BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan yang sedang dilaksanakan, baik sejak masa pemerintahan Orde Baru maupun masa reformasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB IV ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI KORPORASI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tersendiri. Pelaksanaan jual beli atas tanah yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian yang dilakukan penulis adalah terhadap penerapan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua instansi terkait (stakeholders) bertanggung jawab di bidang jalan;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dapat terlihat dengan adanya pembangunan pada sektor ekonomi seperti

III. METODE PENELITIAN. hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. masih tetap berlaku sebagai sumber utama. Unifikasi hak-hak perorangan atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat pertumbuhan ekonominya.

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari sebuah adegan di film Arwah Goyang Karawang, Julia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Dasar Hakim dalam Menerapkan Sanksi Pidana Di Bawah Minimum. Khusus Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

commit to user BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi merupakan proses semakin terbukanya kemungkinan interaksi ekonomi, politik, sosial, dan ideologi antar manusia sebagai individu maupun kelompok, yang berasal dari berbagai pelosok dunia yang semula dianggap terpisah-pisah baik oleh batas-batas geografis, politik, maupun kebudayaan. Makna yang terkandung dalam globalisasi terjadi di segala aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial budaya, IPTEK, dan sebagainya (Supanto, 2015:47). Globalisasi mengandung implikasi makna yang dalam di segala aspek kehidupan, terutama dibidang ekonomi karena ekonomi merupakan faktor utama pendorong globalisasi, dimana globalisasi telah memberikan dampak yang luar biasa sehingga satu negara dengan negara lain semakin saling tergantung dalam kehidupan ekonominya. Globalisasi di bidang ekonomi ditandai dengan berkurangnya kedaulatan negara mengelola ekonomi nasionalnya, cenderung telah digantikan lembaga-lembaga dan korporasi internasional, hubungan antarmanusia melampaui batas negara, hubungan antarnegara bukan didasarkan pada ideologi, tetapi lebih pada kepentingan ekonomi, dimana proses globalisasi ini bersifat multidimensional dan saling berhubungan di semua aspek kehidupan yang semakin meningkatkan peran korporasi (Supanto, 2010:33). Dapat dikatakan kemajuan ekonomi pada era globalisasi dikuasai oleh peran korporasi dalam kegiatan usahanya. Kemajuan ekonomi pada era globalisasi ini disamping membawa manfaat bagi kehidupan ekonomi masyarakat, juga membawa masalah serius baru yang diantaranya 1

2 munculnya bentuk kejahatan ekonomi yang lebih canggih karena didukung oleh faktor kemajuan teknologi, informasi, ilmu pengetahuan dan perdagangan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Mahrus Ali yang menyatakan bahwa munculnya bentuk kejahatan baru yang begitu kompleks seperti kejahatan komputer, korupsi, perbankan, konsumen, money laundering, pencemaran lingkungan hidup, dan kejahatan korporasi, sesungguhnya merupakan konsekuensi dari perkembangan IPTEK yang menimbulkan efek positif maupun efek negatif (Mahrus Ali, 2008:3). Kongres PBB V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum (the Prevention of Crime and Treatment of Offender) tahun 1975 kemudian dipertegas kembali dalam Kongres PBB VII tahun 1985, menunjukkan mengenai kejahatan bentuk baru yang dilakukan oleh korporasi yang digerakan oleh pengusaha terhormat yang membawa dampak sangat negatif pada perekonomian negara yang bersangkutan, hal ini memiliki arti bahwa kejahatan korporasi di era globalisasi telah mengakibatkan kekhawatiran masyarakat dunia, sehingga diperlukan penegakan hukum atas korporasi yang melakukan kejahatan (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:4). Mengenai perkembangan kejahatan korporasi, J.E. Sahetapy mengemukakan bahwa kejahatan korporasi bukan merupakan barang baru, tetapi hanya kemasan, bentuk dan perwujudannya yang baru. Karena kejahatan korporasi sudah ada sejak lebih dari tiga ribu tahun yang lalu atau pada abad 24 Masehi di Mesir. Oleh karena itu, kejahatan korporasi di era globalisasi menunjukkan perkembangan dalam modus menyimpang yang semakin canggih karena didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menyamarkan kejahatannya nampak seperti kegiatan usaha yang sah. (J.E Sahetapy, 1994 : 4).

