BABl PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah (PEMDA), Pemerintah Pusat akan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Selama pemerintahan orde baru sentralisasi kekuasaan sangat terasa dalam

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memisahkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB1 PENDAHULUAN. Tahun-tahun awal pelaksanaan otonomi daerah merupakan masamasa. yang berat dan penuh tantangan bagi sebagian besar daerah dalam

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

Jawa Timur Tahun Anggaran )

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Transformasi sistem pemerintahan dari sentralisasi ke dalam desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

PERKEMBANGAN DAN HUBUNGAN DANA ALOKASI UMUM (DAU), PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN BELANJA PEMERINTAH DAERAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Berapapun besarnya

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

EFEK MEMILIKI PENDAPATAN DAERAH, PENGALOKASIAN DANA UMUM, DAN DANA KHUSUS PADA BELANJA MODAL DI KOTA DAN KABUPATEN SUMATERA UTARA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan diberlakukannya desentralisasi fiskal, saat ini Indonesia

BAB I PENDAHULIAN. Dewasa ini, perhatian pemerintah terhadap masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia telah memulai babak baru dalam kehidupan bermasyarakat sejak

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan. merata berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar negara republik

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukannya desentralisasi fiskal. Penelitian Adi (2006) kebijakan terkait yang

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Sisa Lebih Pembiayaan. perundang-undangan yang diberikan kepada DPRD, dan pegawai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pusat kegiatan perekonomian, agar kegiatan sektor riil meningkat

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Wilayah negara Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia ini adalah suatu negara yang menganut daerah otonom.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN. Dalam upaya mendukung pelaksanaan pembangunan nasional, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif dan publik.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kerja finansial Pemerintah Daerah kepada pihak pihak yang berkepentingan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan manusia dapat dinilai

DRAFT RINGKASAN HASIL PENELITIAN DOSEN MUDA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya. (Maryati, Ulfi dan Endrawati, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi yang mensyaratkan perlunya pemberian otonomi seluas-luasnya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of power,

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah membuat beberapa perubahan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis adanya flypaper effect pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), baik untuk

Transkripsi:

BABl PENDAHULUAN 1.1 LA TAR BELAK.ANG Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi daerah yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa pemerintah daerah memisahkan fungsi eksekutif dengan fungsi legislatif. Berdasarkan fungsinya, Pemerintah Daerah ( eksekutij) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (legislatij) terdapat hubungan keagenan (Halim dan Abdullah, 2006). Secara implisit, peraturan perundang-undangan merupakan peijanjian antara eksekutif, legislatif, dan publik. Undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada daerah yang salah satunya adalah penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam APBD pengalokasian sumber daya merupakan permasalahan yang mendasar dalam penganggaran sektor publik. Keterbatasan sumber daya merupakan akar masalah dalam pengalokasian anggaran sektor publik yang dapat diatasi dengan pendekatan ilmu ekonomi melalui berbagai teori. Tuntutan untuk mengubah struktur belanja menjadi semakin kuat, khususnya pada daerah-daerah yang mengalami kapasitas fiskal yang rendah (Halim, 2001 ).

Pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah yaitu memberikan kebijakan alokasi anggaran daerah lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah cara untuk mencapai tujuan otonomi. Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 524 daerah saat ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Salah satu bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka melaksanakan pembangunan yang merata dan berkeadilan adalah melalui penyusunan APBD yang efektif, akuntabel dan transparan. APBD merupakan instrumen utama kebijakan fiskal yang mempunyai peranan sangat strategis dengan tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, distribusi danfongsi stabilisasi. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori yaitu: (I) belanja menurut urusan yaitu urusan wajib dan urusan pilihan; (2) belanja menurut fungsi; (3) belanja menurut organisasi dan ( 4) belanja menurut program dan kegiatan (pasal 24). Dalam penelitian ini penulis menggunakan data belanja menurut klasifikasi yang ke-4 yaitu belanja menurut program dan kegiatan. Pertimbangan penulis bahwa belanja menurut program dan kegiatan lebih spesifik serta merupakan format dasar Rencana Kelja Anggran Satuan Kelja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) dalam menyusun anggaran pendapatan dan belanja, sehingga menjadi dokumen anggaran yang disebut Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD). 2

