Kertas Posisi Menyanding RPP Gambut dengan RUU PPLH, Metamorfosis KLH Menjadi Mesin Pencuci Hak Rakyat terhadap Kawasan Gambut Pendahuluan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut) merupakan salah satu dari 21 PP yang harus yang dibuat untuk menjalankan mandat dari UU nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Secara spesifik RPP ini disusun dengan pertimbangan ketentuan pasal 11, 21 56,57,75 dan 83 Undang Undang 32 Tahun 2009. Analisis terhadap RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPP Gambut) dilakukan dengan membandingkan klausal dan bagian yang termuat dalam RPP gambut dengan Undang Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ( UU PPLH), dipilihnya metode penyandingan RPP ini dengan Undang Undang Induknya untuk melihat sejauh mana substansi RPP ini dirumuskan untuk menjalankan mandat dari UU PPLH. Selain menyanding substansi dengan Undang Undang 32 tahun 2009, prose analisis juga dilakukan dengan membandingkan makna yang terkandung dalam substansi RPP dengan konteks rill pada ekosistem gambut dan kehidupan sosial masyarakat yang hidup di dalam dan disekitar kawasan gambut. Proses penarikan hubungan antara substansi RPP Gambut dengan kondisi faktual lingkungan da kehidupan masyarakat dilakukan untuk melihat resiko dari roh rancangan peraturan pemerintah ini terhadap kehidupan komunitas dan eksistensi ekosistem gambut itu sendiri, mengingat dalam tahapan penyusunan RPP ini proses penyerapan aspirasi rakyat secara langsung dan pandangan masayrakat sipil sangat minim dan cendrung tertutup. Kajian yang dilakukan terhadap RPP Gambut memberikan informasi tentang ancaman dan resiko dimulai dari konteks Inventarisasi, Pemanfaatan, Pengendalian hingga Penanggulangan dan Pemulihan. 1 P a g e
Inventarisasi Tahapan Inventarisasi merupakan mandat dari pasal 11 Undang Undang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 11 sendiri tidak bisa dilepaskan dari pasal 5,6,7, 8 dan 9 karena pasal 11 sendiri merupakan penjelasan pengaturan lebih lanjut dari pasal 5,6,7,8 dan 9 kedalam peraturan pemerintah. Dalam RPP gambut tahapan inventarisasi masuk kedalam salah satu klausal tahapan pada pasal yang mengatur tentang perencanaan perlindungan dan pengelolaan tentang perencanaan yang terdiri dari tahapan Inventarisasi, Penetapan fungsi ekosistem, rencana pengelolaan. Bila disandingkan dengan UU PPLH maksut dan tujuan pada makna inventarisasi di RPP Gambut mengalami pendangkalan, dimana mandat penting dari pasal 6 dan pasal 7 UU PPLH tidak diakomodir dengan utuh, pendangkalan itu terjadi karena menghilangkan kewajiban kewajiban yang harus dipenuhi dalam proses Penetapan Ekoregion, setidaknya beberapa klausal yang dihilangkan adalah kewajiban mempertimbangkan aspek Karakteristik Bentang Alam, Sosial Budaya, Kelembagaan Masyarakat dan Hasil inventarisasi Lingkungan Hidup yang Utuh sesuai dengan Pasal 7 ayat 2 UU PPLH, kewajiban mempertimbangkan aspek yang berkaitan dengan karekteristik alam, pada Undang Undang 32 tahun 2009 sudah cukup baik sebagai upaya mempertahankan fungsi dan daya dukung lingkungan dengan mencegah generalisasi perlakuan terhadap lingkungan, selain itu aspek sosial budaya dan kelembagaan masyarakat dapat dimaknai sebagai upaya Pasal 11 Undang Undang 32 2009 mengakui dan melindungi esensi kehidupan rakyat yang mempunyai Pasal 6 ayat 2 UU 32 tahun 2009 interaksi dan saling terikat dengan lingkungan disekitarnya. 2 P a g e
