BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Risiko Kredit Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan atau dijadwalkan (Siamat, 2005 : 92). Pada penelitian ini, risiko kredit ditinjau dari tingkat kecukupan modal minimum (Capital Adequacy Ratio), dan tingkat likuiditas (Loan to Deposit Ratio). Menurut Dendawijaya (2009 : 116), Capital Adequacy Ratio mengindikasikan bahwa bank telah mempunyai modal yang cukup baik dalam menunjang kebutuhannya serta menanggung risiko-risiko yang ditimbulkan termasuk di dalamnya risiko kredit serta dengan modal yang besar maka suatu bank dapat menyalurkan kredit lebih banyak. Kuncoro dan Suhardjono (2002 : 562), menyatakan bahwa Capital Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap kinerja suatu bank dalam menghasilkan keuntungan. jika rasio kecukupan modal (CAR) bank tinggi maka perusahaan memiliki tingkat kecukupan modal untuk menjalankan usahanya sehingga terhindar dari risiko kebangkrutan. Semakin tinggi Capital Adequacy Ratio (CAR), maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit atau aset
produktif yang berisiko. Jika nilai Capital Adequacy Ratio (CAR) tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. Selanjutnya risiko kredit ditinjau dari Loan to Deposit Ratio akan menunjukkan besarnya jumlah kredit yang disalurkan dibandingkan dengan dana yang diterima oleh bank. Jika Loan to Deposit Ratio lebih dari 110% maka menunjukkan ban likuiditas bank tidak sehat karena dikhawatirkan bank tidak mampu membayar kembali penarikan dana yang dilakukan oleh deposan setiap saat. Sehingga jika Loan to Deposit Ratio melebihi batas yang ditentukan sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 jika LDR melebihi 110% bank dinilai tidak sehat yang berarti dapat meningkatkan risiko kredit sehingga, semakin tinggi LDR, maka semakin rendah kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar. Risiko kredit selanjutnya ditinjau dari Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dengan menggunakan parameter Non Performing Loan (NPL). Non Performing Loan (NPL) merupakan salah satu indikator kesehatan bank. Semakin tinggi rasio NPL mencerminkan tingginya tingkat kredit yang tidak terbayar atau macet sehingga sehingga menyebabkan risiko kredit.
2.2 Kecukupan Modal 2.2.1 Pengertian Permodalan Permodalan merupakan salah satu sumber dana bank yang berasal dari modal sendiri dan sering disebut sebagai dana pihak kesatu. Dana tersebut berasal dari pemilik bank atau para pemegang saham, baik para pemegang saham pendiri maupun pihak pemegang saham yang ikut dalam usaha bank tersebut pada waktu kemudian, termasuk para pemegang saham publik (jika misalnya bank tersebut sudah go public). Modal adalah sejumlah dana yang ditanamkan ke dalam suatu badan usaha oleh para pemiliknya untuk melakukan berbagai macam kegiatan usaha yang akan dilakukannya (Dendawijaya, 2005 : 46). 2.2.2 Rasio Kecukupan Modal Rasio kecukupan modal (CAR) adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menyanggah atau menunjang aktiva yang mengandung risiko (terutama kredit dan aktiva lainnya seperti penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain). Rasio ini juga merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian bank yang disebankan oleh aktiva yang beresiko (Dendawijaya 2005 : 121). Menurut Suhardjono dan Kuncoro (2002 : 562), CAR merupakan rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi dan mengontrol risiko-risiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap kinerja suatu bank dalam menghasilkan
keuntungan, dan menjaga besarnya modal yang dimiliki. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tercantum bank wajib menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aset tertimbang. Dalam menghitung aktiva tertimbang menurut resiko, terhadap masing-masing aktiva diberikan bobot resiko yang besarnya didasarkan pada kadar resiko yang terkandung pada aktiva itu sendiri atau bobot resiko yang didasarkan pada kadar resiko yang didasarkan pada golongan nasabah, penjamin serta sifat agunan (Siamat 2005 : 254). Besar kecilnya modal yang dimiliki sebuah bank dapat digunakan untuk memprediksi apakah bank tersebut akan mengalami kebangkrutan atau tidak pada masa yang akan datang. Jadi dapat disusun sebuah logika bahwa dengan tercukupinya permodalan bank, maka bank tersebut dapat menjalankan operasinya dengan efisien. Saat bank dikatakan efisien dalam menjalankan operasinya, maka dapat disimpulkan bahwa bank tersebut mempunyai kinerja yang bagus, sehingga potensi untuk mengalami kerugian dapat diminimalisir. Dengan semakin kecil kerugian yang dialami, maka dapat dipastikan laba yang diperoleh bank tersebut semakin meningkat. Menurut Rivai et al. (2013 : 472) menghitung kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) dengan rumus sebagai berikut: CAR = 2.3 Likuiditas 2.3.1 Pengertian Likuiditas Modal Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) x 100% Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Menurut Rivai et.al. (2013 : 145) likuiditas adalah kemampuan manajemen bank dalam menyediakan dana yang cukup untuk
