BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Data Penelitian No Kabupaten Y X1 X2 X3 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

PROVINSI JAWA TENGAH. Data Agregat per K b t /K t

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi mengikuti pola yang tidak selalu mudah dipahami. Apabila

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

Gambar 1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Tengah,

BAB 5 PEMBAHASAN. Tabel 5.1 Ringkasan Hasil Regresi

BAB III REGRESI SPASIAL DENGAN PENDEKATAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED POISSON REGRESSION (GWPR)

BAB I PENDAHULUAN. meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor. pembangunan suatu negara (Maharani dan Sri, 2014).

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH TAHUN 2014 PROVINSI JAWA TENGAH

BAB III METODE PENELITIAN

PRODUKSI CABAI BESAR, CABAI RAWIT, DAN BAWANG MERAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2013

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. yang melibatkan seluruh kegiatan dengan dukungan masyarakat yang. berperan di berbagai sektor yang bertujuan untuk meratakan serta

BAB III METODE PENELITIAN

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah terletak di antara B.T B.T dan 6 30 L.S --

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH AGUSTUS 2011: TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA SEBESAR 5,93 PERSEN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB III PEMBAHASAN. Analisis cluster merupakan analisis yang bertujuan untuk. mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang

TABEL 2.1. ESTIMASI KETERSEDIAAN PANGAN JAWA TENGAH 2013 ASEM _2012

KONDISI UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 7 TAHUN 2018 TAHUN 2012 TENTANG

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hasil dari uji heterokedastisitas tersebut menggunakan uji Park. Kriteria

Analisis Geographycally Weighted Regression Pada Data Kemiskinan Provinsi Jawa Tengah

BAB 1 PENDAHULUAN. dan Jusuf Kalla, Indonesia mempunyai strategi pembangunan yang

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

TABEL 4.1. TINGKAT KONSUMSI PANGAN NASIONAL BERDASARKAN POLA PANGAN HARAPAN

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. mengemukakan definisi metode penelitian sebagai berikut: mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

ASPEK : PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMAKAIAN KONTRASEPSI INDIKATOR : HASIL PEROLEHAN PESERTA KB BARU

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

KEADAAN KETENAGAKERJAAN JAWA TENGAH

Bab 4 Hasil dan Pembahasan

PEMODELAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION DENGAN FUNGSI KERNEL BISQUARE

BAB I PENDAHULUAN. World Bank dalam Whisnu, 2004), salah satu sebab terjadinya kemiskinan

GUBERNUR JAWA TENGAH

BERITA RESMI STATISTIK

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapannya 2016 p-issn : ; e-issn :

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pada bab ini dilakukan analisis model Fixed Effect dan pengujian

PENEMPATAN TENAGA KERJA. A. Jumlah Pencari Kerja di Prov. Jateng Per Kab./Kota Tahun 2016

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH

PENEMPATAN TENAGA KERJA

BAB I PENDAHULUAN. turun, ditambah lagi naiknya harga benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

III. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL SENSUS PERTANIAN 2013 (ANGKA TETAP)

BAB III MODEL GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC (GWLRS)

KEGIATAN PADA BIDANG REHABILITASI SOSIAL TAHUN 2017 DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Trend Kesenjangann Ekonomi Antar Wilayah di Provinsi Jawa Tengah

BAB III METODE PENELITIAN. kepada pemerintah pusat. Penulis melakukan pengambilan data

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang proses produksi barang. maupun jasa dalam kegiatan masyarakat (Arta, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan ke arah desentralisasi. Salinas dan Sole-Olle (2009)

BAB III MIXED GEOGRAPHICALLY WEIGHTED REGRESSION (MGWR)

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, makmur dan berkeadilan. Akan tetapi kondisi geografis dan

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

1. REKAP DATA REALISASI APBD DAN (PDRB) PROVINSI JAWA TENGAH. TAHUN 2011 (dalam jutaan rupiah)

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Jawa Tengah merupakan sebuah provinsi Indonesia yang terletak di bagian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi

METODOLOGI PENELITIAN

KATA PENGANTAR. Demikian Buku KEADAAN TANAMAN PANGAN JAWA TENGAH kami susun dan semoga dapat digunakan sebagaimana mestinya.

PEMODELAN STATUS KESEJAHTERAAN DAERAH KABUPATEN ATAU KOTA DI JAWA TENGAH MENGGUNAKAN GEOGRAPHICALLY WEIGHTED LOGISTIC REGRESSION SEMIPARAMETRIC

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

GUBERNUR JAWA TENGAH

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

FUZZY SUBTRACTIVE CLUSTERING BERDASARKAN KEJADIAN BENCANA ALAM PADA KABUPATEN/KOTA DI JAWA TENGAH

Keadaan Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Tengah April 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Tembakau merupakan salah satu komoditas perdagangan penting di dunia. Menurut Rachmat dan Sri (2009) sejak tahun

KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 561.4/52/2008 TENTANG UPAH MINIMUM PADA 35 (TIGA PULUH LIMA) KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009

BAB I PENDAHULUAN. keadilan sejahtera, mandiri maju dan kokoh kekuatan moral dan etikanya.

LUAS TANAM, LUAS PANEN DAN PREDIKSI PANEN PADI TAHUN 2016 DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA PROVINSI JAWA TENGAH

MODEL REGRESI TERBOBOTI GEOGRAFIS DENGAN FUNGSI PEMBOBOT KERNEL GAUSSIAN, BISQUARE, DAN TRICUBE PADA PERSENTASE KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Penerapan Algoritma Fuzzy C-Means untuk Pengelompokan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Berdasarkan Status Kesejahteraan Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

1.1. UMUM. Statistik BPKH Wilayah XI Jawa-Madura Tahun

Transkripsi:

