RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH TEGUH ADIPRASETYO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH TEGUH ADIPRASETYO"

Transkripsi

1 RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH TEGUH ADIPRASETYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2010 Teguh Adiprasetyo NRP P

3 ABSTRACT TEGUH ADIPRASETYO. Designing a Sustainable Management Policy of National Park in the Decentralized Era. Under the direction of ERIYATNO, ERLIZA NOOR, and CH. FADJAR SOFYAR. National park plays an important role in conserving nature, biodiversity and life supporting system. However, sectoral policy set up intended to manage national park may hinder that crusial role for humankind. Therefore, there has to be alternative approach to create a sound and effective public policy to manage national park sustainably. Critical system thinking could provide practical framework on policy analysis. This study was intended to develop a sustainable management policy model of national park using soft and hard system methodology approach. The results revealed that the need of such system was to balance social, economic, environment and natural resources for supporting sustainable development. The goals of the system were to protect valuable national park ecosystem for human wellbeing, to increase wealth of local residents close to national park, and to secure the existence of culture. The park authority should pay more attention to local people since they might behave as supporter or destroyer. Conceptual policy model of sustainable national park management was developed, namely National Park Management System Based on Ecosystem and Community which consisted of 3 models which were Management Model, Institutional Model and Funding Model. The model was considered as Community Initiative Government Support. In order to overcome coordination problem, to enhance comanagement and to increase benefit to local people, it is suggested that Working Group of National Park Planning Management and Village Owned Enterprise might be established. In addition, National Park Office should be enacted to General Service Agency of National Park as for efficiency and flexibility of financial management which are more transparent, accountable and professional. Key words : sustainable management, model, national park, soft system methodology

4 RINGKASAN TEGUH ADIPRASETYO. Rancang Bangun Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional di Era Otonomi Daerah. Dibawah bimbingan ERIYATNO, ERLIZA NOOR, dan CH. FADJAR SOFYAR. Di Indonesia pertumbuhan jumlah taman nasional cukup cepat, sampai tahun 2004 terdapat 50 unit taman nasional dengan total luasan 12.4 juta hektar. Taman nasional memiliki fungsi strategis dan dapat memberikan manfaat dari kegiatan konservasi. Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi selama ini terfokus pada konservasi sumberdaya alam. Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya konservasi sumberdaya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas untuk merekonsiliasi ketegangan antara sistem alam dengan sistem manusia. Perubahan politik yang lebih demokratis dan otonomi daerah memberikan konsekuensi bahwa pemerintah pusat tidak lagi menjadi satu-satunya institusi yang bertanggung jawab dalam mengelola kawasan konservasi. Pemerintah daerah dan masyarakat lokal dapat mempunyai peran yang lebih besar dalam mendukung efektifitas pengelolaan kawasan konservasi. Perubahan lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan, perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat jika kebijakan pengelolaannya hanya terfokus pada sistem ekologi. Perubahan-perubahan ini tidak bisa dihindari. Untuk itu, diperlukan pendekatan kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah dengan menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology. Studi kasus dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat dan desa sekitar di Kabupaten Kerinci dan Lebong. Responden rumah tangga masyarakat sekitar taman nasional dan pakar dilibatkan dalam penelitian ini. Data primer dan sekunder diolah menggunakan teknik analisis isi, statistik, strategic assumption surfacing and testing, pemodelan interpretasi struktural, dan fuzzy analisis hirarki proses. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas sumberdaya manusia rendah dengan akses sumberdaya lahan pertanian yang terbatas. Kepemilikan lahan berkontribusi terhadap tingkat pendapatan masyarakat. Pengetahuan tentang manfaat dan persepsi masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional, tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta koordinasi merupakan faktor-faktor yang menjadi kendala utama dalam pengelolaan taman nasional agar berkelanjutan. Tingkat pengetahuan masyarakat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu keterlibatan masyarakat dalam organisasi, asal etnis, afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat domisili, tingkat pendidikan, jarak domisili ke TNKS, ukuran keluarga, tingkat pendapatan dan kepemilikan lahan pertanian. Upaya pengelolaan diarahkan pada peningkatan pengetahuan masyarakat tentang manfaat dan fungsi taman nasional dan peningkatan pendapatan serta tingkat kesejahteraan masyarakat lokal karena upaya-upaya ini sampai batas tertentu akan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya taman nasional. Petani yang bermukim dalam kawasan dan di sekitar taman nasional merupakan kelompok masyarakat yang paling terkena

5 dampak oleh baik buruknya kinerja sistem pengelolaan taman nasional. Lembaga lain yang dapat dilibatkan dan berperan penting dalam sistem pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan adalah Pemerintah Kabupaten dan satuan kerja perangkat daerah terkait, masyarakat lokal sekitar kawasan taman nasional, perguruan tinggi dan masyarakat adat. Keterlibatan berbagai pihak yang dapat berperan penting dalam mendukung keberlanjutan taman nasional menyebabkan koordinasi menjadi elemen kunci keberhasilan pengelolaan. Sintesa asumsi strategis dengan metode SAST untuk pengembangan model kebijakan pengelolaan taman nasional yang memiliki tingkat kepentingan dan kepastian tinggi adalah Pemerintah Daerah, akademisi dan LSM memiliki komitmen tinggi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, pembangunan ekonomi berkeadilan dan kesepahaman masyarakat, serta kesadaran masyarakat, aparat Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap peran penting jasa lingkungan dan ketersediaan dana dan tenaga pendampingan serta kesamaan pandang terhadap peran sumberdaya alam dalam pembangunan juga merupakan asumsi yang penting dan pasti. Sistem pengelolaan taman nasional berbasis ekosistem dan masyarakat (TaNaBEM) sebagai manifestasi dari pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah dibangun dengan mengacu pada prinsip good decision making. Sistem TaNaBEM dijabarkan ke dalam 3 model, yaitu Model Manajemen (Model MTN), Model Kelembagaan (Model KPTN) dan Model Pendanaan (Model PTN). Model MTN merupakan upaya integrasi perencanaan pembangunan jangka menengah, rencana tata ruang wilayah, rencana kerja pemerintah dan rencana pengelolaan lingkungan yang dilandasi asas komplementer. Model KPTN adalah perwujudan kelembagaan yang mampu menampung aspirasi masyarakat dan Pemerintah Daerah untuk memperoleh konsensus pengelolaan taman nasional. Organisasi untuk merealisasikan kebijakan ini dilakukan melalui pembentukan Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Sedangkan Model PTN merupakan perwujudan dari asas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan yang diwadahi melalui penetapan status Badan Layanan Umum Taman Nasional. Untuk peningkatan efektifitas koordinasi perlu dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional sebagai antar muka antara pengelola taman nasional dengan Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, masyarakat lokal dan swasta. Kelompok Kerja ini memiliki fungsi mengkoordinasikan upaya konservasi secara partisipatif, pengembangan kegiatan ekonomi alternatif yang terkait dengan sumberdaya taman nasional, pengembangan usaha mikro kecil dan menengah yang bergerak dibidang usaha yang terkait dengan taman nasional, konsensus penetapan prioritas pengelolaan taman nasional sesuai dengan tata nilai lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Keanggotaan Forum merupakan representasi dari unsur-unsur Pemda, dinas terkait, pengelola taman nasional, perguruan tinggi, LSM dan kelompok masyarakat pengguna yang didukung oleh tim ahli dan tim teknis. Keluaran dari Kelompok Kerja ini adalah masukan kebijakan operasional dan perencanaan pengelolaan taman nasional yang pelaksanaannya akan dilakukan oleh masing-masing pihak terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Di samping itu, kelembagaan Balai Besar Taman Nasional diusulkan untuk menjadi Badan Layanan Umum Taman Nasional agar pendanaan dan pengelolaan keuangan dapat menjadi lebih fleksibel, transparan dan akuntabel. Kata kunci: pendekatan sistem, soft system, pengelolaan, taman nasional

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 RANCANG BANGUN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL SECARA BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH TEGUH ADIPRASETYO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji pada Ujian Tertutup: Penguji pada Ujian Terbuka: Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA Dr. Ir. Machfud, MS Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman Js, MF Dr. Ir. Boen M. Purnama

9

10 PRAKATA Ucapan syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas segala nikmat-nya sehingga disertasi yang berjudul Rancang Bangun Kebijakan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah dapat diselesaikan dengan baik. Kebijakan pengelolaan taman nasional sangat penting untuk dikaji karena ekosistem ini harus terjaga sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan tulus disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Eriyatno, MSAE, sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Erliza Noor, dan Dr. Chairul Fadjar Sofyar, masing-masing sebagai anggota komisi, atas segala bimbingan dan pengarahannya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. sebagai Ketua Program Studi PSL IPB, Prof. Dr. Ir. Herman Haeruman sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim dan ujian terbuka, dan Prof. Dr.Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr.Ir. Machfud, MS yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr.Ir. Boen M. Purnama yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi ujian terbuka. Kepada Dr.Ir. Samedi, Dr.Ir. Priyono, Dr.Ir. Nugroho, Dr.Ir. Wiryono, Dr. Ir. Agus Susatya, Ir. Soewartono, MM, Ir. Syamsu NM, MSc, Drs.Panji Suminar, MSc, dan Dr. Agus Trianto yang telah banyak memberikan pendapat, masukan mendasar dan dukungan pada proses penyusunan disertasi ini. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Ditjen Dikti yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam rangka mengikuti program doktor di IPB, baik melalui beasiswa BPPS maupun Hibah Penelitian Program Doktor. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Rektor UNIB atas kesempatan tugas belajar yang diberikan, Ketua Bappeda Propinsi Bengkulu dan Jambi, Kabupaten Kerinci dan Lebong, Kepala Dinas Kehutanan, Pertanian, Koperasi dan UKM, Pariwisata dan Ketua Kadinda Prop. Bengkulu dan Jambi, serta Kab. Lebong dan Kerinci, atas dukungan moril dan informasinya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa PSL Pascasarjana IPB atas saran, masukan dan dukungan dalam penyelesaian disertasi ini. Untuk Rani dan Erni diucapkan terima kasih banyak atas pengorbanan, pengertian dan doanya. Bogor, Agustus 2010 Teguh Adiprasetyo

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Oktober 1959 di Kendal, sebagai anak pertama dari 5 bersaudara dari Bapak Rochimam (alm) dan Ibu Roekaeniwati (alm). Pendidikan SD sampai SMA diselesaikan di Semarang. Pada tahun 1983, penulis menyelesaikan S1 di Jurusan Ilmu Tanah, Faperta IPB dan pada tahun 1991 menyelesaikan S2 di Agric. Mech. Kansas State University, USA. Tahun 2005 mulai menempuh program S3 di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana IPB. Selama 4 tahun sejak lulus S1, penulis pernah bekerja di beberapa perusahaan konsultan pertanian. Sejak tahun 1987 meniti karir sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu. Penulis menikah dengan Ir. Agustina Erni, MSc yang bekerja pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan dikaruniai seorang anak, Rani Yanarastri yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Teknik Sipil ITB. Publikasi ilmiah yang merupakan bagian dari penelitian disertasi ini telah di publikasikan pada Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari 9 Nomor 2 tahun 2009, jurnal ini terakreditasi Dirjen Dikti Depdiknas No:108/DIKTI/Kep/2007. Judul artikel Sikap Masyarakat Lokal Terhadap Konservasi dan Taman Nasional sebagai Pendukung Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat: studi kasus di Kabupaten Kerinci dan Lebong, Indonesia

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR.... DAFTAR LAMPIRAN. DAFTAR SINGKATAN.. Halaman xi xiii xv xvi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Manfaat Kebaruan... 2 TINJAUAN PUSTAKA Taman Nasional Pengelolaan Taman Nasional 2.3. Partisipasi Masyarakat Pembangunan Berkelanjutan Analisis Kebijakan Pendekatan Sistem dan Soft System Methodology Strategic Assumption Surfacing and Testing Pemodelan Interpretasi Struktural Fuzzy Analytical Hierarchy Process Validasi Model.. 3 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian Tahapan Penelitian Teknik Pengambilan Data Metode Analisis Data Pemodelan Sistem Analisis Sistem Dinamik Validasi Model ANALISIS SITUASIONAL Kebijakan Sektoral dan Daerah Internal Manajemen Kondisi Fisik Kawasan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Partisipasi Masyarakat.. 5 ANALISIS KEBIJAKAN Asumsi Kebijakan 5.2. Struktur Sistem Pengelolaan Taman Nasional Sistem Dinamik ix

13 6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN Sistem Pengelolaan Taman Nasional Model Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Berkelanjutan Validasi Model Prospektif Dampak dan Implikasi Kebijakan KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Saran... DAFTAR PUSTAKA. LAMPIRAN x

14 DAFTAR TABEL Halaman Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM... Skala penilaian perbandingan berpasangan... Nilai Indeks Random (RI). Peubah dan sumber data penelitian Padanan variabel linguistik dengan triangular fuzzy number... Proporsi beberapa aspek kunci dalam perundangan dan peraturan yang terkait dengan taman nasional Luasan kawasan TNKS berdasarkan wilayah administratif.. Zonasi kawasan TNKS di Kab. Kerinci dan Lebong/Rejang Lebong Tutupan hutan dan perubahannya di Kabupaten sekitar TNKS Tutupan hutan dan perubahannya di kawasan TNKS Luasan daerah aliran sungai di kawasan TNKS... Distribusi PDRB Kabupaten Kerinci harga konstan tahun 2000 Tingkat pendapatan dan kemiskinan di lokasi penelitian.. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan tentang taman nasional.. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat Pengaruh pengetahuan dan persepsi terhadap sikap masyarakat Alternatif asumsi dasar kebijakan pengelolaan taman nasional Peubah kunci sistem pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan. Elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. Elemen lembaga yang terlibat dalam pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan... Elemen kebutuhan.. Elemen tujuan Elemen kendala utama.. Elemen perubahan yang dimungkinkan Elemen kegiatan yang diperlukan xi

15 26 Peran dan keterlibatan stakeholder dalam Sistem Pengelolaan Taman Nasional secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah. 180 xii

16 DAFTAR GAMBAR Kerangka pemikiran penelitian. Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn 1994). Siklus kebijakan (Dunn 1994).. Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983)... Proses soft system methodology (Checkland 1999)... Grafik peringkat asumsi (Flood & Jackson 2000) Lokasi penelitian... Tahapan penelitian... Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) Struktur Organisasi Pengelola TNKS.. Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2005). Proporsi belanja anggaran pengelolaan TNKS (TNKS 2007). Tingkat kepentingan dan kepastian asumsi.. Struktur sistem elemen kelompok masyarakat yang terpengaruhi... Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi.. Struktur sistem elemen pelaku atau lembaga yang terlibat.. Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen lembaga yang terlibat Struktur sistem elemen kebutuhan Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kebutuhan. Struktur sistem elemen tujuan... Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen tujuan. Struktur sistem elemen kendala utama.. Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kendala.. Struktur sistem elemen perubahan yang dimungkinkan... Halaman xiii

17 Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen perubahan yang dimungkinkan. Struktur sistem elemen kegiatan yang diperlukan Matriks driver power-dependence sub-elemen pada elemen kegiatan yang diperlukan. Diagram simpal kausal sistem pengelolaan integratif. Proyeksi partisipasi, pendapatan masyarakat dan kesehatan ekosistem Sistem manajemen lingkungan pengelolaan taman nasional... Pemodelan kebijakan berdasarkan konsep COMHAR (2007) Prioritas kebijakan pengelolaan taman nasional. Sistem Pengelolaan Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat (TaNaBEM) Model Manajemen (Model MTN)... Model Kelembagaan (Model KPTN).. Model Pendanaan (Model PTN). Diagram alir sistem dinamik pengelolaan taman nasional. Proyeksi peningkatan pendapatan masyarakat setelah kebijakan Proyeksi peningkatan partisipasi setelah kebijakan. Proyeksi kesehatan ekosistem setelah penerapan kebijakan Usulan struktur organisasi BLU Badan Pengelola TNKS xiv

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Pertanyaan untuk mengetahui pengetahuan, persepsi dan sikap Kebijakan terkait Sistem Pengelolaan Taman Nasional Secara Berkelanjutan di Era Otonomi Daerah.. Karakteristik demografi dan sosial ekonomi masyarakat lokal.. Hasil ISM untuk elemen sektor masyarakat yang terpengaruhi... Hasil ISM untuk elemen pelaku yang terlibat.... Hasil ISM untuk elemen kebutuhan... Hasil ISM untuk elemen tujuan.. Hasil ISM untuk elemen kendala utama. Hasil ISM untuk elemen perubahan yang dimungkinkan.. Hasil ISM untuk elemen kegiatan yang diperlukan... Persamaan model sistem dinamik pengelolaan taman nasional Nilai fuzzy agregat pendapat pakar. Nilai eigen faktor, stakeholder, tujuan dan alternatif kebijakan. Bagan organisasi Lembaga Penjaminan Dana Bergulir KUMKM. Bagan organisasi Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan xv

19 AHP AME APBD APBN AVE Bappenas BBTN BLU BPS BUMDes CAC DAS Dephut Digraph Ditjen PHKA DP DW FGD HSM ISM IUCN KF KPTN KTT LSM MGDs MTN PP Permenhut PDRB Pokja PTN RKP RM : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : DAFTAR SINGKATAN Analytical Hierarchy Process Average Mean Error Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Absolute Variation Error Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Balai Besar Taman Nasional Badan Layanan Umum Badan Pusat Statistik Badan Usaha Milik Desa Command and Control Daerah Aliran Sungai Departemen Kehutanan Directional Graph Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Driver Power Durbin Watson Focus Group Discussion Hard System Methodology Interpretive Structural Modelling International Union for Conservation of Nature and Natural Resources Kalman Filter Kelembagaan Pengelolaan Taman Nasional Konferensi Tingkat Tinggi Lembaga Swadaya Masyarakat Millenium Development Goals Manajemen Taman Nasional Peraturan Pemerintah Peraturan Menteri Kehutanan Pendapatan Domestik Regional Bruto Kelompok Kerja Pendanaan Taman Nasional Rencana Kerja Pemerintah Reachability Matrix xvi

20 RPL RPJMN RPJMD RTRW SAST SSIM SSM TaNaBEM TN TNKS UNCED UNDESA UPT UU WCED : : : : : : : : : : : : : : : Rencana Pengelolaan Lingkungan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Strategic Assumption Surfacing and Testing Self Structural Interaction Matrix Soft System Methodology Taman Nasional Berbasis Ekosistem dan Masyarakat Taman Nasional Taman Nasional Kerinci Seblat United Nations on Environment and Development United Nations Departement of Economic and Social Affair Unit Pelaksana Teknis Undang-Undang World Commission on Environment and Development xvii

21 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep pembangunan berkelanjutan. Pemahaman dan penerimaan konsep ini berkembang dari yang awalnya hanya terfokus pada dimensi lingkungan sampai kepada pemahaman bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengintegrasikan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi, sosial budaya dan kelestarian lingkungan. Di samping itu, juga disadari bahwa pencapaian pembangunan berkelanjutan memerlukan reformasi kelembagaan dan kebijakan yang melibatkan seluruh sektor pembangunan pada semua tingkatan. Pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab pemerintah, dunia usaha dan masyarakat (UNDESA 2002). Sejak dicanangkannya otonomi daerah yang dilandasi oleh Undangundang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan Undang-undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, pembangunan di Indonesia mengalami perubahan paradigma yang mendasar dan bersifat struktural. Kebijakan otonomi daerah memberikan kewenangan yang lebih besar bagi Pemerintah Kota, Kabupaten dan Propinsi untuk dapat menjalankan kebijakan pembangunan sektoral, wilayah dan daerah secara otonom yang didasarkan pada potensi sumber daya di daerahnya masing-masing. Hal ini membuka peluang bagi pemerintah daerah dalam menggali potensi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pendelegasian kewenangan yang luas kepada daerah otonom diharapkan dapat meningkatkan percepatan pembangunan di daerah melalui pemanfaatan sumber daya alam yang dimiliki tanpa mengabaikan keberlanjutan pembangunan daerah (Kuncoro 2004). Salah satu aset sumber daya alam yang berada di daerah otonom dan merupakan kawasan konservasi adalah taman nasional. Di Indonesia, sampai tahun 2007 terdapat taman nasional sejumlah 50 unit dengan luasan 16.4 juta

22 2 hektar (Dephut 2008). Taman nasional memiliki fungsi strategis dan dapat memberikan manfaat yang berasal dari tujuan konservasi, menurut Dixon and Sherman (1990) antara lain: 1) terpeliharanya sumber daya alam, jasa lingkungan dan proses ekologis; 2) produksi material dari sumber daya alam, seperti tanaman obat dan satwa; 3) produksi jasa rekreasi dan wisata; 4) produk objek-objek wisata sejarah dan budaya; dan 5) penyediaan peluang untuk pendidikan dan penelitian. Pelayanan jasa lingkungan dan manfaat lainnya dari taman nasional ini sangat potensial bernilai ekonomi apabila dapat dikelola dengan tepat (Haeruman 1997). Untuk itu, taman nasional seharusnya dikelola agar nilai-nilai strategis tersebut dapat mengakomodasi kepentingan pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat dan dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang secara adil maupun generasi yang akan datang, baik lokal, nasional maupun internasional. Namun, pengelola taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi keanekaragaman hayati dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya di taman nasional, dimana. seringkali masyarakat lokal diabaikan dalam pengelolaan taman nasional (Stevens 1997). Pada awalnya, kebijakan pengelolaan kawasan konservasi hanya terfokus pada konservasi sumber daya alam, tetapi belakangan kebijakan ini dituntut untuk bergeser sejalan dengan kesadaran bahwa sumber daya alam dengan sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar kawasan konservasi pada dasarnya saling terkait (Phillips 2002; Wilson 2003). Kawasan konservasi perlu dikelola secara adaptif dalam perspektif jangka panjang dan dipandang sebagai aset masyarakat, baik lokal, nasional maupun internasional dengan tujuan yang mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dengan proses pembangunan sosial ekonomi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhinya dan memberikan perhatian yang lebih kepada nilai-nilai budaya lokal (Phillips 2003; Borrini-Feyerabend et al. 2004).

