6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 6.1 Sistem Pengelolaan Taman Nasional Taman nasional dapat memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung melalui subsidi ekologi dalam perekonomian daerah di sekitar TNKS. Subsidi ekologi yang mendukung pertumbuhan sektor pertanian berupa penyediaan suplai air domestik dan pertanian, pengaturan iklim mikro, pengendalian banjir dan siklus unsur hara. Nilai ketergantungan sektor pertanian berdasarkan perhitungan pada tahun 2000 di Kabupaten Kerinci berkisar antara Rp.72 miliar sampai Rp. 256 miliar per tahun dan Kabupaten Lebong/Rejang Lebong berkisar antara Rp.151 Rp.542 miliar per tahun (Efendi 2001). Subsidi ekologi ini menggambarkan bahwa kerusakan TNKS akan menyebabkan kerugian berupa penurunan output pertanian dan PDRB sejumlah nilai tersebut. Sehingga secara langsung sebenarnya subsidi ini telah dinikmati oleh masyarakat lokal yang memiliki akses terhadap sumber daya lahan, baik memiliki atau menyewa. Namun, karena 58% masyarakat lokal tidak memiliki lahan sehingga dapat dikatakan belum merasakan manfaat ekonomi secara langsung dari TNKS. Pada dasarnya TNKS memiliki tiga manfaat, yang pertama adalah manfaat dari penggunaan langsung, seperti sumber daya kayu dan non kayu serta lahan. Manfaat yang kedua berasal dari penggunaan tidak langsung, seperti fungsi ekologis, pengaturan hidrologi dan siklus hara. Manfaat yang ketiga merupakan manfaat yang berasal dari nilai pilihan dan keberadaan, seperti keanekaragaman hayati, habitat dan spesies. Ketiga manfaat ini tidak mungkin diperoleh secara bersama-sama. Manfaat kedua dan ketiga hanya mungkin terealisasi jika manfaat pertama dikonsumsi secara berkelanjutan. Jika sumber daya kayu dipanen dan lahan dialih fungsikan untuk pertanian maka manfaat lain akan menurun dan bahkan hilang. Oleh karena itu, manfaat lain tersebut seperti fungsi ekologis tidak mungkin diperoleh oleh masyarakat secara luas dan Pemerintah Daerah. Di samping itu, dampak menurunnya fungsi ekologis TNKS juga berarti menurunnya kemampuan mengatur hidroorologi kawasan sehingga berpotensi meningkatkan resiko terjadinya bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor. Pemulihan dampak bencana alam selanjutnya akan mengurangi alokasi dana untuk kegiatan

2 160 lain sehingga akan menyebabkan efek pengganda yang akan ditanggung dan dirasakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, tingginya kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya lahan karena mayoritas masyarakat masih bergantung pada sektor pertanian dan kurangnya alternatif sumber penghidupan lain menyebabkan terjadinya aktifitas perambahan lahan kawasan TNKS dan juga kegiatan ilegal lainnya. Pendekatan pengelolaan yang lebih mengedepankan aspek pengamanan kawasan dapat kurang efektif untuk menanggulangi kerusakan kawasan akibat perambahan karena adanya keterbatasan dana, sarana prasarana dan personil pengaman. Pengelolaan taman nasional seyogyanya dilakukan secara integratif melalui harmonisasi aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Aspek ekonomi dapat diwujudkan dalam bentuk pemenuhan kebutuhan ekonomi jangka pendek bagi masyarakat lokal sebatas daya dukung lingkungan dan manfaat jangka panjang bagi masyarakat luas. Pemenuhan kebutuhan ini akan memberikan dampak penerimaan dan dukungan masyarakat terhadap taman nasional (aspek sosial) yang selanjutnya akan memelihara aspek ekologi kawasan taman nasional. Berdasarkan hasil pengamatan, analisis situasional dan ISM yang telah dilakukan maka sistem pengelolaan taman nasional agar dapat berkelanjutan didefinisikan (root definition) sebagai sistem yang mengelola kesehatan ekosistem agar dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara berkelanjutan untuk masyarakat lokal, nasional dan internasional melalui upaya kemitraan dengan para pihak yang memungkinkan terciptanya alternatif mata pencaharian bagi masyarakat lokal dalam rangka untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat (Gambar 30). Pengembangan pemanfaatan sumber daya taman nasional yang dapat menyediakan alternatif mata pencaharian diharapkan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan akan mengurangi kegiatan ilegal. Dampak lebih lanjut, kesehatan ekosistem akan terjaga. Pemanfaatan sumber daya taman nasional juga dibatasi oleh status kesehatan ekosistem. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan ini tidak boleh melebihi kemampuan daya pulih dari ekosistem terhadap gangguan akibat pemanfaatan oleh manusia. Penciptaan alternatif mata

3 161 pencaharian dan pemeliharaan ekosistem dilakukan secara bersama antara pengelola dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi dan dunia usaha sehingga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat lokal dan sekaligus dapat mengurangi persoalan keterbatasan dana dan personil pengamanan yang dihadapi pengelola. Saling ketergantungan ini akhirnya akan menciptakan sinergi yang dapat mendukung pencapaian tujuan konservasi taman nasional. Aspek Ekologi: Kesehatan ekosistem Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan Aspek Sosial: Partisipasi Aspek Ekonomi: Mata pencaharian Alternatif Gambar 30 Sistem manajemen lingkungan pengelolaan taman nasional 6.2 Model Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan Kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon terhadap masalah publik. Keberlanjutan taman nasional merupakan salah satu masalah publik. Pengembangan kebijakan agar pengelolaan taman nasional dapat berkelanjutan sangat kompleks karena melibatkan beberapa stakeholder kunci, yaitu Pemerintah Pusat/pengelola, Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, perguruan tinggi dan pelaku usaha. Masing-masing stakeholder mempunyai prioritas kebutuhan dengan tingkat kepentingan yang berbeda. Di samping itu, pengelolaan taman

4 162 nasional bersifat dinamis dan memiliki tingkat ketidak pastian yang tinggi sehingga diperlukan pendekatan sistem dalam pengembangan kebijakan pengelolaan untuk mengurangi dampak kegagalan kebijakan. Perumusan kebijakan strategis pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan mengacu pada lima tema pembangunan berkelanjutan COMHAR (2007) seperti disajikan pada Gambar 31. Lima tema ini meliputi pengambilan keputusan yang baik (good decision making), berkeadilan sosial (social equity), berkeadilan antar generasi (equity between generations), pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya secara efisien (satisfaction of human needs by the efficient use of resources), dan penghargaan terhadap integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati (respect for ecological integrity and biodiversity). Gambar 31 Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007)