Anggaran sektor publik pemerintah daerah dalam APBD dapat dilihat kondisi keuangan suatu Pemerintah Daerah. Pada sisi pendapatan, dengan membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total pendapatan dapat dilihat tingkat kemandirian suatu daerah, dimana semakin tinggi nilainya semakin tinggi tingkat kemandirian keuangan daerahnya. Dari sisi pengeluaran dapat dilihat kecendrungan pola belanja daerah, apakah suatu daerah cenderung mengalokasikan dananya untuk belanja yang terkait dengan upaya peningkatan ekonomi, seperti belanja modal, atau untuk belanja yang sifatnya untuk pendanaan aparatur, seperti belanja pegawai. Postur belanja APBD saat ini menurut Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), sebanyak 124 daerah menggunakan lebih dari 60% APBD daerahnya hanya untuk belanja pegawai, jika dipersempit lagi sebanyak 16 pemerintah daerah temyata menganggarkan belanja pegawainya mencapai 70% lebih, dimana Kabupaten Lumajang provinsi Jawa Timur, menduduki peringkat tertinggi dengan belanja pegawai mencapai 83%. (Indopost, 8 Oktober 2011 ). APBD disusun oleh suatu daerah untuk meningkatkan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan adanya APBD, suatu daerah dapat memaksimalkan sumber-sumber pendapatan daerah, lalu membelanjakan dana tersebut sesuai program dan kegiatan yang telah ditentukan dalam peraturan daerah setempat. Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Berikut data yang berkaitan dengan pendapatan daerah di Indonesia : 3

Tabel1.1 Trend APBD, Tahun 2007-2011 Sumber: Sumber: Realisasi APBD 2007-2009 dan APBD 20/0-201 I (Diolah) Jika dilihat dari tabel di atas, Secara nasional ketergantungan seluruh pemerintah daerah terhadap dana perimbangan masih tinggi. Hal ini terlihat pada porsi PAD walaupun mengalami peningkatan setiap tahunnya tetapi pad a tahun 2011 anggarannya hanya sebesar 19,66%. Sedangkan trend dana perimbangan setiap tahun men gal ami penurunan hingga mencapai 71,18% pada tahun 2011. Trend kontribusi lain-lain pendapatan yang sah sangat fluktuatif, tetapi pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi yaitu sebesar 9, 16%. Sedangkan pengeluaran yang dilakukan oleh daerah disebut belanja daerah. Belanja daerah menurut Permendagri No.13 Tahun 2006 dibagi dalam dua klasiflkasi yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung terdiri dari: belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi 4

basil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga. Sedangkan Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Belanja langsung terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal untuk melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah yang telah dianggarkan. Gambar 2 menunjukan tabel porsi belanja di Kabupaten!Kota di Indonesia: Tabell.2 Porsi belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Indonesia berdasarkan klasifikasi ekonomi, 2007-2011 Sumber: Sumber: Realisasi APED 2007-2009 dan APED 2010-2011 (Diolah) Jika di lihat dari Gambar 2, hila dicermati komposisi belanja daerah secara nasional dari tahun 2007 hingga 2011 maka dapat diketahui bahwa porsi belanja pegawai tetap dominan hila dibandingkan dengan jenis belanja yang lainnya. Belanja Pegawai mengalami peningkatan yang cukup tajam pada tahun 2010 yaitu sebesar 46,5% tetapi pada tahun 2011 turun sedikit menjadi 46,2%. Besamya 5

belanja barang dan jasa juga meningkat menjadi 21,0% pada tahun 2011. Sedangkan porsi belanja modal terus mengalami penurunan, yang cukup tajam terjadi pada tahun 2010 hanya sebesar 22,5%, tetapi pada tahun 2011 porsinya menjadi 22,1%. Sedangkan belanja lainnya cenderung turun hingga hanya dianggarkan sebesar 9,78% pada tahun 2011. Berapa sebenarnya proporsi alokasi anggaran aparatur dan anggaran publik yang ideal di dalam APBD? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Bagaimana rasio yang ideal dalam struktur APBD antara belanja tidak langsung dengan belanja langsung, sampai saat ini masih belum ada ketentuan dan rumusan yang dapat digunakan sebagai acuan agar penyusunan APBD dapat optimal, efektif dan efisien. Namun, mengutip pemaparan Bambang Agus Salam, peneliti dari Asian Development Bank (ADB) belanja publik idealnya 70% sampai 80% dari APBD. Pemerintah Daerah seharusnya menekan pengeluaran anggaran belanja tidak langsung seminimal mungkin, sehingga alokasi anggaran belanja publik bisa lebih besar. (Sorotnews.com, 14 Mei 2012). Bagaimana pemerintah daerah mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya merupakan pertanyaan penelitian yang menarik sejak lama. Peneliti menggunakan berbagai pendekatan untuk menjelaskan perilaku pemerintah daerah dalam mengalokasikan dana yang dimilikinya, baik dana yang bersumber dari transfer pemerintah di atasnya ataupun dari pendapatannya sendiri. Pemerintah daerah bisa merespon transfer dari Pemerintah pusat secara simetris dan tidak simetris (Gamkhar dan Oates, 1996). Beberapa peneliti menemukan bahwa respon Pemerintah daerah berbeda untuk transfer dan pendapatan sendiri (seperti pajak). 6