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada bab analisis dan pembahasan ini akan jelaskan tentang pola persebaran jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, kemudian dilanjutkan dengan pemodelan regresi poisson, pemodelan GWPR dengan pembobot fungsi kernel gaussian dan pemodelan GWPR dengan pembobot fungsi kernel bisquare. Melalui pemodelan tersebut dapat ditentukan faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah penderita kusta di Jawa tengah pada tahun 2012 dengan menambahkan pengaruh spasial. 4.1 Deskripsi Kabupaten/kota di Jawa Tengah Berdasarkan Jumlah Penderita Kusta dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya Pendeskripsian untuk data jumlah penderita kusta serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dilakukan dengan menggunakan peta tematik. Untuk mempermudah penjelasan dengan peta, nilai untuk setiap variabel penelitian dikelompokan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi menurut range dari data yang terdapat di provinsi jawa tengah. Berikut hasil pemetaan dari masing-masing variabel penelitian yang digambarkan dalam peta tematik. 4.1.1 Persebaran Jumlah Penderita Kusta di tiap Kabupaten/kota Jumlah penderita kusta di Jawa Tengah tahun 2012 adalah sebanyak 1513 jiwa yang tersebar diseluruh kabupaten/kota. Angka tertinggi terdapat di Kabupaten Tegal dengan jumlah penderita 170 jiwa sedangkan angka terendah 0 jiwa terdapat di Kabupaten Semarang, Kota Magelang, dan Salatiga. Data jumlah 31

penderita kusta serta variabel prediktor untuk tiap kabupaten/kota di Jawa Tengah dapat dilihat pada lampiran 1. (jiwa) kategori : 0-38 (rendah) 39-82 (sedang) 83-170 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.1 Persebaran Jumlah Penderita Kusta Wilayah yang masuk ke dalam jumlah penderita kusta kategori tinggi banyak terdapat di bagian utara. Kabupaten Blora, Brebes, Pemalang, Pekalongan, dan Tegal termasuk dalam kategori tinggi artinya di kabupaten tersebut terdapat penderita kusta antara 83-170 jiwa. Kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupaten Blora seperti Rembang, Pati, dan Grobogan merupakan kabupaten dengan jumlah penderita pada kategori sedang (39-82 jiwa) kabupaten lain yang masuk kategori sedang yaitu kabupaten Batang, Kota Pekalongan, Kudus, dan Demak. Kabupaten lain yang tidak disebutkan di atas merupakan kabupaten dengan jumlah penderita kusta kategori rendah (0-38 jiwa). 32

4.1.2 Persebaran Persentase Rumah Tangga ber-perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) di tiap Kabupaten/kota (%)kategori : 46.2-61.3 (rendah) 61.4-77.4 (sedang) 77.5-93.9 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.2 Persebaran persentase rumah tangga ber-phbs Gambar 4.2 menunjukan persentase rumah tangga ber-phbs kategori tinggi (77,5-93,9) dalam satuan persen (%) sebagian besar berada di wilayah timur yaitu kabupaten Pati, Demak, Grobogan, Sragen, Karanganyar, Klaten, dan Wonogiri. Sedangkan kabupaten/kota kategori rendah (46,2-61,3) sebagian besar terdapat di sekitar Kabupaten Temanggung yaitu Kabupaten Banjarnegara, Kendal, Wonosobo, Brebes, Magelang, dan Semarang. Berdasarkan tabel 4.1 yang memuat angka statistik deskriptif tiap variabel penelitian, rata rata persentase rumah tangga ber-phbs adalah 74,85%. Kabupaten/kota dengan persentase rumah tangga ber-phbs tertinggi adalah Kota Pekalongan sebesar 93,9% dan terendah adalah Kabupaten Banjarnegara sebesar 46,2%. 33

4.1.3 Persebaran Persentase Rumah Sehat di tiap Kabupaten/kota (%) kategori : 36.12-52.92 (rendah) 52.93-76.46 (sedang) 76.47-98.05 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.3 Persebaran persentase rumah sehat Pada Tahun 2012 sebanyak 4,686,852 (57,3%) rumah diperiksa dan yang memenuhi syarat rumah sehat sebesar 3,190,839 (68,1%) sedikit meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 yang mencapai 2.441.984 (62,95%). (Profil kesehatan, 2012). Gambar 4.3 menunjukan Kabupaten Blora, Klaten, Kudus, Sukoharjo, Semarang, dan Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Magelang, Kota Tegal adalah wilayah yang masuk dalam kategori tinggi (76,47-98,05) untuk variabel persentase rumah sehat. Sedangkan Kabupaten Tegal, Banjarnegara, Brebes, Rembang, Pati, dan Batang adalah kabupaten yang masuk ke kategori rendah (36,12-52.92). Persentase rumah sehat tertinggi terdapat di Kabupaten Semarang sebesar 98,05% sedangkan persentase rumah sehat terendah berada di Kabupaten Banjarnegara sebesar 36,12%. 34

4.1.4 Persebaran Banyaknya Dokter di tiap Kabupaten/kota (jiwa) kategori : 20-50 (rendah) 51-76 (tinggi) 77-108 (sedang) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.4 Persebaran banyaknya dokter Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah banyaknya dokter yang tercatat di Jawa Tengah adalah berjumlah 1876 dengan rata-rata 53,6 dokter per kabupaten/kota. Jika dilihat dari peta tematik kabupaten/kota yang masuk ke dalam kategori tinggi adalah Kabupaten Kendal (88 jiwa) dan Kota Semarang (108 jiwa). Banyaknya dokter dengan kategori sedang (51-76 jiwa) menggelompok di bagian timur yaitu kabupaten Demak, Klaten, Pati, Jepara, Kudus, Grobogan, Sragen, Karanganyar, Magelang, dan Wonogiri. Sedangkan kabupaten/kota dengan kategori sedang yang berada dibagian barat yaitu Kabupaten Pekalongan, Pemalang, Brebes, dan Banyumas. Kabupaten/kota dengan jumlah dokter terendah adalah Kota Tegal (20 jiwa). 35

4.1.5 Persebaran Banyaknya Puskesmas di tiap kabupaten/kota (unit) kategori : 5-17 (rendah) 18-30 (sedang) 31-39 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.5 Persebaran banyaknya puskesmas Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah jumlah Puskesmas di Jawa Tengah adalah 873 unit yang tersebar di seluruh kabupaten/kota. Mayoritas Kabupaten/kota di Jawa Tengah masuk dalam kategori sedang yaitu terdapat 18-30 unit puskesmas di wilayahnya. Banyaknya puskesmas terendah yaitu terdapat di Kota Magelang dengan 5 unit puskesmas sedangkan yang tertinggi adalah di Kabupaten Banyumas dengan 39 unit puskesmas. Kabupaten/kota yang masuk kategori tinggi (31-39 unit) sebagian besar mengelompok di bagian barat seperti kabupaten Brebes, Cilacap, Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, dan Sebagian lainnya menyebar di wilayah selatan dan utara berbatasan dengan laut yaitu Kota Semarang, Klaten, dan Wonogiri. 36