5 163 Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional dilandasi oleh good decision making dan social equity. Untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang tepat dalam perumusan kebijakan maka diperlukan partisipasi stakeholder dalam proses perumusan. Di samping itu perumusan kebijakan juga mempertimbangkan aspek keadilan sosial sehingga kebijakan pengelolaan bersifat inklusif yang memberikan manfaat secara adil bagi semua pihak. Kebijakan yang dibangun juga memungkinkan untuk berlangsungnya partisipasi stakeholder dan pendelegasian pengambilan keputusan. Kebijakan yang dirumuskan dirancang bangun untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya taman nasional secara efisien tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memperoleh manfaat yang sama. Aktifitas pemenuhan kebutuhan manusia ini dilakukan tanpa mengorbankan atau dibatasi oleh integritas ekosistem dan keanekaragaman hayati taman nasional. Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional berdasarkan konsep keberlanjutan tersebut merupakan upaya perumusan solusi permasalahan dalam pengelolaan taman nasional. Aktivitas masyarakat yang menimbulkan permasalahan, seperti perambahan taman nasional berpotensi mengakibatkan penurunan integritas ekosistem dan kepunahan sumber daya alam hayati. Berdasarkan konsep pembangunan keberlanjutan, permasalahan tersebut diselesaikan tidak hanya melalui pendekatan pengamanan saja melainkan juga diperlukan penyelesaian yang lebih holistik dan berkeadilan sosial melalui kebijakan dengan melibatkan Pemerintah Daerah, masyarakat lokal, perguruan tinggi dan dunia usaha untuk mencapai tujuan pengelolaan. Oleh karena itu, pengembangan kebijakan ini merupakan kebijakan yang baru atau memodifikasi produk hukum lama berdasarkan hasil analisis dan sintesis terhadap kebijakan strategis dan operasional pengelolaan taman nasional yang berlaku. Penyusunan kebijakan didasarkan atas asumsi dari hasil analisis SAST, yaitu: 1) Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, 2) pembangunan ekonomi dilaksanakan secara berkeadilan yang didukung kesepahaman serta kesadaran masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap peran penting

6 164 jasa lingkungan, dan 3) ketersediaan dana dan tenaga pendampingan serta kesamaan pandang terhadap peran sumber daya alam dalam pembangunan. Sedangkan pengembangan kebijakannya sendiri didasarkan atas hasil ISM elemen tujuan terlindunginya ekosistem dan keanekaragaman hayati serta bertambahnya pendapatan masyarakat digunakan sebagai tujuan khusus pengelolaan taman nasional. Elemen lembaga yang terlibat atau stakeholder yang digunakan dalam kebijakan adalah lembaga yang merupakan variabel kunci. Sedangkan variabel dengan daya pendorong besar dari elemen kendala, perubahan yang dimungkinkan dan kegiatan yang diperlukan digunakan sebagai intervensi kebijakan. Identifikasi faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan pengelolaan taman nasional dilakukan melalui sintesis dari hasil pengamatan dan analisis yang telah dilakukan. Faktor ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Internal Manajemen Internal manajemen sangat menentukan tingkat keberhasilan pengelolaan karena mempengaruhi alokasi dan pemanfaatan sumber daya, khususnya dana dan personalia, maupun sumber daya alam. Peningkatan manfaat ekonomi, baik langsung maupun tidak langsung sangat dibutuhkan oleh masyarakat, dunia usaha maupun Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pengelola dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi kebutuhan para pihak melalui pengelolaan sumber daya taman nasional secara efektif. 2) Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Faktor ini menentukan keberlanjutan pengelolaan karena kemungkinan pengaruh tekanan populasi penduduk, kondisi ekonomi, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional. Faktor ini dapat menumbuhkan dukungan terhadap upaya konservasi maupun berdampak negatif seperti pencurian sumber daya hayati dan perambahan lahan. 3) Kondisi Fisik Kawasan Kondisi fisik kawasan sangat menentukan kemampuan taman nasional dalam memberikan manfaat bagi umat manusia. Hal yang termasuk dalam faktor ini adalah kondisi keanekaragaman sumber daya alam hayati, termasuk

7 165 keragaman genetik, spesies, jenis, ekosistem serta habitat. Kondisi fisik kawasan yang direpresentasikan oleh penutupan hutan menunjukkan kecenderungan yang menurun. 4) Partisipasi Masyarakat Faktor ini sangat menentukan tingkat dukungan masyarakat terhadap upaya konservasi dan taman nasional. Pengamatan lapang 5) Kebijakan Sektoral/daerah Kebijakan sektoral dan daerah dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap pengelolaan taman nasional. Alternatif kebijakan yang telah dibangun berdasarkan hasil ISM mengacu pada faktor-faktor yang menentukan pengelolaan taman nasional agar dapat berkelanjutan. Alternatif kebijakan tersebut pada prinsipnya untuk mewujudkan dan melingkupi: 1). kegiatan yang memang perlu dilakukan, 2). kegiatan yang dapat dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi kendala utama yang menghambat pencapaian tujuan sistem pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah, dan 3). kegiatan yang dapat mengisi peluang perubahan yang dimungkinkan agar taman nasional dapat berkelanjutan. Arahan kebijakan-kebijakan tersebut mencakup: 1) Peningkatan pengetahuan tentang manfaat dan kepedulian masyarakat terhadap taman nasional, 2) Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar taman nasional, 3) Peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas, 4) Peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan taman nasional, 5) Peningkatan manfaat ekonomi taman nasional untuk menunjang pembangunan daerah, 6) Peningkatan kegiatan investasi yang ramah lingkungan dan manusia di sektor pariwisata alam, 7) Peningkatan koordinasi dalam pengelolaan taman nasional.