23 3 Meskipun kawasan konservasi mempunyai tujuan utama pada upaya konservasi sumber daya alam, tetapi secara normatif perlu diupayakan untuk memenuhi tujuan yang lebih luas, yaitu merekonsiliasi ketegangan antara sistem alam dengan sistem manusia. Kawasan konservasi dapat dijadikan sebagai mekanisme untuk mengantarkan tercapainya tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan (Barker & Stockdale 2008). Tekanan dari faktor-faktor perubahan lingkungan ini bisa berdampak positif maupun negatif terhadap kawasan konservasi, dampak negatif yang sering dijumpai antara lain perambahan lahan, perburuan ilegal, maupun fragmentasi habitat (Shadie & Epps 2008) jika kebijakan pengelolaannya hanya fokus pada sistem ekologi. Perubahanperubahan ini tidak bisa dihindari. Perubahan pendekatan ini memerlukan kebijakan yang dapat menyeimbangkan aspek sosial ekonomi dengan aspek ekologi (Jeanrenaud 2002). Mengingat kompleksitas dan adanya saling keterkaitan yang kuat antara aspek ekologi, sosial budaya dan ekonomi dalam pengelolaan taman nasional serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional, maka formulasi kebijakan pengelolaannya perlu dilakukan melalui pendekatan sistem (Eriyatno 2003). Jackson (2006) mengemukakan bahwa critical system thinking dapat memberikan arahan bagaimana menggunakan teori sistem, metodologi dan metode dalam menganalisis kebijakan. Checkland (1999) dan Christis (2005) menyebutkan bahwa perihal yang kompleks dan tidak terstruktur dapat ditangani dengan baik melalui penggunaan soft system methodology. Dengan demikian diharapkan pengelolaan taman nasional dapat mencapai tujuan konservasi, memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat, dunia usaha dan Pemerintah secara berkelanjutan. 1.2 Tujuan Tujuan umum penelitian adalah merancang bangun model kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan dan integratif dengan menggunakan pendekatan soft dan hard system methodology untuk harmonisasi

24 4 aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Tujuan khusus untuk mendukung perumusan kebijakan adalah: 1) Menganalisis situasi sistem pengelolaan taman nasional. 2) Memunculkan dan mensintesis asumsi dasar yang melandasi model kebijakan pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan. 3) Merumuskan struktur sistem pengelolaan taman nasional berkelanjutan dengan pendekatan sistem melalui sintesis aspek ekologi, sosial dan ekonomi masyarakat. 4) Menentukan prioritas alternatif kebijakan untuk pengelolaan taman nasional yang berkelanjutan di era otonomi daerah. 1.3 Kerangka Pemikiran Taman nasional sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi dapat banyak berperan dalam perekonomian daerah maupun nasional melalui beragam manfaat jasa lingkungan yang disediakannya. Beberapa manfaat tersebut merupakan hasil dari pemanfaatan langsung sumber daya alam yang dapat memiliki nilai ekonomi sesuai dengan harga pasar. Sedangkan sebagian manfaat lainnya, seperti penggunaan rekreasi dan wisata, tergantung dari penggunaan taman nasional oleh masyarakat dan manfaatnya dapat diukur secara moneter. Namun, sebagian besar manfaat lain dari taman nasional, seperti perlindungan sistem hidrologi, sumber daya genetik dan keanekaragaman hayati sangat sulit untuk diukur secara moneter. Manfaat ini sering disebut sebagai manfaat sosial karena memberikan manfaat kepada individu-individu atau masyarakat secara luas, tetapi sering tidak disadari manfaatnya karena tidak terukur secara moneter dan selama ini manfaat tersebut diperoleh secara gratis (Haeruman 1997). Terpeliharanya fungsi penyediaan jasa lingkungan dan manfaat taman nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik taman nasional dan interaksinya dengan perubahan kondisi lingkungan sosial ekonomi, kebijakan nasional dan daerah. Perubahan sosial ekonomi seperti dinamika dan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, perdagangan dan konsumsi, kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan akan mempengaruhi taman nasional. Perubahan biofisik seperti konversi lahan dan kelembagaan pengelolaan juga akan mempengaruhi kinerja

25 5 dan efektifitas pengelolaan taman nasional (Barber 2004). Sebaliknya, Perubahan kondisi taman nasional, misalnya karena adanya konversi penggunaan lahan akan dapat mempengaruhi, baik positif maupun negatif, kondisi ekonomi dan sosial masyarakat. Kelompok masyarakat yang mengkonversi lahan di taman nasional akan mendapatkan manfaat dan akan meningkatkan pendapatannya. Sedangkan biaya yang muncul akibat konversi tersebut akan ditanggung oleh pemerintah dan komunitas masyarakat secara keseluruhan (Dasgupta & Mäler 1994; Mink 1999). Paradigma kebijakan pengelolaan taman nasional saat ini masih terfokus pada sistem ekologi dan kawasan (Phillips 2002; Wilson 2003). Sistem sosial dan ekonomi kawasan sekitar taman nasional belum mendapatkan pertimbangan yang besar dalam pengelolaan taman nasional. Di samping itu, otonomi daerah telah menyebabkan berbagai perubahan yang mendasar, terutama akibat pendelegasian sebagian besar kewenangan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah. Namun, kebijakan terhadap pengelolaan kawasan konservasi, khususnya taman nasional masih sama. Kewenangan pengelolaan taman nasional masih tetap berada pada Pemerintah Pusat. Kebijakan ini menurut Resosudarmo (2002) tidak dapat efektif untuk mencapai tujuan pengelolaan taman nasional. Hal ini diindikasikan dengan sikap beberapa pemerintah daerah yang tidak bersedia membantu secara aktif mengatasi permasalahan yang dihadapi pengelola taman nasional. Sedikitnya manfaat langsung (tangible benefit) yang dapat dinikmati masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan taman nasional dan pemerintah daerah juga menyebabkan rendahnya dukungan masyarakat dan Pemda terhadap eksistensi taman nasional (Soetarto et al. 2001). Akibat akhirnya adalah degradasi ekosistem karena pengelolaan taman nasional tidak efektif untuk mencapai tujuan penetapannya. Degradasi ekosistem yang banyak terjadi di taman nasional memunculkan keperluan suatu sistem pengelolaan yang baru. Argumentasi tuntutan perubahan kebijakan pengelolaan didasari pemikiran bahwa pendekatan konservasi yang telah diharmonisasikan dengan kebutuhan sosial ekonomi masyarakat dan agenda pembangunan diharapkan akan menyebabkan manfaat kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Kawasan konservasi seyogyanya dikelola dalam perspektif jangka

26 6 panjang dengan tujuan mencakup keberlanjutan pemanfaatan sumber daya alam, pelestarian jasa-jasa ekosistem, dan terintegrasi dalam proses pembangunan sosial ekonomi regional untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan pemerintah daerah yang sejalan dengan konservasi sumber daya alam hayati. Di samping itu, pengelolaan kawasan konservasi ini perlu melibatkan seluruh stakeholder dalam pengambilan keputusan pengelolaannya. Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi memiliki dimensi yang sangat kompleks. Aspek ekologi yang tercermin dari kondisi fisik kawasan menuntut terlindunginya ekosistem taman nasional dan terjamin kelestariannya. Aspek sosial menghendaki adanya penerimaan secara sosial terhadap keberadaan taman nasional dan semua stakeholder dapat turut serta menjaga kelestariannya sesuai dengan peran masing-masing. Sedangkan dari aspek ekonomi, taman nasional diharapkan dapat berkontribusi terhadap perekonomian daerah melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Di samping itu, kebijakan sektoral dan daerah juga merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional. Mengingat kompleksitas yang dihadapi maka pengembangan kebijakan pengelolaan akan dibangun menggunakan pendekatan soft dan hard system. Pendekatan sistem diyakini akan dapat menghasilkan kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan ini diharapkan akan mampu mendukung pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.

27 7 Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 1.4 Manfaat Keluaran dari penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi pengelolaan taman nasional di masa mendatang. Secara terperinci manfaat dari penelitian ini adalah: 1) Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang holistik akan pentingnya nilai taman nasional kepada pihak-pihak yang berkepentingan dari sisi ekologi, sosial dan ekonomi.

28 8 2) Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk memahami secara holistik dan mendapatkan peluang perbaikan pengelolaan taman nasional, menggali kesempatan usaha bagi masyarakat dari keberadaan taman nasional, serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3) Penelitian akan menghasilkan suatu kebijakan pengelolaan taman nasional yang efektif dan berkelanjutan yang melibatkan pemangku kepentingan secara menyeluruh. Model kebijakan ini selanjutnya diharapkan dapat diaplikasikan pada taman nasional lainnya di Indonesia. 1.5 Kebaruan Kebaruan dari penelitian rancang bangun kebijakan pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah adalah: 1) Pengembangan kebijakan pengelolaan taman nasional didasarkan pada pemodelan pengelolaan melalui penggabungan pendekatan soft dan hard system methodology yang mengintegrasikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. 2) Pengembangan konsep pengelolaan taman nasional dilakukan dengan pendekatan sistem dan kebijakan yang dibangun didasarkan pada konsep pengelolaan yang holistik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. 3) Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kebaruan berupa perwujudan pengelolaan taman nasional dalam hal: a) Aspek Manajemen yang mengintegrasikan rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan daerah dan kebijakan bidang kehutanan dan lingkungan hidup, b) Aspek Kelembagaan untuk menampung aspirasi masyarakat dalam rangka pencapaian konsensus pengelolaan taman nasional melalui koordinasi yang efektif melalui saluran Kelompok Kerja Perencanaan Pengelolaan Taman Nasional dan Badan Usaha Milik Desa yang mengakomodasi upaya pemanfaatan taman nasional untuk peningkatan pendapatan dan lapangan kerja, dan c) Aspek Pendanaan yang fleksibel dan efisien serta dikelola secara transparan dan akuntabel melalui status Balai Besar/Balai Taman Nasional sebagai Badan Layanan Umum.

29 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi. Sampai dengan tahun 2007 di Indonesia kawasan yang telah ditetapkan sebagai taman nasional darat sejumlah 50 unit dengan luas hektar dan 7 unit taman nasional laut dengan luas hektar (Dephut 2008). Kawasan taman nasional termasuk ke dalam kategori II pada klasifikasi yang dikembangkan oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources, yaitu kawasan pelestarian alam yang dikelola utamanya untuk perlindungan ekosistem dan rekreasi (Dudley & Phillips 2006). Taman nasional didefinisikan sebagai kawasan alami baik di darat maupun laut yang ditetapkan untuk melindungi integritas satu atau lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan mendatang, menghindarkan dari ekploitasi dan pendudukan kawasan tersebut, dan menyediakan landasan untuk keperluan spiritual, pendidikan, rekreasi dan peluang kunjungan yang keseluruhannya harus selaras dengan lingkungan dan budaya (IUCN 1994). Sedangkan tujuan pembangunan taman nasional meliputi: 1) melindungi kawasan alami yang memiliki nilai kepentingan pada tingkat nasional maupun internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi maupun wisata, 2) mempertahankan sealami mungkin representasi fisiografis kawasan, komunitas biotik, sumber daya genetik dan jenis untuk mempertahankan stabilitas dan keragaman ekologis, 3) mengelola pengunjung yang menggunakan kawasan untuk inspirasi, pendidikan, budaya dan rekreasi pada tingkat yang dapat menjamin terpeliharanya kawasan sealami mungkin atau mendekati alami, 4) mengeliminasi dan kemudian menghindarkan kegiatan eksploitasi atau pendudukan yang bertentangan dengan tujuan penetapan kawasan, 5) memelihara atribut ekologi, geomorfologi dan keindahan yang menjamin tujuan penetapannya,

30 10 6) mengakomodasikan kepentingan masyarakat lokal, termasuk untuk pemanfaatan secara subsisten sepanjang tidak mengabaikan tujuan penetapan kawasan. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, taman nasional didefinisikan kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Suatu kawasan dapat ditetapkan menjadi taman nasional harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yaitu: 1) kawasan yang akan ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami, 2) memiliki sumber daya alam yang khas dan unik, baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami, 3) memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh, 4) memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam, 5) merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lainnya yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Sistem zonasi merupakan landasan pengelolaan taman nasional di Indonesia. Masing-masing zona memiliki kriteria yang harus dipenuhi. Zona inti merupakan bagian kawasan taman nasional yang mutlak harus dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktifitas manusia. Penetapan zona ini didasarkan atas 6 kriteria. Pertama, memiliki keanekaragaman jenis

31 11 tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Kedua, mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya. Ketiga, mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia. Keempat, mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. Kelima, mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi. Keenam, mempunyai komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Zona pemanfaatan merupakan bagian dari kawasan taman nasional yang dikhususkan sebagai pusat rekreasi dan kunjungan wisata. Penetapan zona ini didasarkan atas 3 kriteria. Pertama, mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik. Kedua, mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam. Ketiga, kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Di samping itu dapat ditetapkan zona lain, yaitu zona di luar zona inti dan pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu seperti zona rimba, zona pemanfaatan tradisional, atau zona rehabilitasi. Zona rimba adalah bagian kawasan taman nasional yang melindungi zona inti dimana pembangunan fisik yang bersifat permanen tidak diperbolehkan serta dapat dikunjungi secara terbatas. Zona ini mempunyai 3 kriteria. Pertama, kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembang biakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi. Kedua, memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan. Ketiga, merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Taman nasional yang merupakan kawasan pelestarian alam dan pengelolaannya dilakukan dengan sistem zonasi memungkinkan kawasan tersebut memenuhi seluruh fungsinya sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan pemanfaatan secara lestari sumber daya

32 12 alam hayati dan ekosistemnya. Pemeliharaan dan peningkatan fungsi ini dalam pengelolaan taman nasional akan dapat menjaga keutuhan dan keberlanjutan taman nasional dan sekaligus dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Jika hal ini dapat berlangsung dengan baik maka pengelolaan taman nasional dapat digunakan untuk menggambarkan pola hubungan timbal balik antara manusia dengan alam yang saling menguntungkan. Hal ini akan menunjukkan bahwa integrasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam program dan kebijakan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi yang akan datang dapat dilakukan. Namun, kenyataannya keberadaan taman nasional masih belum sepenuhnya dapat berfungsi dengan baik dan optimal. Pengelolaan taman nasional sampai saat ini menunjukkan masih dalam taraf upaya untuk mempertahankan dan melindungi eksistensi potensi dan kawasan taman nasional dari berbagai faktor penyebab kerusakan dan penyusutan luasan kawasan. Aspek pemanfaatan taman nasional untuk kesejahteraan masyarakat belum berkembang dengan baik dan belum mampu memberikan kontribusi direct use value yang berarti bagi daerah dimana kawasan tersebut berada. IUCN (2005) menekankan bahwa sebenarnya taman nasional dapat memainkan peran penting dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati dan sekaligus dalam berperan penting dalam pembangunan berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena taman nasional dapat menjadi faktor kunci dalam pencapaian Millennium Development Goals, khususnya yang terkait dengan keberlanjutan lingkungan dan pengentasan kemiskinan dan dapat menjadi kontributor penting terhadap salah satu target pembangunan berkelanjutan yang mempunyai tujuan mengurangi kehilangan keanekaragaman hayati secara nyata. Namun, beberapa kalangan masyarakat masih melihat bahwa taman nasional merupakan pembatas aspirasi dan aktifitasnya. Di samping itu, dewasa ini taman nasional juga menghadapi berbagai tantangan yang semakin meningkat sebagai akibat adanya perubahan lokal maupun global, semisal perubahan iklim, demografi, ekonomi, politik/kepemerintahan, dan teknologi. Sistem pengelolaan taman nasional menjadi semakin kompleks, khususnya karena menyangkut pengaruh antara

33 13 pemerintah pusat, pemerintah daerah dan pengelola taman nasional. Karenanya, aturan dan peran dari masing-masing pihak pemangku kepentingan dalam pengelolaan taman nasional harus terdefinisikan dengan jelas dan dipahami bersama. Tantangan utama yang harus dihadapi bersama dalam pengelolaan taman nasional adalah rekonsiliasi antara pemenuhan kebutuhan masyarakat lokal, kepentingan nasional dan global, dan antara kebutuhan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang. Evaluasi terhadap efektifitas pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan oleh WWF terhadap 600 kawasan konservasi di dunia mengindikasikan bahwa ancaman utama dari kawasan konservasi adalah perburuan satwa liar, pembalakan dan perambahan lahan untuk aktifitas pertanian. Sedangkan kelemahan pengelolaan kawasan konservasi yang paling utama adalah keterbatasan pendanaan dan staf, lemahnya penegakan hukum dan hubungan dengan masyarakat yang kurang bagus. Namun, meskipun kelemahan pengelolaan kawasan konservasi secara umum telah diketahui, upaya secara sistematis dan terkoordinasi yang ditujukan untuk mengatasi ancaman yang paling umum dan merusak masih belum banyak dilakukan (IUCN 2005). Kondisi ini seharusnya direspon dengan peningkatan efektifitas pengelolaan taman nasional melalui kebijakan yang tepat agar taman nasional dapat berperan secara optimal dalam mendukung keberkelanjutan konservasi keanekaragaman hayati dan pembangunan. Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki sumber daya alam hayati yang sangat tinggi di dunia, dan sebagian bersifat endemik. Sampai saat ini telah teridentifikasi 515 jenis mamalia (12% dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3% dari jenis reptilia dunia), jenis burung (17% dari jenis burung dunia), 270 jenis amfibi, serta lebih dari yang diantaranya jenis bernilai medis (Dephut 2008). Sumber daya alam hayati merupakan unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari tumbuhan dan hewan yang bersama dengan unsur non hayati di lingkungannya secara keseluruhan membentuk sistem hubungan timbal balik, saling bergantung dan mempengaruhi. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi sumber pangan dan tanaman obat, daerah tujuan wisata maupun

34 14 penyerap karbon dunia. Sumber daya ini merupakan aset untuk pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, pengelolaan terhadap aset ini bukan hal yang mudah. Sejauh ini, sumber daya alam hayati dipandang sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi dengan mudah tanpa mempertimbangkan keberlanjutannya (Bappenas 2003). Peran pelestarian sumber daya alam yang terbarukan bagi pembangunan berkelanjutan menurut MacKinnon (2001) dapat dicapai melalui: 1) menjaga proses dan sistem pendukung kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan, 2) melestarikan keanekaragaman plasma nutfah bagi program budidaya agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan hewan budidaya. 3) menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia, yang mendukung kehidupan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang keberadaannya tidak dapat digantikan. Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan memiliki peranan penting bagi kehidupan manusia maka upaya konservasi menjadi kewajiban bagi setiap generasi. Upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dilakukan oleh Pemerintah, salah satunya melalui penetapan kawasan konservasi. IUCN (1994) mendefinisikan kawasan konservasi sebagai suatu kawasan daratan atau laut yang didedikasikan untuk proteksi dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam yang terkait dengan sosial budaya dan dikelola berdasarkan hukum atau cara lain yang efektif untuk mencapai tujuan konservasi. Pada awalnya dalam sejarah peradaban manusia, motivasi untuk mengkonservasi kawasan alam ditujukan untuk keperluan rekreasi dan untuk melindungi spesies tertentu dalam kaitannya dengan aktifitas wisata berburu dan kepentingan lainnya. Pada waktu itu, sumber daya alam dipersepsikan tidak terbatas dan dapat dimanfaatkan kapanpun diperlukan. Namun, persepsi ini mulai berubah sejak disadari bahwa ketersediaan kawasan alam mulai terus menurun. Sejak itu, pembentukan kawasan konservasi tidak hanya ditujukan semata-mata untuk

35 15 wisata dan rekreasi saja, tetapi juga untuk melindungi keseluruhan ekosistem. Karena itu dapat dikatakan bahwa pembentukan kawasan konservasi merupakan manifestasi dari respon manusia menanggapi adanya ancaman terhadap keberlanjutan sumber daya alam (Dixon & Sherman 1990). Taman Nasional Yellowstone merupakan tonggak sejarah awal pengembangan kawasan konservasi modern. Hingga saat ini, kawasan konservasi telah menjadi satu bentuk penggunaan lahan yang paling signifikan di muka bumi. Namun, paradigma pengembangan kawasan konservasi telah bergeser dengan pendekatan konsep yang lebih luas, menurut Chape et al. (2005) mencakup: 1) formulasi kategori pengelolaan kawasan konservasi yang lebih spesifik dengan mempertimbangkan lingkup dan nilai dari tujuan pengelolaan kawasan konservasi yang berbeda-beda; 2) integrasi konservasi ke dalam agenda pembangunan dengan mengharmonisasikan tujuan konservasi dan pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan; 3) pemahaman terhadap pentingnya nilai sosial dan budaya; dan 4) pemahaman terhadap peran kawasan konservasi sebagai indikator kunci untuk menilai pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan secara global. Ekosistem yang sehat merupakan prasyarat untuk keberlanjutan pembangunan dan konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini disebabkan karena sumber daya alam hayati mendukung kehidupan manusia melalui keragaman dan fungsi ekosistem yang memberikan jasa lingkungan yang mendukung berbagai sektor ekonomi. Namun, kecenderungan yang terjadi pada pembangunan ekonomi secara tipikal kurang menghargai jasa dan proses ekosistem sehingga mengakibatkan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam hayati. Eksploitasi yang berlebihan dari kegiatan pembangunan ekonomi selanjutnya mengakibatkan kepunahan spesies dan degradasi habitat. Kondisi yang seperti ini tidak memungkinkan untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan hanya akan tercapai jika pembangunan ekonomi juga mengintegrasikan strategi konservasi dan rehabilitasi ekosistem yang efektif. Pendekatan tradisional konservasi sumber daya hayati adalah dengan melakukan

36 16 konservasi spesies dan mengembangkan berbagai berbagai bentuk kawasan konservasi. Namun, keanekaragaman hayati tidak mungkin dapat terkonservasi secara efektif hanya melalui pembentukan kawasan konservasi saja. Tekanan terhadap kawasan konservasi yang mengakibatkan fragmentasi dan degradasi habitat akan menyebabkan penurunan viabilitas kawasan konservasi dalam jangka panjang sebagai akibat meningkatnya kerentanan spesies terhadap erosi genetik dan perubahan iklim. Pada sisi yang lain, manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ekosistem alam. Hal ini mengindikasikan bahwa eksistensi dan kesejahteraan manusia sangat bergantung kepada komponen lain dan interaksi manusia dengan komponen lain dalam ekosistem. Kondisi tersebut memunculkan pemahaman bahwa untuk mempertahankan eksistensi sumber daya alam hayati hanya mungkin dicapai melalui pengelolaan kawasan terpadu yang dapat memenuhi kebutuhan manusia, memelihara dan merestorasi integritas ekosistem dan mengkonservasi sumber daya hayati secara simultan (Pirot et al. 2000). 2.2 Pengelolaan Taman Nasional Pengelolaan taman nasional telah bergeser dari hanya terfokus pada stok sumber daya alam hayati dan spesies terancam punah menuju kepada pengelolaan yang lebih menyeluruh, termasuk upaya pengelolaan kolaborasi dan memperhatikan pembangunan ekonomi masyarakat lokal Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa 42% dari kawasan konservasi di dunia berada di negara berkembang dimana pengelola dihadapkan oleh banyak persoalan, antara lain keterbatasan dana, rendahnya pemasukan dari kegiatan pariwisata, tidak adanya manfaat ekonomi langsung (tangible benefits) maupun sikap yang tidak mendukung dari masyarakat lokal (hostile neighbours). Meskipun persoalan ini bukan monopoli negara berkembang, tetapi kebutuhan agar taman nasional dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal lebih besar di negara berkembang. Di lain pihak, kawasan konservasi merupakan satu-satunya alat penting yang dapat memastikan daya hidup (survival) kebanyakan spesies dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pengelolaan taman nasional di negara berkembang seharusnya menjangkau keluar batas kawasan dan menunjukkan

37 17 adanya keterkaitan dan sinergi dengan pembangunan dimana kawasan tersebut berada (MacKinnon 2001). Kebijakan dan implementasi pengelolaan di Indonesia hampir sama dengan pengelolaan di Laos, Vietnam, Kamboja dan Thailand. Di negara tersebut, menurut Carew-Reid (2003) telah ditetapkan kawasan konservasi, sebagian besar berbentuk taman nasional dengan proporsi luas kawasan terbesar di dunia. Pendekatan pengelolaan kawasan lebih menekankan pada isolasi kawasan dan terlepas dari penggunaannya bagi kepentingan manusia. Hal ini dilakukan dengan argumentasi untuk kebaikan upaya konservasi. Implementasi upaya konservasi juga sedikit relevansinya untuk menjawab tantangan pembangunan yang dihadapi keempat negara tersebut. Ketentuan hukum juga telah mengatur bahwa penggunaan ekstraktif tidak diperbolehkan. Namun, dalam prakteknya masyarakat terus mengambil sumber daya hayati yang terdapat di dalam kawasan taman nasional. Pemerintah lokal juga sering mengabaikan kepentingan pengelolaan kawasan jika dihadapkan pada pilihan antara konservasi dan kebutuhan pembangunan ekonomi lokal, misalnya pembangunan jalan, jaringan listrik, dan ekstensifikasi pertanian. Hasil review pembangunan kawasan pelestarian di negara tersebut menunjukkan bahwa meskipun luasan kawasan pelestarian secara legal cenderung meningkat akan tetapi nilai keanekaragaman hayati terus merosot yang diindikasikan dari meningkatnya luasan kerusakan habitat. Kawasan konservasi di negara ini berada di kawasan dengan tingkat penduduk miskin tinggi yang umumnya memiliki ketergantungan secara langsung terhadap sumber daya di dalam kawasan untuk penghidupannya seperti bahan pangan, kayu bakar, tanaman obat, dan rumput, maupun manfaat ekologi, seperti fungsi regulasi suplai air irigasi dan fungsi pemeliharaan stok ikan. Nasib masyarakat ini di masa depan sangat tergantung dari kebijakan dan implementasi pengelolaan taman nasional. Kebijakan dan implementasi pengelolaan yang ekslusif dengan sedikit upaya untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi sebagai pengganti biaya oportunitas masyarakat, telah menempatkan taman nasional sebagai sumber konflik (Morris & Vathana 2003).