memenuhi kewajibannya setiap saat. Pentingnya bank mengelola likuiditas secara baik terutama ditujukan untuk memperkecil risiko likuiditas yang disebabkan oleh adanya kekurangan. Dalam mengelola likuiditas, selalu akan terjadi benturan kepentingan antara keputusan untuk menjaga likuiditas dan meningkatkan pendapatan. Bank yang selalu berhati-hati dalam menjaga likuiditasnya akan cenderung memelihara alat likuid yang relatif besar dari yang diperlukannya dengan maksud untuk menghindari kesulitan likuiditas. Namun, disisi lain bank juga diharapkan pada biaya besar berkaitan dengan pemeliharaan alat likuid yang berlebihan. Oleh karena itu, dalam manajemen likuiditas perlu adanya keseimbangan antara dua kepentingan tersebut. Menurut Rivai et al. (2013 : 482) menyatakan bahwa likuiditas untuk memastikan dilaksanakannya manajemen aset dan kewajiban dalam menentukan dan menyediakan likuiditas yang cukup. Selanjutnya, Rivai et al. (2013 : 482) menyatakan bahwa penilaian likuiditas merupakan penilaian terhadap kemampuan bank untuk memelihara dan memenuhi kebutuhan likuiditas yang memadai dan kecukupan manajemen risiko likuiditas. Bank dikatakan likuid apabila mempunyai alat pembayaran berupa aktiva lancar lebih besar dibandingkan dengan seluruh kewajibannya. 2.3.2 Rasio Likuiditas Salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat likuiditas perusahaan perbankan adalah Loan to Deposit Ratio (LDR). Loan to Deposit Ratio (LDR) merupakan salah satu rasio likuiditas. Rasio tersebut dipergunakan
untuk melihat kemampuan bank dalam memenuhi tingkat kredit yang diminta dengan menggunakan dana pihak ketiga yang tertanam di bank tersebut. Menurut Rivai et al. (2013 : 484) menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio yang mengukur perbandingan jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank, yang menggambarkan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana oleh deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Oleh karena itu, semakin tinggi rasionya memberikan indikasi rendahnya kemampuan likuiditas bank tersebut, hal ini sebagai akibat jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar. Dendawijaya (2009 : 257) menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio antara seluruh jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank. Rasio LDR dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan antara total kredit yang diberikan dengan dana pihak ketiga. Kredit yang diberikan tersebut tidak termasuk kredit yang diberikan terhadap bank lain. Dan dana pihak ketiga disini mencakup giro, tabungan dan deposito. Rasio ini dimaksudkan untuk mengukur seberapa besar pendanaan pinjaman yang yang diberikan oleh bank yang bersumber dari pihak ketiga Rivai et al. (2013 : 484) menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) dihitung dengan rumus sebagai berikut: LLLLLLLL tttt DDDDDDDDDDDDDD RRRRRRRRRR = Jumlah Kredit yang Diberikan x 100% Total Dana Pihak Ketiga Kredit merupakan total kredit yang diberikan kepada pihak ketiga (tidak termasuk kredit yang diberikan kepada bank lain). Dana pihak ketiga mencakup
giro, tabungan, deposito, (tidak termasuk antar bank). Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 ketentuan dalam tata cara penilaian tingkat kesehatan sebagai berikut: 1. Untuk rasio LDR sebesar 110% atau lebih diberi nilai kredit 0, artinya likuiditas bank tersebut dinilai tidak sehat. 2. Untuk rasio LDR dibawah 110% diberi nilai kredit 100, artinya likuiditas bank tersebut dinilai sehat. Rasio ini menjadi sangat penting karena juga menggambarkan intensitas fungsi intermediary bank dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat (debitur). 2.3.3 Tujuan dan Manfaat Rasio Likuiditas Menurut Kasmir (2013 : 132) tujuan dan manfaat yang dapat dipetik dari hasil rasio likuiditas sebagai berikut : 1. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban atau utang yang segera jatuh tempo pada saat ditagih. Artinya, kemampuan untuk membayar kewajiban sudah waktunya dibayar sesuai jadwal batas waktu yang telah ditetapkan (tanggal dan bulan tertentu). 2. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar secara keseluruhan. Artinya jumlah kewajiban yang berumur di bawah satu tahun atau sama dengan satu tahun, dibandingkan dengan total aktiva lancar. 3. Untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar tanpa memperhitungkan sediaan atau piutang.