3 Pengaruh perkembangan yang luar biasa dalam kegiatan usaha yang dilakukan oleh suatu korporasi menjadikan korporasi memiliki kekuasaan ekonomi, sosial, dan politik yang luar biasa. Terkait dengan hal tersebut I.S. Susanto sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Dwidja Priyatno mengemukakan bahwa hampir seluruh kebutuhan kita dapat dilayani oleh korporasi, sehingga dapat dikatakan bahwa sejak di dalam kandungan hingga di liang kubur kita di bawah kekuasaan korporasi (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:6). Keberadaan korporasi yang memiliki peranan penting sehingga menguasai berbagai aspek kehidupan manusia dalam kegiatan usahanya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya yang dilakukan dengan segala cara, menimbulkan keruskan atau kerugian yang besar pada masyarakat baik materiil maupun immateriil, yang terkadang masyarakat tidak menyadari bahwa mereka merupakan korban dari kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Hal tersebut terjadi karena kegiatan korporasi menampakkan diri semacam metamorfosa ke dalam bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang normal, sehingga tidak mudah untuk dikenal, karena kegiatan ekonomi yang dilakukan sah sebagaimana kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya (Supanto, 2010:22). Selain itu, modus operandi kejahatan korporasi dilakukan secara terselubung, terorganisir dan berdasarkan keahlian tertentu yang dimiliki oleh seseorang. Sehingga sulit untuk menentukan pelaku kejahatan, dan membuktikan hubungan kausal secara langsung antara perbuatan dengan timbulnya korban (Hanafi, 1994:24). Kegiatan usaha korporasi yang diikuti dengan pelanggaran-pelanggaran hukum yang tidak hanya merugikan negara, akan tetapi juga merugikan masyarakat telah mengarah kepada hukum pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana.

4 Salah satu bentuk tindak pidana yang paling disoroti di Indonesia adalah tindak pidana korupsi. Hampir setiap hari diberitakan oleh berbagai media massa baik cetak maupun elektronik mengenai praktik terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam praktik tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia bukan saja melibatkan orang atau manusia alamiah saja, akan tetapi sering terjadi praktik tindak pidana korupsi melibatkan korporasi atau bahkan dilakukan oleh korporasi. Hal ini terjadi karena kenyataan pada era globalisasi ini korporasi semakin memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam bidang ekonomi dan dalam kaitannya sering terlibat dalam tindak pidana, termasuk juga dalam tindak pidana korupsi di Indonesia. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi merupakan fenomena yang berkembang pesat pada era globalisasi ini. Tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dilakukan dengan berbagai modus, menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku dengan tujuan untuk menguntungkan korporasi. Korupsi yang dilakukan oleh korporasi membawa dampak kerugian pada perekonomian dan keuangan negara, yang berakibat pada terganggunya pembangunan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sering lolos dari jerat hukum, hal ini terjadi karena penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi sangat jarang dihadapkan di pengadilan. Biasanya hanya pengurus korporasi saja yang dianggap bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Padahal arah penegakan hukum yang diharapkan oleh masyarakat agar korupsi yang dilakukan oleh korporasi tidak cukup hanya menjerat direksi atau pengurus korporasi saja, tetapi menempatkan korporasi untuk bertanggung jawab atas tindak pidana korupsi (Henry Donald, 2014:398).