4.1.6 Persebaran Persentase Penduduk Berjenis Kelamin Laki-laki di tiap Kabupaten/kota (%) kategori : 48.54-49.09 (rendah) 49.10-49.8 (sedang) 49.81-50.79 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.6 Persebaran persentase penduduk berjenis kelamin laki-laki Berdasarkan penghitungan sementara angka proyeksi penduduk tahun 2012 hasil Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik didapatkan jumlah penduduk laki-laki di Jawa Tengah 16.495.705 jiwa atau 49,58% dan jumlah penduduk perempuan di Jawa Tengah 16.774.502 jiwa atau 50,42%. Sehingga didapatkan rasio jenis kelamin sebesar 98,34 per 100 penduduk perempuan, berarti setiap 100 penduduk perempuan ada sekitar 98 penduduk laki-laki (Profil Kesehatan, 2012). Gambar 4.6 menunjukan bahwa kabupaten/kota dengan persentase penduduk laki-laki dengan kategori sedang (49,10-49,8) dan kategori tinggi (49,81-50,79) hampir sama, hanya saja persentase penduduk laki-laki dengan kategori sedang berpola mengelompok di sebelah timur sedangkan yang kategorinya tinggi mengelompok di sebelah barat. Persentase penduduk laki-laki 37

terendah adalah Kabupaten Pati 48,54% dan persentase penduduk laki-laki tertinggi adalah Kabupaten Kendal 50,79%. 4.1.7 Persebaran Kepadatan Penduduk di tiap Kabupaten/kota (penduduk/km2) kategori : 472-1898 (rendah) 1899-7093 (sedang) 7094-11573 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.7 Persebaran kepadatan penduduk Gambar 4.7 menunjukan hampir semua kabupaten/kota adalah kategori rendah artinya terdapat 472-1898 penduduk/km 2 di dalam kabupaten/kota tersebut. Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Magelang, dan Kota Tegal adalah kategori sedang (1899-7093 penduduk/km 2 ) sedangkan yang berkategori tinggi hanya Kota Surakarta yang kepadatan penduduknya sebesar 11573 penduduk/km 2. Selain karena luas daerah yang kecil sekitar 44 kilometer persegi (Sensus Penduduk 2010) Surakarta menjadi wilayah yang terpadat penduduknya karena Surakarta merupakan merupakan daerah tujuan urbanisasi, kawasan pemukiman bagi pekerja dan pelaku kegiatan ekonomi. 38

4.1.8 Persebaran Jumlah Penyuluhan Kesehatan Kelompok di tiap Kabupaten/kota kategori : 66-5104 5105-34503 34504-112764 JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.8 Persebaran jumlah penyuluhan kesehatan kelompok Jika dilihat dari gambar 4.8 persebaran penyuluhan kesehatan kelompok sebagian besar adalah kabupaten/kota yang masuk kategori rendah dan sedang. Berdasarkan tabel 4.1 penyuluhan kelompok pada tahun 2012 tercatat dilakukan sebanyak 369.784 kali dengan penyuluhan terbanyak dilakukan di Kabupaten Kendal yaitu 112.764 kali dan paling sedikit dilakukan di Kabupaten Blora sebanyak 66 kali. 4.1.9 Persebaran Pengeluaran Riil per Kapita di tiap Kabupaten/kota Berdasarkan tabel 4.1 rata-rata pengeluaran riil per kapita untuk Provinsi Jawa Tengah adalah 644,26 ribu rupiah. Pengeluaran riil per kapita kategori tinggi yang ditandai dengan warna merah pada peta terdapat di beberapa kabupaten/kota diantaranya Kabupaten Klaten, Karanganyar, Pati, Sukoharjo, 39

Wonogiri, Kota Pekalongan, Kota Semarang, Salatiga, Kota Tegal, dan Surakarta. Pengeluaran riil per kapita terendah adalah Kabupaten Wonosobo sebesar 632,71 (ribu Rp) dan tertinggi adalah Kota Surakarta sebesar 658,92 (ribu Rp). (Ribu Rp)kategori : 632.71-638.68 (rendah) 638.69-647.14 (sedang) 647.15-658.92 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.9 Persebaran pengeluaran riil per kapita 4.1.10 Persebaran Persentase Penduduk Miskin di tiap Kabupaten/kota (%)kategori : 5.13-10.75 (rendah) 10.76-16.73 (sedang) 16.74-22.5 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.10 Persentase penduduk miskin 40

Berdasarkan tabel 4.1 rata-rata persentase penduduk miskin di Jawa Tengah adalah 14,42% untuk setiap kabupaten/kota. Gambar 4.10 menunjukan kabupaten/kota dengan persentase penduduk miskin kategori rendah yang berkisar antara 5,13-10,75% adalah Kota Semarang 5,13%, Salatiga 7,11%, Kudus 8,63%, Jepara 9,38%, Semarang 9,40%, dan Kota Pekalongan 9,47%. Persentase penduduk miskin kategori tinggi adalah yang berkisar antara 16,74-22,5% yaitu Kabupaten Demak, Banjarnegara, Pemalang, Banyumas, Brebes, Purbalingga, Rembang, Kebumen, dan tertinggi adalah Kabupaten Wonosobo 22,50%. Kabupaten lain yang tidak disebutkan di atas masuk ke dalam kategori sedang untuk variabel persentase penduduk miskin. 4.1.11 Persebaran Rata-rata Lama Sekolah Penduduk di tiap Kabupaten/kota (tahun)kategori : 6.07-7.23 (rendah) 7.24-8.53 (sedang) 8.54-10.49 (tinggi) JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN BREBES PEMALANG KENDAL KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA N WONOGIRI Gambar 4.11 Persebaran rata-rata lama sekolah penduduk 41

Mayoritas kabupaten/kota di Jawa Tengah masuk di kategori rendah untuk rata-rata lama sekolah yaitu sekitar 6,07-7,23 tahun. Hal ini menunjukan bahwa tingkat pendidikan di Jawa tengah masih tergolong rendah karena rata-rata penduduk jawa tengah hanya melanjutkan pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Rata-rata lama sekolah tertinggi adalah di Kota Surakarta 10,5 tahun dan terendah adalah di Kabupaten Brebes 6,07 tahun. Berikut adalah statistik deskriptif variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta di Jawa Tengah apabila disajikan dalam bentuk tabel. Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Penelitian variabel Mean Varians minimum maksimum Y 43,40 2236,42 0 170 X 1 74,85 168,02 46,2 93,9 X 2 69,85 179,43 36,12 98,05 X 3 53,60 334,84 20 108 X 4 24,94 82,41 5 39 X 5 49,64 0,297 48,54 50,79 X 6 1986,06 5797913,94 472 11573 X 7 10565,26 369364342,37 66 112764 X 8 644,26 49,93 632,71 658,92 X 9 14,42 20,66 5,13 22,5 X 10 7,65 1,39 6,07 10,49 Dari tabel 4.1 diatas dapat dikatakan varians tertinggi untuk faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penderita kusta adalah jumlah penyuluhan kelompok (X 7 ) dan kepadatan penduduk (X 6 ). Nilai varians yang tinggi dapat diartikan variabel jumlah penyuluhan kelompok dan kepadatan penduduk sangat fluktuatif. Berikut adalah grafik scatterplot antara jumlah penderita kusta dan faktorfaktor yang mempengaruhinya. Gambar 4.12 menunjukan adanya hubungan linier 42

