat laut Indonesia dijuluki Marine Mega- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang melimpah. Tidak terkecuali dalam hal kelautan. Lautnya yang kaya akan keanekaragaman hayati membuat

Lebih terperinci

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 2, September 2013 Kerapatan dan Keanekaragaman Jenis Lamun di Desa Ponelo, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1,2 Nurtin Y.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Karakteristik dan Mofologi Lamun Lamun (seagrasses) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae), yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Lamun Lamun (seagrass) merupakan bentangan tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari klass angiospermae, tumbuhan air berbunga yang telah menyesuaikan diri hidup terbenam

Lebih terperinci

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang. seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vegetasi Lamun Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang seluruh siklus hidupnya terendam di dalam air dan mampu beradaptasi dengan salinitas cukup tinggi.

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-1, September 2012 ISSN: STRUKTUR KOMUNITAS DAN BIOMASSA RUMPUT LAUT (SEAGRASS) DI PERAIRAN DESA TUMBAK KECAMATAN PUSOMAEN 1 Idris Baba 2, Ferdinand F Tilaar 3, Victor NR Watung 3 ABSTRACT Seagrass community structure is the basic

Lebih terperinci

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK

JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA. Rinta Kusumawati ABSTRAK JENIS DAN KANDUNGAN KIMIAWI LAMUN DAN POTENSI PEMANFAATANNYA DI INDONESIA Rinta Kusumawati ABSTRAK Lamun merupakan tanaman laut berbentuk daun tegak memanjang dengan pola sebaran mengelompok pada substrat

Lebih terperinci

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU 1 BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA BERAKIT KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rudini, rudini1990@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan FIKP-UMRAH Arief Pratomo, ST, M.Si

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisika dan Kimia Perairan Kondisi parameter fiskia-kimia perairan secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi segala bentuk kehidupan organisme perairan.

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumber daya yang sangat tinggi. Nybakken (1988), menyatakan bahwa kawasan pesisir terdapat

Lebih terperinci

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat

PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat PENYUSUN Marindah Yulia Iswari, Udhi Eko Hernawan, Nurul D. M. Sjafrie, Indarto H. Supriyadi, Suyarso, Kasih Anggraini, Rahmat Album Peta Lamun 2017 Pusat Penelitian Oseanografi PENYUSUN Marindah Yulia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA

STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN (Seagrass) DI PERAIRAN PANTAI KAMPUNG ISENEBUAI DAN YARIARI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA YUSTIN DUWIRI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Rekayasa Teknologi Transplantasi Lamun pada Jenis Enhalus acoroides dan Thallassia hemprichii di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta Oleh : Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si Prof. Dr. Indra Jaya, M.Sc Ir. Indarto H.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Proses pengambilan sampel dilakukan di Perairan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta pada tiga

Lebih terperinci

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara

Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara Struktur Vegetasi Lamun di Perairan Pulau Saronde, Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Siti Rahmi A.R. Nusi, 2 Abdul Hafidz Olii, dan 2 Syamsuddin 1 s.rahmi.nusi@gmail.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI.

STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI. STRUKTUR KOMUNITAS, KEPADATAN DAN POLA DISTRIBUSI POPULASI LAMUN (SEAGRASS) DI PANTAI PLENGKUNG TAMAN NASIONAL ALAS PURWO KABUPATEN BANYUWANGI SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisika Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil pengamatan parameter fisik dan kimia di keempat lokasi pengambilan data (Lampiran 2), didapatkan hasil seperti tercantum

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai Desember 2013. Lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo

Lebih terperinci

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, Nomor 3, Desember 2013 Komposisi Jenis, Kerapatan Dan Tingkat Kemerataan Lamun Di Desa Otiola Kecamatan Ponelo Kepulauan Kabupaten Gorontalo Utara

Lebih terperinci

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING SEAGRASS PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Lamun 2.1.1 Ekosistem Padang Lamun Lamun (seagrass) merupakan satu-satunya tumbuhan berbunga (angiospermae) yang memiliki rhizoma, daun, dan akar sejati yang hidup

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar

Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Fluktuasi Biomassa Lamun di Pulau Barranglompo Makassar Supriadi Mashoreng Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10 Tamalanrea Makassar E-mail : supriadi112@yahoo.com

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI

KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI KOMPOSISI JENIS, KERAPATAN, KEANEKARAGAMAN, DAN POLA SEBARAN LAMUN (SEAGRASS) DI PERAIRAN TELUK TOMINI KELURAHAN LEATO SELATAN KOTA GORONTALO SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juli 2013 di Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Gambar 4). Dimana penelitian ini meliputi persiapan

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara Nikè: Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. Volume 1, mor 1, Juni 2013 Keanekaragaman Lamun di Perairan Sekitar Pulau Dudepo Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara 1.2 Meilan Yusuf, 2 Yuniarti Koniyo,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Sebaran Lamun Pemetaan sebaran lamun dihasilkan dari pengolahan data citra satelit menggunakan klasifikasi unsupervised dan klasifikasi Lyzenga. Klasifikasi tersebut

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Perairan Pulau Karya, Kepulauan Seribu yang dilaksanakan pada bulan September 2010 sampai dengan Juli 2011. Lokasi pengamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan air berbunga (anthophyta) yang 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi padang lamun Untuk menghindari kesalahpahaman antara lamun dan rumput laut, berikut ini disajikan istilah tentang lamun, padang lamun, dan ekosistem lamun (Azkab,

Lebih terperinci

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA

KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA KOMPARASI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI BANTAYAN KOTA DUMAGUETE FILIPINA DAN DI TANJUNG MERAH KOTA BITUNG INDONESIA (Comparison Of Community Structure Seagrasses In Bantayan, Dumaguete City Philippines And

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 22 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Karya, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Utara, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memegang peranan penting dalam mendukung kehidupan manusia. Pemanfaatan sumber daya ini telah dilakukan sejak lama seperti

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA

SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA 1 SEBARAN DAN BIOMASSA LAMUN DI PERAIRAN DESA MALANG RAPAT DAN TELUK BAKAU KABUPATEN BINTAN KEPULAUAN RIAU RUTH DIAN LASTRY ULI SIMAMORA ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA PROPOSAL PRAKTIK KERJA LAPANGAN BALAI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA STUDI STRUKTUR KOMUNITAS LAMUN DI PULAU KEMUJAN, KEPULAUAN KARIMUN JAWA Oleh: BAYU ADHI PURWITO 26020115130110 DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

II. TINJAUAN PUSTAKA. seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerang Hijau (Perna Viridis ) Kerang hijau (Perna virisis) memiliki nama yang berbeda di Indonesia seperti kijing, kaung-kaung, kapal kapalan, kedaung dan kemudi kapal. Menurut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau

Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Biomassa Padang Lamun di Perairan Desa Teluk Bakau Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau Dini Arifa 1, Arief Pratomo 2, Muzahar 2 Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826

KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 KONDISI PADANG LAMUN PULAU SERANGAN BALI Tyas Ismi Trialfhianty 09/286337/PN/11826 INTISARI Lamun merupakan ekosistem pesisir pantai yang berperan penting untuk menunjang ekosistem lainnya seperti terumbu

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com)

Gambar 11. Pembagian Zona UTM Wilayah Indonesia (Sumber: kampungminers.blogspot.com) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengolahan Data Citra 4.1.1 Koreksi Radiometrik dan Geometrik Penelitian ini menggunakan citra satelit ALOS AVNIR2 tahun 2007, 2009 dan 2010 di perairan Nusa Lembongan untuk

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun

Lebih terperinci