RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint I. PEMOHON Sri Royani II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Materiil Pasal 1 ayat (3), Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 30 huruf a, Pasal 51 ayat (1), Pasal 51 ayat (3) huruf b, Pasal 51A ayat (1), Pasal 51A ayat (2) huruf b, Pasal 56 ayat (3), Pasal 57 ayat (1), Pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK); Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Penjelasan Pemohon mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah: 1. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 2. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945; 3. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa: 1
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 4. Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang pada pokoknya menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undangundang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945; 5. Bahwa objek permohonan adalah pengujian materiil Pasal 67 ayat (2) huruf g UU 11/2006, oleh karena itu Mahkamah berwenang untuk melakukan pengujian Undang-Undang a quo. IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING) 1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara. 2. Berdasarkan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK, menyatakan: Yang dimaksud dengan hak kosntitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Berdasarkan Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 010/PUU/III/2005 menyatakan bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji. c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji. 2
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. 4. Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 dan merasa telah dirugikan akibat berlakunya norma yang diuji dan telah memenuhi Pasal 51 ayat (1) UU MK. V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945 A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN 1. Pengujian Materiil UU MK: 1) Pasal 1 ayat (3): Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: (3) Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai: a. pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. pembubaran partai politik; d. perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau e. pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Pasal 10 ayat (1) huruf a: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3) Pasal 30 huruf a: Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai: a. pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3
4) Pasal 51 ayat (1): Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. 5) Pasal 51 ayat (3) huruf b: Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6) Pasal 51A ayat (1): Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31. 7) Pasal 51A ayat (2) huruf b: Uraian mengenai hal yang menjadi dasar Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara Permohonan pengujian undang-undang meliputi: b. kedudukan hukum pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian; dan 8) Pasal 56 ayat (3): Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 9) Pasal 57 ayat (1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 10) Pasal 59 Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 4
1945 disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah Agung. 2. UU Kekuasaan Kehakiman 1) Pasal 29 ayat (1) huruf a Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 1. Pasal 1 ayat (3): Negara Indonesia adalah negara hukum. 2. Pasal 24 ayat (1): Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 3. Pasal 24 ayat (2): Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 4. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. 5. Pasal 281 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 281 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) yang dimaksud tidak ada dalam UUD 1945. VI. ALASAN PERMOHONAN 1. Bahwa banyaknya kejadian yang Pemohon alami karena lalainya pejabat kepolisian dalam menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya sehingga merugikan hak konstitusional Pemohon, hasil dan impilikasi dari semua itu adalah hak konstitusional Pemohon telah dicederai oleh kesalahan penerapan/implementasi norma tersebut; 5
2. Bahwa Pemohon sebelumnya telah melakukan upaya permohonan kepada Reskrim dan unit Jatarnas dan tidak membuahkan hasil apapun atau dengan kata lain permohonan tersebut bersifat gantung sehingga Pemohon akhirnya mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi; 3. Bahwa Pemohon berpendapat, penyidik dianggap lalai karena tidak pernah melakukan upaya penyitaan terhadap akta pembatalan yang diduga palsu yang menjadikan salah satu alat bukti bahwa penyidik dinyatakan bersalah, serta penyidik mempersilahkan kepada notaris untuk memusnahkan alat bukti tersebut dan penyidik tidak mau melakukan lab forensik pada akta yang diiduga palsu tersebut; 4. Bahwa atas dasar tersebut Pemohon membutuhkan ada kewenangan constitutional complaint pada Mahkamah Konstitusi; 5. Bahwa Pemohon menyatakan negara-negara yang menerapkan mekanisme constitutional complaint adalah; Jerman, Amerika Serikat, Korea Selatan; 6. Bahwa alasan Pemohon untuk memberikan kewenangan constitutional complaint kepada Mahkamah Konstitusi dikarenakan Mahkamah konstitusi masih memiliki tingkat kepercayaan publik yang tinggi yang seperti halnya KPK akan tetapi KPK tidak bisa menangani masalah perkara pidana umum. VII. PETITUM 1. Agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan Pemohon untuk bisa melindungi hak fundamental warga negara sebagai amanat dari UUD 1945; 2. Menyatakan bahwa pasal 1 ayat (3) yaitu Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk pengujian 6
pengaduan konstitusi atau bahkan bisa kedua-duanya sehingga menjadi Permohonan adalah permintaan yang diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang atau pengujian pengaduan konstitusi dan/atau kedua-duanya terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 3. Menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk menguji pengaduan konstitusi yang dilakukan olehtindakan pejabat publik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga menjadi Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang atau menguji pengaduan konstitusi dan/atau kedua-duanya terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 4. Menyatakan bahwa Pasal 30 huruf a UU MK yang menyatakan: Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk mengenai pengujian pengaduan konstitusi terhadap tindakan pejabat publik yang lalai dalam melaksakanan undang-undang, sehingga menjadi Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang atau pengujian pengaduan konstitusi dan/atau kedua-duanya terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 7