8 166 Berdasarkan arahan ini dan tujuan pengelolaan maka alternatif kebijakan yang dibangun dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Penguatan kelembagaan pengelolaan Ruang lingkup kebijakan ini dimaksudkan untuk perbaikan koordinasi sehingga dapat meningkatkan efektifitas manajemen taman nasional. Koordinasi tidak hanya terfokus pada tingkat perencanaan, implementasi maupun monitoring kegiatan pengelolaan, melainkan juga untuk sinkronisasi pada tingkatan kebijakan daerah dan sektoral. Peningkatan efektifitas manajemen diharapkan dapat meningkatkan manfaat ekonomi taman nasional secara langsung untuk menunjang pembangunan daerah. Penguatan kelembagaan juga akan mengatasi kendala keterbatasan dan alokasi pemanfaatan dana pengelolaan. 2) Pengentasan kemiskinan sebagai upaya konservasi Kebijakan ini untuk meningkatkan kegiatan investasi yang ramah lingkungan dan ramah manusia di sektor pariwisata alam. Di samping itu, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar taman nasional diupayakan melalui peningkatan akses terhadap sumber daya taman nasional maupun sumber daya di luar taman nasional akan didorong oleh kebijakan ini. Kebijakan pengentasan kemiskinan sebagai sarana konservasi dapat dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai program kegiatan, antara lain: a) pengembangan potensi tanaman obat-obatan, b) pengembangan kegiatan usaha pariwisata alam, c) pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi lahan. Sedangkan kebijakan pengembangan sistem informasi dan relasi publik dapat diuraikan dalam program kegiatan, yaitu: a) inventarisasi ekosistem, b) kerjasama ekonomi dengan masyarakat, c) penyuluhan dan pendidikan lingkungan. 3) Pelembagaan partisipasi masyarakat Partisipasi masyarakat merupakan elemen pendorong terwujudnya pengelolaan yang berkelanjutan sehingga partisipasi seyogyanya diperlakukan sebagai upaya sadar yang dilakukan untuk mendukung taman nasional. Partisipasi diwadahi oleh sebuah lembaga dan mekanisme

9 167 partisipasi dibangun sehingga memungkinkan masyarakat dan para pihak dapat merencanakan, mengimplementasikan maupun memonitor tingkat keberhasilan pengelolaan taman nasional. 4) Pengembangan sistem informasi dan relasi publik Kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang manfaat, kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap keberlanjutan pengelolaan taman nasional. Alternatif kebijakan tersebut selanjutnya ditelaah secara keseluruhan menggunakan metode fuzzy AHP berdasarkan faktor, tujuan dan stakeholder untuk menetapkan prioritas kebijakan tertinggi sebagai kebijakan yang mengarahkan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. Hasil agregasi nilai fuzzy penilaian perbandingan berpasangan dengan menggunakan variabel linguistik oleh pakar terhadap faktor, tujuan, stakeholder dan alternatif kebijakan dan nilai eigennya ditampilkan pada Lampiran 11 dan 12. Berdasarkan hasil analisis jenjang keputusan menggunakan metode fuzzy AHP (Gambar 32), faktor yang menempati prioritas tertinggi adalah partisipasi masyarakat yang disusul dengan internal manajemen, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kebijakan sektoral/daerah dan kondisi fisik kawasan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor partisipasi masyarakat merupakan faktor paling penting dalam pengembangan kebijakan agar pengelolaan taman nasional dapat berkelanjutan. Pemerintah Daerah mempunyai peran paling penting dalam mempengaruhi faktor-faktor pengembangan kebijakan. Sedangkan tujuan yang memiliki prioritas paling tinggi adalah perlindungan ekosistem yang penting dan pelestarian keanekaragaman hayati. Meskipun demikian, sebenarnya nilai eigen dari masing-masing tujuan tidak banyak berbeda sehingga dapat dikatakan memiliki prioritas yang relatif sama. Dengan demikian, alternatif strategi kebijakan dalam pengelolaan taman nasional memiliki prioritas secara berturut-turut adalah: 1) Penguatan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan sebagai sarana upaya konservasi, 2) Pelembagaan partisipasi masyarakat, dan 3) Pengembangan sistem informasi dan relasi publik.

10 168 Gambar 32 Prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional Prioritas kebijakan penguatan kelembagaan dan pengentasan kemiskinan sebagai sarana upaya konservasi kemudian dirancang bangun ke dalam bentuk Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM). Sistem TaNaBEM merupakan suatu sistem pengelolaan yang dilandasi oleh prinsip good decision making dan bersifat partisipatif dari berbagai stakeholder yang mampu menampung aspirasi masyarakat, kebijakan Pemerintah serta Pemerintah Daerah. Sistem ini juga merupakan suatu perencanaan berdimensi kewilayahan yang mampu mensinkronisasikan dan mengintegrasikan antara rencana tata ruang wilayah dengan kegiatan taman nasional itu sendiri. Selain itu, Sistem TaNaBEM mengkoordinasikan kegiatan di TNKS yang secara komplementer berkaitan dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah dari kabupaten-kabupaten yang tercakup dalam wilayah kawasan TNKS dan memperhatikan dan memonitor daya dukung lingkungan melalui rencana

11 169 pengelolaan lingkungan. Sistem pengelolaan ini terdiri atas aspek manajemen, kelembagaan dan pendanaan yang diwujudkan dalam 3 model seperti yang ditunjukkan pada Gambar 33, yaitu: 1) Model Manajemen (Model MTN) 2) Model Kelembagaan (Model KPTN) 3) Model Pendanaan (Model PTN) Gambar 33 Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM) Model Manajemen (Model MTN) pada dasarnya mengintegrasikan kebijakan Pemerintah dengan rencana pembangunan jangka menengah daerah, rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan rencana pengelolaan lingkungan serta bersifat komplementer (Gambar 34). Model MTN merupakan manajemen perencanaan yang memiliki tujuan untuk stabilitas kesehatan ekosistem dan tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat lokal dan adat dengan tingkat resiko kerusakan ekosistem yang rendah karena dukungan dan partisipasi para pihak. Peningkatan pendapatan diperoleh melalui peningkatan akses sumber daya, yang dapat berbentuk pemanfaatan sumber daya taman nasional atau sumber daya diluar taman nasional maupun akses sumber daya finansial. Akses pemanfaatan diberikan kepada masyarakat lokal dan adat melalui Badan Usaha