Sedangkan pada Pasal 6. ayat 2. UU PPLH menekankan beberapa kewajiban mendasar dalam proses inventarisasi ekoregion juga tidak diakomodir pada RPP konflik dan penyebab konflik Pasal 6. Harapan akan adanya proses penyelamatan, pemulihan terhadap kawasan kawasan penting tertitip pada penekanan proses inventarisasi terhadap bentuk penguasaan, pengetahuan dan bentuk kerusakan di pasal 6 UU 32 tahun 2009, dimana perencanaan terhadap perlindungan dan pengelolaan suatu kawasan harus didahului dengan proses identifikasi terhadap bentuk bentuk penguasaan dan bentuk kerusakan, ini tentu untuk memberi informasi dan data yang cukup bagi pemerintah dalam membuat pertimbangan penentuan kebijakan dalam rencana pengelolaan. Begitupun dengan makna penekanan inventarisasi terhadpa bentuk dan penyebab konflik, tentu tidak berdiri dan dicantumkan begitu saja pada undang undang ini. Maraknya perampasn wilaah kelola rakyat dan penyebaran konflik di berbagai tempat dan fakta berlarutnya konflik telah dipertimbangkan untuk melatar belakangi keharusan invetarisasi bentuk dan penyebab konflik sebelum penyusunan rencana perlindungan dan pengeloaan lingkungan hidup. Hilangnya beberapa mandat mendasar di pasal 7 UU PPLH pada RPP gambut sangat berpengaruh terhadap roh dan semangat Gambut, seperti melakukan inventarisasi terhadap Bentuk penguasaan, Pengetahuan, Bentuk Kerusakan hingga RPP ini dalam proses penetapan kawasan Pasal 8 dan pasal 6 ayat 1 hurup C. dan fungsi ekosistem gambut pada pasal pasal berikutnya, dimana sebuah kawasan dalam hal ini kawasan gambut tidak diposisikan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat di sekitar atau sebaliknya. Selanjutnya hilangnya proses inventarisasi terhadap bentuk penguasaan, pengetahuan, bentuk kerusakan, konflik dan penyebab konflik di pasal 6 UU PPLH pada RPP Gambut, selain akan membuat pemerintah dalam hal ini meneteri dan pemerintah daerah mengabaikan kerusakan kawasan gambut yang telah Pasal 7 ayat 2 UU 32 tahun 2009 terjadi, juga tidak membuat RPP Gambut menjadi bagian solusi dari konflik dan kerusakan yang sudah terjadi. 3 P a g e
Lebih jauh dikaitkan denan pasal 8 UU PPLH yang mengatur tentang status daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, maka hilangnya beberapa mandat pada pasal 6 dan 7 UU PPLH pada RPP Gambut justru akan membuat RPP ini menjadi pintu bagi cara dan mekanisme pengerusakan yang baru karena rohnya yang cendrung mengarah ke proses penyediaan untuk budidaya yang diatur kemudian dalam tahapan pemanfaatan. Pemenfaatan. Tahapan pemanpaatan pada RPP Gambut sepertinya merupakan turunan dari klausal Penetapan ekoregion pada UU PPLH, hanya saja terjadi pembelokan makna dari pasal 7 UU PPLH tentang penetapan ekoregion, justru pada RPP Gambut (pasal 8 )menjadi klausal yang mengatur Penetapan fungsi ekosistem dimana Menteri Lingkungan hidup mempunyai wewenang untuk mentapkan fungsi ekosistem gambut( ayat 1), yang selanjutnya dibagi atas 2 fungsi yaitu fungsi lindung dan fungsi budidaya (ayat 2), dalam pembagian fungsi terdapat klausal ayat 3 yang mengatur presentase kawasan lindung minimal 30 %. kementerian kehutanan dalam menunjuk dan mentapkan kawasan kawasan hutan. Dimana kewenangan suatu kementerian beresiko mencabut hak masyarakat terhadap suatu wilayah dan mendelegasikan penguasaan ruang kepada swasta atas dasar fungsi ekosistem kawasan gambut, sedangkan ribuan komunitas di provinsi Riau, jambi, Sumatera Selatan, kalimantan Tengah, Masuknya tahapan pemenpaatan membuat RPP gambut justru cendrung mengakomodir undang undang sektoral yang seharusnya menjadi sasaran yang harus dikendalikannya, ini terjadi karena adanya klausal yang mengatur adanya wilayah budidaya dalam penetapan kawasan gambut. Kewenangan penetapan wilayah berdasarkan fungsi oleh kementerian lingkungan hidup, mengingatkan kembali akan bahaya dari kewenangan Pasal 8 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut kalimantan barat, kalimantan Selatan, Kalimantan Timur berada dan hidup dalam kawasan gambut. Lebih jauh RPP Gambut ini memandang arti penting perlindungan kawasan gambut cendrung mengedepankan 4 P a g e