yang positif dan negatif antara jumlah penderita kusta dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Scatterplot of Y vs X1; X2; X3; X4; X5; X6; X7; X8; X9; X10 160 X1 X2 X3 X4 80 0 50 75 100 50 75 100 40 80 1200 20 40 X5 X6 X7 X8 160 Y 80 0 160 49 50 510 5000 10000 0 50000 100000 640 650 660 X9 X10 80 0 8 16 246 8 10 Gambar 4.12 Scatterplot Jumlah Penderita Kusta dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Variabel yang memiliki garis yang naik dari kiri bawah ke kanan atas adalan variabel dengan pengaruh positif untuk jumlah penderita kusta di Jawa Tengah, dari scatterplot diatas pengaruh yang positif ditunjukan oleh persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), banyaknya dokter (X 3 ), banyaknya puskesmas (X 4 ), dan persentase penduduk miskin (X 9 ). Seiring dengan makin tingginya angka prevalensi kusta di jawa tengah, kabupaten/kota dengan jumlah penderita kusta cukup tinggi akan berusaha meningkatkan pelayanan di sektor-sektor kesehatan seperti menambah kapasitas tenaga kesehatan dan tempat berobat di masingmasing wilayahnya untuk mengendalikan penyakit tersebut oleh karena itu banyaknya dokter dan puskesmas berpengaruh positif. Variabel yang berpengaruh 43

negatif atau variabel yang memiliki garis turun dari kiri atas ke kanan bawah untuk jumlah penderita kusta adalah persentase rumah sehat (X 2 ), Kepadatan penduduk (X 6 ). Pengeluaran riil per kapita (X 8 ), dan rata-rata lama sekolah (X 10 ). 4.2 Pemeriksaan Multikolinearitas Sebelum melakukan pemodelan menggunakan regresi poisson dan GWPR perlu dilakukan uji untuk mendeteksi apakah terdapat multikolinearitas pada variabel-variabel prediktornya. Jika terdapat adanya multikolinearitas maka harus ada variabel yang direduksi sampai tidak lagi terdapat korelasi antar variabel prediktor. Sesuai dengan yang telah di jelaskan pada subbab 2.1 ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya kondisi multikolinearitas salah satunya menggunakan kriteria nilai VIF. Berikut ini adalah tabel nilai VIF dari masing-masing variabel prediktor. Tabel 4.2 Nilai VIF dari 10 Variabel Prediktor Variabel Prediktor Nilai VIF X 1 1,983 X 2 2,189 X 3 3,210 X 4 3,053 X 5 1,894 X 6 3,529 X 7 1,626 X 8 2,667 X 9 2,405 X 10 4,381 Dari tabel 4.2 dapat disimpulkan jika tidak terjadi korelasi antar variabel prediktor atau tidak terjadi kasus multikolinearitas karena semua variabel menunjukan nilai VIF yang kurang dari 10 sehingga variabel-variabel tersebut selanjutnya akan digunakan untuk membentuk model regresi poisson. 44

4.3 Pemodelan Jumlah Penderita Kusta Menggunakan Regresi Poisson Dalam pemodelan menggunakan regresi poisson ini melibatkan sepuluh faktor yang diduga terkait dengan jumlah penderita kusta di Jawa Tengah. Regresi poisson digunakan karena data penderita kusta dapat diasumsikan berdistribusi poisson karena datanya yang berupa data diskrit atau data count (jumlahan). Gambar 4.13a Plot Kuantil-kuantil normal Gambar 4.13b Histogram data jumlah penderita kusta 45

Gambar 4.13 merupakan plot kuantil-kuantil normal dan histogram untuk variabel jumlah penderita kusta di Jawa tengah. Dari plot kuantil dan y i menunjukan bahwa sebaran data tidak mengikuti garis lurus dan histogram dari y i juga tidak simetris, hal ini menunjukan penyimpangan data dari sebaran normal. Selanjutnya akan dilakukan estimasi parameter model regresi poisson diperoleh nilai estimasi pada tabel berikut. Tabel 4.3 Nilai Estimasi Parameter Model Regresi Poisson Parameter Estimasi Standar Error Z hitung P-value β 0 6,115 6,5359 0,936 0,374 β 1 0,0276 0,0033 8,431 0,000 β 2-0,0091 0,0032-2,890 0,004 β 3 0,0241 0,0028 8,468 0,000 β 4-0,0349 0,0054-6,479 0,000 β 5 0,1186 0,0751 1,578 0,109 β 6 0,0003 0,00003 10,90 0,000 β 7-0,00001 0,000002-2,702 0,008 β 8-0,0022 0,0058-0,379 0,731 β 9 --0,0118 0,0086-1,377 0,179 β 10-1,2151 0,06114-19,875 0,000 Devians : 858,134 Derajat bebas : 24 AIC : 880,134 α=5% 4.3.1 Uji Serentak Parameter Regresi Poisson Pengujian serentak pada parameter regresi poisson hipotesis pengujiannya adalah sebagai berikut : H 0 : β 1 = β 2 =... = β10 = 0 H 1 : paling sedikit ada satu β 0 ; j=1,2,,10 j Hasil output untuk pemodelan regresi poisson apabila diuji secara serentak maka hasilnya tolak H 0 karena nilai devians = 858,134 lebih besar dari 36,4, atau ( βˆ ) 2 D > χ ( 24;0,05), sehingga dapat disimpulkan paling sedikit ada satu β 0 atau j 46

dengan kata lain minimal ada salah satu parameter yang berpengaruh secara signifikan terhadap model regresi poisson. 4.3.2 Uji Parsial Parameter Regresi Poisson Selanjutnya untuk mengetahui parameter yang berpengaruh signifikan terhadap model dilakukan uji secara parsial. Untuk melakukan uji parameter secara parsial kita dapat membandingkan niali Z hitung masing-masing paremeter terhadap Z α/2 =1,96 dengan taraf signifikasi 5% atau dengan melihat p-value yang kurang dari α=0,05. Dari tabel 4.3 kita dapatkan parameter yang secara parsial signifikan terhadap model regresi poisson adalah β 1, β 2, β3, β4, β6, β7, dan β10 karena Z hitung > Z α/2. Jadi model regresi poisson untuk jumlah penderita kusta adalah sebagai berikut. ˆ µ = exp(6,115 + 0,0276β 0,0091β 1 2 + 0,0241β 0,0349β 3 4 + 0,0003β 6 + 0,00001β 7 1,2151β ) 10 Variabel prediktor yang berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta di Jawa Tengah dengan model regresi poisson adalah persentae rumah tangga ber- PHBS (X 1 ), persentase rumah sehat (X 2 ), banyaknya dokter (X 3 ), banyaknya puskesmas (X 4 ), kepadatan penduduk (X 6 ), Jumlah penyuluhan kesehatan kelompok (X 7 ), dan rata-rata lama sekolah (X 10 ). Berdasarkan model yang didapat jika persentase rumah tangga ber-phbs bertambah satu persen, maka akan meningkatkan jumlah penderita kusta sebesar exp(0,0276) dengan syarat variabel lain konstan. Hal ini kurang sesuai dengan teori yang ada, hal ini dikarenakan daerah yang berkategori tinggi jumlah penderita kustanya justru merupakan kabupaten/kota dengan persentase rumah tangga yang ber-phbs kategori sedang 47