12 170 Milik Desa (BUMDes), industri rumah tangga maupun koperasi. Pemerintah Kabupaten berperan dalam mendorong pembentukan dan pembinaan BUMDes di desa-desa sekitar kawasan taman nasional. Pembinaan terhadap BUMDes, industri rumah tangga dan koperasi meliputi pengembangan kapasitas yang disertai dengan penyuluhan dan peningkatan pengetahuan manfaat ekonomi tidak langsung dari keberadaan taman nasional. Upaya-upaya ini akan membentuk masyarakat yang lebih berdaya. Jika masyarakat lebih berdaya maka peluang keberhasilan dalam mengelola sumber daya keuangan semakin besar. Pada tahap ini dukungan pemerintah melalui Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank untuk mendanai kegiatan ekonomi menjadi penting. Di samping itu, program penyediaan dana bergulir juga akan dapat bermanfaat. Berkembangnya kegiatan ekonomi pedesaan akan menciptakan mata pencaharian alternatif di luar kegiatan ekonomi yang bergantung pada sumber daya lahan untuk pertanian. Selanjutnya keadaan ini akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Berkurangnya ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap sumber daya lahan untuk penghidupan karena telah berkembangnya alternatif mata pencaharian diharapkan akan menyebabkan berkurangnya kegiatan perambahan lahan dan kegiatan lain yang merusak taman nasional taman nasional. Jika masyarakat memiliki ketergantungan terhadap taman nasional melalui kegiatan produktif yang sejalan dengan tujuan konservasi maka masyarakat akan menjaga sumber penghidupannya secara partipatif. Hal ini selanjutnya akan mengurangi tingkat kerusakan dan kegiatan rehabilitasi taman nasional. Partisipasi masyarakat yang secara sukarela turut memelihara taman nasional akan mengurangi persoalan keterbatasan dana dan personil pengamanan dari Pengelola TNKS saat ini. Kondisi ini mendorong terpeliharanya stabilitas kesehatan ekosistem. Umpan balik dalam Model MTN terjadi ketika stabilitas kesehatan ekosistem dapat terjaga maka akses pemanfaatan dapat ditingkatkan. Namun, pengaturan dan monitoring perlu dilakukan oleh Pengelola TNKS agar tingkat pemanfaatan tidak melebihi daya lenting ekosistem taman nasional. Mekanisme

13 171 kontrol ini sangat penting karena untuk menghindari kehancuran sistem pengelolaan taman nasional. Di samping itu, pengembangan alternatif mata pencaharian juga dilakukan dengan mempertimbangkan dampak samping negatif yang mungkin timbul. Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat dengan memanfaatkan kawasan taman nasional dapat dilakukan melalui beberapa cara. Cara pertama adalah meningkatkan pemanfaatan potensi yang terdapat di kawasan taman secara langsung dan yang kedua adalah secara tidak langsung. Pengembangan potensi taman nasional secara langsung yang utama adalah pemanfaatan selain zona inti kawasan untuk pariwisata alam. Usaha pariwisata alam meliputi usaha penyediaan jasa pariwisata alam dan penyediaan sarana pariwisata alam. Usaha penyediaan jasa pariwisata alam diantaranya adalah usaha jasa informasi, pemandu wisata, transportasi, perjalanan wisata dan jasa makanan minuman. Sedangkan usaha penyediaan sarana dapat berupa usaha akomodasi dan sarana perlengkapan wisata alam. Di samping itu, dapat juga dikembangkan usaha pendukung pariwisata alam diantaranya usaha perdagangan kerajinan, cindera mata maupun makanan khas daerah. Pengembangan jasa lingkungan taman nasional yang hasilnya kemudian dapat digunakan untuk pengelolaan taman nasional maupun pengembangan masyarakat adalah pengembangan imbal jasa lingkungan. Imbal jasa lingkungan yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah jasa pemanfaatan air. Sumber daya air dari taman nasional cukup potensial karena beberapa DAS besar mempunyai hulu di kawasan taman nasional. Beberapa pihak telah menggunakan jasa pemanfaatan air yang bersumber dari kawasan taman nasional. Sumber daya air telah digunakan untuk tanaman budidaya, rekreasi danau, suplai bahan baku air minum, dan sumber tenaga pembangkit listrik.

14 172 Gambar 34 Model Manajemen (Model MTN) Untuk meningkatkan efektifitas Model MTN diperlukan pengaturan kelembagaan karena selama ini koordinasi menjadi kendala yang nyata. Berdasarkan stakeholder dan lembaga kunci yang berperan penting dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah maka dibangun Model Kelembagaan KPTN (Gambar 35). Stakeholder yang terlibat dalam model ini adalah Pemerintah Pusat, Departemen Kehutanan/Pengelola Taman Nasional, Pemerintah Daerah, masyarakat lokal dan adat dan pelaku usaha mikro, kecil dan koperasi, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat. Model KPTN dibangun untuk memungkinkan partisipasi para pihak dalam

15 173 pengelolaan taman nasional sehingga menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan. Di samping itu, Model KPTN dirancang untuk dapat menampung aspirasi para pihak yang berkepentingan dan memungkinkan pembuatan konsensus dalam pengelolaan taman nasional. Selama ini proses perencanaan, implementasi, dan evaluasi pengelolaan taman nasional dilakukan oleh pengelola taman nasional sebagai penjabaran kebijakan program Kementerian Kehutanan. Keterlibatan masyarakat dan Pemerintah Daerah dalam proses tersebut hanya berlangsung pada penyusunan perencanaan taman nasional jangka panjang dan menengah melalui konsultasi publik dan rekomendasi Pemda dalam penyusunan rencana pengelolaan. Sedangkan dalam proses perencanaan jangka pendek masyarakat dan Pemerintah Daerah tidak terlibat. Di lain pihak, proses perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan daerah mempunyai mekanisme tersendiri dan pembangunan sektor kehutanan di daerah tidak termasuk penyelenggaraan pembangunan taman nasional karena pembangunan taman nasional bukan dalam kewenangan Pemerintah Daerah. Keadaan ini menyebabkan pengelolaan taman nasional kurang efektif karena koordinasi antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah merupakan kendala yang dirasakan oleh semua pihak. Partisipasi masyarakat juga masih dalam tahap penyampaian informasi yang masih terbatas penyebarannya sehingga masyarakat kurang memahami fungsi dan manfaat taman nasional. Hal ini mengakibatkan tingginya ketidak pedulian dan rendahnya dukungan masyarakat terhadap taman nasional. Model KPTN dibangun untuk meningkatkan koordinasi dan kelemahan kebijakan yang sekarang dijumpai dalam pengelolaan taman nasional. Model ini memiliki tujuan untuk sinkronisasi dan integrasi kebijakan, perencanaan, dan program antara pengelola taman nasional dan Pemerintah Daerah dengan partisipasi para pihak. Model KPTN akan memperkuat hubungan kelembagaan pengelolaan taman nasional melalui pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional yang sekaligus menjembatani dan mewadahi partisipasi para pihak sebagai mitra. Kelompok Kerja (Pokja) ini merupakan antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, masyarakat

