99 BAB IV KESIMPULAN Talempong goyang awalnya berasal dari Sanggar Singgalang yang berada di daerah Koto kociak, kenagarian Limbanang, kabupaten Lima Puluh Koto, diestimasi sebagai hiburan alternatif musik tradisional populer dengan format band (hybrid music). Bentuk hibriditas musikal yang digagas oleh sanggar Singgalang ini, merupakan model deviasi diferensial ensambel talempong atau sebagai counter dari bentuk-bentuk musik tradisional populer yang sudah ada dan juga sempat berkembang di ranah musik tradisional populer Minangkabau di Sumatera Barat. Wilayah Minangkabau secara histori mengalami sistem kebudayaan yang dipersepsi berada pada posisi tidak harmonis. Sehingga berdasarkan spekulasi tindakan objektif atas polemik kebudayaan tersebut, merujuk pada dipilihnya sarana-sarana mediasi yang bersifat netral dan diestimasi bersandar pada image integratif kultural maupun global. Dengan demikian dalam arena karya seni Minangkabau, instrumen talempong yang tersebar di seluruh nagari di Minangkabau, dan sifat pergelarannya yang lebih sekuler, pada akhirnya menempati posisi pusat menjadi pilihan
100 sebagai modal simbolis yang mewakili kultur dan semangat lokalitas di nagari-nagari. Sehingga instrumen talempong dipilih dan dijadikan sebagai modal integral sosio-kultural Minangkabau, dan kemudian sebagai penanda kultural yang tanpa disadari dipersepsi dapat menjadi penetralisir konflik internal di Minangkabau. Selain itu, instrumen talempong bersifat fleksibel untuk diformulasikan karena skala nadanya di-konvensi-kan menjadi diatonic scale dan lebih memungkinkan bagi para seniman (sarjana seni) untuk melakukan ekplorasi lebih jauh dalam ekspresi kreatif membentuk style musik kreasi baru. Proses garapan musikal pada talempong goyang dikemas dan diformulasi dalam nuansa populer, ringan, mudah dicerna, dan dikategorikan sebagai seni kitsch. Walaupun demikian, secara distingtif eksplorasi dan garapan unsur-unsur musikal talempong goyang lebih bersifat demokratis. Dan justru saat ini massifnya pergelaran talempong goyang pada kegiatan-kegiatan seremonial adat dan pemerintahan, serta digemari oleh masyarakat di Minangkabau dalam batas teritorial Sumatera Barat bahkan wilayah teritorial diaspora etnis Minangkabau di perantauan. Hal demikian mengantarkan talempong goyang pada posisi terkonsekrasi sekaligus dominan di dalam arena karya seni di Minangkabau.
101 Kontestasi talempong goyang untuk sampai pada posisi terkonsekrasi tidak terlepas dari strategi pengambilan posisi pelakunya untuk mengimposisi dan memperebutkan posisi dominan dalam mencapai tatanan perekonomian yang mapan atas hasil produksi di arena produksi skala luas. Pertarungan perebutan posisi tersebut terjadi tidak hanya antara style musik tradisional populer saja (musik pop Minang, musik gamat, orgen tunggal), bahkan terjadi antara kelompok-kelompok kecil yang juga mengusung model talempong goyang. Dengan demikian, talempong goyang yang dikonstruksi berdasarkan elemen-elemen global dan lokal (produk global bersifat populer konsumtif, dan talempong bersifat populer kerakyatan di setiap nagari di Minangkabau) dapat dijadikan sebagai bentuk simbolis dari hibridisasi entitas global dan tradisional. Talempong goyang secara ideologis, selain dijadikan sebagai media hiburan dan medan profesionalitas seniman, ia dapat juga dijadikan sebagai modal sosial bagi strategi integritas sosial masyarakat Minangkabau yang terus menerus berada dalam stigma kondisional yang ambivalensi. Model talempong goyang yang dipergelarkan oleh beberapa kelompok-kelompok yang tersebar di Sumatra Barat, yang diestimasi
