1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH TEGUH ADIPRASETYO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

X. ANALISIS KEBIJAKAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fungsi lindung dan fungsi konservasi semakin berkurang luasnya. Saat ini

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Pengantar

I. PENDAHULUAN. Tatanan lingkungan, sebenarnya merupakan bentuk interaksi antara manusia dengan

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

Kebijakan pengelolaan zona khusus Dapatkah meretas kebuntuan dalam menata ruang Taman Nasional di Indonesia?

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang tabel 1.1

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994).

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taman Nasional

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

Permasalahan hutan dan upaya penanganan oleh pemerintah

RENCANA PENGEMBANGAN WILAYAH DAN INVESTASI PROVINSI PAPUA BARAT BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI PAPUA BARAT

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. kesimpulan dari hasil penelitian berikut dengan beberapa rekomendasi yang

PENDAHULUAN Latar Belakang

REVITALISASI KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Transkripsi:

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep pembangunan berkelanjutan. Pemahaman dan penerimaan konsep ini berkembang dari yang awalnya hanya terfokus pada dimensi lingkungan sampai kepada pemahaman bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengintegrasikan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi, sosial budaya dan kelestarian lingkungan. Di samping itu, juga disadari bahwa pencapaian pembangunan berkelanjutan memerlukan reformasi kelembagaan dan kebijakan yang melibatkan seluruh sektor pembangunan pada semua tingkatan. Pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab pemerintah, dunia usaha dan masyarakat (UNDESA 2002). Sejak dicanangkannya otonomi daerah yang dilandasi oleh Undangundang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, pembangunan di Indonesia mengalami perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar bagi Pemerintah Kota, Kabupaten dan Propinsi untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan sektoral, wilayah dan daerah secara otonom yang didasarkan pada potensi sumber daya di daerahnya masing-masing. Hal ini membuka peluang bagi pemerintah daerah dalam menggali potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendelegasian kewenangan yang luas kepada daerah otonom diharapkan dapat meningkatkan percepatan pembangunan di daerah melalui pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki tanpa mengabaikan keberlanjutan pembangunan daerah (Kuncoro 2004). Salah satu aset sumber daya alam yang berada di daerah otonom dan merupakan kawasan konservasi adalah taman nasional. Di Indonesia, sampai tahun 2007 terdapat taman nasional sejumlah 50 unit dengan luasan 16.4 juta

2 hektar (Dephut 2008). Taman nasional memiliki fungsi strategis dan dapat memberikan manfaat yang berasal dari tujuan konservasi, menurut Dixon and Sherman (1990) antara lain: 1) terpeliharanya sumber daya alam, jasa lingkungan dan proses ekologis; 2) produksi material dari sumber daya alam, seperti tanaman obat dan satwa; 3) produksi jasa rekreasi dan wisata; 4) produk objek-objek wisata sejarah dan budaya; dan 5) penyediaan peluang untuk pendidikan dan penelitian. Pelayanan jasa lingkungan dan manfaat lainnya dari taman nasional ini sangat potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan tepat (Haeruman 1997). Untuk itu, taman nasional seharusnya dikelola agar nilai-nilai strategis tersebut dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang secara adil maupun generasi yang akan datang, baik lokal, nasional maupun internasional. Namun, pengelola taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya di taman nasional, dimana. seringkali masyarakat lokal diabaikan dalam pengelolaan taman nasional (Stevens 1997). Pada awalnya, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi hanya terfokus pada konservasi sumber daya alam, tetapi belakangan kebijakan ini dituntut untuk bergeser sejalan dengan kesadaran bahwa sumber daya alam dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi pada dasarnya saling terkait (Phillips 2002; Wilson 2003). Kawasan konservasi perlu dikelola secara adaptif dalam perspektif jangka panjang dan dipandang sebagai aset masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional dengan tujuan yang mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dengan proses pembangunan sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhinya dan memberikan perhatian yang lebih kepada nilai-nilai budaya lokal (Phillips 2003; Borrini-Feyerabend et al. 2004).