16 174 lokal, pelaku usaha, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat yang dapat menampung aspirasi dan menghasilkan konsensus dalam pengelolaan taman nasional. Pokja ini memiliki fungsi koordinatif konsultatif dan memberikan masukan dalam perencanaan dan evaluasi yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui konsensus untuk: 1) mengkoordinasikan upaya-upaya konsevasi sumber daya hayati dan ekosistemnya secara partisipatif dan komplementer, 2) mengkoordinasikan pengembangan kegiatan ekonomi alternatif terkait dengan pemanfaatan sumber daya taman nasional, 3) pengembangan usaha mikro kecil dan koperasi yang bergerak dibidang usaha yang terkait dengan taman nasional, 4) penyusunan usulan penetapan prioritas pengelolaan taman nasional sesuai dengan daya dukung taman nasional maupun kondisi sosial dan ekonomi masyarakat lokal, dan 5) pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat lokal. Sedangkan aspek pelaksanaan pemanfaatan sumber daya taman nasional untuk kesejahteraan masyarakat, pendapatan Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwadahi dalam bentuk BUMDes. Pembentukan BUMDes berpedoman pada ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Inisiasi dan pembentukan BUMDes didasarkan atas aspirasi dan prakarsa masyarakat desa dengan prinsip kooperatif, partisipatif dan emansipatif. Pada intinya adalah BUMDes dimiliki, dipetik manfaat produktifnya dan dikelola oleh pemrakarsa. Pembentukan BUMDes dimaksudkan untuk mendorong dan menampung kegiatan peningkatan pendapatan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan potensi taman nasional, maupun kegiatan perekonomian yang diserahkan untuk dikelola oleh masyarakat melalui program Pemerintah dan pemerintah daerah yang lainnya. BUMDes juga merupakan sarana perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TNKS.

17 175 Gambar 35 Model Kelembagaan (Model KPTN) Konsekuensi dari penerapan Model MTN dan Model KPTN lebih lanjut memerlukan perubahan mekanisme pendanaan. Kebijakan mekanisme pendanaan untuk implementasi kebijakan pengelolaan taman nasional diwujudkan dalam bentuk Model Pendanaan Taman Nasional (Model PTN) seperti disajikan pada Gambar 36.

18 176 Kementerian Kehutanan APBN, DNS Kementerian Keuangan APBN Debt for Nature Swap (DNS) Imbal jasa lingkungan Iuran ijin usaha wisata Badan Layanan Umum Taman Nasional Dana bergulir Badan Usaha Milik Desa (BUMDes)/ Koperasi Usaha Mikro dan Kecil Kemitraan Hibah Dukungan dana Dana Penelitian Perguruan Tinggi Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) Retribusi Penguatan permodalan Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Pembiayaan usaha/kredit Dana Kemitraan APBD APBD Dana perimbangan Pemerintah Propinsi Pemerintah Kabupaten Dinas Teknis APBD/penguatan permodalan Kredit Industri Jasa Lingkungan Pendapatan Dana perimbangan Keterangan: Badan Usaha Menengah dan Besar usulan perubahan koordinasi CSR CSR Masyarakat Lokal dan Adat Gambar 36 Model Pendanaan (Model PTN) Balai Besar/Balai Taman Nasional (BBTN) memiliki kegiatan usaha pariwisata alam, potensi pengembangan imbal jasa lingkungan dan bioprospecting. Untuk keperluan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel maka salah satu alternatif yang memungkinkan adalah memberikan status Badan Layanan Umum (BLU). Status BLU bukan merupakan yang pertama di lingkungan Kementerian Kehutanan, walaupun status tersebut belum pernah ditetapkan untuk taman nasional. Usulan ini dapat dilakukan mengingat beberapa hal. Pertama, BBTN merupakan instansi Pemerintah yang

19 177 mengelola kawasan dan juga memberikan pelayanan, khususnya pelayanan jasa lingkungan kepada masyarakat. Dalam melakukan kegiatan pelayanan jasa BBTN seharusnya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Kedua, pengelolaan BBTN sudah bersifat semi otonom dan berperan sebagai pelaksana dari lembaga induknya, yaitu Departemen Kehutanan. Ketiga, penggalian sumber dana perlu ditingkatkan dan pengelolaan keuangan memerlukan fleksibilitas agar pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan. Keempat, penguatan kelembagaan Balai Besar/Balai Taman Nasional menjadi Badan Layanan Umum Taman Nasional (BLU-TN) diharapkan dapat mengatasi persoalan pemeliharaan melalui alokasi pemanfaatan dana hibah dalam pengelolaan taman nasional. Landasan hukum BLU-TN adalah UU 01 Tahun 2004, Pasal 68 ayat 1, yang menyatakan bahwa Badan Layanan Umum dapat dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Lebih spesifik lagi, PP 23 Tahun 2005 Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa BLU merupakan instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan. BLU-TN dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola pengelolaan keuangan BLU-TN merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. Kekayaan BLU-TN merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya. Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan (Pasal 68 ayat 2), dalam hal ini Menteri Kehutanan. BLU-TN akan menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan (UU 01 Tahun 2004, Pasal 69 ayat 1). Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Kehutanan. Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum sesuai

20 178 dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 mengenai Keuangan Negara dalam rencana kerja dan anggaran tahunannya dikonsolidasikan ke dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Kehutanan. Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara. Di samping itu, Badan Layanan Umum sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2005 dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain, termasuk dari organisasi luar negeri. Pendapatan ini dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum Taman Nasional sesuai dengan dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan yang merupakan Bendahara Umum Negara (BUN). BLU-TN dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pola pengelolaan keuangan BLU-TN merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat. Kekayaan BLU-TN merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatannya. Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan (Pasal 68 ayat 2), dalam hal ini Menteri Kehutanan. BLU-TN akan menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan (UU 01 Tahun 2004, Pasal 69 ayat 1). Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Kehutanan. Pendapatan dan belanja Badan Layanan Umum dalam rencana kerja dan anggaran tahunan dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementerian Kehutanan. Pendapatan yang diperoleh Badan Layanan Umum sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara. Di samping itu, Badan Layanan Umum dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain. Pendapatan ini dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja Badan Layanan Umum Taman Nasional.