38 18 Di Indonesia, permasalahan sosial dan ekonomi banyak dihadapi dalam pengelolaan taman nasional. Perambahan lahan oleh masyarakat yang menyebabkan kerusakan kawasan terjadi di Taman Nasional Kutai, perburuan satwa dilindungi di Taman Nasional Rawa Aopa Watu Mohai dan Lore Lindu dan perambahan, penebangan liar dan perburuan liar terjadi di Taman Nasional Meru Betiri (Riyanto 2005) dan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2007). Perluasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga menyebabkan konflik antara masyarakat adat Kasepuhan dengan pengelola (Galudra 2009). Kondisi demikian semakin memperkuat gagasan untuk mengintegrasikan aspek sosial dan ekonomi dengan elemen ekologi dalam pengelolaan taman nasional. Phillips (2003) menyatakan bahwa model klasik pengelolaan taman nasional sudah tidak memadai untuk abad ke-21 dan untuk beberapa kasus dapat berpotensi kontra produktif. Model klasik pengelolaan taman nasional dicirikan antara lain oleh: 1) Tujuan ditetapkan hanya untuk keperluan konservasi semata, khususnya untuk perlindungan pemandangan dan hidupan liar dengan penekanan lebih pada bentuk fisik dari pada fungsi sistem alam. Dikelola khusus untuk pengunjung dan wisatawan dengan nilai utamanya sifat liar pada kawasan sehingga diupayakan perlindungan dan bebas dari pengaruh manusia. 2) Pengelolaan oleh pemerintah pusat. 3) Masyarakat lokal tidak dilibatkan dan aspirasinya kurang dipedulikan dalam perencanaan dan pengelolaan, serta menghindari pengaruh manusia kecuali wisatawan. 4) Cakupan pengelolaan tidak menyeluruh, dikembangkan secara parsial dan terpisah seperti pulau biologi tanpa mempertimbangkan faktor lingkungan sekitarnya. Sedangkan paradigma pengelolaan yang sesuai untuk kondisi saat ini dan mendatang memiliki elemen penting berikut: 1) Tujuan mencakup aspek sosial, ekonomi dan konservasi maupun rekreasi. Umumnya dikembangkan juga untuk tujuan ilmiah, ekonomi dan budaya sehingga menambah kompleksitas pengelolaan. Pengelolaan dimaksudkan

39 19 untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal, disamping aspek perlindungan, rehabilitasi dan restorasi dilakukan sehingga nilai-nilai yang tererosi dapat dikembalikan. 2) Pengelolaan dilakukan dengan kemitraan dan melibatkan para pihak yang berkepentingan. 3) Masyarakat lokal berperan aktif dan tidak dipandang sebagai penerima manfaat secara pasif karena taman nasional dikelola bersama, untuk dan bahkan oleh masyarakat. Masyarakat lokal diposisikan sebagai penerima manfaat sehingga kepentingannya perlu diakomodasikan. 4) Cakupan pengelolaan menyeluruh, direncanakan dan dikembangkan sebagai bagian dari sistem nasional, regional bahkan internasional, serta diperlakukan bukan sebagai pulau biologi melainkan berbentuk jaringan dengan koridorkoridor hijau sebagai daerah penyangga. Kongres Taman Nasional Sedunia V (IUCN 2005) memandatkan secara tegas bahwa pengelolaan kawasan taman nasional harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat lokal. Penguatan kapasitas kelembagaan dan sosial untuk pengelolaan taman nasional dalam abad ke-21 diperlukan mengingat berbagai tantangan dan perubahan global. Menurut Sukmadi (2005), seiring dengan perkembangan terkini tersebut, maka berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya mengikutinya. Hal ini penting karena institusi konservasi yang saat ini diimplementasikan di Indonesia masih mengikuti model klasik pengelolaan kawasan konservasi. Efektifitas pengelolaan memerlukan perluasan spektrum model dan mekanisme tata kelola di luar batas model pengelolaan tersentralisasi oleh pemerintah yang saat ini mendominasi pola pikir dan praktek pengelolaan. Semakin beragamnya pilihan tata kelola dan pengelolaan memerlukan proses pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dan melibatkan beragam stakeholder, khususnya masyarakat lokal dan adat (Barber 2004). Dengan demikian, efektifitas pengelolaan taman nasional dapat diukur dengan menggunakan tiga indikator, yaitu 1) aspek ekologi, yang menunjukkan bahwa

40 20 kawasan konservasi atau taman nasional sebagai manifestasi fisik dari potensi sumber keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dapat terjamin kelestariannya, 2) aspek ekonomi dan sosial, yang menunjukkan bahwa sistem pengelolaan kawasan konservasi atau taman nasional dapat mendukung perkembangan ekonomi masyarakat lokal yang dicirikan oleh tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat yang cenderung meningkat, dan 3) persepsi dan partisipasi, yang menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat tentang pentingnya konservasi cenderung meningkat yang dicirikan oleh meningkatnya partisipasi masyarakat dalam mendukung kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistem kawasan konservasi atau taman nasional (Darusman & Widada 2004). Sistem pengelolaan taman nasional mendatang menuntut penggabungan berbagai pendekatan secara komprehensif dan harus dapat merespon secara sistematis terhadap adanya perubahan biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Hal ini disebabkan karena sistem pengelolaan taman nasional yang ada saat ini tidak didesain untuk merespon terhadap perubahan kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan (Barber et al. 2004). Sehingga jika diukur kinerja pengelolaan kawasan taman nasional saat ini maka akan dapat dikatakan bahwa kinerja pengelolaan pada umumnya belum efektif. Belum efektifnya kinerja pengelolaan ini dapat ditunjukkan oleh adanya fakta-fakta antara lain: 1) proses degradasi sumber daya alam hampir di seluruh kawasan taman nasional sampai saat ini masih terjadi dan cenderung meningkat, dan 2) perkembangan ekonomi masyarakat di sekitar taman nasional pada umumnya sampai saat ini masih sangat rendah, yang dicirikan oleh rendahnya tingkat pendapatan dan kesejahteraan, termasuk tingkat pendidikan masyarakat (Darusman & Widada 2004). 2.3 Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat atau publik pada hakekatnya adalah proses komunikasi dua arah yang interaktif dimana kebutuhan dan tata nilai masyarakat terakomodasi untuk mendapatkan pengambilan keputusan yang lebih baik karena mendapatkan dukungan publik (Creighton 2005). Sedangkan menurut Ostrom (1994) partisipasi masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses

41 21 pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Masyarakat akan berpartsisipasi jika terdapat faktor pendorong, seperti kebutuhan, harapan, keuntungan dan tersedianya kelembagaan untuk berpartisipasi. Berdasarkan definisi tersebut maka secara garis besar partisipasi masyarakat memiliki karakteristik yang mencakup: 1) partisipasi publik diaplikasikan dalam pengambilan keputusan administratif lembaga pemerintah, 2) tidak hanya penyediaan informasi kepada publik melainkan terjalinnya interaksi antara organisasi pengambil keputusan dengan masyarakat yang ingin berpartisipasi, 3) partisipasi publik melibatkan proses yang terorganisasi dan terencana untuk melibatkan publik, bukan sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau tidak sengaja, dan 4) partisipan berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat (Creighton 2005). Partisipasi masyarakat dapat dilakukan untuk mengeksplorasi persoalan pengelolaan dalam tahap penetapan tujuan, perencanaan, implementasi, maupun monitoring. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman nasional diharapkan akan membuahkan hasil yang lebih baik karena informasi dan perspektif para pihak yang penting untuk efektifitas pengelolaan akan tertangkap secara efektif. Pelibatan berbagai pemangku kepentingan yang beragam akan mendorong tumbuhnya pembelajaran sosial karena memungkinkan berlangsungnya transformasi relasi, perubahan persepsi dan mengidentifikasi cara baru untuk bekerja sama mencapai tujuan. Di samping itu, partisipasi masyarakat dapat digunakan sebagai sarana komplementer untuk menutupi kelemahan pendekatan topdown yang selama ini banyak diterapkan dalam pengelolaan taman nasional sehingga legitimasi dan dukungan masyarakat akan meningkat (Stringer et al. 2006). Secara umum terdapat tiga faktor utama yang mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan taman nasional, mencakup: 1) kemauan, 2) kemampuan, dan 3) kesempatan. Ketiga faktor tersebut sangat ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap manfaat dan kerugian yang diperolehnya, karakteristik sosial ekonomi masyarakat, seperti tingkat pendidikan formal, non formal dan keterlibatan dalam organisasi masyarakat, serta variabel kebijakan (Brännlund et al. 2009). Oleh karena itu, faktor-faktor penting yang

42 22 menentukan partisipasi masyarakat dalam mendukung pengelolaan taman nasional perlu dipahami dan dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan. Masyarakat lokal yang bermukim di sekitar taman nasional pada umumnya telah mempunyai hubungan yang panjang dengan taman nasional dan dapat mempunyai peran penting dalam pengelolaan taman nasional. Persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional akan mempengaruhi bentuk-bentuk interaksi antara masyarakat lokal dengan taman nasional. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif terhadap taman nasional, yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaan taman nasional (Ormsby & Kaplin 2005). Sikap masyarakat lokal sangat ditentukan oleh tata nilai dan kerangka referensinya, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya dari masyarakat. Karenanya, kondisi atau faktor demografi, seperti umur, pendidikan, lokasi tempat tinggal, dan asal etnik dapat secara signifikan membentuk persepsi dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional (Mehta & Heinen 2001; Jim et al. 2002; Cihar & Stankova 2006; Allendorf 2007; Allendorf et.al. 2007). Persepsi masyarakat lokal terhadap taman nasional dipengaruhi oleh tingkat manfaat yang dirasakan, ketergantungannya terhadap sumber daya taman nasional (Badola 1998, Soto et al. 2001; Silori 2007), maupun pengetahuan masyarakat lokal tentang taman nasional (Ormsby & Kaplin 2005). Selanjutnya, pengetahuan dan persepsi masyarakat tentang taman nasional dapat mempengaruhi sikapnya terhadap taman nasional (Kideghesho et al. 2007; Spiteri & Nepal 2008). Mengingat kondisi masyarakat lokal yang tidak homogen dan memiliki tata nilai yang mungkin tidak sama maka akan menyebabkan relasi dan sikap masyarakat lokal terhadap sumber daya alam atau taman nasional akan sangat bervariasi antar individu atau rumah tangga (Geoghehan & Renard 2002). Pengabaian terhadap perbedaan ini dalam perumusan kebijakan pengelolaan taman nasional akan menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menjadi kendala pencapaian tujuan konservasi dan pengelolaan taman nasional dalam jangka panjang (Agrawal & Gibson 1999). Dengan demikian, identifikasi stakeholder (Achterkamp & Vos 2007) dan pemahaman terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan sikap stakeholder terhadap upaya konservasi dan

43 23 taman nasional sangat diperlukan sebagai masukan untuk merumuskan kebijakan dan strategi untuk peningkatan peran serta masyarakat agar efektifitas pengelolaan taman nasional dapat meningkat. 2.4 Pembangunan Berkelanjutan Alternatif lain dari keberlanjutan secara implisit hanya ada satu, yaitu ketidak berlanjutan. Namun, karena keberlanjutan melibatkan dimensi waktu maka ancaman terhadap keberlanjutan untuk menjadi keadaan yang tidak berkelanjutan sangat jarang mengimplikasikan suatu ancaman yang akibatnya dapat segera dirasakan. Terdapat jeda waktu yang cukup panjang antara ancaman terhadap keberlanjutan dengan realisasi kondisi menjadi ketidak berlanjutan. Di masa lampau, pembangunan lebih ditekankan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan pelaku pembangunan kurang menyadari adanya ancaman terhadap keberlanjutan pembangunan. Ancaman ini muncul karena pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas yang berbasis pada sumber daya yang terbatas merupakan hal yang tidak mungkin untuk dapat berlanjut secara terus menerus. Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan perwujudan dari keprihatinan masyarakat dunia terhadap aktifitas manusia yang berdampak pada lingkungan. Keprihatinan masyarakat dunia akan aktifitas manusia yang berdampak terhadap lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan manusia telah berkembang menjadi kesepakatan politik internasional untuk mengarahkan pembangunan menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan, didefinisikan untuk pertama kalinya dalam World Conservation Strategy (IUCN 1980) sebagai pembangunan yang mempertimbangkan faktor sosial, ekologi dan ekonomi, basis sumber daya biotik dan abiotik, keuntungan dan kerugian tindakan yang akan dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selanjutnya berkembang definisi pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai kemampuan kemanusiaan yang memastikan bahwa pemenuhan kebutuhan masyarakat generasi sekarang dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam pengertian ini,

44 24 pembangunan berkelanjutan bukanlah merupakan kondisi harmoni yang statis terhadap pemenuhan kebutuhan antar generasi, tetapi lebih merupakan proses perubahan dimana eksploitasi sumber daya alam, kegiatan investasi, orientasi pengembangan teknologi dan perubahan kelembagaan diarahkan sejalan dengan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan datang. Pembangunan berkelanjutan mempunyai 3 dimensi utama, yaitu pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan terhadap lingkungan. Dimensi ekonomi didasari oleh prinsip bahwa kemiskinan dihilangkan dan kesejahteraan masyarakat ditingkatkan, minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan efisien. Dimensi sosial mengacu kepada keterkaitan antara alam dan manusia, yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia, perbaikan akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan, pemenuhan standar minimal keamanan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dimensi ini juga mengacu kepada pembangunan keragaman budaya, pluralisme dan pelibatan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Aspek keadilan (equity), yaitu distribusi manfaat dan akses terhadap sumber daya alam merupakan komponen penting dari dimensi ekonomi dan sosial dalam pembangunan berkelanjutan. Dimensi lingkungan meliputi upaya konservasi dan perbaikan basis sumber daya fisik, biologi dan ekosistem. Sedangkan Barbier (1987) menekankan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang diaplikasikan di negara sedang berkembang seharusnya tidak secara langsung terkait dengan pertumbuhan agregat ekonomi nasional, tetapi lebih diarahkan secara langsung untuk meningkatkan standar hidup penduduk miskin di akar rumput yang dapat diukur dengan pemenuhan kebutuhan pangan, peningkatan pendapatan, penyediaan akses terhadap pendidikan, kesehatan, sanitasi dan suplai air bersih. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan di negara berkembang tujuan utamanya sebaiknya adalah mengurangi kemiskinan absolut melalui penyediaan penghidupan yang layak dan berkelanjutan dan yang meminimalkan deplesi sumber daya alam, degradasi lingkungan, dan ketidak stabilan sosial budaya.

45 25 Konsep pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan atau transformasi struktur ekonomi dan pola sosial yang mengoptimalkan manfaat ekonomi dan sosial bagi generasi sekarang tanpa mengurangi potensi manfaat serupa untuk generasi yang akan datang (Goodland & Ledoc 1987). Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang terdistribusi secara adil dan dapat dipertahankan secara berkelanjutan untuk beberapa generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengimplikasikan keharusan penggunaan sumber daya alam terbarukan dengan cara-cara yang tidak merusak atau menghabiskan sumber daya alam itu sendiri karena kerusakan atau kehilangan sumber daya alam tersebut pada saat sekarang akan mengurangi manfaatnya bagi generasi yang akan datang. Sedangkan pemanfaatan sumber daya energi yang tidak terbarukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dilakukan dengan kecepatan serendah mungkin dan memastikan adanya transisi menuju penggunaan sumber daya energi yang terbarukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan diharapkan akan dapat menjamin kelangsungan hidup manusia secara berkualitas melalui pemeliharaan sistem pendukung kehidupan, seperti udara, air, lahan, dan biota, dan pengembangan infrastruktur dan kelembagaan yang dapat mendistribusikan dan melindungi komponen-komponen sistem pendukung kehidupan (Liverman et al. 1988). Sejak sekitar tahun 1990, perubahan kondisi objektif ekosistem global, seperti pemanasan iklim global, penipisan lapisan ozone, kerusakan sumber daya terbarukan dan kerusakan komponen lingkungan lainnya menyebabkan masyarakat dunia semakin yakin untuk mengarahkan kegiatan ekonomi global menuju ke arah pembangunan berkelanjutan. Isu lingkungan hidup dan pembangunan diangkat pada KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 (UNCED 1992). Pengangkatan isu yang mengkaitkan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari pembangunan, didasarkan pada dua hal, yaitu: 1) Selama ini lingkungan dan pembangunan seolah-olah merupakan dua hal yang terpisah, sehingga sering terjadi pertentangan dalam pemilihan antara kepentingan pembangunan atau lingkungan.

46 26 2) Munculnya keprihatinan terhadap kemampuan sumber daya alam untuk dapat menopang pembangunan secara terus menerus. Kesepakatan internasional untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan tertuang dalam Agenda 21 yang berisikan kesepakatan dan program kerja global yang intinya menyepakati bahwa pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan lingkungan itu sendiri. Partisipasi aktif dari seluruh pihak dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu kunci keberhasilan dari pembangunan. Sehingga untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan ini maka harus dilakukan secara bersama oleh semua unsur baik pada tingkat lokal, nasional maupun global. Keberlangsungan lingkungan hidup menjadi tanggung jawab bersama semua negara, sedangkan implementasi program kerja Agenda 21 disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya masing-masing negara. Evaluasi terhadap pelaksanaan Agenda 21 dilakukan pada pertemuan dunia tentang pembangunan berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) yang diselenggarakan di Johannesberg pada tahun Pertemuan ini menghasilkan tiga dokumen penting, yaitu: 1) Deklarasi Johannesberg untuk pembangunan berkelanjutan, yang memuat tantangan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan dan komitmen dunia internasional untuk menghadapinya. 2) Rencana implementasi (Plan of Implementation), yang memuat upaya-upaya yang harus dilakukan oleh masing-masing negara berdasarkan prinsip bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama dengan porsi yang berbeda. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan dokumen acuan untuk rencana implementasi. 3) Dokumen kerjasama, yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan merata secara internasional melalui dukungan negara maju dan lembaga internasional. Perencanaan atau strategi nasional pembangunan berkelanjutan merupakan focal point untuk mengintegrasikan lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan, dan untuk mendefinisikan dan mengimplementasikan

47 27 prioritas pembangunan berkelanjutan. Tantangan utama dalam penyusunan strategi nasional pembangunan berkelanjutan adalah menterjemahkan konsep dan komitmen pembangunan berkelanjutan kedalam kebijakan dan program yang kongkrit untuk mencapai atau minimal mengarah kepada tujuan pembangunan berkelanjutan, yaitu kehidupan masyarakat yang berkualitas yang secara sosial diharapkan masyarakat, layak secara ekonomi, mampu mempertahankan ekosistem pendukung kehidupan secara berkelanjutan dan dapat dipertahankan untuk generasi mendatang (Dalal-Clayton et al. 1994). Meskipun pembangunan berkelanjutan menyangkut prinsip-prinsip universal tertentu, namun formulasi tujuan dari pembangunan berkelanjutan itu sendiri secara tepat dan operasional seharusnya dinegosiasikan secara lokal pada masing-masing daerah atau negara. Hal ini disebabkan karena komunitas dan individu-individu pada daerah tersebut yang akan melakukan pengambilan keputusan terhadap penggunaan sumber daya di daerahnya, dimana pada akhirnya keputusan-keputusan tersebut yang akan mempengaruhi kehidupannya. Oleh karena itu, perencanaan atau formulasi strategi nasional atau daerah pembangunan berkelanjutan memerlukan partisipasi semaksimal mungkin dari komunitas lokal dan para pemangku kepentingan. Pada dasarnya prinsip keberkelanjutan menurut Schleicher-Tappeser et al. (1999) ada 3, yaitu: 1) Dimensi pembangunan, yang mencakup tiga hal, yaitu: a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi lingkungan), b) pemenuhan kebutuhan manusia melalui efisiensi pemanfaatan sumber daya (dimensi ekonomi), dan c) konservasi dan pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya). 2) Dimensi keadilan, yang mencakup: a) kesetaraan sosial dan gender (kesetaraan antar manusia manusia), b) kesetaraan antar wilayah dan negara (kesetaraan spasial), dan c) kesetaraan antar generasi sekarang dan yang akan datang. 3) Prinsip-prinsip sistemik, yang mencakup keanekaragaman, subsidiaritas, kemitraan dan partisipasi.