Dalam hal ini aktiva lancar dikurangi sediaan atau utang yang dianggap likuiditasnya lebih rendah. 4. Untuk mengukur atau membandingkan anatara jumlah sediaan yang ada dengan modal kerja perusahaan. 5. Untuk mengukur seberapa besar uang kas yang tersedia untuk membayar utang. 6. Sebagai alat perencanaan ke depan, terutama yang berkaitan dengan perencanaan kas dan utang. 7. Untuk melihat kondisi dan posisi likuiditas perusahaan dari waktu ke waktu dengan membandingkannya untuk beberapa periode. 8. Untuk melihat kelemahan yang dimiliki perusahaan, dari masing-masing komponen yang ada di aktiva lancar dan utang lancar. 9. Menjadi alat pemicu bagi pihak manajemen untuk memperbaiki kinerjanya, dengan melihat rasio likuiditas yang ada pada saat ini. 2.4. Kualitas Aktiva Produktif Pengertian aktiva produktif dalam Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 dalam kualitas aktiva produktif adalah perkembangan aktiva produktif bermasalah/ Non Performing Asset dibandingkan dengan Aktiva Produktif. Aktiva produktif bermasalah merupakan aktiva produktif dengan kualitas kurang lancar, diragukan dan macet. AP bermasalah dihitung secara gross (tidak dikurangi PPAP). Kualitas Aktiva Produktif diukur dengan Non Performing Loan.
2.4.1 Non Performing Loan Non Performing Loan (NPL) merupakan saha satu rasio keuangan yang mencerminkan risiko kredit. NPL didefinisikan sebagai pinjaman yang mengalami kesulitan pelunasan atau sering disebut kredit macet pada bank (Riyadi, 2006:161). Menurut Ismail (2009 : 226), Non Performing Loan (NPL) adalah kredit yang menunggak melebihi 90 hari. Dimana NPL terbagi menjadi Kredit Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Semakin kecil NPL maka semakin kecil pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank. Bank dalam melakukan kredit harus melakukan analisis terhadap kemampuan debitur untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah kredit diberikan, bank wajib melakukan pemantauan terhadap penggunaan kredit serta kemampuan dan kepatuhan debitur dalam memenuhi kewajibannya. Bank melakukan peninjauan dan pengikatan terhadap agunan untuk memperkecil risiko kredit. Praktisi perbankan menyepakati bahwa batas aman dari NPL suatu bank tidak boleh melebihi 5%. Menurut Ismail (2009:228), rasio ini dapat dirumuskan sebagai berikut: NPL = Kredit Bermasalah Total Kredit x 100% 2.4.2 Penggolongan Kredit Bermasalah Menurut Peraturan Bank Indonesia No.13/3/PBI/2011 tentang penerapan status dan tindak lanjutan pengawasan bank, bank dinilai memiliki potensi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila NPL secara netto
lebih dari 5% dari total kredit atau total pembiayaan. Ketentuan Bank Indonesia, tentang kredit bermasalah digolongkan menjadi tiga yaitu: 1. Kredit kurang lancar Kredit kurang lancar terjadi apabila debitur tidak dapat membayar angsuran pinjaman pokok atau bunga antara 91 samapai dengan 180 hari. 2. Kredit diragukan Kredit diragukan terjadi dalam hal debitur tidak dapat membayar angsuran pinjaman pokok atau pembayaran bunga antara 181 hari sampai dengan 270 hari. 3. Kredit macet Kredit macet terjadi apabila debitur tidak mampu membayar berturut-turut setelah 270 hari. 2.5 Efisiensi Operasional 2.5.1 Pengertian Efisiensi Operasional Efisiensi operasional berarti biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan keuntungan lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aktiva tersebut. Bank yang dalam kegiatan usahanya tidak efisien akan mengakibatkan ketidakmampuan bersaing dalam mengerahkan dana masyarakat maupun dalam menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai modal usaha. Dengan adanya efisiensi pada lembaga perbankan terutama efisiensi biaya maka akan diperoleh tingkat keuntungan yang optimal, penambahan jumlah dana yang disalurkan, biaya lebih kompetitif, peningkatan pelayanan kepada nasabah, keamanan dan kesehatan perbankan yang meningkat (Kuncoro, 2002 : 569).