21 179 Pengembangan model ini telah memperhatikan ketentuan dalam kebijakan otonomi daerah. Penentuan kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah, menurut Sofyar (2004) peranan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam model memiliki karakteristik sistem pemerintahan yang harus sesuai dengan tugas dan fungsinya. Tugas dan fungsi masing-masing pihak yang terkait dalam Model MTN, KPTN dan PTN (Tabel 26), secara garis besar yaitu: 1) Pemerintah Kabupaten secara langsung berinteraksi dengan masyarakat sehingga peranannya lebih berorientasi pada peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pengembangan infrastruktur serta mendukung penguatan dan pembinaan lembaga masyarakat dan pendayagunaan potensi kawasan dalam kabupaten. 2) Pemerintah Propinsi yang membawahi kawasan lintas kabupaten lebih berorientasi pada penguatan kelembagaan dan pendayagunaan potensi kawasan lintas kabupaten serta pemberian insentif terutama informasi yang terpadu dalam penataan kawasan ekonomi, penataan daya dukung lingkungan serta pasar regional. 3) Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya lebih berorientasi pada penciptaan dukungan kebijakan melalui penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang bersifat induk. Di samping itu, Pemerintah Pusat memberikan fasilitas dan pembinaan. Alternatif kebijakan pengelolaan taman nasional yang dikembangkan berdasarkan Model MTN, Model KPTN dan Model PTN, secara keseluruhan model ini akan menghasilkan kebijakan dan program pengelolaan taman nasional untuk jangka menengah yang merupakan kebijakan strategis dan kebijakan operasional yang berupa perencanaan dan evaluasi program kegiatan tahunan. Kebijakan strategis dan operasional yang disusun merupakan kebijakan sinergi yang mengacu pada kebijakan pembangunan nasional, sektoral dan daerah. Keluaran dari kebijakan tersebut jika keseluruhan proses dilaksanakan sesuai dengan Model MTN bersama dengan Model KPTN dan Model PTN adalah terjaganya kesehatan ekosistem dan terpenuhinya peningkatan pendapatan masyarakat lokal melalui partisipasi masyarakat.

22 Tabel 26 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam Sistem Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah 180

23 181

24 182

25 183

26 Validasi Model Validasi model dan perumusan alternatif kebijakan dilakukan berdasarkan tinjauan teoritis terhadap model dan studi komparatif terhadap asumsi-asumsi kebijakan yang setara dengan model pengelolaan taman nasional. Secara teoritis, model tersebut sesuai dengan proses pengembangan kebijakan dengan mengaplikasikan soft system methodology dan pendeketan intervensi sistem (Luckett & Grossenbacher 2003) serta inklusi stakeholder (Achterkamp & Vos 2007). Proses pengembangan kebijakan ini menghasilkan pemahaman lintas disiplin dengan lebih baik dan mengikut sertakan para pihak yang berkepentingan sehingga dapat membangun kebijakan yang holistik.

27 185 Validasi Model MTN, KPTN dan PTN dilakukan dengan pendapat pakar melalui wawancara yang mendalam. Hasil validasi melalui pendapat pakar menunjukkan bahwa: 1) Model yang dikembangkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengelolaan taman nasional, namun perlu disesuaikan dengan kondisi dan respon Pemerintah Daerah, terutama terkait dengan dipenuhi atau tidaknya asumsi yang mendasari kebijakan. 2) Model yang dikembangkan tidak dapat menggambarkan kegiatan yang mungkin merusak sumbardaya alam hayati taman nasional akibat aktifitas perusahaan swasta besar, seperti perusahaan kehutanan, perkebunan dan pembalakan ilegal. 3) Bentuk lembaga antar muka antara pengelola taman nasional dan para pihak dapat berbentuk lain selain working group, tergantung dari kesepahaman antara pengelola dan para pihak. 4) Secara keseluruhan, sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat (TaNaBEM) sebagai upaya pengelolaan taman nasional untuk menjaga stabilitas kesehatan ekosistem dan tercapainya peningkatan pendapatan masyarakat melalui partisipasi masyarakat dapat merepresentasikan kondisi yang diharapkan para pihak. Model MTN, Model KPTN dan Model PTN yang dibangun untuk meningkatkan koordinasi perencanaan dan evaluasi, sinkronisasi kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, memiliki kemampuan untuk menampung aspirasi masyarakat dan fleksibilitas pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntablel dapat diterima dan layak diimplementasikan. Sedangkan validasi output model sistem dinamik dilakukan dengan uji statistik. Hasil uji validitas kinerja variabel jumlah penduduk AME=0.12, AVE=6.98, U-Theil=5.35, KF=0.5 dan DW=0.71 dan pendapatan masyarakat AME=8.03, AVE=9.65, U-Theil=6.06, KF=0.5 dan DW=0.74. Hasil ini menunjukkan bahwa model sistem dinamik menghasilkan kinerja yang sesuai dengan data.

28 Prospektif Dampak dan Implikasi Kebijakan Simulasi kebijakan Sistem TaNaBEM yang dilakukan secara hipotetik berdasarkan diagram alir (Gambar 37) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pendapatan masyarakat, partisipasi dan stabilisasi kesehatan ekosistem (Gambar 38, 39 dan 40). Peningkatan alternatif mata pencaharian sebesar 20% melalui pemberian akses terbatas pemanfaatan tumbuhan, satwa liar dan wisata alam dapat meningkatkan penghasilan menjadi Rp pada tahun Pendapatan masyarakat meningkat 43% jika dibandingkan proyeksi sebelum penerapan kebijakan. Kebijakan peningkatan akses masyarakat terhadap taman nasional untuk pemanfaatan terbatas, khususnya pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar ini disimulasikan mulai tahun 2011 dengan pemanfaatan secara periodik 3 tahunan. Namun, kebijakan peningkatan akses pemanfaatan terbatas ini harus disertai peningkatan pengetahuan masyarakat tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem taman nasional sebesar 30%. Peningkatan pendapatan dan pengetahuan menginisiasi peningkatan tingkat partisipasi menjadi tinggi dan pada saat yang sama kesehatan ekosistem dapat mempertahankan berada pada kondisi baik.