5. Menyatakan bahwa pasal 51 ayat (1) yaitu Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai,termasuk dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya terhadap tindakan pejabat publik yang keliru menafsirkan maksud undang-undang atau kelalaian pejabat publik dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan perintah undang-undang,sehingga pasal 51 ayat (1) menjadi Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundangdan/atau tindakan pejabat publik yang keliru menafsirkan maksud undang-undang atau kelalaian pejabat publik dalam melaksanakan perintah undang-undang. 6. Menyatakan bahwa Pasal 51 ayat (3) huruf b yaitu, Materi,muatan dalam ayat,pasal dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk dalam materi,muatan ayat dan /atau bagian dari undang-undang perintahnya tidak dilaksanakan (lalai) atau telah keliru ditafsirkan yang menyebabkan dirugikannya hak konstitusional Pemohon,sehingga pasal 51 ayat (3) huruf b menjadi Materi,muatan dalam ayat,pasal dan/atau bagian undang-undang dan/atau materi, muatan dalam ayat, pasal dan/bagian undang-undang yang perintahnya tidak dilaksanakan (lalai) atau telah keliru ditafsirkan yang dianggap bertentangan dengan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 ; 7. Menyatakan bahwa Pasal 51A ayat (1) yaitu, Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud Pasal 8
31 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk permohonan pengujian konstitusinal,sehingga pasal 51A ayat (1) menjadi Permohonan pengujian undang-undang dan/atau permohonan pengujian konstitusional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat hal-hal sebagaimana dimaksud Pasal 31. 8. Menyatakan bahwa Pasal 51A ayat (2) huruf b yaitu, Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara permohonan pengujian undang-undang meliputi Kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk perkara permohonan pengujian konstitusional dan termasuk hak dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dianggap dirugikan oleh perlakukan/tindakan pejabat publik yang lalai dalam menjalankan Undang-Undang atau salah menafsirkan undangundang sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Pasal 51A ayat (2) huruf b menjadi Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b untuk perkara permohonan pengujian undang-undang dan/atau perkara pengujian konstitusional meliputi Kedudukan hukum Pemohon yang berisi uraian tentang hak dan/atau kewenangan konstitusi Pemohon yang dianggap dirugikan dengan berlakunya undang-undang atau perlakukan pejabat publik yang bertentangan dengan UUD 1945 yang dimohonkan untuk dilakukan pengujian ; 9. Menyatakan bahwa Pasal 56 ayat (3) yaitu, Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari 9
undang-undang yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk materi muatan ayat, pasal dan/bagian dari undang-undang yang perintahnya keliru ditafsirkan atau tidak dijalankan (lalai) oleh pejabat publik yang melanggar hak konstitusional, sehingga Pasal 55 ayat (3) menjadi Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud ayat (2), Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,pasal dan/atau bagian dari undang-undang dan/atau menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,pasal dan/atau bagian dari undang-undang perintahnya tidak dijalankan atau telah keliru ditafsirkan oleh tindakan pejabat publik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 10. Menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (1) yaitu, Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk yang amar putusannya tentang pengaduan konstitusional sehingga Pasal 57 ayat (1) menjadi Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, materi muatan ayat, pasal dan atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan/atau materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang yang tidak dijalankan atau keliru ditafsirkan oleh pejabat publik sehingga bertentangan dengan UUD 1945, Mahkamah Konstitusi memerintahkan dihentikannya perbuatan tersebut dan memerintahkan 10
dilakukannya tindakan tertentu sesuai dengan perintah atau maksud dari undang-undang dan jika pejabat publik tersebut tidak menjalankan amar putusan dari Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi bisa melakukan upaya paksa sesuai dengan ketentuan undang-undang dan wajib melaporkan perbuatan pejabat publik tersebut kepada Presiden, DPD, DPR, MA dan pimpinan tertinggi dimana pejabat publik tersebut bertugas; 11. Pasal 59 UU MK yang menyatakan: Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Presiden dan Mahkamah Agung bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk putusan pengujian konstitusional atas perbuatan/tindakan pejabat publik yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan juga kepada pimpinan/atasan tertinggi dimana pejabat publik tersebut bertugas sehingga Pasal 59 menjadi Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang dan/atau pengujian pengaduan konstitusional terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disampaikan kepada DPR, Presiden dan Mahkamah Agung dan pimpinan/atasan tertinggi dimana pejabat publik tersebut bertugas. 12. Menyatakan bahwa Pasal 29 ayat (1) huruf a UU Kehakiman, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa termasuk untuk menguji tindakan pejabat publik yang tidak melaksanakan (lalai) dalam melaksanakan atau salah menafsirkan undangundang sehingga Pasal 29 ayat (1( huruf a menjadi Mahkamah Konstitusi 11
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang dan/atau tindakan pejabat publik yang tidak /lalai dalam melaksanakan atau salah menafsirkan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 13. Bahwa andaikata Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon maka secara otomatis apa yang Pemohon mohonkan di Kepolisian Polda Jabar yakni agar Polda Jabar segera melimpahkan berkas perkara kepada Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Konstitusi melaporkan putusan tersebut kepada Presiden dan Kapolri agar Polda Jabar segera menindaklanjuti putusan Mahkamah tersebut, dan jika putusan Mahkamah tersebut diabaikan, maka Mahkamah dapat melakukan upaya paksa yang mekanismenya dapat diatur dalam peraturan perundangan Mahkamah Konstitusi dan definisi dari pejabat negara atau pejabat publik yang bisa digugat dalam pengaduan konstitusi adalah pejabat negara yang dana/gaji/kegiatannya bersumber dari APBN atau APBD, baik tindakan atau putusan dari pejabat publik/pengadilan kecuali KPK; 14. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 12