oleh karena itu perlu ditingkatkan lagi upaya untuk menyadarkan masyarakat tentang berperilaku hidup bersih sehat terutama di kabupate/kota dengan jumlah penderita kusta tergolong kategori tinggi. Masalah yang serupa juga terjadi pada variabel banyaknya dokter (X 3 ) dan jumlah penyuluhan kesehatan kelompok (X 7 ), solusinya adalah setiap kabupaten/kota yang jumlah penderita kustanya termasuk kategori tinggi untuk lebih meningkatkan pembangunan dan pelayanan di sektorsektor kesehatan. Sementara untuk variabel yang lain tidak terdapat masalah seperti diatas karena koefisien regresinya tidak berbanding terbalik atau sudah sesuai dengan teori. Untuk variabel rata-rata lama sekolah (X 10 ) jika ada pertambahan satu satuan maka akan menurunkan ln jumlah penderita kusta sebesar 1,2151. Hal ini juga berlaku untuk variabel persentase rumah sehat, apabila bertambah satu persen maka akan menurunkan jumlah penderita kusta sebanyak exp(0,0091). Untuk variabel kepadatan penduduk (X 6 ) jika ada pertambahan satu penduduk/km 2 maka akan menambah jumlah penderita kusta sebesar exp(0,0003). Setelah pemodelan regresi poisson dilakukan maka dalam langkah penelitian selanjutnya akan dicari pemodelan jumlah penderita kusta dengan pendekatan spasial GWPR, tetapi sebelumnya harus dilakukan pengujian heterogenitas spasial pada jumlah penderita kusta dan faktor-faktor yang mempengaruhinya menggunakan uji Breusch-Pagan dan hasilnya diperoleh nilai BP = 18,3979 dan p-value = 0,0486 pada taraf signifikasi 5%. Kesimpulannya adalah terdapat keragaman spasial antar wilayah, maka analisis selanjutnya dapat dilakukan. 48

4.4 Pemodelan Jumlah Penderita Kusta Menggunakan GWPR Pemodelan dengan GWPR (Geographically Weighted Poisson Regression) merupakan bentuk lokal dari regresi poisson karena memperhatikan letak geografis sehingga perlu adanya pembobot lokasi. Langkah awal dalam analisis GWPR adalah dengan menentukan letak geografis dari masing-masing wilayah atau titik pengamatan. Sebelum menghitung matriks pembobot yang harus dilakukan yaitu mencari jarak euclidean ( d ij ) antar kabupaten/kota dengan menggunakan rumus umum (2.26) yang dapat dicari menggunakan program R dan dikonversikan ke dalam satuan kilometer. Pada tabel 4.5 didapatkan jarak euclidean yang sudah dikonversi untuk Kabupaten Cilacap. Untuk memperoleh nilai bandwidth (h) optimum pemodelan GWPR, selain metode Cross Validation kriteria lain yang dapat digunakan yaitu dengan AICc minimum (Nakaya, 2004). Dalam penelitian kriteria yang digunakan yaitu nilai AICc minimum dikarenakan penggunaan CV tidak didukung oleh software statistik yang digunakan. Untuk pembobot bisquare yang digunakan adalah kernel adaptive bisquare sedangkan untuk pembobot gaussian yang digunakan adalah kernel fixed gaussian. Pada fungsi fixed bandwidth yang optimum digunakan sama pada setiap wilayah yang dianalisis, sedangkan pada fungsi adaptive akan memiliki bandwidth yang berbeda-beda sesuai dengan kepadatan data pada wilayah yang dianalisis. Ketika data padat bandwidth akan bernilai kecil, sedangkan ketika data jarang bandwidth akan semakin besar. Fungsi ini mampu menyesuaikan ukuran varians data (Aini, 2013). 49

Bandwidth optimum untuk pembobot kernel gaussian yang didapatkan dari hasil analisis menggunakan GWR4.0 adalah 63,4352 dengan kriteria AICc minimum 396,188 dan nilai tersebut berlaku untuk semua titik lokasi pengamatan. Sedangakan untuk pembobot bisquare didapatkan dari output R.3.1.0 menghasilkan bandwidth dengan nilai CV=9188588. Bandwidth untuk fungsi bisquare berbeda-beda di setiap kabupaten/kota berikut adalah nilai h optimum untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tabel 4.4 Nilai bandwidth pembobot kernal bisquare No. Kabupaten/kota bandwidth No. Kabupaten/kota bandwidth 1 Cilacap 223,31 19 Kudus 190,49 2 Banyumas 208,06 20 Jepara 173,83 3 Purbalingga 183.53 21 Demak 168,93 4 Banjarnegara 155,00 22 Semarang 445,26 5 Kebumen 147,94 23 Temanggung 129,85 6 Purworejo 121,65 24 Kendal 264,23 7 Wonosobo 129,45 25 Batang 127,97 8 Magelang 132,40 26 Pekalongan 150,98 9 Boyolali 165,49 27 Pemalang 183,68 10 Klaten 167,49 28 Tegal 158,88 11 Sukoharjo 190,23 29 Brebes 219,22 12 Wonogiri 204,05 30 Kota Magelang 132,40 13 Karanganyar 207,88 31 Kota Surakarta 189,32 14 Sragen 210,08 32 Kota Salatiga 153,13 15 Grobogan 204,11 33 Kota Semarang 143,62 16 Blora 254,29 34 Kota Pekalongan 150,98 17 Rembang 250,08 35 Kota Tegal 210,05 18 Pati 214,64 Berdasarkan tabel 4.4 jika menggunakan pembobot kernel bisquare Kabupaten Cilacap memiliki bandwidth optimum sebesar 223,31. Setelah didapat nilai d ij pada wilayah yang akan ditaksir parameternya, selanjutnya matriks pembobot spasial disusun berdasarkan persamaan (2.24) dan (2.25) dengan menggunakan bandwidth optimum. Matriks pembobot adalah matriks diagonal 50