29 187 Jumlah_Penddk Laju_Penambahan Laju_Pengurangan Fr_Penambahan_Pdd Laju_Tumbuh_Neto Laju_Tumb_KK Fr_Pengurangan_Pdd Kbth_Lahan_Bud Pengetahuan Fr_JKK L_Keb_Lahan Fr_Pengetahuan Fr_Keb_Lahan P_Pendapatan Ls_Rehabilitasi Penyerapan_TK Fr_Klahan Pendapatan_Masy Partisipasi Fr_Serap_Rehab Laju_Partisipasi Fr_Partisipasi Fr_Serap_LB Kepemilikan_Lahan L_KLahan Fr_KTN Pengamanan_TN Kbth_Lahan_Bud Kes_Ekosistem L_Peningkatan_KE L_Degradasi_KE Fr_Rambah Fr_Tingkat_KE Perambahan Luas_Kerusakan_TN P_Kerusakan_TN L_Kerusakan L_Perbaikan Fr_DKE Fr_Kerusakan Fr_Perbaikan Jumlah_Investasi L_Rehab_Hutan Ls_Rehabilitasi Laju_Investasi Fr_Rehab_Hutan Reboisasi Fr_Investasi Fr_UMKK Laju_UMKM Jumlah_UMKM L_Dana_Pengamanan Dana_Pengamanan L_Kurang_DP L_Pendapatan Pendapatan_Masy Fr_Dana_Kelola Fr_Manfaat Manfaat Fr_KDP Fr_JMP_Alternatif M_Penc_Alternatif L_Alternatif_MP Pengamanan_TN Fr_Alternatif_MP Gambar 37 Diagram alir sistem dinamik pengelolaan taman nasional

30 188 Gambar 38 Proyeksi tingkat pendapatan masyarakat setelah kebijakan Gambar 39 Proyeksi tingkat partisipasi setelah kebijakan Gambar 40 Proyeksi kesehatan ekosistem setelah penerapan kebijakan

31 189 Kebijakan pengelolaan taman nasional dengan Sistem TaNaBEM memungkinkan peningkatan manfaat taman nasional bagi masyarakat secara langsung tanpa mengorbankan tujuan konservasi. Namun, implementasi Model MTN, KPTN dan PTN hanya dapat dilaksanakan secara efektif jika didukung oleh peraturan dan kebijakan daerah yang tepat. Pada tingkat nasional, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan taman nasional telah ditetapkan melalui berbagai peraturan antara lain Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang- Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19 tahun 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam serta Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Di samping itu, peraturan dan kebijakan yang terkait dengan pemerintahan sudah ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian implikasi kebijakannya di tingkat pusat bertugas untuk mewujudkan kondisi yang memungkinkan bagi pemberdayaan masyarakat dan terpeliharanya ekosistem melalui inisiatif terhadap pengembangan dan penyempurnaan peraturan perundangan serta penyediaan fasilitas. Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi dan masyarakat lokal yang memiliki fungsi koordinatif yang merekonsiliasi trade-off dan membangun sinergi melalui konsensus. Penetapan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan. Pokja ini merupakan wadah koordinasi dan komunikasi antara wakil Pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten, wakil UPT Taman Nasional, wakil pemanfaat taman nasional,

32 190 wakil masyarakat umum dan akademisi. Pokja ini merupakan organisasi non struktural yang melaporkan kegiatannya kepada BLU-TN, Gubernur dan Bupati untuk membantu tugas-tugas dalam mengkoordinasikan pengembangan manfaat taman nasional bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat kabupaten. Mandat yang diberikan kepada Kelompok Kerja sebaiknya diarahkan pada tugas dan fungsi: 1) memberikan masukan kebijakan operasional untuk memelihara dan meningkatkan manfaat taman nasional bagi masyarakat, 2) merumuskan masukan rencana yang sinergis pengembangan ekonomi masyarakat sekitar taman nasional, 3) merekomendasikan prioritas alokasi dana sektoral untuk mendukung terpeliharanya sumber daya taman nasional, 4) memberikan masukan perumusan rencana tahunan dan lima tahunan pengelolaan taman nasional, dan 5) memberikan masukan untuk pemberian ijin pemanfaatan taman nasional, serta 6) melaporkan hasil kegiatan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur dan Bupati. Penetapan status BLU Taman Nasional ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Perubahan status menjadi BLU dan sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat memerlukan penyesuaian struktur organisasi pengelola. Perubahan status BLU berimplikasi pada perlunya perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Taman nasional saat ini secara teknis dibawah pengelolaan Ditjen PHKA, maka kalau status berubah menjadi BLU, pengelolaan sebaiknya berada di bawah koordinasi Menteri Kehutanan karena fungsinya lintas Ditjen dan juga memerlukan penanganan khusus dari aspek keuangan dan perencanaan yang terkait dengan fungsi Setjen Kementerian Kehutanan. Sehingga BLU Badan Pengelola Taman Nasional bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kehutanan yang secara teknis dibina oleh Direktur Jenderal PHKA dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan. Perubahan struktur pengelola TNKS ini diperlukan juga untuk mewadahi pengembangan potensi sumber-sumber pendanaan alternatif dari

33 191 pemanfaatan sumber daya taman nasional yang terencana dan dengan resiko yang terkelola serta pengelolaan keuangan yang efisien dan produktif. Sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat memerlukan pengelola yang sifatnya multidisplin dan profesional. Karakteristik multidisiplin ini diperlukan untuk dapat mengaitkan pengelolaan taman nasional dengan kawasan sekitarnya dan mampu melibatkan serta mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal maupun pemerintah daerah. Karakteristik pengelola yang multidisplin ini diharapkan akan membantu mewujudkan keseimbangan yang dinamis antara kepentingan konservasi dan pemanfaatan taman nasional secara ekonomi untuk masyarakat lokal dan pemerintah daerah. Sedangkan profesionalitas pengelola diperlukan agar pengelolaan taman nasional dapat dilaksanakan secara lebih efektif, efisien, transparan dan bertanggung jawab. Untuk lebih meningkatkan profesionalitas maka pengelolaan taman nasional dilaksanakan dengan berbasis kinerja operasional dan keuangan serta perekrutan personalia pengelola didasarkan atas kemampuan. Personalia pengelolanya dapat direkrut baik dari kalangan pegawai negeri sipil maupun non-pegawai negeri sipil yang profesional sesuai dengan ketentuan PP 23 tahun 2005 Pasal 33. Di samping itu, untuk memberikan otonomi dan fleksibilitas pengelolaan maka struktur organisasi BLU Badan Pengelola Taman Nasional seyogyanya bersifat profesional non eselon. Di tingkat propinsi bertugas untuk mengembangkan pelatihan-pelatihan pembangunan kapasitas untuk meningkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem dan melakukan koordinasi lintas kabupaten dalam upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat dan konservasi ekosistem, Di tingkat kabupaten bertugas untuk menetapkan kawasan-kawasan prioritas pengembangan masyarakat, mengembangkan penerapan partisipasi masyarakat dan mengembangkan pendidikan lingkungan dan pelatihan teknis. Pemerintah Kabupaten memprakarsai pembentukan BUMDes melalui penetapan Peraturan Daerah Kabupaten sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal 78 sampai dengan 81.