2.5.2 Rasio Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional Rasio BOPO sering disebut rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil (Dendawijaya, 2005 : 120). Menurut Riyadi (2006 : 159), menyatakan bahwa BOPO adalah rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional, semakin rendah tingkat rasio BOPO berarti semakin baik kinerja manajemen bank tersebut, karena lebih efisien dalam menggunakan sumber daya yang ada di perusahaan. Rasio Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional dirumuskan sebagai berikut: BOPO = Total Beban Operasional Total Pendapatan Operasional x 100% 2.6 Kinerja Keuangan Menurut Bastian (2006 : 274) kinerja adalah gambaran pencapaian pelaksanaan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi suatu organisasi. Selanjutnya menurut Fahmi (2011 : 2) kinerja keuangan adalah suatu analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana suatu perusahaan telah melaksanakan dengan menggunakan aturan-aturan pelaksanaan keuangan secara baik dan benar. Dengan demikian, kinerja keuangan perbankan mencerminkan sejauhmana tingkat keberhasilan atau pencapaian suatu bank dalam mejalankan usahanya
terutama terkait dengan kemampuan bank dalam memperoleh laba. Berdasarkan hal tersebut, kinerja perbankan dalam penelitian ini ditinjau dari tingkat profitabilitas yang dicapai bank selama periode penelitian. 2.6.1 Profitabilitas 2.6.2 Pengertian Profitabilitas Menurut Prawironegoro (2006 : 55), profitabilitas ialah kemampuan manajemen untuk memperoleh laba. Menurut Harahap (2006 : 304) profitabilitas menggambarkan kemampuan perusahaan mendapatkan laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya. Profitabilitas suatu perusahaan dapat diukur dengan menghubungkan antara keuntungan atau laba yang diperoleh dari kegiatan pokok perusahaan dengan kekayaan atau asset yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan perusahaan (operating asset). 2.6.3 Rasio Profitabilitas Rasio profitabilitas merupakan salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur kinerja suatu perusahaan. Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberika tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Intinya adalah penggunaan rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan. penggunaan rasio profitabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan antara berbagai komponen yang ada di laporan keuangan, terutama laporan keuangan neraca dan dan laporan laba rugi.
Brigham & Houston (2010 : 149) berpendapat bahwa rasio profitabilitas adalah sekelompok rasio yang menunjukkan kombinasi dari pengaruh likuiditas, manajemen aset, dan utang pada hasil operasi. Menurut Sartono (2008 : 122), menyatakan bahwa rasio profitabilitas adalah kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Menurut Sugiono dan Untung, (2008: 70) ada beberapa rasio profitabilitas yang dapat digunakan, diantaranya adalah Gross Profit Margin, Net Profit Margin, Cash Flow Margin, Return on Asset, dan Return on Equity. a. Gross Profit Margin Gross profit margin (GPM) dapat digunakan untuk mengetahui keuntungan kotor dari setiap barang yang dijual perusahaan. Gross profit margin menurut Van Horne dan Wachowicz (2005 : 222) memberitahu kita laba dari perusahaan yang berhubungan dengan penjualan, setelah kita mengurangi biaya untuk