3 Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya konservasi sumber daya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas, yaitu merekonsiliasi ketegangan antara sistem alam dengan sistem manusia. Kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai mekanisme untuk mengantarkan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (Barker & Stockdale 2008). Tekanan dari faktor-faktor perubahan lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan, perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat (Shadie & Epps 2008) jika kebijakan pengelolaannya hanya fokus pada sistem ekologi. Perubahanperubahan ini tidak bisa dihindari. Perubahan pendekatan ini memerlukan kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi (Jeanrenaud 2002). Mengingat kompleksitas dan adanya saling keterkaitan yang kuat antara aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi dalam pengelolaan taman nasional serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional, maka formulasi kebijakan pengelolaannya perlu dilakukan melalui pendekatan sistem (Eriyatno 2003). Jackson (2006) mengemukakan bahwa critical system thinking dapat memberikan arahan bagaimana menggunakan teori sistem, metodologi dan metode dalam menganalisis kebijakan. Checkland (1999) dan Christis (2005) menyebutkan bahwa perihal yang kompleks dan tidak terstruktur dapat ditangani dengan baik melalui penggunaan soft system methodology. Dengan demikian diharapkan pengelolaan taman nasional dapat mencapai tujuan konservasi, memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah secara berkelanjutan. 1.2 Tujuan Tujuan umum penelitian adalah merancang bangun model kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan dan integratif dengan menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology untuk harmonisasi

4 aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Tujuan khusus untuk mendukung perumusan kebijakan adalah: 1) Menganalisis situasi sistem pengelolaan taman nasional. 2) Memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang melandasi model kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. 3) Merumuskan struktur sistem pengelolaan taman nasional berkelanjutan dengan pendekatan sistem melalui sintesis aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat. 4) Menentukan prioritas alternatif kebijakan untuk pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah. 1.3 Kerangka Pemikiran Taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi dapat banyak berperan dalam perekonomian daerah maupun nasional melalui beragam manfaat jasa lingkungan yang disediakannya. Beberapa manfaat tersebut merupakan hasil dari pemanfaatan langsung sumber daya alam yang dapat memiliki nilai ekonomi sesuai dengan harga pasar. Sedangkan sebagian manfaat lainnya, seperti penggunaan rekreasi dan wisata, tergantung dari penggunaan taman nasional oleh masyarakat dan manfaatnya dapat diukur secara moneter. Namun, sebagian besar manfaat lain dari taman nasional, seperti perlindungan sistem hidrologi, sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati sangat sulit untuk diukur secara moneter. Manfaat ini sering disebut sebagai manfaat sosial karena memberikan manfaat kepada individu-individu atau masyarakat secara luas, tetapi sering tidak disadari manfaatnya karena tidak terukur secara moneter dan selama ini manfaat tersebut diperoleh secara gratis (Haeruman 1997). Terpeliharanya fungsi penyediaan jasa lingkungan dan manfaat taman nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik taman nasional dan interaksinya dengan perubahan kondisi lingkungan sosial ekonomi, kebijakan nasional dan daerah. Perubahan sosial ekonomi seperti dinamika dan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, perdagangan dan konsumsi, kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan akan mempengaruhi taman nasional. Perubahan biofisik seperti konversi lahan dan kelembagaan pengelolaan juga akan mempengaruhi kinerja