34 192 Gambar 41 Bagan organisasi hipotetik BLU Badan Pengelola TNKS Melalui studi komparatif pada organisasi pengelola Lembaga Penjamin Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Lampiran 14) dan mempelajari organisasi yang terdapat pada BLU Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan Kementerian Kehutanan (Lampiran 15) maka secara hipotetik dapat diusulkan bagan organisasi BLU Badan Pengelola TNKS (Gambar 41) yang masih memerlukan pendalaman fungsi dan struktur lebih lanjut. Untuk menindaklanjuti kelayakan terhadap bagan organisasi hipotetik tersebut dapat dilakukan Kementerian Kehutanan dan Keuangan sebagai pengambil kebijakan terkait penetapan BLU. Apabila BLU Badan Pengelola TNKS dapat direalisasikan maka konsep kelembagaan tersebut dapat diterapkan pada taman nasional yang lainnya.

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K

2012, No.62 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.62, 2012 LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Daerah Aliran Sungai. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5292) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang : a. bahwa Daerah

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG BADAN KOORDINASI PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN PEMBERIAN KEMUDAHAN PENANAMAN MODAL DI DAERAH GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya air merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan dan penghidupan manusia

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR: P. 1 /V-SET/2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PEMBENTUKAN SENTRA HASIL HUTAN BUKAN KAYU UNGGULAN DIREKTUR JENDERAL

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 MENTERI KEHUTANAN REPUIBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 28/Menhut-II/2006 TENTANG SISTEM PERENCANAAN KEHUTANAN MENTERI KEHUTANAN Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan pasal 43 ayat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 55,2012 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2012 TENTANG PEMBIAYAAN PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 123 TAHUN 2001 TENTANG TIM KOORDINASI PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumberdaya air merupakan kebutuhan pokok bagi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

2. Seksi Pengembangan Sumberdaya Manusia; 3. Seksi Penerapan Teknologi g. Unit Pelaksana Teknis Dinas; h. Jabatan Fungsional.

2. Seksi Pengembangan Sumberdaya Manusia; 3. Seksi Penerapan Teknologi g. Unit Pelaksana Teknis Dinas; h. Jabatan Fungsional. BAB XVII DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Bagian Kesatu Susunan Organisasi Pasal 334 Susunan organisasi Dinas Kehutanan dan Perkebunan terdiri dari: a. Kepala Dinas; b. Sekretaris, membawahkan: 1. Sub Bagian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.02/MEN/2009 TENTANG TATA CARA PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI, DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR : 30 TAHUN 2008 TENTA NG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN DAN KETAHANAN PANGAN KABUPATEN PURWOREJO BUPATI PURWOREJO,

Lebih terperinci

BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN

BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN BUPATI KLATEN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG TANGGUNG JAWAB SOSIAL DAN LINGKUNGAN PERUSAHAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KLATEN, Menimbang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang : a. bahwa hutan disamping

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bahwa dalam rangka penyusunan Rancangan APBD diperlukan penyusunan Kebijakan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2015 TENTANG USAHA WISATA AGRO HORTIKULTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang Maha

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG POLA HUBUNGAN KERJA ANTAR PERANGKAT DAERAH DAN ANTARA KECAMATAN DENGAN PEMERINTAHAN DESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN BUPATI PURWOREJO NOMOR 92 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN PURWOREJO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 154 TAHUN 2014 TENTANG KELEMBAGAAN PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN, DAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG

10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN DI KABUPATEN KUPANG 10.1 Kebijakan Umum Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Kupang yang cukup besar dan belum tergali secara optimal, karenanya

Lebih terperinci

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG

BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG BUPATI TULUNGAGUNG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TULUNGAGUNG NOMOR 62 TAHUN 2014 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN, Menimbang : a. bahwa hutan merupakan ekosistem alam karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2010 TENTANG MINAPOLITAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong percepatan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013 GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 14 TAHUN 2013 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA ORGANISASI PERANGKAT DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN,

BUPATI MADIUN BUPATI MADIUN, BUPATI MADIUN PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 7 TAHUN 2011 2010 TENTANG BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN DI KABUPATEN MADIUN BUPATI MADIUN, Menimbang : a. bahwa penyuluhan sebagai

Lebih terperinci

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP A. UMUM Berbagai kebijakan dan program yang diuraikan di dalam bab ini adalah dalam rangka mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 49/Menhut-II/2008 TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM

6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kebijakan di dalam pengembangan UKM 48 6. ANALISIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 6.1. Kebijakan di dalam pengembangan UKM Hasil analisis SWOT dan AHP di dalam penelitian ini menunjukan bahwa Pemerintah Daerah mempunyai peranan yang paling utama

Lebih terperinci

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) Copyright (C) 2000 BPHN PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 62 TAHUN 1998 (62/1998) TENTANG PENYERAHAN

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA. KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA http://www.birohumas.baliprov.go.id, 1. PENDAHULUAN Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan Bangsa Indonesia,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2010 TENTANG PENGUSAHAAN PARIWISATA ALAM DI SUAKA MARGASATWA, TAMAN NASIONAL, TAMAN HUTAN RAYA, DAN TAMAN WISATA ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG 0 GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN BERINVESTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang

Lebih terperinci

2014, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran

2014, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran No. 364, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Pemberdayaan Masyarakat. Pengelolaan. DAS. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH

BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH BUPATI ALOR PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENGELOLA KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN, SERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN,

TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 02/Menhut-II/2007 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa Keputusan Menteri Kehutanan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, 1 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.60/Menhut-II/2013 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENETAPAN RENCANA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 5 TAHUN 2010 T E N T A N G PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PELAKSANA PENYULUHAN PERTANIAN, PERIKANAN

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 7 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERIAN INSENTIF DAN KEMUDAHAN

Lebih terperinci