48 28 Dalam rangka menginterpretasikan prinsip pembangunan berkelanjutan, beberapa model telah dikembangkan agar konsep tersebut dapat diimplementasikan. Model yang paling populer adalah Model Tiga Pilar, yaitu segitiga dengan dimensi pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan konservasi lingkungan yang digunakan sebagai landasan dan tujuan pembangunan. Setelah itu berkembang alternatif model yang diusulkan untuk menggantikan Model Tiga Pilar dengan Model Prisma, yaitu dengan menambahkan dimensi kelembagaan untuk mengakomodasikan sejumlah elemen sosial dan budaya yang penting (Keiner 2005). Pengembangan model ini mengindikasikan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya merupakan suatu bentuk pembangunan bertujuan merekonsiliasi kebutuhan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan saja melainkan juga merupakan proses tata kelola yang memerlukan kelembagaan dan tata kelola yang dapat menjamin keberlanjutan. Model Prisma ini menurut Spangenberg (2002) menyediakan suatu kerangka kerja yang mampu mengakomodasikan beragam konsep pembangunan berkelanjutan dan keterkaitan yang seimbang dan terintegrasi dari dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga dapat menghindari kerusakan yang tidak dapat pulih dari salah satu dimensi. Meskipun kedua model tersebut terlihat terlalu sederhana untuk menggambarkan realitas dan kompleksitas pembangunan, tetapi model tersebut dapat digunakan secara efektif sebagai tujuan primer untuk berargumentasi dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan pembangunan. Hal ini terkonfirmasi dari diadopsinya Model Tiga Pilar sebagai panduan pembangunan yang disepakati oleh UN International Forum on National Strategies for Sustainable Development (UNDESA 2001) dan Model Prisma diterima sebagai landasan sistem indikator oleh United Nations Commission on Sustainable Development (UNDESA 2002). Tujuan primer pembangunan berdasarkan Model Tiga Pilar dapat diuraikan sebagai berikut (UNDESA 2002): 1) Pertumbuhan Ekonomi: pembangunan ekonomi ditujukan untuk peningkatan masyarakat dan upaya pengentasan kemiskinan dimaksimalkan melalui pemanfaatan sumber daya alam yang optimal dan efisien. Prioritas diberikan untuk peningkatan kemampuan masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.

49 29 2) Keadilan Sosial: dimensi ini merujuk kepada hubungan antara sumber daya alam dan manusia, peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan akses terhadap pelayanan dasar kesehatan, pendidikan dan pemenuhan standar keamanan serta penghargaan terhadap hak asasi manusia. 3) Perlindungan Lingkungan: dimensi ini berkaitan dengan perlunya untuk memperhatikan konservasi dan memperkuat basis sumber daya fisik dan biologi maupun ekosistem dalam mendukung pembangunan. Ketiga tujuan tersebut diatas saling tergantung dan terkait. Sebagai ilustrasi, isu keadilan yang menyangkut distribusi manfaat dan akses terhadap sumber daya alam merupakan komponen penting dalam dimensi ekonomi dan sosial dari pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi dicapai dengan melibatkan proses transformasi sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan dasar dan material dari masyarakat dan lingkungan alam akan terdeplesi. Pada saat yang sama, pembangunan ekonomi juga dapat menimbulkan dampak samping, seperti polusi udara, perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati. Sehingga implementasi pembangunan berkelanjutan pada intinya adalah mengembangkan keseimbangan yang tepat antara ketiga dimensi ini bagi kepentingan generasi sekarang dan mendatang. Konsep keberlanjutan terbaru dinyatakan dalam Comhar (2007) yang menekankan upaya implementasi keberlanjutan pembangunan dengan memperhatikan tujuh tema, yaitu: 1) Kepuasan pemenuhan kebutuhan manusia dengan efisiensi penggunaan sumber daya 2) Keadilan antar generasi 3) Menghargai integritas ekologi dan keanekaragaman hayati 4) Keadilan antar negara dan daerah 5) Keadilan sosial 6) Menghormati warisan dan keanekaragaman budaya 7) Pengambilan keputusan yang baik

50 30 Berdasarkan ketujuh tema tersebut dikembangkan menjadi 12 prinsip pembangunan berkelanjutan yang meliputi: 1) Penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus diminimalkan. 2) Penggunaan bahan berbahaya atau bahan pencemar dan menimbulkan sampah harus diminimalkan. 3) Sumber daya yang dapat diperbaharui harus digunakan dalam kapasitas regenerasi. 4) Kualitas tanah dan sumber air harus dipelihara dan diperbaiki. 5) Keanekaragaman margasatwa, habitat dan spesies harus dipelihara dan diperbaiki. 6) Udara dan atmosfir harus dijaga dan pengaruh perubahan iklim harus diminimalkan. 7) Pengembngan sumber daya potensial di suatu daerah tidak harus disetujui bersama daerah lainnya untuk mencapai potensinya sendiri. 8) Pemasukan sosial harus dikembangkan untuk meningkatkan perbaikan kualitas hidup semua 9) Pengembangan keberlanjutan tergantung pada kerjasama dan kesepakatan antar bagian. 10) Kualitas pemandangan, warisan sejarah dan lingkungan buatan dan sumber budaya harus dipelihara dan diperbaiki. 11) Pengambilan keputusan harus dikembangkan untuk tingkat yang tepat. 12) Partisipasi pemangku kepentingan harus dikembangkan pada semua tingkat pengambilan keputusan. 2.5 Analisis Kebijakan Pembangunan dan kebijakan merupakan dua konsep yang terkait. Sebagai sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah konteks dimana kebijakan beroperasi. Di lain pihak, kebijakan yang merujuk pada kerangka kerja pembangunan memberikan pedoman bagi implementasi tujuantujuan pembangunan ke dalam berbagai macam program dan kegiatan. Kebijakan merupakan perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap pelaksanaan

51 31 strategi-strategi pembangunan dan berfungsi untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas agar dapat mencapai tujuan pembangunan dengan efektif (Suharto 2008). Kebijakan merupakan salah satu unsur penting dalam organisasi atau lembaga yang digunakan untuk pengendalian atau pengaturan kepentingan umum. Dalam hal kebijakan dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan umum maka kebijakan dapat diartikan sebagai suatu perangkat prinsip-prinsip yang mendasasi pengambilan keputusan kebijakan publik. Kebijakan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk: 1). instrumen legal (hukum), seperti peraturan perundangan, 2). instrumen ekonomi, seperti kebijakan fiskal, subsidi dan harga, 3). petunjuk, arahan ataupun ketetapan, 4). pernyataan politik, dan 5). kebijakan dapat dituangkan dalam garis-garis besar arah pembangunan, strategi, maupun program. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh proses pembuatannya dan implementasinya (Djogo et al. 2003). Kebijakan publik adalah apapun yang akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut terkait dengan suatu isu atau persoalan publik (Dye 1992). Pengertian ini mengandung makna bahwa kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, baik pusat maupun daerah dan kebijakan publik menyangkut pilihan Sedangkan menurut Parsons (2005) kebijakan publik berhubungan dengan bidang publik dan problem-problemnya, yang berbeda dengan bidang privat. Kebijakan publik membahas tentang bagaimana isu-isu dan problemproblem tersebut disusun dan didefinisikan, dan bagaimana keseluruhannya tersebut diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Ide kebijakan publik mengandung anggapan bahwa terdapat domain atau ranah dalam kehidupan yang bukan bersifat privat atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum. Kebijakan merupakan peraturan yang telah dirumuskan dan disepakati untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan atau mempengaruhi pertumbuhan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat umum. Dengan demikian, kebijakan merupakan campur tangan yang dilakukan pemerintah untuk mempengaruhi

52 32 suatu pertumbuhan secara sektoral dari suatu aktifitas yang dilakukan masyarakat. Peraturan tersebut ditetapkan terutama dari pihak yang secara yuridis mewakili kepentingan masyarakat umum, dalam hal ini dapat hanya pemerintah atau pemerintah bersama perwakilan rakyat. Kebijakan publik menurut Agustino (2008) dapat dikelompokkan ke dalam beberapa tipologi, yaitu: 1) Kebijakan substansial dan prosedural. Kebijakan substansial merupakan jenis kebijakan yang isinya mengarah kepada upaya penyelesaian suatu masalah yang dihadapi oleh publik, misalnya pendidikan, kesehatan, lingkungan, ataupun bantuan untuk usaha kecil. Sedangkan kebijakan prosedural mengatur pihak-pihak yang harus melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Kebijakan ini mempunyai efek dasar yang penting walaupun tidak langsung tertuju kepada kepentingan publik karena hanya mengatur bagaimana sesuatu dikerjakan dan siapa yang melaksanakannya. 2) Kebijakan distributif, redistributif, dan regulatori. Kebijakan distributif merupakan pengaturan yang ditujukan untuk menyebarkan pelayanan atau keuntungan kepada sektor-sektor tertentu, baik untuk individu, kelompok atau komunitas, misalnya subsidi pupuk, bantuan langsung tunai, dan beras untuk rakyat miskin. Kebijakan redistributif adalah pengaturan untuk memindahkan alokasi dana dari kekayaan, pendapatan, pemilihan atau hak-hak diantara kelompok penduduk, sebagai misal penggolongan pajak pendapatan. Sedangkan kebijakan regulatori adalah pembatasan penggunaan atau larangan perbuatan bagi individu dan kelompok individu. Analisis kebijakan didefinisikan oleh Dunn (2003) sebagai suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi yang relevan untuk dapat memberikan landasan bagi para pengambil kebijakan dalam membuat suatu keputusan yang terkait dengan masalah-masalah publik. Dalam analisis kebijakan, kata analisis digunakan dalam pengertian yang luas, termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat serta mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen melainkan juga perancangan dan sintesis alternatif-alternatif baru. Analisis

53 33 kebijakan juga didefinisikan sebagai aktifitas yang produknya adalah saran yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan untuk pembuatan kebijakan publik (Weimer & Vining 1989). Dalam melakukan analisis kebijakan diperlukan identifikasi masalah kebijakan dan kebutuhan masyarakat penerima, mengevaluasi respon pemerintah terhadap masalah, pengembangan alternatif kebijakan, rekomendasi, implementasi dan evaluasi kebijakan (Hogwood & Gunn 1984; Soebarsono 2008). Dunn (1994) menyebutkan analisis kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan 3 pendekatan, yaitu pendekatan prospektif, retrospektif dan integratif. Pendekatan prospektif adalah bentuk analisis yang dilakukan untuk mendapatkan informasi konsekuensi komponen kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Pendekatan ini sering disebut sebagai pendekatan prediktif karena melibatkan teknik-teknik peramalan untuk memprediksi kemungkinan yang akan timbul dari suatu kebijakan yang diusulkan. Pendekatan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Pendekatan ini juga disebut pendekatan evaluatif karena banyak menggunakan pendekatan evaluasi dari dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan. Sedangkan pendekatan integratif merupakan perpaduan antara pendekatan prospektif dan retrospektif. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan komprehensif atau holistik karena analisis dilakukan terhadap kemungkinan dan konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul. Analisis kebijakan, menurut Dunn (1994) merupakan salah satu di antara sejumlah komponen dalam sistem kebijakan. Sistem kebijakan atau keseluruhan pola kelembagaan, dimana suatu kebijakan dibuat, menyangkut hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pemangku kepentingan kebijakan, dan lingkungan kebijakan (Gambar 2). Kebijakan publik merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berkaitan, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh pejabat dan badan pemerintah diformulasikan ke dalam bidang-bidang isu. Pada setiap bidang isu tersebut terdapat beragam isu kebijakan, yaitu serangkaian arah tindakan pemerintah yang aktual ataupun potensial mengandung konflik diantara

54 34 segmen-segmen yang ada dalam masyarakat. Isu kebijakan yang ada biasanya merupakan hasil definisi konflik mengenai masalah kebijakan. Sebagai contoh, sebagian segmen masyarakat memandang kriminalitas penebangan liar sebagai isu kebijakan, dimana kriminal sebagai masalah yang menyangkut tidak tegaknya hukum, aturan dan pengamanan dapat didefinisikan sebagai masalah sosial, ekonomi, pendidikan ataupun motivasi individu. Gambar 2 Tiga elemen sistem kebijakan (Dunn 1994) Pendefinisian masalah kebijakan sangat ditentukan oleh pola keterlibatan pemangku kepentingan tertentu, yaitu individu atau kelompok dalam masyarakat yang mempunyai kepentingan, baik karena akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Setiap pemangku kepentingan dapat merespon secara berbeda terhadap informasi lingkungan kebijakan yang sama. Sedangkan lingkungan kebijakan dimana isu kebijakan terjadi dalam konteks yang spesifik, mempengaruhi dan juga dipengaruhi oleh pemangku kepentingan dan kebijakan publik. Dengan demikian, sistem kebijakan mengandung proses dialektika antara dimensi objektif dan subjektif yang tidak terpisahkan dalam pengambilan kebijakan. Teori sistem menjelaskan bahwa pengambilan kebijakan publik tidak dapat

55 35 dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Kebijakan publik dapat dilahirkan karena pengaruh lingkungan yang ditransformasikan secara subjektif oleh pemangku kepentingan dan secara objektif akan terwujudkan dalam tindakan yang menghasilkan konsekuensi bagi pemangku kepentingan dan lingkungan kebijakan (Subarsono 2008). Analisis kebijakan sering kurang berhasil karena memecahkan masalah yang salah dibandingkan dengan kegagalan menemukan solusi yang salah untuk memecahkan masalah yang benar. Sebuah masalah disebut sebagai masalah privat jika penyelesaiannya dapat dilakukan tanpa harus melibatkan pemerintah. Pemerintah akan mendapat pembenaran untuk intervensi jika masalah yang akan dipecahkan merupakan masalah publik dan intervensi yang dilakukan dilandasi nilai yang tepat. Sehingga untuk merumuskan intervensi yang tepat diperlukan beberapa tahapan siklus kebijakan, seperti dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu masalah kebijakan (policy problem), masa depan alternatif kebijakan (policy future), pilihan tindakan kebijakan (policy action), hasil kebijakan (policy outcomes), dan kinerja kebijakan (policy performance). Perumusan masalah merupakan aspek analisis kebijakan yang penting untuk mendapatkan perhatian karena merupakan landasan bagi proses analisis selanjutnya. Masalah kebijakan dapat dipahami sebagai belum terpenuhinya tata nilai (value), kebutuhan maupun kesempatan yang pemenuhannya hanya dimungkinkan melalui kebijakan pemerintah. Masa depan kebijakan merupakan konsekuensi dari tindakan yang diharapkan berkontribusi terhadap pemenuhan nilai. Untuk mendapatkan informasi ini memerlukan kreativitas karena tidak dapat diperoleh dari situasi yang ada. Tindakan kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang dirancang untuk mendapatkan hasil kebijakan yang sesuai dengan tata nilai melalui alternatif kebijakan (Dunn 1994). Merumuskan suatu masalah publik yang benar dan tepat merupakan hal yang tidak mudah karena sifat masalah publik sangat kompleks. Pengambil kebijakan dihadapkan pada dua tipe persoalan dalam formulasi kebijakan, yaitu penetapan prioritas dan pemilihan instrumen yang tepat dalam intervensi (Mingat & Tan 2003). Kesulitan dalam perumusan masalah kebijakan menurut Dye

56 36 (1992) dapat diatasi dengan menggunakan model yang telah banyak digunakan selama ini untuk pengambilan keputusan. Setidaknya terdapat sembilan model yang dapat digunakan dalam perumusan kebijakan, yaitu model sistem, elit, institusional, kelompok, proses, inkremental, pilihan publik dan model teori permainan. Menurut Hayden (2006) prinsip-prinsip general system dengan metodologi dan modelnya sangat bermanfaat untuk menjelaskan dan mengevaluasi kebijakan, program pemerintah, biaya sosial dan barang publik maupun perumusan kebijakan. Gambar 3 Siklus kebijakan (Dunn 1994) Sedangkan Dunn (1994) berpendapat bahwa pemodelan kebijakan bukan hanya bermanfaat tetapi dirasakan perlu digunakan dalam perumusan kebijakan. Model kebijakan merupakan penyederhanaan representasi dari aspek-aspek situasi permasalahan yang dikonstruksi untuk tujuan perumusan kebijakan. Model ini dapat diwujudkan dalam bentuk konsep, gambar, grafik,

57 37 atau persamaan matematika yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksikan elemen-elemen situasi masalah kebijakan. Di samping itu, model kebijakan juga dapat digunakan untuk memperbaiki situasi masalah melalui rekomendasi langkah-langkah tindakan yang dapat menyelesaikan masalah. Berdasarkan tujuannya, model kebijakan dapat dibedakan antara model deskriptif dan model normatif. Tujuan model deskriptif adalah untuk menjelaskan dan atau memprediksi sebab dan akibat dari pilihan kebijakan. Sedangkan model normatif selain dapat digunakan untuk menjelaskan dan memprediksi, tetapi juga untuk mengembangkan aturan dan rekomendasi yang mengoptimalkan pencapaian tujuan kebijakan. Di samping itu, dikenal juga model prosedural, yaitu penyederhanaan yang merepresentasikan hubungan dinamis antar peubah yang diyakini merupakan karakteristik dari masalah kebijakan. Prediksi dan optimasi solusi dalam model ini diperoleh melalui simulasi dan pencarian dengan menggunakan himpunan peluang relasi yang tidak mungkin dideskripsikan secara memadai karena tidak adanya data. Salah satu bentuk sederhana simulasi dari model prosedural adalah pohon keputusan (decision tree) (Dunn 1994). Sebagian besar situasi pengambilan kebijakan di dunia nyata, menurut Walker (2000) pengambil kebijakan selalu dihadapkan pada beragam kemungkinan alternatif, ketidak pastian, beragam pemangku kepentingan dan konsekuensi kebijakan sehingga tidak ada cara untuk mengidentifikasi solusi yang optimal. Dalam kondisi demikian, penggunaan model akan sangat membantu menyediakan informasi yang relevan bagi pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan mengambil keputusan yang sama-sama dikehendaki sehingga implementasi kebijakan dapat efektif. Kondisi lingkungan hidup sangat berkaitan dengan fungsi ekologi dan ekonomi lingkungan hidup. Sikap dan kelakuan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi, pengetahuan atau penghargaan terhadap fungsi ekologi lingkungan hidup yang memberikan layanan pada manusia. Kekurangan penghargaan dan motivasi ekonomi perorangan maupun negara yang berlebihan tanpa diikuti oleh upaya perlindungan

58 38 yang memadai terhadap lingkungan hidup akan menyebabkan terjadinya eksploitasi berlebih (over exploitation) sumber daya alam. Untuk mengatasi masalah ini, sikap dan perilaku masyarakat harus direkayasa agar menjadi ramah lingkungan tanpa mengurangi upaya pembangunan ekonomi. Pengubahan ini tidak mudah karena sifat manusia yang dominan adalah egoisme sehingga diperlukan kebijakan sistem pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada sifat manusia tersebut. Kebijakan yang dapat digunakan dalam pengelolaan lingkungan hidup meliputi instrumen pengaturan dan pengawasan, instrumen ekonomi, dan instrumen suasif (Soemarwoto 2004). Sedangkan Sterner (2003) menyatakan bahwa pada dasarnya ada empat instrumen kebijakan, yaitu instrumen organisasi, legal, insentif ekonomi dan informasi. Walaupun demikian, tidak ada satupun taksonomi instrumen kebijakan yang paling baik karena masing-masing memiliki kegunaan yang tergantung dari konteksnya. Instrumen pengaturan dan pengawasan (Command and Control CAC) bertujuan untuk mengurangi pilihan pelaku dalam usaha pemanfaatan lingkungan hidup, misalnya melalui penetapan zonasi, preskripsi teknologi tertentu dan pelarangan kegiatan yang merusak lingkungan. Pada intinya, instrumen CAC dimaksudkan untuk menekan egoisme manusia dan mendorong perilaku ramah lingkungan melalui ancaman sanksi tindakan hukum. Pemerintah menetapkan peraturan dan pengawasan kepatuhan pelaksanaannya. Ketidak patuhan dikenakan sanksi denda dan/atau kurungan. Di Indonesia instrumen CAC sangat dominan dalam pengelolaan lingkungan. Kekuasaan perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, pengawasan dan penindakan mengalir dari pusat ke daerah dan dari atas ke bawah (top down). Dengan demikian, ciri utama instrumen CAC tersebut adalah penindakan, topdown dan instruktif, serta kaku dan birokratis. Instrumen CAC mengandung kelemahan, yang pertama bersumber dari ciri utama instrumen CAC dan yang kedua pada implementasinya, sehingga diperlukan pendekatan alternatif untuk menutupi kelemahan instrumen CAC (Soemarwoto 2005). Instrumen ekonomi bertujuan untuk mengubah nilai keuntungan relatif terhadap kerugian bagi pelaku dengan memberikan insentif dan disinsentif ekonomi. Insentif dan disinsentif ini mencakup instrumen pasar (market-based

59 39 instruments) yang dapat menghasilkan untung rugi berupa uang sehingga bersifat tangible. Pertimbangan tangible diharapkan akan memberikan dorongan yang kuat untuk berperilaku mendukung lingkungan dan menjadi hambatan untuk merusak lingkungan. Beberapa contoh instrumen ekonomi adalah pengurangan pajak untuk produksi bersih dan penggunaan peralatan yang hemat energi, pemungutan retribusi limbah dan pemberian denda untuk pelanggaran peraturan lingkungan. Instrumen ekonomi sebenarnya tidak merubah sistem nilai pelaku terhadap lingkungan karena perilaku ramah lingkungan hanya didasari oleh motivasi keuntungan ekonomi. Oleh karena itu, jika insentif berhenti maka tidak ada jaminan perilaku ramah lingkungan akan berlanjut, kecuali perubahan perilaku tersebut telah terinternalisasikan. Peluang internalisasi akan semakin besar jika instrumen ekonomi ini dikembangkan oleh masyarakat sendiri dan pemerintah berperan sebagai fasilitator (Soemarwoto 2004). Instrumen kebijakan suasif merupakan instrumen yang mendorong perilaku masyarakat secara persuasif, bukan dengan paksaan. Instrumen ini bertujuan untuk mengubah persepsi hubungan manusia dengan lingkungan hidup yang lebih menguntungkan. Dalam kondisi ini, proses pengambilan keputusan pelaku didorong untuk mengubah prioritas pilihan yang lebih menguntungkan lingkungan hidup dan masyarakat secara luas. Instrumen ini dapat berupa pendidikan, latihan, penyebaran informasi melalui media massa maupun ceramah. Dalam jangka panjang, nilai-nilai yang diajarkan dapat mengubah perilaku secara permanen dan budaya yang lebih ramah lingkungan (Soemarwoto 2004). Pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem secara ekonomi memiliki nilai strategis yang penting dalam mendukung pembangunan sebagian besar negara-negara berkembang (Steiner 2003). Kebijakan publik berperan dalam menyediakan barang publik yang disediakan oleh fungsi ekosistem. Namun, hal yang mungkin perlu dipahami adalah pilihan-pilihan apa yang telah dilakukan pemerintah terkait pembangunan kawasan konservasi, bagaimana implementasi dan administrasinya serta dampak dari pilihan tersebut (Papageorgiou dan Vogiatzakis 2006). Kesuksesan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistem dalam kawasan konservasi tidak hanya fungsi dari

