BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997, telah meruntuhkan banyak usaha besar akan tetapi tidak dengan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Sebagian besar UMKM tetap bertahan, bahkan jumlahnya meningkat dengan pesat dan perhatian pada UMKM menjadi lebih besar. Kuatnya daya tahan UMKM juga didukung oleh struktur permodalannya yang lebih banyak tergantung pada dana sendiri. Jumlah UMKM sejak tahun 1997 sampai sekarang meningkat dengan cepat dibandingkan dengan usaha berskala besar. UMKM sendiri dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan usaha besar. Perkembangan UMKM dari tahun 2007-2008 dapat dilihat pada tabel 1 : Tabel 1 Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Besar (UMKM) tahun 2007-2008 No Indikator Satuan Tahun 2007 2008 1 Usaha: - Usaha Mikro - Usaha Kecil (UK) - Usaha Menengah(UM) - Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) - Usaha Besar (UB) 49.828.586 49.287.276 498.565 38.282 49.824.123 4.463 51.261.909 50.697.659 520.221 39.657 51.257.537 4.372 2 Tenaga Kerja: - Usaha Mikro - Usaha Kecil (UK) - Usaha Menengah(UM) - Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) - Usaha Besar (UB) Sumber : Kementriaan Koperasi, 2008 91.528.262 81.732.430 3.864.995 3 142.319 88.739.744 2.788.518 93.672.484 83.647.711 3.992.371 3256.188 90.896.270 2.776.214
Melihat sumbangannya pada perekonomian yang semakin penting, UMKM seharusnya mendapat perhatian yang semakin besar dari para pengambil kebijakan, khususnya lembaga pemerintahan yang bertanggung jawab atas perkembangan UMKM. Akan tetapi, upaya pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah belum bisa mengembangkan para pelaku UMKM. Pengembangan UMKM di Indonesia selama ini dilakukan oleh Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian Negera KUMKM). Selain Kementrian Negara KUMKM, instansi yang lain seperti Depperindag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UMKM sesuai dengan wewenang masingmasing, dimana Depperindag melaksanakan fungsi pengembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Kecil Menengah tahun 2002-2004. Demikian juga Departemen Keuangan melalui SK Menteri Keuangan Menkeu No.316/KMK.016/1994 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5 persen laba perusahaan bagi Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), namun kebanyakan BUMN memilih persentase terkecil, yaitu 1 persen, sementara banyak UMKM yang mengaku kesulitan mengakses dana tersebut. Selain itu, kredit perbankan juga sulit untuk diakses oleh UMKM, diantaranya karena prosedur yang rumit serta banyaknya UMKM yang belum bankable. Apalagi Bank Indonesia tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan secara langsung dengan diberlakukannya UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Selain permasalahan yang sudah disebutkan sebelumnya, secara umum UMKM sendiri menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah nonfinansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk dalam masalah finansial diantaranya adalah : Kurangnya kesesuaian antara dana yang tersedia yang dapat diakses oleh UMKM. Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UMKM. Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil.
Kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank di pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai. Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi. Banyak UMKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial. Masalah yang termasuk dalam masalah organisasi manajemen (nonfinansial) di antaranya adalah : Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan. Kurangnya pengetahuan pemasaran, yang disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh UMKM mengenai pasar. Keterbatasan sumber daya manusia. Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi Disamping dua permasalahan utama di atas, UMKM juga menghadapi permasalahan linkage dengan perusahaan dan ekspor. Permasalahan yang terkait dengan linkage antar perusahaan diantaranya industri pendukung yang lemah dan UMKM yang memanfaatkan/menggunakan sistem klaster dalam bisnis belum banyak. Ada beberapa strategi yang dapat diterapkan untuk mengatasi problema tersebut kepada UMKM, salah satunya adalah strategi pemberdayaan masyarakat yang dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar. Dalam hal ini, Swisscontact sebagai salah satu lembaga asing yang beroperasi di Indonesia, berperan untuk mengatasi problem kemiskinan dengan strategi pemberdayaan masyarakat melalui sektor ekonomi. Upaya yang dilakukan oleh Swisscontact adalah dengan menerapkan program pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM
dipilih karena sebagian besar pelaku UMKM merupakan masyarakat miskin, diharapkan dengan meningkatnya potensi bisnis yang ada dapat memberikan dampak langsung terhadap pengurangan kemiskinan. Kegiatan ini bertempat di Cipulir, Jakarta Selatan terdapat UMKM yang bergerak di bidang tekstil. Proyek ditempatkan di Cipulir yang dimana ada sekitar 1.000 produsen, 1.500 pedagang dan beratus-ratus usaha dengan industri pendukung didalamnya, seperti: laundry, sulam-menyulam, para penyalur permesinan didalam kelompok ini, dengan mempekerjakan sekitar 10.000 pekerja tetap dan 5.000 pekerja paruh waktu. Bisnis garmen menyediakan kira-kira 65 persen aktivitas produksi di daerah ini, dimana daerah ini memiliki tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tinggi, 90 persen produk didistribusikan melalui suatu pasar lokal dan dijual ke tempat lain di luar Jawa seperti halnya di Sumatra Selatan, Kalimantan dan Sulawesi yang secara langsung atau melalui tengkulak di Tanah Abang dan sekitar 10 persen diekspor sebagian besar ke Malaysia dan Afrika yang juga melalui tengkulak di Tanah Abang. Produk unggulan dari Cipulir adalah celana anak kecil berbahan jins, dan dihasilkan oleh lebih dari 60 persen produsen. Situasi ekonomi dari usahawan kecil dan mikro di area ini berpotensi untuk dikembangkan. UMKM ini mulai berkembang pada awal tahun 2007. Akan tetapi, bencana banjir yang melanda Jakarta pada bulan Februari 2007 menghancurkan kelompok industri rumahan ini yang melahirkan suatu program Small Textile Enterprise Promotion (STEP) oleh Swisscontact. Program ini memfokuskan pada rehabilitasi dengan memberikan 800 mesin usaha kepada 400 kelompok usaha di Cipulir. Akan tetapi kelompok usaha yang telah mendapatkan bantuan dari program STEP ini tetap harus dikembangkan karena tingginya persaingan di sektor tekstil, karena bantuan hanya bersifat sementara saja. Beberapa permasalahan, seperti ketidaktahuan terhadap variasi dan disain inovatif yang mengakibatkan suatu kecenderungan untuk menghasilkan produk serupa, ketidaktahuan terhadap mutu produk, organisasi dan koordinasi yang lemah di dalam kelompok usaha yang mengakibatkan kompetisi yang tidak adil baik bagi produk maupun bagi karyawan, dan kemampuan tentang keuangan yang terbatas dan ketidaktahuan tentang manajemen bisnis dan kemampuan
administrasi (tata buku dan arus kas manajemen), menjadi permasalahan yang sering dialami oleh para pelaku UMKM di Cipulir. Swisscontact merancang suatu program untuk mengatasi masalah tersebut, dalam rangka melanjutkan program sebelumnya, yang dinamakan Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta. Program ini bertujuan untuk memperbaiki keadaan kelompok usaha setelah terjadi bencana banjir dan untuk meningkatkan pendapatan usaha. Sejauh mana program SMEP telah memberdayakan kelompok usaha kecil di Cipulir inilah yang akan menjadi fokus permasalahan dari penelitian ini. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan topik masalah di atas, maka perumusan masalah yang akan dikaji dari program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta adalah: 1. Bagaimana strategi pemberdayaan dari program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta telah memberdayakan UMKM di Cipulir? 2. Bagaimana proses pemberdayaan pada program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta telah memberdayakan UMKM di Cipulir? 3. Apa perubahan yang terjadi pada UMKM di Cipulir terhadap program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis : 1. Strategi pemberdayaan dari program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta telah memberdayakan UMKM di Cipulir. 2. Proses pemberdayaan pada program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta telah memberdayakan UMKM di Cipulir. 3. Perubahan yang terjadi pada UMKM di Cipulir terhadap program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta.
1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pemahaman, perubahan yang terjadi pada UMKM, dan penerapan program Small and Medium Enterprise Promotion (SMEP) Jakarta yang dilakukan oleh Swisscontact pada UMKM yang berlokasi di Cipulir. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur penelitian mengenai analisis program pemberdayaan bagi para akademisi dan peneliti. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan evaluasi dan pertimbangan bagi Swisscontact dalam perencanaan program yang serupa.