102 merupakan kaum intelektual, secara signifikan membantu persebaran posisi talempong goyang menempati ruang dominan di wilayah musik tradisi populer. Posisi dominan talempong goyang di arena musik tradisional populer tersebut juga berdampak terhadap kemungkinkan terbentuknya konstruksi homogenisasi bentuk pergelaran musik tradisional populer dan secara tidak langsung membentuk selera estetis serta modal kultural masyarakat Minangkabau yang ter-standardisasi oleh budaya populer. Hal demikian disebabkan oleh mekanisme inovasi dan eksplorasi yang dilakukan oleh para pelaku musik talempong goyang dimotivasi oleh kemampuan agen intelektual dalam mengelaborasi jenis-jenis gaya musikal dan demi keuntungan ekonomis dalam pergelarannya, serta berada dalam frame populer pada arus determinisme global kapitalistik. Konstruksi musikal talempong goyang, terstruktur atas modal idiom tradisional yang transeden dan imanen saat ini sudah terstandardisasi melalui hegemoni sistem musikal Barat sentris. Namun elaborasi fisikalnya terkesan lebih demokratis muncul di arena talempong goyang dalam sistem penggarapan musikal, dihasilkan dari pencaplokan dan pencangkokan unsur-unsur musikal dari berbagai macam unsur tradisi pada ruang history
103 tertentu. Kemudian unsur-unsur tradisi tersebut dikemas dalam struktur musikal dan pergelaran yang mengutamakan ciri khas dari spirit Minangkabau dengan formula zeitgeist kondisi sosio-kultural. Talempong goyang merupakan kontestasi karya kultural populer, akan mendapati nilai estetis, jika persepsi history bentuk direlasikan antara faktor eksternal dan internal produksi talempong goyang itu sendiri. Dari perspektif tersebut dapat ditelusuri, kontestasi talempong goyang diresepsi secara aktual berada dalam arena karya seni populer di Minangkabau, didukung oleh berkelindannya dialektika internal dan eksternal. Artinya bahwa faktor internal yang menjadi strategi pelaku dalam melakukan deviasi diferensial sebagai bentuk distingtif dari model yang pernah ada sebelumnya berdasarkan lintasan dan habitus pelaku, didorong oleh determinan faktor eksternal dari situasi dan kondisi sosio-kultural, suatu ranah dimana karya seni tersebut dikonsekrasi dan diresepsi di lingkungan tertentu. Talempong goyang yang terkonsekrasi pada ranah musik tradisional populer di Minangkabau saat ini, adalah kontestasi dominan atas penguasaan mekanikal teknik aransemen dan penguasaan akan gaya musikal. Proses garapan musikalnya dikelola dengan kemampuan intelektual (penguasaan akan gaya) oleh para
104 pelaku yang pada dasarnya mempunyai pengalaman dalam dunia pendidikan seni, sehingga inovasi dan eksplorasi ini lambat laun membawa talempong goyang menjadi seni hiburan yang berkualitas. Disini, para petarung dengan kemampuan intelektual yang mereka peroleh dari lembaga dan institusi seni formal, bersinergi dengan orientasi pengambilan posisi atau strategi kekuasaan untuk mendominasi arena produksi skala besar (populer). Pertarungan ini muncul sebagai kontestasi modal simbolik dan legitimasi atas penguasaan gaya, serta strategi untuk meraih keuntungan berlebih, dengan bermain dalam nilai jual skala produktifitas yang berlandaskan aktivitas produksi yang lebih kreatif dan inovatif sebagai modal yang dipertaruhkan. Dominasi agen intelektual akademik dalam mengimposisi resepsi publik rata-rata yang dilakukan pelaku talempong goyang dengan mengaktualisasikan teknologi pesona yang dimiliki dari habitus pendidikan, sebagai kekuasaan untuk mendominasi kelompok yang tidak beruntung, disebut Bourdieu dengan istilah kekerasan simbolik. Faktanya, bahwa praktik kekerasan simbolik ensambel telempong goyang dalam pergelaran kerap kali mereduksi dan mencampur-baurkan unsur-unsur musikal tradisional etnisitas Minangkabau maupun dari budaya tradisional lain tanpa
105 memperdulikan alur histori. Namun pada sisi lain, justru digandrungi oleh khalayak. Hal ini pula yang membuat bentuk dan struktur musikal talempong goyang lebih terkesan dinamis dalam intensitas pergelarannya. Sehingga, stigma arena karya seni populer atau aktivitas hiburan seremonial, yang dipersepsi sebagai seni murahan atau kitsch, dengan munculnya pemain baru yang ikut dalam pergulatan mengimposisi arena karya seni populer, yang sebagian besar didominasi oleh kaum terpelajar, secara professional mampu mengelaborasi strukur musikal menjadi lebih inovatif. Hal demikian pada akhirnya merubah dan mendominasi struktur habitus tatanan arena karya seni populer, serta membawa kontestasi talempong goyang menjadi hiburan seremonial yang diresepsi mempunyai nilainilai integrasi kultural Minangkabau berdasarkan zeitgeist-nya.