memproduksi barang yang dijual. Rumus untuk menghitung gross profit margin menurut Wild, Subramanyam, dan Halsey (2005 : 42) adalah: GGGGGG = b. Net Profit Margin Penjualan Harga Pokok Penjualan Penjualan xx 100% Net Profit Margin (NPM), merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur margin laba atas penjualan, rasio ini akan menggambarkan penghasilan bersih perusahaan berdasarkan total penjualan. Pengukuran rasio dapat dilakukan dengan cara membandingkan laba bersih setelah pajak dengan penjualan bersih. Menurut Riyanto (2010: 37) Profit margin yaitu perbandingan
antara net operating income dengan net sales. NPM dirumuskan sebagai berikut: NNNNNN = NNNNNN PPPPPPPPPPPP AAAAAAAAAA TTTTTT NNNNNN SSSSSSSSSS c. Cash Flow Margin xx 100% Cash Flow Margin adalah persentase aliran kas dari hasi operasi terhadap penjualannya. Cash Flow Margin mengukur kemampuan perusahaan untuk merubah penjualan menjadi aliran kas. Cash Flow Margin dirumuskan sebagai berikut (Sugiono dan Untung, 2008: 71) Cash Flow Margin = Arus Kas Hasil Operasi Penjualan Bersih d. Return on Assets (ROA) Return on Assests mengukur tingkat pengembalian dari bisnis atas seluruh aset yang ada. Atau rasio ini menggambarkan efisiensi pada dana yang digunakan dalam perusahaan, Menurut Brigham dan Houston (2010:148) mengatakan bahwa Return on Assets adalah rasio laba bersih terhadap total aset mengukur pengembalian atas total aset. Dendawijaya (2009 : 118) menyatakan bahwa Return on Assets digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Menurut Rivai et al. (2013 : 490) Return on Assets menunjukkan kemampuan dalam mengelola aset yang menghasilkan laba sebelum pajak. Sehingga Return on Assets dihitung dengan rumus sebagai berikut: RRRRRRRRRRRR oooo AAAAAAAAAAAA = NNNNNN PPPPPPPPPPPP BBBBBBBBBBBB TTTTTT x 100% TTTTTTTTTT AAAAAAAAAAAA
Semakin besar Return on Assets (ROA) semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan dan semakin baik posisi perusahaan tersebut dari segi penggunaan aset. Begitu juga sebaliknya bila Return on Assets (ROA) kecil maka tingkat keuntungan yang dicapai oleh perusahaan akan kecil dan posisi perusahaan akan kurang baik. 2.7 Penelitian Terdahulu Adapun beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini diantaranya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut: Peneliti/Tahun Dewi et al. (2015) Dewi et al. (2015) Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Judul Penelitian Analisis Pengaruh NIM, BOPO, LDR, dan NPL Terhadap Profitabilitas (Studi Kasus pada Bank Umum Swasta Nasional yang Terdaftar pada Bursa Efek Indonesia Periode 2009-2013) Analisis Pengaruh CAR, NPL, LDR, dan NIM Terhadap Profitabilitas Perbankan (Studi Kasus pada Bank Umum Yang Terdaftar di BEI Tahun 2008-2012) Variabel Penelitian Dependen: ROA Independen: 1. NIM 2. BOPO 3. LDR 4. NPL Dependen: ROA Independen: 1. CAR 2. NPL 3. LDR 4. NIM Teknik Analisis Analisis Regresi Linear Berganda Analisis Regresi Linear Berganda Hasil Penelitian 1. NIM berpengaruh positif signifikan 2. BOPO berpengaruh negatif signifikan 3. LDR berpengaruh positif signifikan. 4. NPL berpengaruh negatif signifikan. 1. CAR berpengaruh positif tidak signifikan terhadap ROA 2. NPL berpengaruh negatif signifikan 3. LDR berpengaruh positif tidak signifikan. 4. NIM berpengaruh positif signifikan.