yang digunakan untuk menduga parameter koefisien regresi di setiap kabupaten/kota di Jawa Tengah, berikut adalah contoh nilai d ij dan pembobot untuk Kabupaten Cilacap. Tabel 4.5 Jarak euclidean dan pembobot di Kabupaten Cilacap No. Kabupaten/kota d ij (Km) Pembobot Gaussian Bisquare 1 Cilacap 0 1 1 2 Banyumas 30,972 0,888 0,962 3 Purbalingga 54,725 0,689 0,883 4 Banjarnegara 78,034 0,469 0,771 5 Kebumen 75,261 0,495 0,786 6 Purworejo 110,337 0,220 0,571 7 Wonosobo 107,782 0,236 0,588 8 Magelang 136,922 0,097 0,389 9 Boyolali 177,613 0,020 0,135 10 Klaten 177,613 0,020 0,135 11 Sukoharjo 199,826 0,007 0,040 12 Wonogiri 214,601 0,003 0,006 13 Karanganyar 218,325 0,003 0,002 14 Sragen 224,777 0,002 0 15 Grobogan 230,883 0,001 0 16 Blora 280,166 0 0 17 Rembang 285,048 0 0 18 Pati 250,751 0 0 19 Kudus 227,550 0,002 0 20 Jepara 224,777 0,002 0 21 Demak 204,019 0,006 0,027 22 Semarang 276,503 0,0001 0,000 23 Temanggung 137,308 0,096 0,387 24 Kendal 110,559 0,219 0,570 25 Batang 125,433 0,142 0,469 26 Pekalongan 118,993 0,172 0,513 27 Pemalang 103,567 0,264 0,616 28 Tegal 169,833 0,028 0,178 29 Brebes 93,909 0,334 0,678 30 Kota Magelang 138,198 0,093 0,381 31 Kota Surakarta 201,798 0,006 0,034 32 Kota Salatiga 171,275 0,026 0,170 33 Kota Semarang 177,934 0,020 0,133 34 Kota Pekalongan 118,993 0,172 0,513 35 Kota Tegal 96,682 0,313 0,660 51

Tabel 4.5 di atas adalah contoh untuk pembobot di Kabupaten Cilacap, untuk wilayah lain dapat diperoleh dengan mengubah jarak euclidean dengan langkah yang sama. Berdasarkan tabel 4.5 maka terbentuk matriks pembobot diagonal untuk penaksiran parameter di Kabupaten Cilacap. Untuk penaksiran parameter menggunakan kernel, matriks pembobotnya adalah sebagai berikut. 1,00 0,888 0,689 0,469 0,495 0,220 0,236 0,097 0,020 0,020 0,007 0,003 0,003 0,002 = 1 diag 0,001 0,000 0,000 0,000 0,002 0,002 0,006 0,00 0,096 0,219 0,142 0,172 0,264 0,028 0,334 0,093 0,006 0,026 0,020 0,172 0,313 ( u, v ) W 1 Sedangkan untuk penaksiran parameter menggunakan kernel bisquare, matriks pembobot adalah sebagai berikut. 1,00 0,962 0,883 0,771 0,786 0,571 0,588 0,389 0,135 0,135 0,040 0,006 0,002 0,000 = 1 diag 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,027 0,000 0,387 0,570 0,469 0,513 0,616 0,178 0,678 0,381 0,034 0,170 0,133 0,513 0,660 ( u, v ) W 1 Pembentukan matriks pembobot digunaan untuk menaksir parameter berdasarkan lokasi ( u 1, v ). Jadi untuk penaksiran parameter dari lokasi ( 1 u 2, v ) 2 sampai ( u, v 35 35 ) menggunakan matriks yang berbeda. Pada matrik pembobot kernel bisquare karena jarak Kabupaten Cilacap dengan Kabupaten Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, dan Jepara lebih besar atau berada di luar lebar jendela (bandwidth) optimum, maka nilai pembobot kabupaten tersebut adalah nol untuk Kabupaten Cilacap. 52

4.4.1 Uji Kesamaan Model Regresi Poisson dan GWPR Pengujian kesamaan antara model regresi poisson dengan model GWPR dilakukan untuk mengetahui apakan ada perbedaan antara kedua model dengan hipotesisnya adalah sebagai berikut: ( β j ( ui vi )) = β j Η :, 0 ( β j ( ui vi )) β j Η 1 :, ; i=1,2,,n; j=0,1,2,,p Kriteria pengujiannya adalah tolak H 0 jika F hitung > F( α ; dfa; dfb) artinya ada perbedaan yang signifikan antara model regresi poisson dengan model GWPR. Tabel 4.6 Uji Kesamaan Model Model Devians Db Devians/Db F hitung Global (Regresi Poisson) 858,134 24,000 35,756 GWPR (Kernel Gaussian) 262,684 10,394 25,272 1,415 GWPR (Kernel Bisquare) 631,408 19,797 31,894 1.121 Dari tabel 4.6 diketahui F hitung untuk model regresi poisson dan GWPR dengan pembobot kernel gaussian yaitu 1,415, jika dibandingkan dengan F (0,05;24;10) yaitu 2,7, maka F hitung < F tabel disimpulkan gagal tolak H 0 artinya tidak terdapat perbedaan antara model regresi poisson dan model GWPR dengan pembobot kernel gaussian. Sedangkan untuk model regresi poisson dan model GWPR dengan pembobot kernel bisquare didapatkan nilai F hitung 1,121 < F (0,05;24;19) yaitu 2,08 sehingga gagal tolak H 0 artinya tidak terdapat perbedaan antara model regresi poisson dan GWPR dengan pembobot kernel bisquare. 53