60 40 jumlah, tipe dan luasan kawasan yang telah ditetapkan, tetapi yang terpenting adalah penetapan kebijakan yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan bersama dan dijalankan dalam praktek oleh lembaga-lembaga yang berkepentingan. Suatu kebijakan akan berpeluang untuk sukses dalam implementasinya jika bersifat antisipatif dan partisipatif dibandingkan dengan yang bersifat reaktif dan kurang akomodatif terhadap kebutuhan masyarakat. 2.6 Pendekatan Sistem dan Soft System Methodology Teori sistem dipelopori oleh Bertalanffy yang memperkenalkan suatu kerangka konsep dan teori yang dapat diterapkan pada berbagai bidang ilmu. Kerangka tersebut dikenal sebagai General System Theory yang didasari oleh pemikiran perlunya generalis dan pendekatan lintas disiplin dalam memahami dunia nyata secara efisien. Sistem merupakan suatu agregasi atau kumpulan objek-objek yang saling menerangkan dalam interaksi dan saling tergantung. Konsep sistem merupakan awal dari studi sistem yang selanjutnya akan didesain dan dievaluasi (Dubrowsky 2004; Eriyatno & Sofyar 2007; Drack 2009). Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan komponen-komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai suatu tujuan atau beberapa tujuan. Pengertian komponen atau unsur adalah benda, baik kongkrit atau abstrak yang menyusun suatu sistem. Tujuan sistem merupakan unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur dan keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan sistem. Gangguan salah satu unsur akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem secara keseluruhan. Interaksi antar komponen atau unsur merupakan ikatan atau hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada suatu sistem sehingga dapat dibedakan dari sistem lainnya dan interaksi ini mempengaruhi perilaku sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, sistem memiliki dua sifat utama yang berkaitan dengan aspek struktur dan aspek perilaku. Struktur sistem

61 41 berkaitan dengan susunan dan rangkaian diantara elemen-elemen penyusunnya dan perilaku sistem yang berkaitan dengan input dan output sistem (Eriyatno, 2003; Muhammadi et al. 2001). Lebih lanjut Marimin (2005) menyebutkan bahwa sebuah sistem pada umumnya mempunyai beberapa sifat mendasar, antara lain: 1) berorientasi kepada tujuan dan dalam proses pencapaian tujuan akan terjadi perubahan yang terus menerus sehingga bersifat dinamis, 2) satu kesatuan usaha dimana hasil kerja sistem secara keseluruhan melebihi dari jumlah hasil kerja dari masing-masing bagian sistem secara sendirisendiri atau bersifat sinergis, 3) terbuka terhadap lingkungan, yang berarti bahwa lingkungan merupakan sumber kesempatan ataupun hambatan unjuk kerja sistem, 4) adanya transformasi, yang merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem, 5) interaksi antara bagian maupun subsistem, dan 6) adanya mekanisme pengendalian, yang menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberikan informasi kepada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan masalah yang dihadapi. Pendekatan sistem merupakan suatu pendekatan cara penyelesaian persoalan yang sangat berbeda dari pendekatan konvensional. Pendekatan konvensional menekankan pada aspek analisis elemen-elemen secara parsial atau tereduksi. Sedangkan pendekatan sistem menekankan pada aspek analisis interaksi elemen dan perilaku sistem secara keseluruhan atau holistik. Pendekatan sistem dimulai dengan dilakukannya identifikasi kebutuhan-kebutuhan pemangku kepentingan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari suatu sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem memiliki dua hal utama, yaitu pencarian semua faktor penting yang terdapat dalam sistem untuk mendapatkan solusi penyelesaian masalah yang baik serta pembuatan suatu model konseptual dan kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional (Eriyatno 2003).

62 42 Pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan dan penyelesaian persoalan yang kompleks terfokus pada pemahaman proses interaksi yang terjadi dalam sistem (Richardson & Pugh 1983). Hal ini dilandasi oleh filosofi bahwa struktur sistem bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan dalam sistem dengan berjalannya waktu. Premisnya adalah perilaku dinamik merupakan konsekuensi dari struktur sistem. Pendekatan sistem cenderung untuk melihat sebab dan konsekuensi dari perilaku di dalam sistem. Persoalan atau output yang tidak dikehendaki dari sistem tidak dipandang sebagai akibat dari agen atau komponen di luar sistem. Sedangkan tahapan pendekatan sistem dalam penyelesaian persoalan yang kompleks meliputi: 1) definisi dan identifikasi masalah, 2) konseptualisasi sistem, 3) formulasi model, 4) analisis perilaku model, 5) evaluasi model, 6) analisis kebijakan dan 7) implementasi atau penggunaan model. Secara skematis, proses pendekatan sistem untuk formulasi kebijakan atau penyelesaian persoalan ditunjukkan pada Gambar 4. Implementasi kebijakan Pemahaman sistem Analisis kebijakan Definisi masalah Simulasi Konseptualisasi sistem Formulasi model Gambar 4 Overview pemodelan sistem untuk analisis kebijakan (Richardson & Pugh 1983)

63 43 Menurut Jackson (2000) pendekatan sistem dalam aplikasi system thinking untuk penelitian dan intervensi kebijakan dapat dibedakan menjadi pendekatan sistem: 1) fungsionalis, 2) interpretasi, 3) emansipatori, dan 4) postmodern. Pengklasifikasian ini didasarkan atas metodologi yang digunakan. Sedangkan Checkland (2000) dengan berdasarkan atas keterkaitan antara systems thinking dan systems practice membedakan pendekatan sistem menjadi hard system dan soft system. Hard system thinking dengan landasan paradigma optimasi sangat tepat digunakan pada pemecahan masalah teknis yang tersturktur dan tujuannya telah diketahui sebelumnya, sedangkan soft system thinking dengan paradigma pembelajaran lebih tepat digunakan pada situasi pemecahan persoalan yang tidak terstruktur dan melibatkan aspek manusia dan sosial budaya. Pendekatan sistem lunak dapat dilakukan dengan menggunakan Soft System Methodology (SSM) yang bersifat interpretasi jika situasi permasalahan yang dihadapi bersifat kompleks dan messy atau ill-defined (Christis 2005). Metodologi SSM dikembangkan oleh Checkland (1999) dengan landasan pemikiran bahwa dalam rangka perbaikan sistem di dunia nyata, setiap tindakan oleh manusia pasti memiliki makna bagi dirinya sehingga pemodelan sistem aktifitas manusia akan menggambarkan karakteristik tujuan tertentu yang diinginkannya. Selanjutnya, dalam pemodelan sistem aktifitas manusia dalam rangka mengeksplorasi tindakan manusia di dunia nyata memungkinkan munculnya beragam interpretasi terhadap suatu tujuan tertentu sehingga dapat dibangun banyak model. Oleh karena itu, sebelum melakukan pemodelan perlu dipilih pandangan (world view) yang paling relevan sebagai landasan dalam pemodelan untuk mengekplorasi situasi masalah sehingga dapat diperoleh konsep yang dapat digunakan (usable concept). SSM digunakan pada situasi dimana karena berbagai alasan merupakan situasi yang problematik bagi pihak yang berkepentingan dan melalui pemodelan konseptual yang relevan akan dapat teridentifikasi tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan situasi problematik tersebut (Checkland & Scholes 1999). Metodologi SSM mencakup 7 langkah atau tahapan proses (Gambar 5) dimana dapat dibedakan antara aktifitas

64 44 di dunia nyata yang melibatkan para pihak terkait situasi problematik dan aktifitas system thinking yang dapat berkaitan maupun tidak dengan situasi problematik. Tahapan proses tersebut meliputi: 1) Situasi permasalahan tidak terstruktur. 2) Situasi permasalahan terekspresikan. 3) Definisi mendasar sistem yang relevan. 4) Model konseptual. 5) Perbandingan model dengan dunia nyata. 6) Perubahan yang diharapkan dan layak. 7) Tindakan untuk memperbaiki situasi problematik. Tahapan 1 dan 2 merupakan fase pengungkapan situasi yang dipersepsikan sebagai masalah. Analisis yang dilakukan dalam fase ini menyangkut identifikasi elemen kunci dari struktur dan proses, serta interaksi antar elemen dan proses dari situasi masalah. Tahap 3 merupakan tahapan pendefinisian sistem yang relevan untuk memperbaiki situasi masalah. Formulasi ini dapat dimodifikasi kembali dalam proses iterasi dan pendalaman. Selanjutnya berdasarkan definisi sistem yang telah terbentuk maka dilakukan tahap 4, yaitu membangun model konseptual dari sistem aktifitas manusia yang memuat sekumpulan aktifitas minimal yang diperlukan. Jika dijumpai kekurangan dan diperlukan transformasi untuk pembentukan model konseptual maka dapat digunakan konsep sistem formal dan pemikiran sistem yang lain. Pada tahap 5 dilakukan pembandingan model konseptual dengan persepsi yang ada di dunia nyata. Pembandingan ini sebagai tahapan 6, dilakukan melalui perdebatan diantara para pihak yang berkepentingan sehingga dapat diidentifikasi kemungkinan-kemungkinan perubahan yang memang diharapkan dan layak atau dapat diterima oleh semua pihak. Tahap 7 menyangkut pengambilan tindakan untuk memperbaiki situasi masalah.

65 45 Gambar 5 Proses soft system methodology (Checkland 1999) 2.7 Strategic Assumption Surfacing and Testing Metode Strategic Assumption Surfacing and Testing (SAST), menurut Flood and Jackson (2000) menggunakan pendekatan sistem yang terfokus pada para pihak yang terkait dengan konteks permasalahan dan tidak pada karakteristik elemen sistem yang menyebabkan permasalahan. Aspek manusia dan politik dari organisasi menjadi perhatian utama dalam metode SAST sedangkan struktur organisasi tidak menjadi fokus meskipun aspek ini akan diperhatikan setelah isu pluralisme terselesaikan. Metode SAST di rancang sebagai sebuah pendekatan sistem yang sesuai untuk menyelesaikan persoalan yang rumit (messes atau illstructured problem context) dan merupakan metode yang digunakan dalam menyusun alternatif kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi (Dewar 2004). Persoalan yang rumit dicirikan oleh adanya ketergantungan yang kuat dalam komponen persoalan. Ciri yang menonjol dari metode SAST sebagai metode pemecahan persoalan adalah asumsi bahwa suatu persoalan pluralisme yang telah dapat diselesaikan melalui metode SAST selanjutnya penyelesaian persoalan akan dapat diteruskan dengan menggunakan metode manajemen konvensional.

66 46 Filosofi metode SAST menurut Flood and Jackson (2000) didasarkan atas 4 argumentasi tentang sifat persoalan dan upaya pemecahannya. Argumentasi pertama dinyatakan bahwa sebagian besar persoalan strategik yang dihadapi organisasi merupakan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, sedangkan sebagian besar teknik-teknik pemecahan masalah konvensional hanya cocok untuk pemecahan masalah yang tidak kompleks dan terstruktur. Kedua, sebagian besar organisasi gagal memecahkan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur karena kegagalan dalam mengubah pola pikir dan melakukan pekerjaan. Pemilihan kebijakan alternatif yang tidak didasari oleh praktek yang selama ini dilakukan kurang mendapatkan perhatian. Metode SAST memastikan alternatif kebijakan tersebut akan tetap dipertimbangkan. Ketiga, menantang kebijakan yang lebih disukai akan mengharuskan pembangkitan kebijakan yang berbeda. Organisasi akan mulai belajar ketika asumsi-asumsi yang ada sebagai dasar pengembangan kebijakan ditantang oleh asumsi-asumsi tandingan. Proses ini akan mendorong berkembangnya organisasi melalui proses pembelajaran karena asumsi yang digunakan selalu akan dihadapkan pada perihal baru. Keempat, disadari akan muncul friksi dalam proses pengembangan alternatif strategi dan kebijakan. Berdasarkan filosofi tersebut, metode SAST memiliki empat prinsip, yaitu: 1) adversarial atau berlawanan, dengan keyakinan bahwa upaya penilaian masalah yang tidak terstruktur dengan baik melalui pertimbangan perspektif yang bertentangan. 2) partisipatif, sebagai cara untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan beragam melalui pelibatan berbagai individu atau kelompok yang terkait atau organisasi yang berbeda untuk memecahkan masalah yang kompleks dan kemudian mendistribuasikan pelaksanaan hasil pemecahan pada pihak yang berkepentingan. 3) Integratif, berdasarkan asumsi perlu dilakukan satu sintesis dari berbagai sudut pandang untuk dapat merumuskan rencana tindak yang dapat dioperasionalkan.

67 47 4) Mendukung gagasan manajerial, dimana orang yakin bahwa dengan melibatkan para manajer yang selalu dihadapkan pada berbagai asumsi yang membuatnya memahami lebih mendalam organisasi, kebijakan maupun masalah-masalah yang dihadapinya. Proses pengedepanan asumsi dapat dilakukan melalui tiga teknik (Mason & Mitroff 1981). Teknik pertama adalah analisis stakeholder yang dilakukan melalui identifikasi komponen stakeholder yang terkena dengan kebijakan, yang tertarik maupun berada pada posisi mempengaruhi penerapan suatu kebijakan atau yang menolak serta memberikan dukungannya. Dalam upaya mengangkat asumsi digunakan cara dengan memberikan pertanyaan terbalik yang optimal, sebagai contoh dengan diberlakukannya kebijakan yang dirumuskan, apakah yang harus diasumsikan tentang sikap stakeholder sehingga asumsi yang ada tersebut secara logis dapat mengoptimalkan penerapan strategi kebijakan yang dimaksud. Teknik kedua adalah spesifikasi asumsi. Masing-masing stakeholder yang telah teridentifikasi dikelompokkan dan membuat daftar asumsi yang diyakini akan dapat menjadi landasan keberhasilan implementasi strategi kebijakan. Teknik ketiga adalah pemeringkatan asumsi. Masing-masing kelompok stakeholder menilai masing-masing asumsi berdasarkan kriteria tingkat kepentingan dan kepastian. Tingkat kepentingan dari asumsi menunjukkan derajat pengaruh asumsi terhadap keberhasilan atau kegagalan strategi kebijakan. Sedangkan tingkat kepastian menunjukkan tingkat keyakinan bahwa suatu asumsi benar adanya. Hasil analisis menggunakan teknik pemeringkatan asumsi selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik peringkat asumsi (assumption rating). Gambar 6 menunjukkan kuadran rencana yang pasti mendukung keberhasilan strategi kebijakan dan kuadran rencana yang bermasalah. Asumsi-asumsi yang memiliki tingkat kepentingan rendah pada kuadran bagian kiri secara nyata tidak akan mempengaruhi efektifitas perencanaan atau pemecahan masalah. Asumsi-asumsi yang berada pada kuadran paling pasti dan penting merupakan asumsi yang akan dapat digunakan sebagai pijakan strategi kebijakan.

68 48 Paling Pasti Paling Tidak Penting Kuadran Rencana yang pasti Kuadran Rencana yang bermasalah Paling Penting Paling Tidak Pasti Gambar 6 Grafik peringkat asumsi (Flood & Jackson 2000) 2.8 Pemodelan Interpretasi Struktural Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretive Structural Modelling ISM). Menurut Eriyatno (2003) ISM merupakan proses pengkajian kelompok yang berguna untuk memberikan gambaran perihal yang kompleks dari suatu sistem dan melalui pola yang dirancang secara saksama dengan menggunakan grafis dan kalimat akan menghasilkan model-model struktural. Teknik ISM meskipun utamanya ditujukan untuk pengkajian oleh sebuah kelompok, tetapi bisa juga digunakan oleh seorang peneliti dengan melibatkan pakar multi disiplin. Teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.

69 49 Menurut Saxena et al. (1992), analisis sistematis dari suatu program atau objek secara holistik sangat bermanfaat agar tujuan program dapat diimplementasikan dengan efektif dan memberikan manfaat bagi masyarakat karena memenuhi kebutuhannya saat ini maupun masa mendatang. ISM merupakan interpretasi dari suatu program atau objek yang utuh dan mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya menjadi model sistem yang terdefinisikan secara jelas hingga dapat dimanfaatkan untuk perencanaan strategik dan formulasi kebijakan. ISM merupakan salah satu metode permodelan berbasis komputer yang dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, ataupun kategori ide. ISM merupakan sebuah metode yang interaktif dan diimplementasikan dalam sebuah wadah kelompok sehingga metode ini memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks. ISM menganalisis elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin 2005). Menurut Kanungo and Bhatnagar (2002), Eriyatno (2003) dan Marimin (2005), langkah-langkah permodelan dengan menggunakan ISM mencakup: 1) Identifikasi elemen: Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat maupun cara yang lainnya. 2) Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan kontekstual antar elemen dibangun berdasarkan pada tujuan dari permodelan. 3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix SSIM): Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap hubungan elemen yang dituju.

70 50 Empat simbol yang digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua elemen dari sistem yang dikaji adalah: V... hubungan dari elemen E i terhadap E j, dan tidak sebaliknya A... hubungan dari elemen E j terhadap E i, dan tidak sebaliknya X... hubungan interrelasi antara E i dan E j, dan dapat sebaliknya O... menunjukkan bahwa E i dan E j tidak berkaitan 4) Matriks Reachability (Reachability Matrix RM): Sebuah RM yang dipersiapkan kemudian mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Konversi SSIM menjadi SM menggunakan aturan-aturan berikut, Jika hubungan E i terhadap E j = V dalam SSIM maka elemen E ij = 1 dan E ji = 0 dalam RM. Jika hubungan E i terhadap E j = A dalam SSIM maka elemen E ij = 0 dan E ji = 1 dalam RM. Jika hubungan E i terhadap E j = X dalam SSIM maka elemen E ij = 1 dan E ji = 1 dalam RM. Jika hubungan E i terhadap E j = O dalam SSIM maka elemen E ij = 0 dan E ji = 0 dalam RM. RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika E ij = 1 dan E jk = 1 maka E ik = 1. 5) Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri Ai adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda.

71 51 6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir. 8) Interpretive Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian, yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji. Menentukan jenjang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, namun harus memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c) konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d) liputan dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih rendah, dan e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat tingkat dibawahnya. Teknik ISM dapat memberikan basis analisis program dimana informasi yang dihasilkan sangat berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis. Selanjutnya, Saxena et al. (1992) menyatakan bahwa

72 52 penggunaan ISM dalam analisis, program dapat dibagi menjadi sembilan elemen utama: 1) Sektor masyarakat yang terpengaruh 2) Kebutuhan dari program 3) Kendala utama program 4) Perubahan yang diinginkan 5) Tujuan dari program 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan 7) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan 8) Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas 9) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program Untuk setiap elemen dari program yang dikaji, selanjutnya dijabarkan menjadi sejumlah sub-elemen. Kemudian ditetapkan hubungan kontekstual antara sub-elemen yang mengandung adanya suatu pengarahan pada perbandingan berpasangan. Hubungan kontekstual pada teknik ISM selalu dinyatakan dalam terminologi sub-ordinat yang menuju pada perbandingan berpasangan antar subelemen yang mengandung suatu arahan pada hubungan tersebut. Menurut Eriyatno (2003) hubungan kontekstual dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif. Keterkaitan antar sub-elemen dapat meliputi berbagai jenis hubungan seperti disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural Self Interaction Matrix dengan menggunakan simbol: V jika e ij = 1 dan e ji = 0 A jika e ij = 0 dan e ji = 1 V jika e ij = 1 dan e ji = 1 V jika e ij = 0 dan e ji = 0

73 53 Tabel 1 Hubungan kontekstual antar sub-elemen pada teknik ISM No Jenis Hubungan Interpretasi 1 Pembandingan (comparative) 2 Pernyataan (definitive) 3 Pengaruh (influence) 4 Keruangan (spatial) 5 Kewaktuan (temporal/time scale) Sumber: Eriyatno (2003) A lebih penting/besar/indah dari B A 20% lebih berat dari B A adalah atribut B A termasuk di dalam B A mengartikan B A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B A adalah selatan/utara B A diatas B A sebelah kiri B A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B Nilai e ij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j, sedangkan e ij = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j. Hasil penilaian ini kemudian dibuat dalam Structural Self Interaction Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi kaidah transitivitas. Matriks RM yang telah memenuhi kaidah transitivitas kemudian diolah untuk mendapatkan nilai Driver-Power (DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk mengetahui peran masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam 4 sektor: Sektor 1: Weak driver-weak dependent variables (Autonomous), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem,

74 54 mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (Dependent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya sub elemen yang tidak bebas atau dipengaruhi oleh sub elemen lain. Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (Linkage), sub elemen yang berada pada sektor ini perlu dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (Independent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya merupakan sub elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak yang besar terhadap sub elemen lain dalam sistem. 2.9 Fuzzy Analytical Hierarchy Process Penilaian untuk memilih kebijakan prioritas dapat dilakukan dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik (Analytical Hierarchy Process AHP). AHP mempunyai peralatan utama yaitu sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia dalam memilih alternatif-alternatif keputusan pemecahan masalah. Suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki. Proses hirarki analitik cocok untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dengan kriteria majemuk (Saaty, 1993). Menurut Goodwin and Wright (2004) dan Marimin (2005) prinsip dasar AHP meliputi beberapa langkah, yaitu: 1) Penyusunan struktur hirarki Persoalan yang akan diselesaikan diuraikan menjadi unsur-unsurnya yang dapat berupa atribut dan alternatif. Unsur-unsur ini kemudian disusun menjadi struktur hirarki yang menunjukkan alternatif yang tersedia dalam membuat keputusan berada pada tingkat yang paling bawah.