5 Putusan pengadilan dengan proses persidangan terhadap suatu korporasi, dalam artian korporasi diajukan sebagai terdakwa ke hadapan pengadilan yang satu-satunya pernah dilakukan adalah sebagaimana yang diputuskan terhadap terdakwa PT Giri Jaladhi Wana oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin. Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dijadikan terdakwa dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin. PT Giri Jaladhi Wana selaku terdakwa diajukan ke hadapan pengadilan setelah Stevanus Widagdo, Direktur Utama PT Giri Jaladhi Wana pada perkara yang sama telah terlebih dahulu dihadapkan ke persidangan dan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. PT Giri Jaladhi Wana telah melakukan penyimpanganpenyimpangan dalam pembangunan Pasar Sentra Antasari dan dengan sengaja tidak membayarkan uang pengelolaan Pasar Sentra Antasari kepada kas daerah Pemerintah Kota Banjarmasin sehingga berdasarkan perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Kalimantan Selatan merugikan keuangan Negara c.q. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp7.332.361.516,00 (tujuh miliar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu ribu lima ratus enam belas rupiah) dan merugikan PT Bank Mandiri, Tbk., sebesar Rp199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh sembilan miliar lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima rupiah enam puluh lima sen) atas penyimpangan penggunaan kredit modal kerja dari PT Bank Mandiri, Tbk., untuk pembangunan Pasar Sentra Antasari oleh PT Giri Jaladhi Wana. Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin dengan terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dalam tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari patut diapresiasi, karena putusan ini dapat menjadi acuan bagi aparat penegak

6 hukum untuk mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, khususnya perkara korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan menempatkan korporasi sebagai terdakwa di hadapan persidangan. Tindak pidana korupsi lain yang dilakukan dan melibatkan peran korporasi adalah tindak pidana korupsi videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Dalam tindak pidana korupsi videotron tersebut, Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel menjadikan sopir sekaligus Office Boy (OB) di kantornya yang bernama Hendra Saputra sebagai Direktur Utama PT Imaji Media untuk kepentingan memperoleh proyek pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). PT Imaji Media berdiri dengan akta pendirian Perseroan Terbatas No. 2 tanggal 1 Februari 2012 dengan Hendra Saputra sebagai Direktur Utamanya. Terkait dengan Riefan Avrian yang sebenarnya merupakan pemilik PT Imaji Media, kemudian mengurus segala kelengkapan pendirian PT Imaji Media. Sebagaimana maksud Riefan Avrian mendirikan PT Imaji Media dengan menunjuk Hendra Saputra sebagai Direktur Utama adalah untuk mendapatkan proyek pengadaan videotron. Kemudian setelah proses lelang berlangsung PT Imaji Media menjadi pemenang pengadaan 2 (dua) unit videotron dengan pagu anggaran Rp23.501.000.000,00 (dua puluh tiga miliar lima ratus satu juta rupiah). Dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron, PT Imaji Media tidak melakukan pekerjaan sebagaimana telah disepakati dalam kontrak, dan malah menyerahkan semua pekerjaan pengadaan videotron kepada Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel tanpa adanya perjanjian kerjasama operasi atau kemitraan antara Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media dengan Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel dan tanpa addendum kontrak.

7 Selanjutnya, dalam pelaksanaan pekerjaan pengadaan videotron yang bukan dilakukan oleh PT Imaji Media tetapi oleh PT Rifuel, terdapat pekerjaan yang tidak dikerjakan maupun pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasinya, dan berdasarkan audit yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) jumlah kerugian negara atas penyimpangan tersebut adalah sebesar Rp4.780.298.934,00 (empat miliar tujuh ratus delapan puluh juta dua ratus sembilan puluh delapan ribu sembilan ratus tiga puluh empat rupiah). Tindak pidana korupsi pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) tersebut diatas menempatkan Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media dan Riefan Avrian selaku Direktur Utama PT Rifuel dan terbukti sebagai pemilik PT Imaji Media (dilakukan penuntutan secara terpisah dengan terdakwa atas nama Hendra Saputra) sebagai terdakwa, artinya hanya dilakukan penuntutan terhadap manusia alamiah sebagai subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi. Mencermati hal tersebut diatas, terdapat hal penting yang terlupakan dalam korupsi pengadaan videotron, yaitu peran korporasi dalam hal ini PT Rifuel dan PT Imaji Media, terutama peran PT Imaji Media yang sejak awal pendiriannya memang didesain untuk melakukan tindak pidana korupsi pada pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst sama sekali tidak menjerat hukum atas keterlibatan dan peran penting PT Imaji Media pada korupsi pengadaan videotron. Hal ini berbeda dengan korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari yang menempatkan PT Giri Jaladhi Wana sebagai terdakwa di hadapan persidangan untuk dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam penanganan tindak pidana korupsi videotron ini sebenarnya