4.4.2 Uji Parsial Parameter Model GWPR Selanjutnya adalah melakukan pengujian terhadap parameter model untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta disetiap lokasi. Misal pengujian parameter dilakukan untuk lokasi pertama yaitu Kabupaten Cilacap, maka hipotesisnya adalah : Η Η ( β ( u, v )) 0 : j 1 1 = 0 ( β ( u, v )) 0 1 : j 1 1 Parameter yang akan di uji yaitu β 0, β1, β 2, β 3,..., β10, statistik ujinya adalah dengan membandingkan nilai t hitung dengan nilai t tabel yaitu 2,06. Jika nilai hitung > t( n k 1; α 2) t maka kesimpulannya parameter ke-j pada lokasi-i berpengaruh signifikan terhadap model. Misalnya untuk Kabupaten Cilacap pengujian parsial untuk estimasi parameternya adalah sebagai berikut. Tabel 4.7 Uji Parsial Model GWPR dengan pembobot kernel gaussian Parameter Estimasi Standar Error t hotung β 0 70,811 20,164 3,512* β 1 0,0576 0,0067 8,623* β 2-0,0119 0,0075-1,593* β 3 0,0637 0,0045 14,073* β 4-0,024 0,0125-1,919* β 5-0,3708 0,189-1,96 β 6 0,0007 0,00007 10,559* β 7-0,000003 0,000003-1,088* β 8-0,0687 0,0183-3,758* β 9 0,0228 0,0171 1,332* β 10-1,6774 0,139-12,04* *) signifikan pada α=5% Berdasarkan kriteria pengujian diperoleh variabel-variabel yang signifikan berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta untuk Kabupaten Cilacap dengan 54

pembobot gaussian adalah β, β,, Kabupaten Cilacap adalah : µ β 1, 3 6 β8 10 dan β maka pemodelan untuk ( 70,811+ 0,0576X + 0,0637X + 0,0007X 0,0687X 1, X ) 1 = exp 1 3 6 8 6774 Model di atas menjelaskan bahwa jumlah penderita kusta akan bertambah sebesar exp(0,0576) jika X 1 bertambah 1% dengan syarat variabel lain konstan, hal yang sama juga berlaku untuk variabel X 3 dan X 6. Sebaliknya jumlah penderita kusta akan berkurang exp(0,0687) jika variabel X 8 bertambah satu satuan dengan syarat variabel lain konstan, hal sama berlaku untuk variabel X 10. Pengujian untuk masing-masing kabupaten kota dapat dilihat hasil estimasinya pada lampiran 7. Pada tabel 4.8 menyajikan hasil dari pengujian secara parsial untuk setiap wilayah yang kesimpulannya akan didapatkan variabel signifikan yang berbeda-beda di tiap kabupaten/kota. Tabel 4.8 Variabel signifikan dengan pembobot gaussian No. Kabupaten/kota Variabel signifikan 1 Cilacap X 1, X 3, X 6, X 8, X 10 2 Banyumas X 1, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 3 Purbalingga X 1, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 4 Banjarnegara X 1, X 3, X 5, X 6, X 7, X 8, X 10 5 Kebumen X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 10 6 Purworejo X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 7 Wonosobo X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 8 Magelang X 1, X 3, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 9 Boyolali X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X 10 10 Klaten X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X 10 11 Sukoharjo X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 12 Wonogiri X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 13 Karanganyar X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 14 Sragen X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 15 Grobogan X 7, X 9, X 10 16 Blora X 1, X 7, X 10 17 Rembang X 1, X 3, X 4, X 8 18 Pati X 1, X 2, X 8, X 10 19 Kudus X 2, X 8, X 9, X 10 10 55

Tabel 4.8 Variabel signifikan dengan pembobot gaussian (lanjutan) No. Kabupaten/kota Variabel signifikan 20 Jepara X 2, X 3, X 6, X 7, X 8, X 10 21 Demak X 2, X 3, X 6, X 9, X 10 22 Semarang X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 23 Temanggung X 1, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X 20 24 Kendal X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 10 25 Batang X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 26 Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 27 Pemalang X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 8, X 10 28 Tegal X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X 10 29 Brebes X 1, X 3, X 4, X 5, X 6, X 8, X 10 30 Kota Magelang X 1, X 3, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 31 Kota Surakarta X 1, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 32 Kota Salatiga X 1, X 3, X 6, X 8, X 9, X 10 33 Kota Semarang X 1, X 2, X 3, X 6, X 7, X 9, X 10 34 Kota Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 35 Kota Tegal X 1, X 3, X 4, X 5, X 6, X 8, X 10 Dari Tabel 4.8 kabupaten/kota di Jawa Tengah dikelompokan menjadi 21 kelompok menurut kesamaan variabel yang signifikan jika dilakukan pemodelan GWPR dengan pembobot kernel gaussian. Kelompok pertama yang memiliki 10 variabel yang signifikan adalah Kabupaten Semarang, Kabupaten Pekalongan, dan Kota Pekalongan. Kelompok Kabupaten Sukoharjo, Wonogiri, Sragen, Karanganyar dan Kota Surakarta merupakan kelompok kabupaten yang sinifikan terhadap 6 variabel yaitu persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), kepadatan penduduk (X 6 ), jumlah penyuluhan kesehatan kelompok (X 7 ), pengeluaran riil per kapita (X 8 ), persentase penduduk miskin (X 9 ), dan rata-rata lama sekolah (X 10 ). Kesamaan variabel yang signifikan tersebut terjadi di lokasi yang saling berdekatan seperti yang terlihat pada gambar 4.14 yang ditandai dengan pola yang bebeda-beda untuk masing-masing kelompok. 56

Variabel signifikan : X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X4, X5, X6, X8, X10 X1, X2, X3, X5, X6, X10 X1, X2, X3, X5, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X6, X7, X9, X10 X1, X2, X8, X10 X1, X3, X4, X5, X6, X8, X10 X1, X3, X4, X6, X7, X8, X10 X1, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X3, X4, X8 X1, X3, X5, X6, X7, X8, X10 X1, X3, X5, X6, X8, X10 X1, X3, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X3, X6, X8, X10 X1, X3, X6, X8, X9, X10 X1, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X7, X10 X2, X3, X6, X7, X8, X10 X2, X3, X6, X9, X10 X2, X8, X9, X10 X7, X9, X10 JEPARA KUDUS PATI REMBANG KOTA TEGAL KOTA PEKALONGAN DEMAK PEKALONGAN KENDAL BREBES PEMALANG KOTA SEMARANG BATANG TEGAL GROBOGAN BLORA TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA KOTA SALATIGA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP KOTA MAGELANG BOYOLALI MAGELANG KOTA SURAKARTA KARANGANYAR KEBUMEN SUKOHARJO KLATEN PURWOREJO WONOGIRI Gambar 4.14 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan variabel yang signifikan dengan pembobot kernel gaussian Kesamaan variabel yang signifikan juga terlihat pada Kabupaten Tegal, Boyolali, Klaten, dan Kota Salatiga yang signifikan terhadap persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), banyaknya dokter (X 3 ), banyaknya puskesmas (X 4 ), persentase penduduk berjenis kelamin laki-laki (X 5 ), kepadatan penduduk (X 6 ), pengeluaran riil per kapita (X 8 ), dan rata-rata lama sekolah penduduk (X 10 ). Persentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ) dan rata-rata lama sekolah penduduk (X 10 ) adalah variabel yang berpengaruh signifikan hampir di semua kabupaten/kota di Jawa Tengah. 57