pengurangan resiko pelepasan karbon semata, sedangkan fakta sesungguhnya kawasan gambut sebagai lingkungan tempat dan faktor kualitas hidup komunitas disekitarnya justru dikaburkan dengan peneterjemehan fungsi kawasan gambut yang terjebak kedalam defensi teknis dan dangkal, baik itu dalam defenisi kawasan lindung maupun kriteria baku kerusakan ekosistem gambut. Selain itu penilaian arti penting kawasan gambut cendrung mengedepankan kepentingan isu karbon juga diperkuat oleh cara pandang RPP Gambut dalam melihat arti penting kawasan gambut berbasiskan luas area, menutup pengetahuan akan nilai penting spot spot kecil krusial yang tidak luas tetapi memunyai peran penting terhadap komunitas yang luas, seperti fungsi kawasan gambut di pantai barat sumatera cendrung sempit dan tidak seberapa dibangingkan luasan gambut di pantai timur sumatera atau kalimantan, tetapi mempunyai fungsi yang sangat vital terhadap perekonomian dan dan pangan bagi masyarakat disekitar sungai yang berada da terhubung dengan kawasan gambut tersebut karena fungsi ekologisnya sebagai daerah pemijahan berbagai jenis ikan yang hidup dan tersebar sungai sungai yang terhubung dengan kawasan gambut tersebut. Begitu juga terhadap kawasan Rawa yang cendrung memiliki gambut sedikit atau sangat tipis seperti di kabupaten Hulu Sungai Utara kalimantan Selatan. Adanya peluang perubahan fungsi ekosistem gambut dalam kaitannya dengan revisi dan penetapan serta rencana tata ruang (pasal 11) juga membuka peluang kepala daerah untuk menjadi aktor yang dapat membuka akses pihak tertentu untuk Pasal 11 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Pasal 22 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut menguasai kawasan gambut, seperti halnya kasus kasus review kawasan hutan untuk wilayah administrasi dan tata ruang. 5 P a g e
Pengendalian Kriteria baku kerusakan gambut dalam RPP Gambut, dibagi atas kriteria kerusakan fungsi lindung dan kriteria kerusakan pada fungsi budidaya, pada fungsi lindung adanya drainase buatan menjadi kriteria kerusakan, sedangkan pada fungsi budidaya diperbolehkan adanya drainase buatan dengan syarat tinggi permukaan air tanah tidak lebih dari 1 meter dari permukaan gambut. Bila pengendalian ini mengacu kepada pasal 6 dan pasal 7 UU PPLH maka cara pandang pada pengendalaian akan mengedepankan proses akomodir keberhasilan adaptasi masyarakat pada kawasna gambut dan menggunakan kriteria kerusakan berbasiskan kerusakan dalam defenisi komunitas sebagai pihak yang akan pertama merasakan dampak serta membantu pencegahan. Ancaman kriminalisasi dapat terjadi Pasal 23 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut terhadap komunitas yang telah berada di dalam ekosistem gambut, baik itu dalam kawasan fungsi lindung maupung fungsi budidaya sesuai kriteria baku kerusakan gambut pada pasal 22 dengan adanya larangan pada pasal 25. Sedangkan pelaku usaha yang berbadan usaha akan terhindar dari jeratan hukum pada kawasan gambut fungsi budidaya dengan ketebalan kurang dari 1 meter karena adanya klausal pasal 23 yang mengatur penetapan kriteria baku mutu kerusakan dapat diatur pada izin lingkungan. Penanggulangan dan Pemulihan Penanggulangan kerusakan dibagi menjadi 3 ketentuan mendasar pad RPP Gambut dimulai dari kewajiban penanggulangan oleh pelaku, penanggulangan oleh pihak ketiga, pembebanan biaya penanggulangan terhadap pelaku, dan penghitungan Pasal 28 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut 6 P a g e