75 55 2) Penilaian perbandingan berpasangan Penilaian unsur-unsur hirarki dilakukan melalui perbandingan berpasangan dari masing-masing elemen dalam suatu unsur untuk menetapkan kepentingan relatif. Skala penilaian 1 sampai 9 merupakan skala yang terbaik untuk menilai berbagai persoalan. Nilai pendapat yang diekspresikan didefinisikan sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2. 3) Penentuan prioritas Penentuan prioritas didasarkan atas hasil perbandingan berpasangan dari masing-masing elemen dalam unsur-unsur hirarki. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Elemen-elemen kualitatif maupun kuantitatif dibandingkan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot atau prioritas dapat dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematika. Analisis sensitivitas dapat dilakukan untuk mengetahui akibat adanya perubahan tingkat kepentingan. 4) Konsistensi logis Seluruh elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Tabel 2 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan Identitas Kepentingan Definisi Nilai 1 Kedua elemen sama penting 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari yang lain 5 Elemen yang satu jelas lebih penting dari yang lain 7 Elemen yang satu sangat jelas lebih penting dari yang lain 9 Elemen yang satu mutlak lebih penting dari yang lain 2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua pertimbangan yang berdekatan

76 56 Untuk menentukan bobot atau prioritas melalui cara penghitungan nilai eigen dapat diselesaikan melalui 2 cara, yaitu: 1) Penyelesaian dengan manipulasi matriks Manipulasi matriks dilakukan untuk menentukan bobot dari elemen unsur dengan jalan menentukan nilai eigen. Sedangkan prosedur untuk mendapatkan nilai eigen dilakukan dengan cara mengkuadratkan matriks dan dilanjutkan dengan penjumlahan nilai dari setiap baris dan dilakukan normalisasi. Proses penghitungan ini dilakukan sampai dihasilkan perbedaan antara jumlah dari dua perhitungan berturut-turut lebih kecil dari suatu nilai batas tertentu. a. Pengolahan Horisontal Pengolahan horisontal dimaksudkan untuk menyusun prioritas elemen keputusan setiap tingkat hirarki keputusan. Tahapannya adalah sebagai berikut: 1) Perkalian baris (Z) dengan rumus: Z = n n ai j 1 j 2) Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen evp i = n n ai j 1 n n n i 1 j 1 j a ij evp i adalah elemen vektor prioritas ke i 3) Perhitungan nilai eigen maksimum VA = aij x VP dengan VA = (Vai) VB = VA/VP dengan VB = (Vbi)

77 57 λmaks = 1 n n aij. VBi i 1 VA = VB = vektor antara (untuk i = 1,2,3,...n) 4) Perhitungan indeks konsistensi (CI) Pengukuran ini dimaksudkan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang akan berpengaruh pada kesahihan hasil, ditentukan dengan rumus: CI = n n 1 maks Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik atau tidak, perlu diketahui consistency ratio (CR) yang dianggap baik, yaitu CR 0.1. Consistency Ratio dapat dihitung dengan rumus: CR = CI/RI Nilai RI merupakan nilai indeks random, ditampilkan pada Tabel 3: Tabel 3 Nilai Indeks Random (RI) Ukuran Matriks Indeks Random Ukuran Matriks Indeks Random

78 58 b. Pengolahan Vertikal Pengolahan ini digunakan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam hirarki terhadap sasaran utama. Jika NP pq didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke p pada tingkat ke q terhadap sasaran utama, maka: n NP pq = NPHpq( t, q 1) * NPTt( q 1) t 1 untuk p = 1,2,3,...,r t = 1,2,3,...,s dimana: NPpq = nilai prioritas pengaruh elemen ke p pada tingkat ke q terhadap sasaran utama NPHpq = nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q NPTt = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke-(q-1) 2) Penyelesaian dengan persamaan matematika Langkah-langkah untuk menentukan besarnya bobot adalah: a. Langkah 1: w i /w j = a ij (ij = 1,2,3, n) w i w j = bobot input dalam baris = bobot input dalam kolom b. Langkah 2: w i = a ij w j (ij = 1,2,3,.n) untuk kasus-kasus umum mempunyai bentuk: 1 n w i = aijwj n j 1 (ij = 1,2,3, n) w i = rataan dari a i1 w 1, a in w j

79 59 c. Langkah 3: Bila perkiraan aij baik akan cenderung untuk dekat dengan nisbah w i /w j. Jika n juga berubah maka n diubah menjadi λ maks sehingga diperoleh: 1 n w i = maks j 1 a ij w j (ij = 1,2,3, n) Metode fuzzy AHP adalah suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy dalam penilaian perbandingan berpasangan dari elemen-elemen unsur untuk menetapkan prioritas alternatif. Kelebihan penggunaan fuzzy AHP adalah pada waktu melakukan penilaian perbandingan berpasangan, para pengambil kebijakan tidak dipaksa untuk melakukan penilaian diskrit tetapi dapat menggunakan intuisi yang dinyatakan melalui informasi linguistik atau verbal (Buckley 2001). Salah satu metode analisis fuzzy AHP dikemukakan oleh Chang (1996). Analisis ini mencakup beberapa langkah, yaitu: 1) Langkah 1 Nilai sintesa pengembangan fuzzy (fuzzy synthetic extent value) (S i ) dari kriteria ke-i didefinisikan sebagai persamaan 1: Untuk mendapatkan persamaan 2: dilakukan melalui operasi penambahan fuzzy dari m extent analysis values untuk matriks tertentu berdasarkan persamaan 3 yang akan menghasilkan himpunan baru (l, m, u) dan digunakan pada persamaan:

80 60 dimana l adalah batas bawah nilai limit, m adalah nilai paling promising dan u adalah batas atas nilai limit. Dan untuk memperoleh persamaan 4: dilakukan melalui operasi penambahan fuzzy dari nilai akan memberikan persamaan 5: dan kemudian dihitung vektor inverse pada persamaan 5 untuk memperoleh persamaan 6: 2) Langkah 2 Derajat kemungkinan dari: M 2 = (l 2, m 2, u 2 ) M 1 = (l 1, m 1, u 1 ) didefinisikan dalam persamaan 7:

81 dan x dan y adalah nilai pada aksis fungsi keanggotaan dari masing-masing kriteria. Persamaan ini dapat diekspresikan sebagai persamaan 8: 61 dimana d adalah titik persimpangan tertinggi μ M1 dan μ M2. 3) Langkah 3 Derajat kemungkinan untuk nilai fuzzy konveks lebih besar dari k nilai fuzzy konveks M i (i = 1,2,3,4,5,..., k) dapat didefinisikan oleh V(M M 1, M 2, M 3, M 4, M 5, M 6,..., M k ) = V[(M M 1 ) dan (M M 2 ) dan (M M 3 ) dan (M M 4 ) dan...dan (M M 1 ) = min V(M M i ), i = 1,2,3,4,..., k. Jika persamaan 9: d * (A i ) = min V(S i S k ) untuk k = 1,2,3,4,5,...,n; k i maka bobot vektor diperoleh dari persamaan 10, yaitu: W * = (d * (A 1 ), d * (A 2 ), d * (A 3 ), d * (A 4 ), d * (A 5 ),..., d * (A n )) T dimana A 1 (i = 1,2,3,4,5,6,..., n) adalah n elemen. 4) Langkah 4 Melalui normalisasi, bobot vektor ternormalisasi diperoleh berdasarkan persamaan 11, yaitu: W = (d(a 1 ), d(a 2 ), d(a 3 ), d(a 4 ), d(a 5 ),..., d(a n )) T dimana W adalah bukan angka fuzzy.

82 Validasi Model Penggunaan model merupakan elemen penting dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Model ini dapat berwujud mental model yang berada di pikiran pengambil keputusan sampai model kompleks yang eksplisit untuk mengeksplorasi dampak suatu keputusan. Tingkat manfaat penggunaan model sangat ditentukan oleh ketepatan hasil simulasi model. Untuk menjamin ketepatan hasil simulasi diperlukan proses verifikasi dan validasi model terlebih dahulu sebelum menggunakannya untuk pengambilan keputusan. Validasi model menurut Eriyatno (2003) merupakan usaha untuk menyimpulkan bahwa model sistem yang dibangun merupakan representasi yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan dan valid. Validasi juga merupakan suatu proses pengujian yang iteratif untuk penyempurnaan model yang dibangun.validasi dapat mulai dilakukan dengan pengujian sederhana, seperti pengamatan respon model terhadap beberapa hal, yaitu: 1) tanda aljabar (sign), 2) tingkat kepangkatan dari besaran (order of magnitude), 3) format respon (linier, eksponensial, logaritmik dan lainnya), 4) arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti, dan 5) nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem. Checkland (1995) membedakan verifikasi dan validasi dalam soft system (SST) dengan hard system thinking (HST). Dalam SST model merupakan representasi sistem kegiatan manusia yang terkait secara logis dan dimaksudkan sebagai sarana untuk mendebatkan kesesuaian antara model dengan dunia nyata bagi pihak-pihak yang terlibat dalam situasi problematik. Perdebatan ini akan menghasilkan akomodasi sehingga memungkinkan dilakukannya tindakantindakan yang diharapkan dan layak untuk memperbaiki situasi problematik. Dengan demikian validasi model dilakukan sebelum model digunakan untuk debat. Keabsahan model dinilai dari relevansinya dengan situasi permasalahan dan kecukupan model ditinjau dari karakteristik sistem formal atau tingkat kesesuaian antara root definition dengan model konseptual.

83 63 Sedangkan pada HST, model digunakan sebagai abstraksi dunia nyata untuk melakukan eksperimentasi yang hasilnya digunakan sebagai dasar pemecahan masalah. Menurut Muhammadi et al. (2001), validitas model merupakan suatu hasil penilaian secara objektif terhadap model yang ditunjukkan sejauhmana hasil simulasi model dapat menirukan fakta. Dalam dunia nyata, fakta adalah kejadian yang teramati. Pengamatan tersebut dapat bersifat terukur secara kuantitatif maupun kuailitatif atau informasi aktual. Sedangkan hasil simulasi merupakan perilaku variabel yang diinteraksikan menggunakan bantuan komputer. Proses melihat keserupaan ini disebut validasi output atau kinerja model. Validasi kinerja model bersifat pelengkap karena yang utama adalah validasi struktur model. Validasi struktur model merupakan penilaian sejauhmana keserupaan struktur model mendekati struktur dunia nyata. Struktur model yang dibangun secara holistik, lintas disiplin dan perspektif diharapkan mampu menirukan interaksi kejadian nyata. Dengan demikian, verifikasi dan validasi model ditujukan untuk menguji keabsahan representasi tersebut agar hasil simulasinya akurat. Keabsahan suatu hasil simulasi, menurut Sargent (1998) dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Setiap pendekatan memerlukan tim pengembangan model yang melakukan verifikasi dan validasi sebagai bagian dari proses pengembangan model. Pendekatan pertama dan paling umum digunakan adalah pendekatan subjektif. Dalam pendekatan ini, tim pengembangan model memutuskan keabsahan model berdasarkan pada hasil berbagai pengujian dan evaluasi dalam proses pengembangan model. Pendekatan kedua adalah melalui penggunaan pihak ketiga yang independen untuk memutuskan keabsahan suatu model. Pihak ketiga tidak memiliki ketergantungan dengan tim pengembangan model dan pengguna. Setelah model dikembangkan, pihak ketiga melakukan evaluasi untuk menentukan keabsahannya. Penggunaan pendekatan ini biasanya dilakukan untuk menjaga kredibilitas model. Pendekatan ketiga untuk menentukan keabsahan model dilakukan dengan penggunaan model penilaian. Nilai atau bobot ditentukan secara subjektif pada saat melakukan proses validasi dari berbagai aspek dan kemudian dikombinasikan untuk menentukan kategori

84 64 nilai dan total nilai simulasi model. Suatu model dianggap valid jika kategori dan total nilai lebih besar dari suatu nilai yang telah ditetapkan. Beragam teknik dapat digunakan dalam validasi model. Menurut Sargent (1998), secara umum terdapat 16 teknik untuk melakukan validasi model, yaitu: 1) animation, 2) comparison to other models, 3) degenerate test, 4) event validity, 5) extreme condition test, 6) face validity, 7) fixed values, 8) historical data validation, 9) historical methods. 10) internal validity, 11) multistage validity, 12) operational graphic, 13) parameter variability-sensitivity analysis, 14) predictive validation, 15) traces, dan 16) turing test. Validasi model konseptual yang merupakan representasi dari ide, situasi, fenomena atau kebijakan yang dimodelkan dalam bentuk persamaan matematika, hubungan logika maupun verbal dilakukan dengan face validation. Validitas model konseptual dinilai berdasarkan kebenaran teori dan asumsi yang mendasari dan tingkat representasinya.

85 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Objek penelitian ini adalah taman nasional daratan yang mempunyai ekosistem asli dan berfungsi untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati serta dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Studi kasus penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan beberapa desa di Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi dan Kabupaten Lebong, Propinsi Bengkulu (Gambar 7). Gambar 7 Lokasi penelitian 3.2 Tahapan Penelitian Untuk mencapai tujuan, pelaksanaan penelitian dilakukan melalui beberapa tahap. Keseluruhan tahapan proses pelaksanaan penelitian mulai dari studi pustaka sampai penarikan kesimpulan dan saran ditunjukkan pada Gambar 8. Penelitian dilakukan dengan pendekatan soft dan hard system methodology (SSM dan HSM). SSM menggunakan teknik SAST dan ISM, sedangkan HSM dengan teknik sistem dinamik.

86 66 Penelitian ini dimulai dengan studi pustaka dan penelusuran data sekunder. Kemudian akan dilanjutkan dengan survai lapang untuk mendapatkan data sekunder dan primer melalui penelusuran pustaka, wawancara mendalam, diskusi/fgd dan pengisian kuesioner dengan responden pakar dan rumah tangga. Data primer responden pakar diolah dengan menggunakan SAST dan ISM, sedangkan data primer responden rumah tangga diolah dengan teknik statistika deskriptif dan regresi logistik. Data sekunder lainnya diolah dengan tabulasi dan content analysis untuk data perundangan. Sedangkan proyeksi keberlanjutan sistem pengelolaan saat ini dilakukan dengan teknik sistem dinamik. Analisis situasional menghasilkan gambaran faktor-faktor yang berperan dalam pengelolaan taman. Faktor-faktor tersebut meliputi kebijakan nasional dan daerah, internal manajemen, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar, kondisi fisik kawasan dan partisipasi masyarakat. Analisis kebijakan menghasilkan asumsi dasar pengembangan kebijakan, struktur sistem dan peubah kunci elemen pengelolaan yang dapat diintervensi dengan kebijakan, serta peubah independen. Berdasarkan hasil analisis kebijakan dan mempertimbangkan hasil analisis situasional maka disusun alternatif-alternatif kebijakan. Pemilihan prioritas dari alternatif-alternatif kebijakan dilakukan dengan menggunakan fuzzy AHP. Model konseptual kebijakan dibangun berdasarkan hasil pemilihan alternatif kebijakan prioritas dan merupakan sintesis dari hasil analisis. Selanjutnya, model kebijakan divalidasi melalui face validation. Dengan menggunakan model yang telah valid maka disusun implikasi-implikasi kebijakan untuk pengelolaan taman nasional secara berkelanjutan di era otonomi daerah. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan sintesis yang telah dilakukan serta formulasi saran yang dapat disampaikan.

87 67 Gambar 8 Tahapan Penelitian 3.3 Teknik Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian meliputi data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran secara langsung di lokasi penelitian dan lainnya maupun secara elektronik. Data sekunder merupakan data pendukung, baik berupa data, informasi maupun hasil penelitian yang relevan. Sedangkan data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapang melalui wawancara dengan informan kunci, seperti tokoh masyarakat, aparat Desa, Pemerintah Kabupaten, maupun Propinsi, dan pegawai TNKS, diskusi dengan tokoh masyarakat dan pakar, serta pengisian kuesioner. Peubah dan sumber data situasi yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 4.

88 Tabel 4 Peubah dan sumber data penelitian No Faktor Peubah Sumber data 1 Kebijakan Kebijakan sektor Kementerian Kehutanan, Lingkungan Hidup, Dalam Negeri dan Keuangan Kebijakan daerah 2 Internal manajemen Perihal perencanaan Pendanaan 3 Kondisi sosial ekonomi Karakteristik demografi Pendapatan keluarga Kesejahteraan Pekerjaan PDRB 4 Kondisi fisik kawasan Kesehatan ekosistem Tutupan hutan Rehabilitasi hutan 68 Pemerintah Kabupaten dan Provinsi TNKS TNKS Responden masyarakat Responden masyarakat Responden masyarakat Responden masyarakat BPS Responden pakar TNKS TNKS 5 Partisipasi masyarakat Tingkat partisipasi Responden pakar Responden masyarakat 6 Perihal asumsi Pendapat pakar Responden pakar 7 Perihal strukturisasi sistem pengelolaan 8 Perihal pemilihan alternatif kebijakan Elemen dan sub-elemen Pendapat pakar Responden pakar Responden pakar Survai Responden Rumah Tangga Survai responden rumah tangga dilakukan dilakukan di Kabupaten Kerinci, Jambi dan Kabupaten Lebong, Bengkulu melalui diskusi, wawancara mendalam dan pengisian kuesioner. Diskusi dan wawancara dimaksudkan untuk mendalami dan mendapatkan gambaran pendapat umum tentang upaya-upaya konservasi dan peranan/dampak taman nasional terhadap kehidupan masyarakat serta harapan dan alternatif-alternatif tindakan yang dapat diterima oleh masyarakat terkait implementasi kebijakan pengelolaan taman nasional.

89 69 Sejumlah responden kepala keluarga dipilih secara purposif dari masingmasing desa dengan jumlah keseluruhan dari Kabupaten Kerinci 197 kepala keluarga yang tersebar di Desa Gunung Labu (37 KK), Kebun Baru (40 KK), Sungai Gelampeh (40 KK), Tanjung Syam (40 KK), dan Talang Kemuning (40 KK). Sedangkan jumlah responden di Kabupaten Lebong berjumlah 97 kepala keluarga, yang tersebar di Desa Kota Baru (32 KK), Suka Datang (23 KK), Embong Uram (22 KK), dan Garut (20 KK). Pengumpulan data penelitian dilaksanakan melalui wawancara responden dengan menggunakan alat kuesioner. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk pertanyaan terbuka dan pertanyaan dengan jawaban dikotomi yang disertai dengan peluang untuk memberikan jawaban bebas. Pertanyaanpertanyaan dalam kuesioner dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteristik demografi dan sosial ekonomi responden dan 10 pertanyaan yang diadaptasi dari Harada (2003) digunakan untuk mengungkap pengetahuan, persepsi dan sikap responden terhadap konservasi dan taman nasional (Lampiran 1). Untuk melengkapi data yang diperoleh secara formal melalui kuesioner dilakukan wawancara dengan informan dan diskusi kelompok. Data karakteristik demografi dan sosial ekonomi yang dikumpulkan yang akan digunakan sebagai peubah penjelas, meliputi: a. Umur. Umur merupakan peubah kontiyu. b. Pendidikan. Pendidikan menunjukkan tingkat pendidikan responden yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk tingkat pendidikan yang kurang dari SLTA dan nilai 0 untuk tingkat pendidikan SLTA dan yang lebih tinggi. c. Pendidikan non formal. Pendidikan non formal merupakan pendidikan yang pernah diikuti oleh responden, diantaranya penyuluhan pertanian dan kursus tani. Pendidikan non formal merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang pernah mengikuti pendidikan non formal dan nilai 0 untuk responden yang tidak pernah mengikuti pendidikan non formal. d. Organisasi. Organisasi merupakan aktifitas atau keterlibatan responden dalam kegiatan organisasi, seperti kelompok tani dan kontak tani. Organisasi merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang terlibat atau aktif dalam suatu organisasi dan nilai 0 untuk responden yang tidak pernah aktif dalam organisasi.

90 70 e. Pekerjaan utama. Pekerjaan utama merupakan pekerjaan utama kepala rumah tangga yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang pekerjaan utamanya bukan petani dan nilai 0 untuk responden pekerjaan utamanya sebagai petani. f. Ukuran keluarga. Ukuran keluarga merupakan jumlah seluruh anggota keluarga yang masih tinggal dalam satu rumah dengan responden. Ukuran keluarga merupakan peubah kontinyu. g. Etnis. Etnis merupakan suku dari kepala rumah tangga yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang merupakan penduduk asli, etnis Kerinci di Kabupaten Kerinci dan etnis Rejang di Kabupaten Lebong dan nilai 0 untuk responden yang merupakan etnis pendatang, meskipun telah lama bermukim ditempat sekarang. h. Kabupaten. Kabupaten merupakan afiliasi wilayah administratif domisili responden dan merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang berdomisili di wilayah administratif Kabupaten Lebong dan nilai 0 untuk responden yang berdomisili di Kabupaten Kerinci. i. Jarak ke TNKS. Jarak domisili ke TNKS adalah peubah kontinyu. j. Lama bermukim. Lama bermukim adalah peubah kontinyu. k. Penghasilan. Penghasilan merupakan penghasilan keluarga yang merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang memiliki penghasilan lebih dari Rp ,- dan nilai 0 untuk responden yang mempunyai penghasilan sama atau kurang dari Rp ,-. l. Kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan didekati dengan melihat apakah responden pernah menerima bantuan langsung tunai atau tidak. Responden yang tidak pernah menerima bantuan tunai diasumsikan termasuk kelompok masyarakat yang sejahtera, sedangkan yang pernah menerima bantuan dapat dikategorikan belum/tidak sejahtera. Kesejahteraan merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang pernah mendapatkan bantuan langsung tunai atau sejenisnya dan nilai 0 untuk responden yang tidak pernah mendapatkan bantuan langsung tunai atau sejenisnya.