Lanjutan Tabel 2.1 Peneliti/Tahun Kodithuwakku (2015) Azeem (2014) Cai, Mei and Zhonglin Huang (2014) Sasongko (2014) Judul Penelitian Impact of Credit Risk Management on The Performance of Commercial Banks in Sri Lanka Impact of Profitability on Quantum of Non Performing Loans Analysis of Non Performing Loan and and Capital Adequacy Ratio Among Chinese Bank in The Post Reform Period in China Analisis Pengaruh Risiko Kredit, Perputara Kas, Likuiditas, Tingkat Kecukupan Modal, dan Efisiensi Operasional Terhadap Profitabilitas Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI Periode 2007-2013 Variabel Penelitian Dependen: ROA Independen: 1. NPL 2. LPNPL 3. LPTA 4. LPTL Dependen: ROA and ROE Independen: NPL Dependen: ROA Independen: 1. CAR 2. NPL Dependen: ROA Independen: 1. NPL 2. CT 3. LDR 4. CAR 5. BOPO Teknik Analisis Multiplier Regression Analysis Single Regression Analysis Multiplier Regression Analysis Analisis Regresi Linear Berganda Hasil Penelitian 1. NPL berpengaruh negatif tidak signifikan 2. Loan Provision to Non Performing Loan (LNPL) berpengaruh negatif tidak signifikan 3. Loan Provision to Total Assets (LPTA) berpengaruh negatif tidak signifikan. 4. Loan Provision to Total Loan (LPTL) berpengaruh negatif tidak signifikan. 1. NPL berpengaruh negatif signifikan 2. NPL berpengaruh negatif signifikan terhadap ROE 1. CAR berpengaruh signifikan terhadap Profitabilitas (ROA) 2. NPL berpengaruh signifikan terhadap Profitabilitas (ROA) 1. NPL Berpengaruh negatif dan signifikan 2. Cash Turnover Berpengaruh positif dan signifikan 3. LDR Berpengaruh positf tidak signifikan 4. CAR berpengaruh positif dan signifikan. 5. BOPO berpengaruh negatif dan signifikan.
Lanjutan Tabel 2.1 Peneliti/Tahun Eng (2013) Prasanjaya dan Ramantha (2013) Judul Penelitian Pengaruh NIM, BOPO, LDR, NPL, dan CAR Terhadap ROA Bank Internasional dan Bank Nasional Go Public Periode 2007-2011 Analisis Pengaruh Rasio CAR, BOPO, LDR, dan Ukuran Perusahaan Terhadap Profitabilitas Bank Yang Terdaftar di BEI Variabel Penelitian Dependen: ROA Independen: 1. NIM 2. BOPO 3. LDR 4. NPL 5. CAR Dependen: ROA Independen: 1. CAR 2. BOPO 3. LDR 4. Size Teknik Analisis Analisis Regresi Linear Berganda Analisis Regresi Linear Berganda Hasil Penelitian 1. NIM berpengaruh positif signifikan 2. BOPO Berpengaruh positif tidak signifikan terhadap ROA 3. LDR Berpengaruh negatif signifikan 4. NPL berpengaruh negatif signifikan. 5. CAR berpengaruh positif tidak signifikan. 1. CAR berpengaruh positif tidak signifikan 2. BOPO berpengaruh negatif signifikan 3. LDR berpengaruh positif signifikan. 4. Size berpengaruh negatif tidak signifikan. 2.8 Kerangka Konseptual 2.8.1 Pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) Terhadap Return on Assets (ROA) Capital Adequacy Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat kecukupan modal minimum pada perusahaan perbankan. Semakin tinggi nilai Capital Adequacy Ratio mencerminkan semakin sehat permodalan suatu bank dalam menjalankan usahanya serta mengcover berbagai risiko sehingga terhindar dari risiko kerugian. Dendawijaya (2009 : 116), Capital Adequacy Ratio mengindikasikan bahwa bank telah mempunyai modal yang cukup baik dalam menunjang
kebutuhannya serta menanggung risiko-risiko yang ditimbulkan termasuk di dalamnya risiko kredit serta dengan modal yang besar maka suatu bank dapat menyalurkan kredit lebih banyak. Dengan modal yang cukup, maka perusahaan perbankan dapat menjalankan usahanya dengan lebih maksimal terutama dalam menyalurkan kredit yang lebih banyak sehingga kinerja bank (ROA) meningkat. 2.8.2 Pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR) Terhadap Return on Assets (ROA) Loan to Deposit Ratio merupakan salah satu rasio likuiditas pada perusahaan perbankan. Loan to Deposit Ratio juga mencerminkan besarnya jumlah kredit yang disalurkan dibandikangkan dengan dana pihak ketiga yang diterima perusahaan perbankan. Disatu sisi, tingginya LDR diharapkan dapat meningkatkan tingkat keuntungan melalui bunga kredit, namun disisi lain jika LDR terlalu tinggi dapat meningkatkan risiko kredit dan risiko ketidakmampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang dilakukan oleh deposan. Menurut Rivai et al. (2013 : 484) menyatakan bahwa Loan to Deposit Ratio (LDR) adalah rasio yang mengukur perbandingan jumlah kredit yang diberikan bank dengan dana yang diterima oleh bank, yang menggambarkan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana oleh deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber likuiditasnya. Oleh karena itu, semakin tinggi rasionya memberikan indikasi rendahnya kemampuan likuiditas bank tersebut, hal ini sebagai akibat jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin besar.