8 aparat penegak hukum dapat mengacu pada Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin yang menjerat korporasi dalam terjadinya tindak pidana korupsi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan dipertanggungjawabkan secara pidana. Mengenai penggunaan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sebenarnya telah mengakui korporasi sebagai pembuat tindak pidana bersama dengan manusia, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam korupsi pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) sebenarnya dapat menempatkan korporasi yaitu PT Imaji Media sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Fakta yang terjadi terhadap penanganan atas korupsi yang dilakukan oleh korporasi adalah korporasi sering lolos dari jerat hukum, karena aparat penegak hukum hanya berfokus pada manusia sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Muladi dan Diah Sulistiyani dalam bukunya mengungkapkan bahwa salah satu fenomena menarik di Indonesia adalah jarang diterapkannya pemidanaan terhadap korporasi, padahal syaratsyarat pemidanaan sudah memadai dan perundang-undangan sangat mendukung (Muladi dan Diah Sulistiyani, 2015:9). Peran penting korporasi dalam terjadinya tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa tidak cukup hanya dengan menjatuhkan pidana terhadap pengurusnya saja, sebab keuntungan yang diperoleh korporasi jauh lebih besar, sehingga tidak sebanding dengan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pengurus, dan kerugian yang dialami oleh masyarakat dan negara. Dipidananya pengurus tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak akan sekali lagi melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang (Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010:19).

9 Sehubungan dengan kurangnya penegakan hukum terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan semangat untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi, oleh karena itu, untuk mengantisipasi tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dengan didasarkan pada asas res ipsa loquitor (fakta sudah berbicara sendiri) dan dengan memanfaatkan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang telah dikenal dalam studi hukum pidana di Indonesia, sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Terkait permasalahan diatas penulis melakukan penelitian tentang pertanggungjawaban pidana korporasi yang menyangkut tentang tindak pidana korupsi, dengan analisa yang dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin yang telah menempatkan korporasi sebagai terdakwa dan dipertanggungjawabkan secara pidana serta Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tindak pidana korupsi dengan terdakwa atas nama Hendra Saputra selaku Direktur Utama PT Imaji Media dalam pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Maka penulis memberikan judul pada penelitian ini: Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Studi Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst).

10 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya dikaji dan diteliti lebih rinci dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi? 2. Apakah prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang seharusnya dapat diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian pada hakekatnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh peneliti. Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian agar sesuai dengan tujuan dilaksanakannya penelitian tersebut. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Objektif a. Mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan sistem pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi; dan b. Mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang seharusnya dapat diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst.

11 2. Tujuan Subjektif a. Memenuhi persyaratan akademis dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta; b. Memperluas wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis di bidang ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana pada khususnya;dan c. Melatih kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum, mengembangkan, dan memperluas pemikiran serta pengetahuan yang diperoleh penulis selama menempuh perkuliahan di fakultas hukum. D. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan adanya suatu manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan, sebab besar kecilnya manfaat penelitian akan menentukan nilai-nilai dari penelitian tersebut. Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat pada pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya; dan b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi mengenai prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dan literatur berbagai pihak dalam hal ini kalangan akademisi dan kalangan penegak hukum. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti oleh penulis secara benar dan bukan hanya penalaran saja sehingga sesuai tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum;

12 b. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang ilmiah serta untuk mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dapat menerapkan ilmu yang diperoleh;dan c. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya. E. Metode Penelitian Penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014:47). Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2014:60). Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori hukum maupun konsep baru sebagai peskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Agar suatu penelitian hukum dapat dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan suatu metode yang tepat. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Ditinjau dari sudut penelitian hukum itu sendiri, jenis penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau dikenal juga sebagai penelitian doktrinal, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan mendasarkan hukum sebagai suatu norma (Peter Mahmud Marzuki, 2014:55-56). Dalam hal