biaya kerusakan. Pada pasal 28 ayat 1 disebutkan bahwa biaya penanggulngan dihitung sebagai biaya kerugian lingkungangan. Bahaya dari pasal 28 ini terdapat pada ayat 2, dimana perhitungan besaran biaya penanggulangan ditetapkan atas kesepakatan pemerintah (menteri/pemerintah daerah) dengan pelaku usaha. Tidak berbeda jauh dari penanggulangan kerusakan, pasal pasal yang mengatur pemulihan juga dibagi atas 3 klausar dasar; kewajiban penanggulangan oleh pelaku, penunjukan pihak ketiga sebagai pelaksana pemulihan oleh pemerintah (menteri/kepala daerah), pembebeanan biaya pemulihan kepada pelaku, dan penghitungan biaya pemulihan. Pada pasal 31 ayat satu biaya pemulihan dihitung sebagai besaran kerugian lingkungan, dan pada ayat 2 potensi negosiasi dan kompromi kerusakan lingkungan kembali dimunculkan dengan bahasa besaran biaya kerugian lingkungan ditetapkan berdasarkan kesepakatan pemerintah (menteri/gubernur/bupati/walikota) dengan pelaku usaha atau kegiatan. Walaupun pada pasal 39 diatur kewenangan pemerintah untuk mencabut izin lingkungan dan pada pasal 40 menjelaskan ketentuan pidana tidak hapus oleh penggantian biaya penanggulangan dan pemulihan kerusakan. Pasal 28 dan pasal 31 ini berpotensi akan kontradiksi dengan semnagat UU 32 tahun 2009 sendiri yang memandang pentingnya perencanaan perlindungan dan pengelolaan ekosistem tertentu karena dipandang mempunyai multi value yang kompleks. Penyederhanaan nilai berbagai faktor lingkungan kedalam nilai ganti rugi kerusakan dan pemulihan akan membawa cara pikir pembangunan dan lingkungan di Pasal 31 RPP Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Indonesia semakin jauh dari perlindungan nilai nilai lingkungan itu sendiri, dimana semua komponen penyusun ekosistem lingkungan dipandang dapat dinilai dengan uang. Lebih jauh resiko dari adanya makna kompromi nilai pergantian biaya penanggulangan dan atau pemulohan lingkungan oleh pemerintah dan pemegang tanggung jawab usaha, sedangkan identifikasi terhadap multi level value lingkungan dan sosial kultur belum dan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. 7 P a g e
Kesimpulan dan Saran Dari hasil penyandingan RPP Gambut dengan UU PPLH Nomor 32 tahun 2009 serta menarik konteknya dengan kondisi faktual lingkngan dan masyarakat di daearah, RPP Gambut ini mempunyai muatan kepentingan yang beresiko terhadap kawasan Gambut itu sendiri dan eksistensi kehidupan masyarakat di dalam dan sekitarnya. Ini dipengaruhi oleh beberapa konten berikut : 1. RPP Gambut cenderung mengatur kewenangan dalam penyediaan kawasan untuk perkebuanan skala besar dan industri sektoral berbasis perizinan lainnya, selain beresiko terahadap munculnya sumber masalah agraria baru dengan kewenangan dan sistemnya seperti keberadaan kementerian kehutanan. 2. RPP Gambut masih menjaadi bagian dari cara pandang yang mengampuni proses pengerusakan lingkungan yang sudah terjadi 3. RPP Gambut tidak berangkat dari fakta kehidupan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan gambut dan cenrung akan menjadi media legitimasi pemisahaan kehidupan rakyat dari lingkungannya dalam konteks hak akses dan fungsi jasa lingkungan 4. RPP Gambut berpotensi menjadi faktor yang justru mempercepat laju kerusakan gambut Indonesia karena konteks kawasan fungsi budidayanya Saran Kehadiran RPP gambut harus merubah dua faktor penting penerbitannya, yang pertama pada proses penyususnanya dan yang kedua substansi. 1. Proses penerbitan, harus ditunda dengan terlebih dahulu melakukan proses penggalangan aspirasi dan diskusi dengan masyarakat terdampak langsung dan organisasi masayrkat sipil. 2. Beberapa pasal yang beresiko menjadi faktor yang memperbesar kerusakan gambut indonesia harus dihilangkan dan atau diganti dnegan substansi yang lebih prograsive bagi perlindungan dan pengelolaan yang berkelanjutan, peruabahan substansi juga harus dilakukan untuk mebuat RPP ini mempnyai semangat pengakuan, pelibatan dan perlindungan hak dan ketergantungan berbagai komunitas terhadap ekosistem gambut di Indonesia. Jakarta, 15 Juli 2014 Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) 8 P a g e