Artinya, ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka stimulasi atas belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulasi yang muncul dari pendapatan daerah (terutama pajak daerah). Ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap transfer, maka disebutjlypaper effect (Oates, 1999). Abdullah (2004) menemukan adanya perbedaan preferensi antara eksekutif dan legislatif dalam pengalokasian spread PAD ke dalam belanja sektoral. Alokasi untuk infrastruktur dan DPRD mengalami kenaikan, tetapi alokasi untuk belanja modal justru mengalami penurunan. Abdullah (2004) menduga power legislatif yang sangat besar menyebabkan diskresi atas penggunaan spread PAD tidak sesuai dengan preferensi publik. Abdullah dan Halim (2004); Deller dan Maher (2005); dan Maimunah (2006) menunjukan bahwa secara konseptual, perubahan pendapatan akan berpengaruh terhadap belanja atau pengeluaran, namun tidak selalu seluruh tambahan pendapatan tersebut akan dialokasikan dalam belanja. Secara empiris juga ditemukan adanya fenomena flypaper effect yakni adanya perbedaan dalam pola belanja atau pengeluaran untuk pendapatan dari usaha sendiri dengan pendapatan yang diberikan oleh pihak lain (grants atau transfer). Abdullah dan Halim (2004) menemukan bahwa swnber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama hila dikaitkan dengan kepentingan politis. 7

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berdasarkan penelitian empiris yang dilakukan oleh Holtz-Eakin et al (1994) dalam Darwanto dan Yustikasarim (2007) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Pada prakteknya, transfer dari pemerintah pusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh pemerintah daerah "dilaporkan" dalam perhitungan APBD. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi (kalau tidak mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menj am in tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri menurut Sidik et al (2002). Penelitian sebelumnya telah banyak yang mengangkat permasalahan transfer ini, di Amerika Serikat, persentase transfer dari seluruh pendapatan mencapai 50% untuk pemerintah federal dan 60% untuk pemerintah daerah (Fischer, 1996). Khususnya di daerah Winconsin di AS sebasar 47% pendapatan pemerintah daerah berasal dari transfer pemerintah pusat (Deller et al, 2002). Di negara-negara lain, persentase transfer atas pengeluaran pemerintah daerah adalah 85% di Afrika selatan, 67% - 95% di Nigeria, dan 70% - 90% di Meksiko. Di Indonesia, pada masa sekarang ini, sesuai dengan UU No. 33 Tahun 2004, transfer yang dalam hal ini disamakan istilahnya dengan DAU ditetapkan sekurangkurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Netto yang ditetapkan dalam APBN. 8

Penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Halim (2004) menyimpulkan bahwa sumber pendapatan daerah berupa dana perimbangan berasosiasi positif terhadap belanja modal, semen tara PAD tidak. Temuan yang sama juga terdapat pada penelitian yang dilakukan oleh Harianto dan Adi (2007); Maharani (2007); maupun Putro (20 11 ). Maimunah (2006) menguji.flypaper effect pada DAU dan PAD terhadap belanja daerah pada Kabupaten/Kota di pulau Sumatera. Hasil penelitian mendapatakan besamya nilai DAU dan PAD mempengaruhi besamya nilai Belanja daerah (pengaruh positif). Kedua, telah terjadi.flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten!Kota di Sumatera. Ketiga, terdapat pengaruh.flypaper effect dalam memprediksi Belanja Daerah periode ke depan. Keempat, tidak terdapat perbedaan terjadinyajlypaper effect baik pada daerah yang PADnya rendah maupun tinggi di Kabupaten!Kota di pulau Sumatera. Kelima, tidak terjadi.flypaper effect pada Belanja bidang Pendidikan, tetapi telah terjadi.flypaper effect pada Belanja Dearah bidang Kesehatan dan bidang Pekerjaan Umum. Khairan (2007) melakukan penelitian mengenai terjadi tidaknya.flypaper effect pada DAU dan PAD terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Pelayanan Publik pada Kabupaten!Kota di Provinsi Sumatera Selatan dan Bangka Belitung. Hasil menunjukan bahwa DAU dan PAD yang diuji secara terpisah terdapat pengaruh terhadap Belanja Aparatur dan Belanja Publik. Namun ketika diuji serentak terhadap pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Aperatur yang signifikan. Hal ini berarti tidak terjadiflypaper effect. Sedangkan DAU dan PAD 9