5 dan efektifitas pengelolaan taman nasional (Barber 2004). Sebaliknya, Perubahan kondisi taman nasional, misalnya karena adanya konversi penggunaan lahan akan dapat mempengaruhi, baik positif maupun negatif, kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Kelompok masyarakat yang mengkonversi lahan di taman nasional akan mendapatkan manfaat dan akan meningkatkan pendapatannya. Sedangkan biaya yang muncul akibat konversi tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dan komunitas masyarakat secara keseluruhan (Dasgupta & Mäler 1994; Mink 1999). Paradigma kebijakan pengelolaan taman nasional saat ini masih terfokus pada sistem ekologi dan kawasan (Phillips 2002; Wilson 2003). Sistem sosial dan ekonomi kawasan sekitar taman nasional belum mendapatkan pertimbangan yang besar dalam pengelolaan taman nasional. Di samping itu, otonomi daerah telah menyebabkan berbagai perubahan yang mendasar, terutama akibat pendelegasian sebagian besar kewenangan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Namun, kebijakan terhadap pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional masih sama. Kewenangan pengelolaan taman nasional masih tetap berada pada Pemerintah Pusat. Kebijakan ini menurut Resosudarmo (2002) tidak dapat efektif untuk mencapai tujuan pengelolaan taman nasional. Hal ini diindikasikan dengan sikap beberapa pemerintah daerah yang tidak bersedia membantu secara aktif mengatasi permasalahan yang dihadapi pengelola taman nasional. Sedikitnya manfaat langsung (tangible benefit) yang dapat dinikmati masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan taman nasional dan pemerintah daerah juga menyebabkan rendahnya dukungan masyarakat dan Pemda terhadap eksistensi taman nasional (Soetarto et al. 2001). Akibat akhirnya adalah degradasi ekosistem karena pengelolaan taman nasional tidak efektif untuk mencapai tujuan penetapannya. Degradasi ekosistem yang banyak terjadi di taman nasional memunculkan keperluan suatu sistem pengelolaan yang baru. Argumentasi tuntutan perubahan kebijakan pengelolaan didasari pemikiran bahwa pendekatan konservasi yang telah diharmonisasikan dengan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan agenda pembangunan diharapkan akan menyebabkan manfaat kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Kawasan konservasi seyogyanya dikelola dalam perspektif jangka

6 panjang dengan tujuan mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dalam proses pembangunan sosial ekonomi regional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah daerah yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Di samping itu, pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan seluruh stakeholder dalam pengambilan keputusan pengelolaannya. Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi memiliki dimensi yang sangat kompleks. Aspek ekologi yang tercermin dari kondisi fisik kawasan menuntut terlindunginya ekosistem taman nasional dan terjamin kelestariannya. Aspek sosial menghendaki adanya penerimaan secara sosial terhadap keberadaan taman nasional dan semua stakeholder dapat turut serta menjaga kelestariannya sesuai dengan peran masing-masing. Sedangkan dari aspek ekonomi, taman nasional diharapkan dapat berkontribusi terhadap perekonomian daerah melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Di samping itu, kebijakan sektoral dan daerah juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional. Mengingat kompleksitas yang dihadapi maka pengembangan kebijakan pengelolaan akan dibangun menggunakan pendekatan soft dan hard system. Pendekatan sistem diyakini akan dapat menghasilkan kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan ini diharapkan akan mampu mendukung pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.

7 Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4 Manfaat Keluaran dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengelolaan taman nasional di masa mendatang. Secara terperinci manfaat dari penelitian ini adalah: 1) Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang holistik akan pentingnya nilai taman nasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan dari sisi ekologi, sosial dan ekonomi.

8 2) Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk memahami secara holistik dan mendapatkan peluang perbaikan pengelolaan taman nasional, menggali kesempatan usaha bagi masyarakat dari keberadaan taman nasional, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3) Penelitian akan menghasilkan suatu kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif dan berkelanjutan yang melibatkan pemangku kepentingan secara menyeluruh. Model kebijakan ini selanjutnya diharapkan dapat diaplikasikan pada taman nasional lainnya di Indonesia. 1.5 Kebaruan Kebaruan dari penelitian rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah adalah: 1) Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional didasarkan pada pemodelan pengelolaan melalui penggabungan pendekatan soft dan hard system methodology yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. 2) Pengembangan konsep pengelolaan taman nasional dilakukan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang dibangun didasarkan pada konsep pengelolaan yang holistik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. 3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan pengelolaan taman nasional dalam hal: a) Aspek Manajemen yang mengintegrasikan rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan dan lingkungan hidup, b) Aspek Kelembagaan untuk menampung aspirasi masyarakat dalam rangka pencapaian konsensus pengelolaan taman nasional melalui koordinasi yang efektif melalui saluran Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa yang mengakomodasi upaya pemanfaatan taman nasional untuk peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, dan c) Aspek Pendanaan yang fleksibel dan efisien serta dikelola secara transparan dan akuntabel melalui status Balai Besar/Balai Taman Nasional sebagai Badan Layanan Umum.