Uji Parsial untuk estimasi parameter Kabupaten Cilacap dengan pembobot kernel bisquare adalah sebagai berikut. Tabel 4.9 Uji Parsial Model GWPR dengan pembobot kernel bisquare Parameter Estimasi Standar Error t hotung β 0 37,579 8,01 4,691* β 1 0,049 0,0045 10,737* β 2-0,0058 0,0049-1,182* β 3 0,049 0,0033 14,788* β 4-0,023 0,0075-3,054* β 5 0,0077 0,0926 0,083* β 6 0,0006 0,00003 17,156* β 7-0,000003 0,000002-1,649* β 8-0,044 0,0075-5,935* β 9-0,004 0,0118-0,351* β 10-1,619 0,0782-20,712* *) signifikan pada α=5% Di Kabupaten Cilacap parameter yang signifikan dengan penambahan pembobot bisquare adalah β 1, β3, β 4, β6, β8, dan β10 maka pemodelan untuk Kabupaten Cilacap adalah sebagai berikut: µ ( 37,579 + 0,049X + 0,049X 0,023X + 0,0006X 0,044X 1, X ) 1 = exp 1 3 4 6 8 619 Dari model tersebut dapat diartikan jika ada pertambahan satu satuan dari variabel X 1 maka jumlah penderita kusta akan bertambah sebanyak exp(0,049) dengan syarat variabel lain konstan, hal yang sama berlaku untuk variabel X 3 dan X 6. Sedangkan jika ada penambahan satu satuan dari variabel X 4 maka akan mengurangi jumlah penderita kusta sebanyak exp(0,023) dengan syarat variabel lain konstan, hal sama berlaku untuk variabel X 8 dan X 10. Pengujian untuk masing-masing kabupaten kota dapat dilihat hasil estimasinya pada lampiran 10. Tabel 4.10 menyajikan hasil dari pengujian secara parsial untuk setiap wilayah 10 58

yang kesimpulannya akan didapatkan variabel signifikan yang berbeda-beda di tiap kabupaten/kota. Tabel 4.10 Variabel signifikan dengan pembobot bisquare No. Kabupaten/kota Variabel signifikan 1 Cilacap X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 8, X 10 2 Banyumas X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 8, X 10 3 Purbalingga X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 10 4 Banjarnegara X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10 5 Kebumen X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 8, X 9, X 10 6 Purworejo X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 7 Wonosobo X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 8 Magelang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 9 Boyolali X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 10 Klaten X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 11 Sukoharjo X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 12 Wonogiri X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 13 Karanganyar X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 14 Sragen X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 15 Grobogan X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 16 Blora X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 17 Rembang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 18 Pati X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 19 Kudus X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 20 Jepara X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 21 Demak X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 22 Semarang X 1, X 3, X 4, X 6, X 8, X 10 23 Temanggung X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 24 Kendal X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 25 Batang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7,X 9,X 10 26 Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 10 27 Pemalang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 8, X 10 28 Tegal X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 29 Brebes X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 30 Kota Magelang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 31 Kota Surakarta X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 32 Kota Salatiga X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 33 Kota Semarang X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 9, X 10 34 Kota Pekalongan X 1, X 2, X 3, X 4, X 6, X 7, X 10 35 Kota Tegal X 1, X 2, X 3, X 5, X 6, X 8, X 10 Karena lebih banyak kabupaten/kota yang signifikan terhadap variabelvariabel yang sama pengelompokan berdasarkan variabel yang signifikan dalam 59

pemodelan GWPR dengan pembobot bisquare lebih sedikit dari pada pengelompokan menggunakan pembobot gaussian. Terdapat 9 kelompok kabupaten/kota berdasarkan variabel yang signifikan.kelompok terbanyak yaitu kelompok kabupaten yang signifikan terhadap variabel persentase rumah tangga ber-phbs (X1), persentase rumah sehat (X2), banyaknya dokter (X3), banyaknya puskesmas (X4), kepadatan penduduk (X6), persentase penduduk miskin (X8), dan rata-rata lama sekolah (X10) yang terdapat di Kabupaten Tegal dan beberapa kabupaten/kota yang berada bagian Timur yang wilayahnya saling berdekatan. Pengelompokan kabupaten berdasarkan variabel yang signifikan juga dapat dilihat pada gambar berikut. X1, X2, X3, X4, X6, X7, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X7, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X7,X9,X10 X1, X2, X3, X4, X6, X8, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X8, X9, X10 X1, X2, X3, X4, X6, X9, X10 X1, X2, X3, X5, X6, X8, X10 X1, X3, X4, X6, X8, X10 JEPARA KUDUS PATI KOTA TEGAL DEMAK PEKALONGAN BREBES KENDAL PEMALANG BATANG TEGAL GROBOGAN TEMANGGUNG PURBALINGGA SEMARANG BANJARNEGARA BANYUMAS WONOSOBO SRAGEN CILACAP MAGELANG BOYOLALI KARANGANYAR KEBUMEN KLATEN PURWOREJO REMBANG BLORA WONOGIRI Gambar 4.15 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan variabel yang signifikan dengan pembobot kernel adapive bisquare 60

Variabel yang signifikan disemua kabupaten/kota adalah pesentase rumah tangga ber-phbs (X 1 ), banyaknya dokter (X 3 ), kepadatan penduduk (X 6 ), dan rata-rata lama sekolah penduduk (X 10 ). Terbukti bahwa tidak hanya aspek kesehatan saja yang berpengaruh terhadap jumlah penderita kusta di suatu wilayah akan tetapi terdapat juga pengaruh dari aspek sosial, ekonomi, dan pendidikan walaupun nilai estimasinya berbeda-beda untuk tiap kabupaten/kota. Adanya permasalahan dari dari berbagai aspek perlu diperhatikan lagi agar jumlah penderita kusta dapat cepat disembuhkan dan penularannya tidak menyebar luas. 4.5 Pemilihan Model Terbaik Perbandingan antara model regresi poisson dan model GWPR dengan pembobot fungsi kernel gaussian dan bisquare bertujuan untuk mendapatkan model terbaik. Kriteria yang digunakan untuk pemilihan model terbaik adalah nilai AIC minimum, diketahui nilai AIC untuk tiap model adalah sebagai berikut Tabel 4.11 Perbandingan nilai AIC Model Nilai AIC Regresi Poisson 880,134 GWPR (gaussian) 307,294 GWPR (bisquare) 659,165 Berdasarkan tabel 4.11 diketahui model terbaik untuk pemodelan jumlah penderita kusta di Jawa Tengah tahun 2012 adalah model GWPR dengan pembobot kernel gaussian karena memiliki nilai AIC terkecil yaitu 307,294 dibandingkan dengan dua model lain. 61