terhadap belanja publik menunjukan hasil yang tidak signifikan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadijlypaper effect. Di mana fenomena dalam penelitian ini adalah terdapat fakta bahwa alokasi belanja tidak langsung (aparatur) yang diproksikan dengan belanja pegawai dalam APBD cukup besar dibandingkan dengan belanja langsung (Publik) yang memiliki keterkaitan langsung dengan program dan kegiatan yang bersentuhan langsung dengan kesejahteraan masyarakat yang di proksikan dengan belanja modal. Berdasar kajian FITRA (201:?) pada tahun 2011 terdapat 298 daerah yang mengalokasikan separoh lebih APBD tmtuk belanja Pegawai, lalu meningkat menjadi 302 daerah pada tahun 2012. Bahkan 11 daerah mengalokasikan lebih dari 70% anggaran untuk belanja pegawai. Akibatnya belanja modal untuk perturnbuhan ekonomi dan kesejahteraan san gat sempit (Jawa Post, 13 Mei 2013). Perbedaan hasil penelitian sebelumnya membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitan lebih lanjut mengenai pengaruh pendapatan terhadap alokasi belanja daerah yaitu belanja tak langsung dan belanja langsung. Berbeda dengan penelitian sebelurnnya penelitian ini bermaksud untuk menganalisis sejauh mana DAU dan PAD berpengaruh terhadap alokasi Belanja Daerah yang dibreak-down dalam dua belanja yaitu belanja tidak langsung yang di proksikan Belanja Pegawai dan belanja langsung yang diproksikan Belanja Modal. Penelitian ini mengunakan Belanja Pegawai karena yang paling banyak menyerap Anggaran Belanja Daerah di atas 50%, tetapi pada penelitian-penelitian sebelurnnya kurang di angkat dalam hubunganya dengan pendapatan. Alasan kedua peneliti ingin 10

memberikan bukti secara empiris apakah terdapat flypaper effict terhadap Belanja Pegawai dan Belanja Modal. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian pada pendahuluan diatas maka rumusan masalah yang akan dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: I. Apakah Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap Belanja Pegawai? 2. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Pegawai? 3. Apakah Dana Alokasi Umurn berpengaruh positif terhadap Belanja Modal? 4. Apakah Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal? 5. Manakah yang berpengaruh lebih besar antara Dana Alokasi Umurn dengan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pegawai? 6. Manakah yang berpengaruh lebih besar antara Dana Alokasi Umurn dengan Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal? 1.3 TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Pegawai. 2. Untuk menguji pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pegawai. I I

3. Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal. 4. Untuk menguji pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal. 5. Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Pegawai lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Pegawai. 6. Untuk menguji pengaruh Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal lebih besar daripada pengaruh Pendapatan Asli Daerah terhadap Belanja Modal. 1.4 MANFAAT PENELITIAN Dari hasil penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat dijadikan untuk melengkapi literatur-literatur akuntansi sektor publik khususnya yang berkaitan dengan pengaruh komponen Pendapatan terhadap Belanja dalam APBD. Apabila hasil penelitian tidak sesuai dengn teori-teori yang ada maka tentu ada argumentasi lain yang mendukung hasil penelitian. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk meninjau kinetja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalamapbd. 12

3. Manfaat Kebijakan a) Penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi pemerintah daerah dalam menyusun anggaran dan kebijakankebijakan tentang pengelolaan keuangan pemerintah daerah dimasa mendatang agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mencapai tujuan otonomi daerah. b) Penelitian ini memberikan informasi mengenai fenomena Flypaper Effect, pada suatu kondisi ketika pemerintah daerah merespon belanja daerah dalam menggunakan pendapatan transfer dan PAD. Sehigga diharapkan daerah lebih terpacu didalam meningkatkan PAD nya. 1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini menguji pengaruh DAU, dan PAD terhadap Belanja Daerah dengan proksi Belanja Pegawai dan Belanja Modal pada pemerintah daerah di Indonesia tahun 2007-2012. Penelitian ini menggunakan data mulai tahun 2007 karena merupakan awal implementasi Kepmendagri No.13 Tahun 2006. Data yang digunakan adalah laporan APBD di 491 Kabupaten/Kota terdiri dari 398 kabupaten dan 93 kota seluruh Indonesia dengan teknik pengambilan sampel adalah dengan purposive sampling. Syarat daerah Kabupaten!Kota di Indonesia yang dijadikan sampel adalah daerah yang memiliki data-data yang lengkap yang telah memasukkan data Laporan APBD di situs Di1jen Perimbangan Keuangan secara rutin dari tahun 2007 hingga 2012. 13