91 71 m. Kepemilikan lahan. Kepemilikan lahan merupakan kepemilikan lahan pertanian, baik sawah maupun kebun/tegalan. Kepemilikan lahan merupakan peubah biner dengan nilai 1 untuk responden yang memiliki lahan pertanian sawah atau kebun/tegalan atau kedua-duanya dan nilai 0 untuk responden yang tidak memiliki lahan pertanian. Peubah respon berskala biner Y=1 jika respon terhadap pertanyaan tentang pengetahuan dijawab responden dengan Ya, sedangkan Y=0 jika respon terhadap pertanyaan tentang pengetahuan dijawab responden dengan Tidak Tahu. Sedangkan peubah respon berskala biner Y=1 jika respon terhadap pertanyaan tentang persepsi dan sikap dijawab responden dengan Setuju, sedangkan Y=0 jika respon terhadap pertanyaan tentang pengetahuan dijawab responden dengan Tidak Setuju Survai Pakar Survai pakar dilakukan dengan tujuan untuk akuisisi pengetahuan yang dimiliki oleh pakar terhadap aspek-aspek pengelolaan taman nasional yang penting dalam rangka mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Penetapan pakar sebagai sumber pengetahuan atau responden didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: 1). keberadaan, kemudahan dan kesediaan untuk diwawancarai, 2). reputasi, kedudukan, dan memiliki kredibilitas sebagai pakar, c). pengalaman pakar yang menunjukkan kemampuan untuk memberikan saran yang benar dan dapat membantu pemecahan masalah. Dalam memecahkan suatu masalah, seorang pakar memiliki karakteristik efektif, efisien dan sadar terhadap keterbatasanya. Akuisisi pengetahuan dari pakar dapat digunakan metode wawancara secara mendalam. Alternatif sumber pengetahuan dapat ditemukan melalui pengamatan kinerja seorang ahli maupun publikasi ilmiah (Eriyatno & Sofyar 2007). Pakar yang dilibatkan dalam penelitian ini berasal dari akademisi, tokoh masyarakat dan pemerintah. Jumlah total responden pakar dalam FGD 34 orang dan dilanjutkan dengan wawancara mendalam dengan 17 pakar untuk pembahasan asumsi, identifikasi struktur dan perbandingan berpasangan fuzzy AHP.

92 Metode Analisis Data Content Analysis Beberapa variabel yang kemungkinan akan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan taman nasional yang termuat dalam perundangan dan peraturan yang terkait dianalisis dengan menggunakan teknik content analysis. Content analysis adalah suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menganalisis dokumendokumen tertulis yang dapat digunakan, antara lain untuk menjelaskan pola budaya kelompok, kelembagaan, ataupun masyarakat, mengidentifikasi intention dan karakteristik lainnya, dan mengungkapkan fokus perhatian dari kelompok, institusi ataupun masyarakat. Teknik penelitian ini dapat berupa teknik kualitatif maupun kuantitatif yang sistematis dan dapat diaplikasikan untuk menjelaskan atau memahami konsep yang dikaji (Weber 1990). Menurut Stemler (2001) content analysis merupakan teknik kualititatif yang menganalisis frekuensi kata, frasa atau kalimat yang terkandung dalam dokumen tertulis dan mengasumsikan bahwa frekuensi yang tinggi dapat diartikan sebagai refleksi suatu perhatian yang besar terhadap variabel tersebut. Content analysis dilakukan terhadap naskah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999, Undang- Undang Nomor 5 tahun 1990, Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998, dan Permenhut Nomor 3 tahun Analisis Statistik Analisis statistik deskriptif digunakan untuk menyajikan hasil pengolahan data sekunder dan primer. Sedangkan analisis data pengetahuan, persepsi dan sikap masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional dilakukan dalam 2 tahap, yaitu 1). melakukan analisis data secara eksploratif untuk mendapatkan gambaran secara rinci mengenai karakteristik demografi dan sosial ekonomi responden, dan 2). melakukan analisis regresi logistik yang meliputi pendugaan parameter model persamaan fungsi logit, pengujian parameter, dan interpretasi hasil regresi logistik. Analisis regresi logistik digunakan untuk menilai tingkat pengaruh pengetahuan dan persepsi terhadap sikap dan faktor-faktor demografi dan sosial ekonomi terhadap peubah respon. Faktor-faktor demografi dan sosial

93 73 ekonomi yang digunakan sebagai peubah penjelas dalam analisis regresi logistik meliputi umur, pendidikan, pendidikan non formal, keterlibatan dalam organisasi, pekerjaan, ukuran keluarga, etnis, afiliasi wilayah administratif kabupaten tempat tinggal, jarak domisili ke TNKS, lama bermukim, penghasilan, tingkat kesejahteraan, dan kepemilikan lahan. Model regresi yang digunakan adalah regresi logistik karena regresi logistik dapat menggambarkan hubungan antara beberapa peubah penjelas dengan sebuah peubah respon dikotomi (biner). Jika nilai peubah biner ini dilambangkan dengan 1 untuk kejadian (sukses) dan 0 untuk tidak kejadian (gagal) maka distribusi Bernoulli untuk peubah biner ini adalah P(Y=1) = π dan P(Y=0) = 1- π dengan nilai harapan E(Y) = 1 (π) + 0 (1 π) = π. Secara umum model regresi logistik dengan p peubah bebas dapat didefinisikan sebagai: y = E (Y x) + ε dimana ε adalah galat atau error Menurut Hosmer and Lemeshow (2000), jika fungsi penghubung yang digunakan adalah fungsi logit (logit transformation) maka sebaran peluang yang digunakan adalah sebaran logistik. Nilai harapan bersyarat Y jika diketahui x adalah: E (Y x) = π (x) = dan transformasi logit yang didefinisikan sebagai fungsi π (x) adalah: g(x) = = β 0 + β 1 x 1 + β 2 x β p x p Pada regresi logistik biner, nilai bersyarat Y jika diketahui x akan mengikuti persamaan y = π (x) + ε karena E (Y x) = π (x) dan var(y x) = π (x)[1 - π (x)]. Nilai galat ε hanya akan menghasilkan 2 kemungkinan nilai. Jika Y=1 maka ε = 1 - π (x) dengan peluang π (x), dan jika Y=0 maka ε = - π (x) dengan peluang 1 - π (x). Sehingga ε mempunyai distribusi dengan rataan nol dan ragam sebesar π (x)[1 - π (x)]. Dengan demikian, sebaran bersyarat dari peubah respon

94 74 mengikuti sebaran binomial dengan peluang yang diberikan oleh rataan bersyarat, π (x). Untuk menduga parameter β pada model regresi biner dilakukan dengan memaksimumkan fungsi logaritma likehood (log-likelihood), yaitu: L(β) = ln[l(β)] = sehingga diperoleh yang merupakan penduga kemungkinan maksimum dari parameter pada model regresi biner. Penduga kemungkinan maksimum untuk parameter-parameter model diperoleh dengan metode kuadrat terkecil terboboti melalui iterasi. Setelah pendugaan parameter, pengujian taraf nyata terhadap parameter model dilakukan untuk menilai peranan peubah-peubah penjelas dalam model. Penilaian taraf nyata parameter menyangkut formulasi dan pengujian statistik terhadap hipotesis untuk menentukan apakah variabel penjelas dalam model berpengaruh secara signifikan terhadap variabel respon. Pengujian peranan satu peubah penjelas terhadap peubah respon, menurut Hosmer and Lemeshow (2000) pada prinsipnya dilakukan dengan membandingkan nilai variabel respon yang teramati dengan yang diprediksi dari model dengan dan tanpa menyertakan variabel penjelas yang diuji. Pembandingan nilai yang teramati terhadap nilai prediksi dilakukan dengan menggunakan fungsi likelihood berdasarkan rumus: D = - 2ln Untuk menilai taraf nyata dari suatu variabel penjelas maka dilakukan pembandingan nilai D dengan dan tanpa variabel penjelas dalam model atau uji- G, yaitu: G = D(model tanpa variabel penjelas) D(model dengan variabel penjelas) G = - 2ln Hipotesis yang diuji adalah: H o : β 1 = β 2 = = β p = 0

95 75 H 1 : paling sedikit ada satu β i 0 statistik uji-g ini mengikuti sebaran χ2 dengan derajat bebas p maka hipotesis nol ditolak jika G >. Sedangkan statistik uji-wald digunakan untuk menguji parameter β j satu per satu secara parsial, dengan hipotesis nol sama adalah βj sama dengan nol Strategic Assumption Surfacing and Testing SAST merupakan salah satu metode dalam soft systems thinking yang menekankan pada asumsi yang melandasi pengambilan keputusan dibandingkan dengan memperhatikan perancangan sistem yang efisien. Metode ini sesuai untuk mengkaji perihal yang bersifat plural untuk membantu membuka asumsi kritis yang melandasi kebijakan, rencana atau strategi. Tahapan yang dilakukan dalam teknik SAST untuk merumuskan alternatif asumsi yang melandasi penyusunan kebijakan, menurut Mason dan Mitroff (1981) adalah: 1) Tahap pembentukan kelompok yang bertujuan untuk membentuk kelompok dengan melibatkan pihak-pihak yang memahami persoalan dalam pengelolaan taman nasional. Pihak yang dilibatkan meliputi pakar kebijakan, ekologi, lingkungan hidup dan sosial ekonomi, baik yang berasal dari instansi pemerintah, perguruan tinggi maupun LSM. 2) Tahap pengedepanan asumsi yang dimaksudkan untuk menggali berbagai asumsi melalui diskusi kelompok untuk mendukung kebijakan yang diharapkan. Dalam tahap ini didiskusikan aspek-aspek pengelolaan taman nasional sehingga diperoleh asumsi dasar yang paling menentukan untuk mendukung keberlanjutan taman nasional. Berdasarkan hasil analisis asumsi, alternatif asumsi dinilai tingkat kepentingan dan kepastiannya dengan menggunakan teknik peringkatan asumsi dengan melibatkan pendapat pakar. Peringkatan asumsi dilakukan dengan menanyakan tingkat kepentingan berdasarkan skala paling tidak penting sampai paling penting dari suatu asumsi terhadap keberhasilan dan kegagalan kebijakan. Di samping itu, tingkat kepastian dari asumsi dinilai dengan menanyakan tingkat keyakinan

96 76 pakar berdasarkan skala paling tidak pasti sampai paling pasti bahwa asumsi tersebut dapat dibenarkan. 3) Tahap pembahasan dialektik dimaksudkan untuk membahas asumsi yang bermasalah dan perbedaan-perbedaan peringkat asumsi untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan. 4) Tahap sintesis dilakukan untuk mencapai kompromi sehingga diperoleh asumsi-asumsi yang dapat menghasilkan kebijakan baru yang lebih unggul Fuzzy Analytical Hierarchy Process Metode fuzzy AHP adalah suatu metode yang dikembangkan dari metode AHP dengan menggunakan konsep fuzzy dalam penilaian kriteria dan alternatif oleh pengambil keputusan. Keuntungan fuzzy AHP adalah pada waktu penilaian, pengambil keputusan tidak dipaksa untuk melakukan penilaian diskrit tetapi menggunakan intuisi yang diungkapkan melalui informasi linguistik. Perbandingan berpasangan fuzzy digunakan untuk menilai faktor, stakeholder dan tujuan yang digunakan untuk melakukan penilaian prioritas pilihan kebijakan dengan menggunakan metode, langkah-langkah dan perhitungan seperti yang dikembangkan oleh Chang (1996). Perbandingan berpasangan dilakukan dengan menggunakan skala penilaian ekspresi linguistik sebagai berikut: 1) Just equal (JE), jika kedua elemen yang diperbandingkan sama persis tingkat kepentingannya. 2) Equally important (EQ), jika kedua elemen lebih kurang sama penting. 3) Weakly important (WI), jika elemen kesatu sedikit lebih penting dari elemen yang kedua. 4) Strongly more important (SI), jika elemen kesatu jelas lebih penting dari elemen yang kedua. 5) Very strongly more important (VS), jika elemen kesatu sangat jelas lebih penting dari elemen yang kedua. 6) Absolutely more important (AI), jika elemen kesatu mutlak lebih penting dari elemen yang kedua.

97 77 Berdasarkan hasil penilaian dengan variabel linguistik kemudian dilakukan fuzzyfikasi dengan menggunakan Triangular Fuzzy Number (TFN) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 5 (Bozbura et al. 2007). Tabel 5 Padanan variabel linguistik dengan triangular fuzzy number No Variabel lingustik TFN Inversi TFN 1 Just equal (JE) (1, 1, 1) (1, 1, 1) 2 Equally important (EQ) (1/2, 1, 3/2) (2/3, 1, 2) 3 Weakly important (WI) (1, 3/2, 2) (1/2, 2/3, 1) 4 Strongly more important (SI) (3/2, 2, 5/2) (2/5, 1/2, 2/3) 5 Very strongly more important (VS) (2, 5/2, 3) (1/3, 2/5, 1/2) 6 Absolutely more important (AI) (5/2, 3, 7/2) (2/7, 1/3, 2/5) Agregasi pendapat pakar merupakan penggabungan nilai fuzzy dari pendapat para pakar. Penggabungan pendapat beberapa pakar dapat dilakukan dengan ratarata geometrik (Marimin 2005). Agregasi ini dilakukan dengan cara menghitung nilai rata-rata geometrik dari nilai fuzzy batas bawah, tengah dan batas atas dari masing-masing pakar untuk mendapatkan nilai batas bawah, tengah dan batas atas gabungan. Penghitungan dilakukan dengan rumus: dimana: : rata-rata geometrik batas bawah nilai fuzzy : rata-rata geometrik nilai tengah : rata-rata geometrik batas atas

98 78 : nilai batas bawah dari hasil penilaian pakar ke-i : nilai tengah hasil penilaian pakar ke-i : nilai batas atas dari hasil penilaian pakar ke-i : jumlah pakar : pakar ke-i (1 sampai n) Penghitungan nilai eigen dilakukan berdasarkan hasil agregasi dengan mengikuti langkah-langkah Chang (1996). 3.5 Pemodelan Sistem Salah satu teknik permodelan yang dikembangkan untuk perencanaan kebijakan strategis adalah Teknik Permodelan Interpretasi Struktural (Interpretative Structural Modelling ISM). ISM merupakan salah satu metode permodelan soft system berbasis komputer yang dapat membantu kelompok untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh, struktur prioritas, dan kategori ide. ISM menganalisis elemenelemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun faktor-faktor penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat dalam konteks yang beragam (Marimin 2005). Dalam penelitian ini, prosedur teknik pemodelan dilakukan seperti yang diuraikan Saxena et al. (1992) dan Kanungo and Bhatnagar (2002) dengan langkah (Gambar 9): 1) Identifikasi elemen, yaitu setiap elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat maupun cara yang lainnya. 2) Hubungan kontekstual, yaitu menetapkan hubungan kontekstual antar elemen yang dikembangkan berdasarkan pada tujuan dari permodelan. 3) Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix SSIM) dibangun berdasarkan persepsi responden terhadap hubungan elemen yang dinilai.

99 79 Empat simbol digunakan untuk mewakili tipe hubungan antar dua elemen yang dikaji. Simbol tersebut adalah: V menunjukkan hubungan dari elemen E i terhadap E j, dan tidak sebaliknya A menunjukkan hubungan dari elemen E j terhadap E i, dan tidak sebaliknya X jika ada hubungan interrelasi antara E i dan E j, dan dapat sebaliknya O merepresentasikan bahwa elemen E i dan E j tidak berkaitan 4) Matriks Reachability (Reachability Matrix RM) dibangun dengan mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Konversi SSIM menjadi RM menggunakan aturan-aturan berikut, Jika relasi E i terhadap E j = V dalam SSIM maka elemen E ij = 1 dan E ji = 0 dalam RM. Jika relasi E i terhadap E j = A dalam SSIM maka elemen E ij = 0 dan E ji = 1 dalam RM. Jika relasi E i terhadap E j = X dalam SSIM maka elemen E ij = 1 dan E ji = 1 dalam RM. Jika relasi E i terhadap E j = O dalam SSIM maka elemen E ij = 0 dan E ji = 0 dalam RM. RM awal dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect reachability, yaitu jika E ij = 1 dan E jk = 1 maka E ik = 1. 5) Tingkat partisi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen dalam levellevel yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini, dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem: Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri Ai adalah elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan ke dalam level-level yang berbeda.

100 80 Gambar 9. Diagram teknik ISM (Saxena et al. 1992) 6) Matriks Canonnical: Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph. 7) Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara langsung dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph akhir.

101 81 8) Interpretive Structural Model: ISM dibangkitkan dengan memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual. Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari elemen-elemen sistem dan alur hubungannya. 3.6 Analisis Sistem Dinamik Analisis model dinamik dilakukan terhadap variabel-variabel yang telah teridentifikasi melalui metode soft system, yang meliputi aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Analisis model dinamik yang merupakan metode hard system dilakukan melalui 2 tahap, yaitu pembuatan diagram simpal kausal dan diagram alir. Diagram simpal kausal menunjukkan hubungan antar variabel dalam proses sistem yang dikaji. Prinsip dasar pembuatannya adalah suatu proses sebagai sebab yang akan menghasilkan keadaan, atau sebaliknya suatu keadaan sebagai sebab akan menghasilkan proses. Sedangkan diagram alir dibuat berdasarkan persamaan model dinamik yang mencakup variabel keadaan (level), aliran (rate), auxiliary, dan konstanta (constant). Variabel tersebut berupa lambang-lambang yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan piranti lunak Powersim. Model yang dikembangkan selanjutnya digunakan sebagai alat simulasi. Simulasi ini dilakukan setelah uji validitas dan hasil pengujian menunjukkan adanya kesesuaian atau keabsahan antara hasil simulasi dengan data empiris (Sushil 1993; Muhammadi et al. 2001). Analisis dan simulasi sistem dinamik dilakukan dengan bantuan program Powersim Constructor untuk memproyeksikan kecenderungan kondisi pengelolaan taman nasional saat ini dan analisis prospekif dampak pengelolaan setelah adanya kebijakan. 3.7 Validasi Model Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta mengidentfikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan penerapan kebijakan yang dirumuskan. Proses uji validasi pada penelitian

102 82 kebijakan dilakukan terhadap 2 aspek, yaitu proses perumusan kebijakan dan produk kebijakan. Verifikasi proses perumusan kebijakan dilakukan terhadap metode yang digunakan dalam pengembangan kebijakan. Sedangkan validasi produk kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan membandingkan produk kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan. Validasi yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Sargent (1998) adalah face validity. Proses validasi dilakukan dengan menggunakan pendapat pakar untuk mengetahui kesesuaian dan kelayakan model serta kebenaran logika dan teori dalam model konseptual yang menjelaskan hubungan input-output model secara masuk akal. Di samping itu, uji validitas juga dilakukan terhadap kinerja beberapa variabel dengan uji statistik. Uji statistik dimaksudkan untuk melihat penyimpangan antara keluaran simulasi dengan data aktual. Pengujian statistik meliputi uji penyimpangan rata-rata absolut (AME), penyimpangan variasi absolut (AVE), saringan Kalman (KF), koefisien diskrepansi (U-Theils) dan Durbin Watson (DW) (Barlas 1998). AME (absolute means error) adalah penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap data aktual. Sedangkan AVE (absolute variation error) adalah penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap data aktual. U-Theils adalah koefisien diskrepansi antara nilai simulasi dengan data aktual. U-Theils dapat menggambarkan ada tidaknya penyimpangan yang menonjol. Batas penympangan yang dapat diterima untuk AME, AVE dan U-Theils adalah antara 5-10%. Untuk mengamati pola penyimpangan dapat dilakukan melalui uji DW (Durbin Watson) dan KF (Kalman Filter). DW digunakan untuk melihat pola fluktuasi, jika DW>2 maka terdapat fluktuasi yang tajam dan DW<2 fluktuasi kurang tajam. Sedangkan KF digunakan untuk menjelaskan tingkat kesesuaian (fitting) antara hasil simulasi dan data aktual. Jika nilai KF = 0.5 maka model 100% sesuai, kurang 0.5 berarti nilai simulasi dibawah aktual dan lebih 0.5 berarti nilai simulasi melebihi data aktual (Muhammadi et al. 2001)..

103 4 ANALISIS SITUASIONAL 4.1 Kebijakan Sektoral dan Daerah Pengelolaan taman nasional didasarkan pada berbagai peraturan perundangan, baik sektor kehutanan maupun sektor terkait lainnya (Lampiran 2). Landasan utamanya adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konsevasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan berikut peraturan turunannya. Analisis terhadap isi peraturan perundangan ini akan dapat mengungkapkan intention dan fokus dari kebijakan pengelolaan taman nasional. Hasil content analysis dari beberapa perundangan dan peraturan yang relevan dengan taman nasional, seperti disajikan pada Tabel 6, menunjukkan bahwa terdapat pergeseran-pergeseran penekanan atau fokus dari kebijakan pengelolaan taman nasional. Kebijakan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, penekanan kebijakan kehutanan paling banyak kepada aspek pemanfaatan yang disusul dengan aspek pengelolaan, penelitian, pendidikan, perlindungan, konservasi dan rehabilitasi. Sedangkan aspek-aspek yang kurang atau sedikit mendapatkan penekanan adalah ekosistem, pengawetan, pengamanan, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena pada masa lalu, pembangunan sektor kehutanan lebih banyak difokuskan sebagai penyedia hasil hutan, terutama hasil kayu. Aspek pengawetan ekosistem kurang mendapatkan penekanan dan lebih dibebankan pada kawasan hutan konservasi dibanding pada hutan produksi. Hal ini tercermin pada pengklasifikasian hutan, yaitu hutan produksi, lindung dan konservasi yang menghasilkan dikotomi sistem pengelolaan hutan. Jika pengertian konservasi hanya dipersepsikan dan dipahami hanya berlaku pada kawasan hutan konservasi maka masa depan kelestarian sumber daya alam hayati akan sangat tergantung pada keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Sukmadi 2005). Di samping itu, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat belum mendapatkan perhatian dalam kebijakan pembangunan sektor kehutanan, walaupun keadaan ini sekarang sudah berubah.