13 ini penulis melakukan penelitian terhadap Putusan Nomor 812/ Pid.Sus/2010/PN.BJM. dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. yang merupakan data sekunder dengan jenis bahan hukum primer. 2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif, untuk memecahkan isu hukum yang diajukan. Hasil yang hendak dicapai adalah memberikan peskripsi mengenai apa yang seyogianya (Peter Mahmud Marzuki, 2014:130). Dalam hal ini penerapan prinsip-prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi pada Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM. dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. Penelitian bersifat peskriptif dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan. Argumentasi dilakukan untuk memberikan preskriptif atau penelitian mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta-fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian. 3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatanpendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2014:133). Pendekatan penelitian ini dilakukan dengan pendekatan undangundang (statute approach), pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan komparatif (comparative approach). Pendekatan undang-undang menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang

14 Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pendekatan kasus yang digunakan yaitu Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM. dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst., lalu yang perlu dipahami dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusan. Ratio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014:134). Selanjutnya pendekatan komparatif dengan membandingkan Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM. dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst., dalam masalah yang sama yaitu terkait tindak pidana korupsi. 4. Jenis dan Sumber Hukum Penelitian hukum tidak mengenal adanya data, untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder (Peter Mahmud Marzuki, 2014:81) : a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2014:181). Bahan hukum primer dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 2) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM;dan 3) Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:181). 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan studi kepustakaan, yaitu dengan pengumpulan dan identifikasi bahan hukum, baik bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penelusuran bahan hukum dapat dilakukan dengan membaca peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen resmi maupun literaturliteratur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas. Dari bahan hukum primer dan sekunder tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan di dalam penelitian hukum ini. 6. Teknis Analisis Bahan Hukum Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode silogisme yang menggunakan pola berpikir deduktif, yaitu dengan cara berpikir pada prinsip-prinsip dasar, kemudian penelitian menghadirkan obyek yang akan diteliti guna menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus. Sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor,

16 kemudian diajukan premis minor, dan dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan (Peter Mahmud Marzuki, 2014:89). F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi bahasan penelitian hukum penulis, penulisan hukum ini akan dibagi menjadi 4 (empat) bab, yaitu : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan, penulis akan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum. Latar belakang masalah dalam penelitian ini terlebih dahulu menjelaskan mengenai perkembangan kejahatan korporasi pada era globalisasi dan fenomena tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi di Indonesia, yang dalam penelitian ini menyajikan dua tindak pidana korupsi yang dilakukan korporasi dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yaitu tindak pidana korupsi pembangunan dan pengelolaan Pasar Sentra Antasari Kota Banjarmasin yang dilakukan oleh PT Giri Jaladhi Wana dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst. yaitu tindak pidana korupsi pengadaan videotron di Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang dilakukan oleh PT Imaji Media. Kemudian menjelaskan mengenai pentingnya mempertanggungjawabkan pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan prinsipprinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang telah dikenal dalam studi Hukum Pidana Indonesia.

17 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini, penulis akan membagi menjadi dua kategori yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran, kerangka teori membahas mengenai tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime dan white collar crime, kejahatan korporasi sebagai white collar crime, pertanggungjawaban pidana korporasi dan putusan pengadilan dalam perkara pidana. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini, penulis menguraikan pembahasan dan hasil yang diperoleh dari proses penelitian dan analisis penulis sebagai jawaban atas rumusan masalah yang menjadi dasar penulis melakukan penelitian hukum berdasarkan judul Penerapan Prinsip Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM dan Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst). BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini, penulis menguraikan kesimpulan dari penelitian penulisan hukum ini (skripsi) yang merupakan jawaban dari rumusan masalah mengenai sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dan pemidanaan terhadap korporasi dalam tindak pidana korupsi serta prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi yang diterapkan sebagai dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam Putusan Nomor 812/Pid.Sus/2010/PN.BJM yang seharusnya dapat diterapkan dalam Putusan Nomor 36/Pid.Sus/TPK/2014/PN.Jkt.Pst.