Bank yang selalu berhati-hati dalam menjaga likuiditasnya akan cenderung memelihara alat likuid yang relatif besar dari yang diperlukannya dengan maksud untuk menghindari kesulitan likuiditas. Namun, disisi lain bank juga diharapkan pada biaya besar berkaitan dengan pemeliharaan alat likuid yang berlebihan. Oleh karena itu, dalam manajemen likuiditas perlu adanya keseimbangan antara dua kepentingan tersebut. Dengan demikian, risiko kredit yang ditinjau dari Loan to Deposit Ratio dapat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai Return on Assets pada perusahaan perbankan. LDR yang terlalu rendah menunjukkan kurang optimalnya peran bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediate serta sulit untuk mengoptimalkan laba melalui penyaluran kredit, sebaliknya jika tingkat LDR terlalu tinggi hingga melebihi batas yang ditetapkan regulasi dapat berakibat pada meningkatnya risiko kredit yang akhirnya berdampak pada menurunnya kinerja bank (ROA). 2.8.3 Pengaruh Non Performing Loan Terhadap Return on Assets (ROA) Non Performing Loan (NPL) adalah salah satu indikator untuk menilai kinerja fungsi bank, karena NPL yang tinggi adalah indikator gagalnya bank dalam mengelola bisnis antara lain timbul masalah likuiditas (ketidakmampuan membayar pihak ketiga), rentabilitas (utang tidak bisa ditagih), solvabilitas (modal berkurang). Sedangkan laba yang merosot adalah salah satu imbasnya karena praktis bank kehilangan sumber pendapatan di samping harus menyisihkan pencadangan sesuai kolektibilitas kredit.
Rasio ini menunjukan kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Artinya, semakin tinggi rasio ini maka akan semaki buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin besar yaitu kerugian yang diakibatkan tingkat pengembalian kredit macet. Ismail (2009: 226), NPL (Non Performing Loan) adalah kredit yang menunggak melebihi 90 hari. Dimana NPL terbagi menjadi Kredit Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Semakin kecil NPL maka semakin kecil pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank. Dari uraian tersebut, maka Non Performing Loan dapat memberikan dampak negatif pada bank karena tidak risiko tidak tertagihnya kredit yang diberikan pada nasabah sehingga menyebabkan kinerja mengalami penurunan dari sisi pendapatan. 2.8.4 Pengaruh Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Terhadap Return on Assets (ROA) Efisiensi merupakan suatu parameter kinerja yang diukur melalui hasil variabel masukan atau input dan hasil variabel pengeluaran output. Suatu hasil kinerja dikatakan efisien apabila pengeluaran atau output yang optimal dengan input variabel yang sangat minimal. Efisiensi bagi sebuah bank merupakan aspek yang paling penting diperhatikan untuk mewujudkan kinerja keuangan yang sehat. Pengukuran efisiensi kinerja bisa dilakukan dengan rasio efisiensi yaitu dengan menghitung rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
Dendawijaya (2005 : 120) menyatakan bahwa semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Selanjutnya Riyadi (2006 : 159), menyatakan bahwa BOPO adalah rasio perbandingan antara biaya operasional dengan pendapatan operasional, semakin rendah tingkat rasio BOPO berarti semakin baik kinerja manajemen bank tersebut, karena lebih efisien dalam menggunakan sumber daya yang ada di perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, maka kerangka konseptual penelitian digambarkan sebagai berikut: Capital Adequacy Ratio Loan to Deposit Ratio (LDR) Non Performing Loan (NPL) Return on Assets (ROA) Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 2.9 Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka, penelitian terdahulu serta kerangka konseptual penelitian, maka hipotesis penelitian ini adalah:
1. Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh terhadap kinerja (Return on Assets) pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015. 2. Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh terhadap kinerja (Return on Assets) pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015. 3. Non Performing Loan (NPL) berpengaruh terhadap kinerja (Return on Assets) pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015. 4. Biaya Operasional Terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) berpengaruh terhadap kinerja (Return on Assets) pada Perusahaan Perbankan di Bursa Efek Indonesia Periode 2011-2015.