104 84 Tabel 6 Proporsi beberapa aspek kunci dalam perundangan dan peraturan yang terkait dengan taman nasional No Aspek Kunci Undang-Undang Undang-Undang PP No.68/1998 Permenhut No. 41 tahun 1999 No. 5 tahun 1990 No.3 tahun Pengelolaan Ekosistem Konservasi Pengamanan Perlindungan Pengawetan Pemanfaatan Penelitian Pendidikan Penyuluhan Informasi Peran serta Pemberdayaan masyarakat Pariwisata alam Rehabilitasi Budidaya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menunjukkan bahwa aspek ekosistem, konservasi, pemanfaatan, pengawetan, perlindungan dan pariwisata alam mendapatkan proporsi yang besar. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemanfaatan, misalnya dalam bentuk pariwisata alam dapat dilakukan bersamaan dengan perlindungan dan pengawetan ekosistem. Kebijakan pengaturan penyelenggaraan, pengusahaan dan pemanfaatan taman nasional untuk pariwisata alam diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun Aspek partisipasi masyarakat telah mendapatkan penekanan walaupun proporsinya masih kecil. Di samping itu, kebijakan pemerintah dalam ketentuan Undang-Undang ini secara tekstual tidak mengenal adanya aspek pengamanan dalam upaya konservasi sumber daya alam hayati. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, aspek partisipasi, pemberdayaan masyarakat dan penyuluhan sama sekali tidak dijumpai. Aspek partisipasi

105 85 masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati yang diharapkan dapat menumbuhkan dukungan masyarakat dalam upaya konservasi tidak termuat sama sekali dalam peraturan ini karena akan diatur lebih lanjut secara tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan ini juga memuat aspek pengamanan dalam upaya pengawetan dalam pengelolaan taman nasional yang sebelumnya tidak dijumpai dalam ketentuan Undang-Undang diatasnya. Kebijakan perlindungan dan pengamanan menjadi pendekatan dalam pengelolaan taman nasional. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional mengatur kedudukan, tugas, fungsi, klasifikasi, susunan organisasi, dan tata kerja taman nasional. Salah satu tugas dan fungsinya adalah perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional. Aspek perlindungan dan pengamanan cukup mendapat penekanan dalam peraturan ini. Sedangkan aspek partisipasi masyarakat, penelitian, pendidikan dan informasi sama sekali tidak termuat secara tekstual. Untuk mengelola TNKS dengan kawasan yang luasnya hampir 1.4 juta hektar dengan dukungan 190 personil dirasakan oleh TNKS (2005a) masih sangat belum memadai. Pengelola TNKS hanya didukung lebih kurang 108 tenaga fungsional polisi hutan sehingga cakupan pengamanan ± hektar per orang. Jika pengelolaan TNKS lebih menekankan pendekatan perlindungan dan pengamanan oleh personil TNKS sendiri maka kemungkinan pemenuhan personil akan sulit dicapai karena luasnya kawasan. Sehingga pendekatan pengamanan semata akan menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan untuk mengurangi kegiatan ilegal yang terjadi. Untuk itu diperlukan pendekatan alternatif, yaitu meningkatkan kerja sama dengan masyarakat lokal dan Pemeritah Daerah untuk melindungi taman nasional dan sekaligus memberikan manfaat bagi masyarakat lokal (Locke & Dearden 2005). Oleh karena itu, partisipasi masyarakat dan para pihak menjadi determinan keberhasilan pengelolaan taman nasional.

106 86 Sedangkan keterkaitan kebijakan sektor lain, yaitu kebijakan otonomi daerah, dalam pengelolaan taman nasional mengacu pada ketentuan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berikut turunannya. Dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, telah ditetapkan bahwa pelaksanaan zonasi, penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan serta pelaksanaannya menjadi kewenangan Pemerintah. Pemerintah Daerah memberikan pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan tetapi tidak memiliki kewenangan dalam penataan batas, zonasi dan pelaksanaan pengelolaan. Meskipun demikian, dalam pelaksanaan penataan zonasi unsur Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kelompok masyarakat dilibatkan dalam tim kerja sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sedangkan untuk pengusahaan pariwisata alam di dalam taman nasional, pemberian perizinan berada pada kewenangan Pemerintah dengan pertimbangan teknis dari Pemerintah Daerah. Penunjukan kawasan pelestarian alam dilaksanakan oleh Pemerintah berdasarkan usulan penunjukan dari Pemerintah Kabupaten dengan pertimbangan teknis Pemerintah Propinsi. Meskipun secara pembagian urusan Pemerintah Kabupaten dan Provinsi tidak memiliki kewenangan pengelolaan taman nasional, Pemda dapat berperan dan berkeinginan untuk mendukung perlindungan taman nasional. Pemerintah Kabupaten Kerinci mewujudkan dukungan terhadap perlindungan TNKS melalui pembentukan Tim Satgas Penertiban Wibawa Sakti melalui Keputusan Bupati. Tim bertugas diantaranya untuk penertiban dan pengawasan terhadap wilayah TNKS dan pengamanan kehutanan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup serta menertibkan sekaligus menindak bagi yang melanggar peraturan perundangan yang berlaku. Pembentukan ini dimulai pada tahun Di samping itu, Pemerintah Kabupaten Kerinci telah melakukan kesepakatan bersama dengan Pemerintah Kabupaten Merangin tentang pengamanan dan pelestarian TNKS. Inisiatif pemerintah daerah dalam upaya perlindungan, pengamanan dan pelestarian TNKS juga diwujudkan dalam bentuk kesepakatan bersama antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten yang wilayahnya sebagian

107 87 berada dalam kawasan TNKS. Kesepakatan ini dilakukan pada tahun Halhal yang disepakati meliputi: 1) kehendak untuk melakukan operasi bersama antar kabupaten secara terpadu dalam rangka pencegahan dan penanganan kegiatan-kegiatan yang mengancam kelestarian TNKS, terutama penebangan liar, perambahan dan kebakaran hutan. 2) kesepakatan untuk melakukan tuntutan hukum dan tindakan administratif terhadap pelaku langsung maupun tidak langsung terhadap perusakan dan gangguan pelestarian TNKS, seperti perambahan, pengambilan hasil hutan, penambangan, pendirian penggergajian liar dan pembakaran. 4.2 Internal Manajemen Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), menurut Balai TNKS (2005) ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 901 tahun 1999 yang meliputi areal seluas hektar yang terletak di empat wilayah propinsi, yaitu Propinsi Jambi, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Bengkulu. Pada tahun 2004 cakupan kawasan TNKS bertambah ± hektar setelah sebagian kawasan hutan produksi tetap pada Kelompok Hutan Sipurak Hook yang terletak di Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi dirubah fungsinya dan ditetapkan menjadi bagian kawasan TNKS sehingga luasan TNKS secara keseluruhan menjadi lebih kurang hektar. Luas penyebaran kawasan TNKS berdasarkan wilayah administratif Pemerintah Daerah disajikan pada Tabel 7. Berdasarkan besarnya luasan kawasan TNKS yang berada di wilayah propinsi, secara berturut-turut adalah di Propinsi Jambi (32.4%), Propinsi Sumatera Barat (25.1%), Propinsi Bengkulu (24.5%), dan Propinsi Sumatera Selatan (18%). Sedangkan kabupaten yang memiliki luasan kawasan TNKS paling luas adalah Kabupaten Pesisir Selatan dan yang paling sempit adalah Dharmasraya, keduanya berada di Propinsi Sumatera Barat.

108 88 Tabel 7 Luasan kawasan TNKS berdasarkan wilayah administratif No Wilayah Administratif Luas (hektar) Propinsi Persentase Total TNKS 1 Propinsi Jambi Kabupaten Kerinci Kabupaten Bungo Kabupaten Merangin Sub Total Prop. Sumatera Barat Solok dan Solok Selatan Dharmasraya Kab. Pesisir Selatan Sub Total Propinsi Bengkulu Kab. Bengkulu Utara dan Kab. Muko-Muko Kab. Lebong dan Rejang Lebong Sub Total Prop. Sumatera Selatan Kab. Musi Rawas Lubuk Linggau Sub Total Total Sumber: TNKS (2005a) Sampai tahun 2006, organisasi TNKS adalah Balai Taman Nasional dengan mandat tugas pokok dan fungsi yang didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional adalah sebagai berikut: 1) menyusun rencana, program dan evaluasi pengelolaan taman nasional,

109 89 2) pengawetan dan pemanfaatan secara lestari taman nasional, 3) perlindungan, pengamanan dan penanggulangan kebakaran kawasan, 4) promosi, informasi, bina wisata dan cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 5) kerjasama pengelolaan taman nasional, dan 6) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga. Taman nasional merupakan bagian dari suatu wilayah yang lebih luas dan keberadaannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan serta sosial ekonomi dan budaya masyarakat yang berada di sekitarnya. Hal ini berkaitan dengan adanya interaksi, baik langsung maupun tidak langsung antara kawasan taman nasional beserta sumber daya alam hayati yang terkandung di dalamnya dengan daerah dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kondisi taman nasional akan dipengaruhi oleh karakteristik kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan non hayati oleh masyarakat sekitar. Interaksi antara masyarakat sekitar dengan taman nasional sampai saat ini masih cenderung kurang menguntungkan bagi pengelolaan taman nasional. Hal ini disebabkan karena batas kawasan TNKS yang panjangnya ± km berbatasan langsung dengan kawasan budidaya sehingga memunculkan berbagai permasalahan, antara lain perambahan lahan, penebangan liar, pencurian satwa liar, konversi untuk pembangunan jalan, dan pemukiman (TNKS 2005a). Pencurian hasil hutan dan penebangan liar dikarenakan masih terdapatnya ketergantungan masyarakat sekitar terhadap sumber daya alam yang terdapat di dalam kawasan baik berupa kayu dan non kayu. Permasalahan pengelolaan seperti perambahan dan penebangan liar tidak hanya dihadapi oleh pengelola taman nasional di Indonesia. Hal yang sama terjadi juga di negara-negara berkembang lainnya, seperti India dan Nepal (Agrawal & Gupta 2005). Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi pengelola, baik karena luasnya kawasan maupun tekanan kegiatan manusia yang kurang mendukung maka melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 6186 tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Taman Nasional ditetapkan arahan pengelolaan yang mencakup kebijakan: 1) pengembangan kelembagaan, profesionalisme dan efisiensi pengelolaan,

110 90 2) pengelolaan konservasi kawasan, 3) pengelolaan konservasi keanekaragaman hayati, 4) perlindungan dan pengamanan hutan, 5) pengembangan pariwisata alam, 6) pengendalian kebakaran hutan, 7) penyuluhan, informasi dan promosi, 8) pembinaan daerah penyangga dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, 9) pengembangan kerjasama kemitraan dan jejaring kerja. Sejak 1 Februari 2007 TNKS berubah status menjadi UPT Taman Nasional Kelas I atau Balai Besar Taman Nasional berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03 tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional. Perubahan status ini membawa konsekuensi pada perubahan struktur internal organisasi, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 10. Pengelola taman nasional masih tetap berada dan bertanggung jawab secara langsung kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Sedangkan tugas pokoknya adalah melakukan penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional. Tugas ini dilakukan dengan penyelenggaraan fungsi: 1) penataan zonasi, penyusunan rencana kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan kawasan taman nasional, 2) pengelolaan kawasan taman nasional, 3) penyidikan, perlindungan dan pengamanan kawasan taman nasional, 4) pengendalian kebakaran hutan 5) promosi, informasi konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 6) pengembangan bina cinta alam serta penyuluhan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, 7) kerjasama pengembangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan, 8) pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan taman nasional, 9) pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, dan 10) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga.

111 91 Gambar 10 Struktur organisasi pengelola TNKS Berdasarkan struktur pengelolaan yang baru ini, tugas dan fungsi eksternal, seperti pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, penyuluhan dan informasi, pengembangan koperasi dan pemberdayaan masyarakat secara eksplisit telah dimandatkan dan diwadahi dalam struktur organisasi. Dalam pelaksanaan tugas yang bersifat eksternal ini akan sulit untuk berlangsung efektif jika tidak dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dan berkepentingan di luar organisasi pengelola taman nasional. Untuk itu, upaya peningkatan koordinasi teknis secara khusus disiapkan oleh Bidang Teknis Konservasi meliputi bidang: 1) perlindungan dan pengamanan kawasan, penyiapan dan penegakan hukum, 2) pengawetan tumbuhan dan satwa liar, 3) pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam, dan

112 92 4) penyuluhan, bina cinta alam, pengembangan koperasi dan pemberdayaan masyarakat. Untuk keperluan pengelolaan taman nasional, khususnya TNKS yang memiliki luasan yang besar, pembagian peruntukan kawasan ke dalam zona berdasarkan fungsi dan peruntukannya merupakan langkah utama sebagai landasan pengelolaan. Penetapan zona dalam kawasan TNKS oleh Pemerintah dilakukan dengan ketentuan berdasarkan fungsi dan peruntukannya, meliputi: 1) Zona Inti adalah bagian dari taman nasional yang mempunyai kondisi alami, baik flora, fauna atau fisiknya masih asli dan atau belum terganggu oleh manusia yang mutlak perlu dilindungi agar dapat berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas. 2) Zona Rimba adalah bagian dari taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan. 3) Zona Pemanfaatan adalah bagian dari taman nasional yang letak, kondisi, dan potensi alamnya terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya. 4) Zona Rehabilitasi adalah bagian taman nasional yang telah mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya. 5) Zona Tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat adat yang kehidupannya memiliki ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona tradisional merupakan areal penyangga yang mengelilingi zona khusus. Sumber daya alam hayati tertentu yang berada dalam zona ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat dengan memperhatikan kelestariannya. 6) Zona Khusus adalah bagian dari taman nasional yang karena kondisinya tidak dapat dihindarkan dari keberadaan kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya sebelum wilayah TNKS ditetapkan sebagai taman nasional. Zona khusus di TNKS berupa kawasan pemukiman penduduk, sarana telekomunikasi, transportasi dan listrik yang memotong kawasan taman nasional.

113 93 Sedangkan penetapan luasan masing-masing zona TNKS yang digunakan sebagai dasar pengelolaannya meliputi: 1) Zona Inti seluas ± atau 53.62% yang meliputi kawasan di punggung Bukit Barisan Kabupaten Kerinci, Merangin, Bungo, Dharmasraya, Solok, Solok Selatan, Pesisir Selatan, Muko-Muko, Bengkulu Utara, Rejang Lebong, Lebong, Musi Rawas, dan Lubuk Linggau, 2) Zona Rimba seluas ± hektar atau 33.35% yang meliputi kawasan yang mengelilingi Zona Inti, 3) Zona Pemanfaatan seluas ± hektar atau 1.28%, 4) Zona Rehabilitasi seluas ± hektar atau 9.84%, 5) Zona Khusus seluas ± hektar atau 0.99%, dan 6) Zona Tradisional seluas ± hektar atau 0.92%. Luasan zona yang terdapat di daerah penelitian disajikan pada Tabel 8, sedangkan sebaran luasan zona TNKS secara keseluruhan disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa proporsi zona inti dan rimba kawasan TNKS yang berada di Kabupaten Kerinci lebih luas dibandingkan dengan Kabupaten Lebong. Sedangkan zona pemanfaatan dan rehabilitasi yang berada di Kabupaten Lebong lebih luas dibandingkan di Kabupaten Kerinci. Jika pemanfaatan sumber daya taman nasional hanya mungkin dilakukan di zona pemanfaatan maka dapat diartikan bahwa potensi manfaat ekonomi taman nasional secara langsung lebih besar di Kabupaten Lebong. Zona pemanfaatan di Kabupaten Lebong berada di Bukit Gedang Seblat dan Pal VIII yang dapat dimanfaatkan untuk wisata agro, situs budaya, pengamatan satwa, bird watching, perkemahan, pendakian, dan wisata alam. Namun, potensi pemanfaatan ini belum dikembangkan secara optimal. Sedangkan di Kabupaten Kerinci meskipun luasan zona pemanfaatannya lebih sempit tetapi objek wisata alamnya lebih banyak, antara lain Gunung Kerinci, Gunung Belerang, Gunung Masurai, panorama alam Bukit Tapan, air terjun Sungai Mentilin dan Mendikit, Danau Gunung Tujuh, Belibis, dan Danau Duo. Di samping itu, zona rehabilitasi yang luas di Kabupaten Lebong menunjukkan bahwa aktifitas penduduk yang dapat dikategorikan merusak taman nasional lebih besar di Kabupaten Lebong. Kerusakan ini

114 94 umumnya terjadi di wilayah perbatasan akibat kegiatan perambahan lahan untuk pertanian, perkebunan dan pertambangan rakyat. Pada saat yang sama, jika upaya rehabilitasi akan dilakukan pada zona ini dengan melibatkan masyarakat sekitar maka potensi manfaat ekonomi langsung dari kegiatan rehabilitasi juga lebih besar untuk Kabupaten Lebong. Tabel 8 Zonasi kawasan TNKS di Kab. Kerinci dan Lebong/Rejang Lebong No Zona Kabupaten Kerinci Kabupaten Lebong/ Rejang Lebong Luas (ha) % TNKS Luas (ha) % TNKS 1 Inti Rimba Pemanfaatan Rehabilitasi Tradisional Khusus Total Sumber: TNKS (2005a) Pendanaan pengelolaan taman nasional merupakan salah satu isu kritis untuk efektfitas pengelolaan. Keterbatasan dana mengakibatkan tidak tercukupinya kebutuhan personil dan sarana prasarana pendukung untuk menunjang aktifitas pengelolaan yang efektif. Pendanaan pengelolaan taman nasional selama ini masing bergantung pada Pemerintah melalui dana APBN dan untuk taman nasional tertentu juga memiliki dukungan dana debt for nature swap (DNS). Berdasarkan data tahun 2006, biaya pengelolaan TNKS secara total berjumlah Rp ,- yang diperuntukkan bagi berbagai kegiatan dengan proporsi seperti ditunjukkan pada Gambar 12. Sebagian besar anggaran sejumlah 4.2 miliar rupiah (53.4%) dipergunakan untuk administrasi umum. Jika alokasi dana mencerminkan prioritas maka pengamanan dan perlindungan hutan merupakan kegiatan paling penting di luar kegiatan administrasi. Selanjutnya

115 95 kegiatan konservasi kawasan dan pengembangan pariwisata alam. Alokasi anggaran sebesar ini masih berdampak pada keterbatasan sarana dan prasarana untuk mendukung pengelolaan TNKS yang efektif. Alokasi belanja anggaran beberapa taman nasional di Amerika Serikat menunjukkan proporsi belanja untuk manajemen dan administrasi umum berkisar antara 7-15% dari total pengeluaran. Taman nasional Yellowstone membelanjakan anggarannya untuk manajemen dan administrasi umum sejumlah 7.8% dari total pengeluaran sebesar US$ 3.8 juta (YPF 2005), sedangkan taman nasional Acadia (Stevens 2006) dan Everglades proporsi pengeluaran untuk manajemen dan administrasi masing-masing sejumlah 15% dan 13%. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa dukungan dana pengelolaan TNKS masih terbatas dan belum mampu untuk membiayai fungsifungsi manajemen yang lain seperti hubungan dengan masyarakat, pelayanan pengunjung maupun penelitian konservasi. Anggaran biaya optimal yang diperlukan untuk pengelolaan TNKS menurut McQuistan et al. (2006) diperkirakan sejumlah Rp per hektar per tahun sedangkan ketersediaan anggaran biaya pengelolaan aktual masih berkisar Rp per hektar per tahun. Gambar 11 Zonasi Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS 2005a)

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN

6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 6 MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN 6.1 Sistem Pengelolaan Taman Nasional Taman nasional dapat memberikan manfaat ekonomi secara tidak langsung melalui subsidi ekologi dalam perekonomian daerah di sekitar TNKS.

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA. KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA http://www.birohumas.baliprov.go.id, 1. PENDAHULUAN Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan Bangsa Indonesia,

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taman Nasional

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Taman Nasional 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional Taman nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi. Sampai dengan tahun 2007 di Indonesia kawasan yang telah ditetapkan sebagai taman nasional darat sejumlah

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI (Lanjutan)

DAFTAR ISI (Lanjutan) DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISTILAH xviii xviii 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Kesenjangan Penelitian 3 Pertanyaan Penelitian 8 Tujuan Penelitian

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 18 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan September-November 2010 di Pangkalan Pendaratan Ikan Meulaboh Kabupaten Aceh Barat Pemerintahan Aceh

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN 55 III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilaksanakan di Wilayah DAS Citarum yang terletak di Propinsi Jawa Barat meliputi luas 6.541 Km 2. Secara administratif DAS Citarum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia Secara fisik, karakteristik taman nasional digambarkan sebagai kawasan yang luas, relatif tidak terganggu, mempunyai nilai alam yang menonjol,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat

BAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix

DAFTAR ISI. Halaman. DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix DAFTAR ISI DAFTAR ISI... xii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR TABEL... xvii DADTAR LAMPIRAN... xviii DAFTAR SINGKATAN... xix 1. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Formulasi Permasalahan... 8 1.3.

Lebih terperinci

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR Oleh : AGUSTINA RATRI HENDROWATI L2D 097 422 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR SINGKATAN... viii

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR SINGKATAN... viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR SINGKATAN... viii 1 PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 3 1.3 Tujuan Penelitian... 5

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Air merupakan kebutuhan dasar makhluk hidup dan sebagai barang publik yang tidak dimiliki oleh siapapun, melainkan dalam bentuk kepemilikan bersama (global commons atau common

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR

PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR PENGEMBANGAN KAWASAN HUTAN WISATA PENGGARON KABUPATEN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA TUGAS AKHIR Oleh : TEMMY FATIMASARI L2D 306 024 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481) Oleh : GITA ALFA ARSYADHA L2D 097 444 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA U M U M Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai dengan Juni 2012. Tempat yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Sekretariat Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia yang dikenal dengan negara kepulauan memiliki lebih dari 18.000 pulau, memiliki luasan hutan lebih dari 100 juta hektar dan memiliki lebih dari 500 etnik

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT The conservation village is a conservation initiative that

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN EVALUASI KESESUAIAN FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang

I. PENDAHULUAN. individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pergeseran tren kepariwisataan di dunia saat ini lebih mengarah pada individual tourism/small group tourism, dari tren sebelumnya tahun 1980-an yang didominasi oleh mass

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pendekatan Konsep yang diajukan dalam penelitian ini adalah konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu secara partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH)

PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) PERAN DAN KOORDINASI LEMBAGA LINTAS SEKTORAL DALAM KONSERVASI SUMBER DAYA AIR (STUDI KASUS DAS GUMBASA KABUPATEN DONGGALA PROVINSI SULAWESI TENGAH) MUH. ANSAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI *) PERLINDUNGAN PELESTARIAN MODERN Suatu pemeliharaan dan pemanfaatan secara bijaksana Pertama: kebutuhan untuk merencanakan SD didasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa

ALAM. Kawasan Suaka Alam: Kawasan Pelestarian Alam : 1. Cagar Alam. 2. Suaka Margasatwa UPAYA DEPARTEMEN KEHUTANAN DALAM ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DEPARTEMEN KEHUTANAN FENOMENA PEMANASAN GLOBAL Planet in Peril ~ CNN Report + Kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN LAPORAN AKHIR 1-1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Jayapura Tahun 2013-2017 merupakan dokumen perencanaan pembangunan daerah yang harus ada dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG

PERAN PERENCANAAN TATA RUANG PERAN PERENCANAAN TATA RUANG DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDRA BUDIMAN SYAMWIL 1 Spatial Planning Specialist November, 2003 Tata Ruang di Indonesia merupakan produk Sistem Tata Ruang Nasional yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994).

TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994). TINJAUAN PUSTAKA Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan Berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumberdaya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual Pembangunan daerah merupakan langkah yang ditempuh dalam mewujudkan visi dan misi yang ingin dicapai oleh Kota Depok, pembangunan daerah memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA

VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA VII PRIORITAS STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA TN KARIMUNJAWA 7.1 Kerangka Umum Analytical Network Process (ANP) Prioritas strategi pengembangan TN Karimunjawa ditetapkan berdasarkan pilihan atas variabel-variabel

Lebih terperinci

DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM NASIONAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM NASIONAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI LAPORAN KUNJUNGAN KERJA PANITIA KHUSUS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG SISTEM NASIONAL ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KE PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci