4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

3. METODOLOGI PENELITIAN

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

SPESIFIKASI PEKERJAAN SURVEI HIDROGRAFI Jurusan Survei dan Pemetaan UNIVERSITAS INDO GLOBAL MANDIRI

Bab III METODOLOGI PENELITIAN. Diagram alur perhitungan struktur dermaga dan fasilitas

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai PASANG SURUT. Oleh. Nama : NIM :

KARAKTERISTIK PASANG SURUT DI PERAIRAN KALIANGET KEBUPATEN SUMENEP

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGANTAR OCEANOGRAFI. Disusun Oleh : ARINI QURRATA A YUN H

Pengertian Pasang Surut

STUDI PENENTUAN DRAFT DAN LEBAR IDEAL KAPAL TERHADAP ALUR PELAYARAN (Studi Kasus: Alur Pelayaran Barat Surabaya)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

KL 4099 Tugas Akhir. Desain Pengamananan Pantai Manokwari dan Pantai Pulau Mansinam Kabupaten Manokwari. Bab 1 PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

Lampiran 1. Data komponen pasut dari DISHIDROS

3. METODOLOGI PENELITIAN

Pembuatan Alur Pelayaran dalam Rencana Pelabuhan Marina Pantai Boom, Banyuwangi

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB III PENGAMBILAN DAN PENGOLAHAN DATA

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 5, Nomor 2, Tahun 2016, Halaman Online di :

BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2014 INTERPRETASI STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH LEUWIDAMAR BERDASARKAN ANALISIS SPEKTRAL DATA GAYABERAT

Pengukuran Debit. Persyaratan lokasi pengukuran debit dengan mempertimbangkan factor-faktor, sebagai berikut:

Bab 3. Pengumpulan dan Pengolahan Data. Bab 3 Pengumpulan dan Pengolahan Data. 3.1 Pengumpulan Data

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Pulau Panjang (310 ha), Pulau Rakata (1.400 ha) dan Pulau Anak Krakatau (320

BAB III PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN Data survey Hidrografi

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

Perbandingan Akurasi Prediksi Pasang Surut Antara Metode Admiralty dan Metode Least Square

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Kompetensi Semester 1

Pemetaan Batimetri dan Sedimen Dasar di Perairan Karangsong, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat

BAB II LANDASAN TEORI SUNGAI DAN PASANG SURUT

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

3 Kondisi Fisik Lokasi Studi

Gambar 3.1. Rencana jalur survei tahap I [Tim Navigasi Survei LKI, 2009]

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

BAB 3 VERIFIKASI POSISI PIPA BAWAH LAUT PASCA PEMASANGAN

II TINJAUAN PUSTAKA Pas Pa ang Surut Teor 1 Te Pembentukan Pasut a. Teor i Kesetimbangan

HIBAH PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA JUDUL PENELITIAN STUDI ANALISIS PENDANGKALAN KOLAM DAN ALUR PELAYARAN PPN PENGAMBENGAN JEMBRANA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODOLOGI. Penelitian tentang Kinerja OTT PS 1 Sebagai Alat Pengukur Pasang Surut

KOMPUTASI DATA MULTIBEAM SONAR UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN SELAT SUNDA

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

(a). Vektor kecepatan arus pada saat pasang, time-step 95.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Praktikum M.K. Oseanografi Hari / Tanggal : Dosen : 1. Nilai BATIMETRI. Oleh. Nama : NIM :

Simulasi Arus dan Distribusi Sedimen secara 3 Dimensi di Pantai Selatan Jawa

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SEBARAN TOTAL SUSPENDED SOLID (TSS) DI PERAIRAN SEPANJANG JEMBATAN SURAMADU KABUPATEN BANGKALAN

UJI KETELITIAN DATA KEDALAMAN PERAIRAN MENGGUNAKAN STANDAR IHO SP-44 DAN UJI STATISTIK (Studi Kasus : Daerah Pantai Barat Aceh)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

Analisa Perubahan Garis Pantai Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban

Oleh : Ida Ayu Rachmayanti, Yuwono, Danar Guruh. Program Studi Teknik Geomatika ITS Sukolilo, Surabaya

BAB I PENDAHULUAN I.1

STUDI SEBARAN SEDIMEN SECARA VERTIKAL DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Simulasi Pola Arus Dua Dimensi Di Perairan Teluk Pelabuhan Ratu Pada Bulan September 2004

BAB III 3. METODOLOGI

DAFTAR ISI Hasil Uji Model Hidraulik UWS di Pelabuhan PT. Pertamina RU VI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Prosiding PIT VII ISOI 2010 ISBN : Halaman POLA SPASIAL KEDALAMAN PERAIRAN DI TELUK BUNGUS, KOTA PADANG

ANALISIS PASANG SURUT PERAIRAN MUARA SUNGAI MESJID DUMAI ABSTRACT. Keywords: Tidal range, harmonic analyze, Formzahl constant

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1

BAB III DATA PERENCANAAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ketentuan International Hydrographic Organisation (IHO) Standards

Oleh Satria Yudha Asmara Perdana Pembimbing Eko Minarto, M.Si Drs. Helfinalis M.Sc

BAB 2 DATA DAN METODA

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

BAB II TEORI TERKAIT

TERBATAS 1 BAB II KETENTUAN SURVEI HIDROGRAFI. Tabel 1. Daftar Standard Minimum untuk Survei Hidrografi

PENGUMPULAN DATA DAN ANALISA

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

STUDI PARAMETER OSEANOGRAFI DI PERAIRAN SELAT MADURA KABUPATEN BANGKALAN

Perencanaan Detail Pembangunan Dermaga Pelabuhan Petikemas Tanjungwangi Kabupaten Banyuwangi

PENDAHULUAN. I.2 Tujuan

Studi Tipe Pasang Surut di Pulau Parang Kepulauan Karimunjawa Jepara, Jawa Tengah

1.2 Tujuan. 1.3 Metodologi

JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di :

Pendangkalan Alur Pelayaran di Pelabuhan Pulau Baai Bengkulu

Bray, R.N. Dredging a Hand Book For Engineer. Edward Arnold Ltd. London

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

PROSES DAN TIPE PASANG SURUT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang langsung bertemu dengan laut, sedangkan estuari adalah bagian dari sungai

Transkripsi:

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari dan bulan. Data hasil pengamatan diuraikan menjadi komponen harmonik. Hasil akhir perhitungan dengan menggunakan metode admiralty dapat dilihat pada Tablel 4 berikut. Tabel 4. Konstanta harmonik di lokasi penelitian S 0 M 2 S 2 N 2 K 1 O 1 M 4 MS 4 K 2 P 1 A (cm) 136.5 21.65 10.88 3.04 12.24 4.66 0.26 0.94 2.94 4.04 G 0 103.38 25.47 247.63 264.87 353.6 210.29 148.98 25.47 264.87 Keterangan : A = Amplitudo harmonik ke-n G 0 = Fase perlambatan S 0 = Muka laut rata-rata (mean sea level) M 2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh posisi bulan S 2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh posisi matahari N 2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh perubahan jarak bulan K 1 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan dan matahari O 1 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi bulan M 4 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh pengaruh ganda M 2 MS 4 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh interaksi antara M 2 dan S 2 K 2 = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh perubahan jarak matahari = Konstanta harmonik yang dipengaruhi oleh deklinasi matahari P 1 Konstanta harmonik tersebut dapat digunakan untuk berbagai keperluan, yaitu koreksi batimetri. Menurut Sasmita (2008) untuk mengurangi kesalahan, nilai kedalaman yang didapatkan dari pemeruman dikoreksi dengan menggunakan nilai Mean Sea Level (MSL) sehingga menghasilkan data kedalaman yang akurat. Selain itu juga konstanta harmonik berguna untuk menghitung berbagai elevasi 29

30 atau chart datum yang dapat digunakan sebagai referensi ketinggian dengan diikatkan ke bench mark. Berdasarkan konstanta harmonik di atas diperoleh nilai bilangan formzahl sebesar 0,52. Hal ini menujukkan bahwa pada lokasi penelitian mempunyai tipe pasang surut campuran. Hasil ini menunjukkan hasil yang sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Witasari dan Rubiman (2003), menjelaskan pasang surut di perairan Selat Sunda memiliki tipe pasang surut campuran dominan ganda. Gambar 14 menunjukan pasang surut di lokasi penelitian dengan sumbu x sebagai waktu pengambilan data dan sumbu y sebagai tinggi pasang surut. Nilai kisaran pasang surut di lokasi penelitian sebesar 0,85-1,68 m. Gambar 14. Pasang surut di lokasi penelitian pada bulan Desember 2010 Pasang surut tipe campuran merupakan tipe pasang surut yang memungkinkan dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi dan periode yang berbeda. Data pasang surut pada suatu wilayah dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pembangunan infrastruktur, khususnya dalam pemodelan desain konstruksi. Nilai MSL yang diperoleh 136,5 cm, nilai inilah yang digunakan dalam pengoreksian data kedalaman dari hasil

31 pemeruman. Nilai MSL diartikan sebagai tinggi muka air rata-rata antara muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata, elevasi ini sering digunakan sebagai referensi elevasi di daratan. Siswanto (2010) menyatakan bahwa tipe pasang surut campuran mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran dan distribusi sedimen permukaan dasar, sehingga hal demikian sesuai bila pada perairan ini akan dibangun sebuah jembatan. 4.2. Profil Batimetri Profil batimetri dapat memberikan informasi mengenai struktur dan asal pembentukan dasar laut karena dasar perairan sendiri dapat berupa pasir, lumpur, atau batuan. Profil batimetri merupakan informasi awal dalam pertimbangan kegiatan bawah laut seperti pemasangan kabel dan peletakan pipa bawah laut. Kemiringan dan unsur yang menyusun dasar perairan merupakan hal yang sangat dipertimbangkan dalam kegiatan tersebut. Jalur pipa dan kabel bawah laut ditentukan secara optimal dengan mengacu pada peta geologi dasar laut. Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik karena perairan tersebut mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang berbeda yaitu dari perairan Laut Jawa sebagai perairan dangkal dan dari perairan Samudra Hindia. Gambar 15 merupakan jalur atau track kapal survei batimetri yang dilakukan di lokasi penelitian oleh BPPT.

32 P. Sangiang Gambar 15. Track kapal survei batimetri di lokasi penelitian Profil batimetri perairan Selat Sunda mempunyai gradasi yang nyata, hal tersebut ditunjukkan dari hasil pemeruman kedalaman bervariasi antara 17,5 m sampai dengan 175 m. Perubahan kedalaman terjadi secara bergradasi mulai dari perairan Banten dan berangsur-angsur bertambah dalam menuju ke perairan Lampung. Nilai keakuratan data yang diperoleh selama akuisisi dijaga agar selalu tinggi. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan peta batimetri yang akurat. Berdasarkan ketentuan IHO Tahun 2008, lokasi penelitian termasuk dalam orde dua dengan ketelitian horizontal sebesar 150 meter. Spasi lajur perum maksimum orde ini yaitu empat kali kedalaman rata-rata. Special Publication No. 44 (S.44)- IHO Tahun 1998 menjelaskan bahwa skala pemeruman menentukan resolusi dari

33 peta batimetri yang dihasilkan (Lampiran 3). Gambar 16 merupakan profil tiga dimensi batimetri lokasi penelitian. 5 0 52 S E E E E 5 0 52 S 5 0 54 S 5 0 54 S 5 0 56 S 5 0 56 S P. Sangiang 5 0 58 S 5 0 58 S 6 0 00 S 6 0 00 S 6 0 02 S 6 0 02 S E E E E Gambar 16. Profil 3 dimensi batimetri lokasi penelitian

34 Gambar 16 menunjukkan profil batimetri Selat Sunda yang diperoleh dari hasil pemeruman, dimana pada gambar tersebut terlihat pola batimetri yang tidak rata. Hasil pemeruman menujukkan bahwa perairan ini termasuk dalam kategori perairan dangkal dengan kedalaman rata-rata antara 35-52,5 m. Kedalaman perairan yang terdeteksi menunjukkan adanya variasi kedalaman yang berbeda untuk setiap posisi lintang dan bujur, ada yang berupa paparan dan ada juga yang berupa slope. Kedalaman tertinggi berada kordinat 5 0 54 32,14 LS dan 105 0 47 19,21 BT dengan nilai kedalaman antara 157,5-175,5 m. Posisi tersebut merupakan sebuah palung, yaitu dasar laut yang dalam yang biasanya diakibatkan oleh menyusupnya lempeng samudera ke bawah lempeng benua. Jadi lokasi palung berada di daerah-daerah tumbukan lempeng benua dan samudera. Kedalaman palung sangat berbeda dengan kedalaman di daerah sekitarnya. Selain itu juga palung terdapat pada kordinat 6 0 00 58,12 LS dan 105 0 51 46,38 BT. Palung pada kordinat ini terbentuk lebih lebar namun memiliki kedalaman yang berbeda, yakni lebih dangkal berkisar antara 140-157,5 m. 4.3. Klasifikasi Dasar Perairan Sedimen laut merupakan akumulasi dari mineral-mineral dan pecahanpecahan batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk melalui proses kimia yang terjadi di laut (Gross, 1999). Selat sunda mempunyai jenis sedimen yang beragam, menurut Helfinalis (2003) jenis sedimen di dasar perairan Selat Sunda terdiri atas clayey silt, sand, silty clay, clayey sand, silt, silty sand dan sandy silt.

35 Jenis sedimen clayey silt tersebar dari perairan barat Banten hingga ke sisi perairan timur Bakauhuni. Penyebaran tersebut sangat dipengaruhi oleh aktifitas arus yang melintasi perairan Selat Sunda. Klasifikasi jenis sedimen dasar laut dapat dilakukan dengan menggunakan nilai sebaran amplitudo, yaitu kuatnya intensitas sinyal suara yang diterima oleh receiver dalam bentuk energi listrik. Data amplitudo difilter dan diinterpolasi dengan menggunakan metode Gaussian Weighted Mean. Pemilihan metode tersebut dilakukan untuk mendapatkan nilai amplitudo seluruh lokasi pemeruman. Gaussian Weighted Mean melakukan pemfilteran terhadap data amplitudo dari setiap beam. Amplitudo pada metode ini merupakan fungsi eksponensial dari arah antar beam dan normal factor. Nilai amplitudo yang digunakan sebagai patokan dalam klasifikasi jenis sedimen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti source level, frekuensi yang digunakan, sudut datang, jarak kolom air, kekerasan, kekasaran, ukuran butiran, densitas dan luas permukaan (Urick, 1983). Berdasarkan data survei PPPGL terdapat 22 stasiun pengambilan data sampel coring dengan jenis sedimen yang teridentifikitasi yaitu silty sand, sandy silt, sand dan rocks (Lampiran 4). Setiap sampel coring memiliki data posisi atau kordinat, kordinat tersebut dioverlay terhadap nilai amplitudo yang dihasilkan dari hasil pemeruman. Setiap jenis sedimen akan mempunyai kisaran amplitudo, nilai inilah yang digunakan untuk klasifikasi dasar perairan. Kisaran nilai amplitudo dari setiap jenis sedimen dapat dilihat pada Gambar 17.

36 Gambar 17. Grafik sebaran nilai amplitudo berdasarkan data coring Pengambilan data sampel coring dilakukan di sekitar jalur penelitian. Gambar 17 menunjukkan sebaran nilai ampltitudo dasar perairan yang diperoleh dari data pemeruman yang telah diekstrak dengan mencocokkan kordinat sampel coring. Berdasarkan hasil pencocokan tersebut diperoleh sebaran nilai amplitudo dengan nilai minimum sebesar 250 dan nilai maksimum sebesar 500. Kisaran nilai amplitudo tersebut didasarkan pada jenis sedimen yang ditemui dari hasil pengambilan sampel coring, dimana terdiri atas empat jenis sedimen yaitu, silty sand, sandy silt, sand dan rocks. Keempat jenis sedimen tersebut kemudian diplotkan kedalam peta klasifikasi dasar perairan. Penelitian mengenai klasifikasi jenis sedimen dasar laut menggunakan nilai amplitudo dicocokkan dengan hasil pengambilan sampel coring telah dilakukan oleh Aritonang pada tahun 2010 di perairan Labuhan Maringgai (Lampung)-Bojonegara (Banten) menggunakan data multibeam Elac Seabeam 1050 D. Penelitian yang sama dilakukan oleh Gumbira pada tahun 2011 sebagai

37 pertimbangan dalam kegiatan peletakan pipa bawah laut di perairan Balongan, Indramayu. Hasil penelitian tersebut menujukkan sebaran sedimen di lokasi penelitain dengan kisaran ampltitudo tertentu yang bergantung pada jenis sedimennya. Tabel 5 memperlihatkan kisaran ampltitudo dan jenis sedimen dari penelitian yang pernah dilakukan. Tabel 5. Kisaran ampltitudo dan jenis sedimen di lokasi penelitian Peneliti Kisaran Amplitudo Jenis Sedimen Ukuran Butiran (mm) 311-352 Silty clay 0,004-0,062 Aritonang 352-399 Clayey silt <0,004 (2010) 399-428 Sandy silt 0,062-2 Gumbira (2011) Penelitian ini (2012) 300-350 Silt 0,01-0,08 350-400 Silty clay 0,008-0,01 400-450 Clayey silt 0,001-0,01 250-297 Silty Sand 0,004-0,04 297-360 Sandy Silt 0,04-0,062 360-403 Sand 0,062-2 403-500 Rocks > 256 Dasar perairan laut memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya permukaan perairan laut. Perbedaan nilai amplitudo yang didapatkan disebabkan kedalaman kolom perairan dan ukuran butiran sedimen yang berbeda (Urick, 1983). Nilai amplitudo yang berada di luar kisaran dianggap sebagai data yang tidak terdeteksi. Nilai amplitudo difilter sehingga hanya dihasilkan nilai amplitudo dari lokasi penelitian. Nilai inilah yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat sebaran sedimen di lokasi penelitian. Gambar 18 merupakan perbedaan antara nilai ampltitudo yang belum difilter dan setelah difilter.

38 P. Sangiang P. Sangiang a b Gambar 18. Kisaran nilai amplitudo: (a) sebelum difilter, (b) setelah difilter Gambar 18a merupakan kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian yang belum difilter. Pada gambar tersebut terdapat dua kisaran nilai amplitudo yang mempunyai selang sangat besar, pertama pada nilai amplitudo terendah yaitu pada selang -371,096 ke 267,273 dan kedua terdapat pada akhir selang yaitu dari 398,735 ke 1300,730. Nilai ini diindikasi berasal dari data yang tidak terdeteksi, sehingga untuk selanjutnya kisaran nilai ini tidak diperlukan. Kisaran nilai ampltitudo yang tidak diperlukan dibuang atau difilter melalui perangkat lunak MB System berbasis linux. Pemfilteran ini dilakukan secara manual dengan cara mengamati kisaran nilai amplitudo kemudian mengubah nilai dan selang amplitudo yang benar-benar berasal dari lokasi penelitian. Setelah dilakukan pemfilteran kisaran nilai amplitudo pada lokasi penelitian berada pada selang 250-500 (Gambar 18b), nilai inilah yang kemudian dipakai untuk melihat sebaran sedimen.

39 Peta klasifikasi dasar perairan memperlihatkan sebaran jenis sedimen yang teramati secara spasial melalui pemeruman. Data hasil pemeruman yang diolah menjadi peta klasifikasi dasar perairan merupakan hasil olahan nilai amplitudo yang terdeteksi. Klasifikasi dasar perairan pada penelitian ini dimulai dari perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Kisaran nilai amplitudo dari 250-500 terdiri atas empat jenis sedimen, dimana setiap jenis sedimen mempunyai kisaran nilai amplitudo yang berbeda-beda. Perairan Selat Sunda merupakan perairan yang sangat unik, hal demikian terlihat pada sebaran sedimen yang berbeda dengan perairan yang lain. Perairan Selat Sunda mendapatkan pengaruh dari dua perairan yang mempunyai karakter berbeda yaitu Laut Jawa dan Samudera Hindia. Laut Jawa relatif mempunyai aktifitas oseanografi yang lemah, berbeda dengan perairan Samudera Hindia yang mempunyai aktifitas oseanografi yang relatif lebih tinggi. Hal tersebut berpengaruh terhadap sebaran sedimen di sekitar Pulau Sangiang, dimana pada sebelah barat pulau sangiang jenis sedimen didominasi oleh rocks dan di sebelah timur didominasi oleh sandy silt. Hal ini terjadi karena energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia lebih besar dari arus Laut Jawa yang bergerak ke arah perairan Selat Sunda, sehingga partikel yang berukuran kecil akan terbawa oleh energi atau arus yang berasal dari perairan Samudera Hindia ke sebelah timur dan timur laut Pulau Sangiang. Gambar 19 merupakan peta klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di sekitar perairan Selat Sunda.

40 E E E E 5 0 52 S 5 0 52 S 5 0 54 S 5 0 54 S 5 0 56 S 5 0 56 S P. Sangiang 5 0 58 S 5 0 58 S 6 0 00 S 6 0 00 S 6 0 02 S Silty sand Sandy silt Sand Rocks 6 0 02 S E E E E Gambar 19. Peta klasifikasi jenis sedimen dasar perairan di lokasi penelitian Klasifikasi jenis sedimen dasar perairan yang terlihat pada gambar di atas sebagian besar ditutupi oleh jenis sedimen sandy silt dengan persen penutupan

41 sebesar 49%. Kisaran nilai amplitudo jenis sedimen ini berada pada 297-360. Sandy silt di lokasi penelitian menyebar secara merata yaitu dari perairan di sekitar Banten sampai ke perairan Lampung. Helfinalis (2003) menyatakan bahwa endapan sedimen di perairan Ciwandan dan perairan Anyer didominasi oleh kerikil dan pasir. Jenis sedimen berikutnya yaitu silty sand dengan persen penutupan sebesar 18,22%. Jenis sedimen ini terfokus pada perairan Selatan Lampung yaitu pada kordinat 5 0 52-5 0 56 LS dan 105 0 47-105 0 50 BT. Selain itu silty sand juga berada di sebelah selatan Pulau Sangiang. Rocks atau batuan hanya berada di sebelah barat Pulau Sangiang dengan persen penutupan sebesar 11,69%. Jenis batuan dari hasil coring merupakan batuan yang berupa pecahanpecahan karang. Jenis sedimen yang terakhir yaitu sand dengan persen penutupan sebesar 16,82% yang berada di sekitar pulau Sangiang dan sebagian kecil menyebar di sepanjang jalur penelitian. Pada peta klasifikasi dasar perairan terdapat spot-spot yang berwarna hitam, bagian ini merupakan bagian yang tidak teridentikasi atau bagian yang tidak termasuk ke dalam selang nilai amplitudo yang ada. Nilai amplitudo yang lebih besar dari 500 diartikan bahwa jenis sedimen yang tidak teridentifikasi lebih keras dari jenis sedimen rocks sedangkan nilai amplitudo yang lebih kecil dari 250 diartikan bahwa jenis sedimen lebih lunak dari silty sand. Dengan demikian nilai amplitudo yang lebih besar dari 500 dan lebih kecil dari 250 dikatakan sebagai kelas yang tidak teridentifikasi. Jenis sedimen yang tidak teridentifikasi memiliki persen penutupan sebesar 4,27%. Gambar 20 merupakan presentasi sebaran sedimen di lokasi penelitian.

42 Gambar 20. Persentase sebaran sedimen di lokasi penelitian Sedimen di laut tersusun oleh 4 komponen pokok yang diklasifikasikan berdasarkan asal-usulnya, yaitu sebagai sedimen terigenik (dari daratan dan lingkungan vulkanik), biogenik (dari aktifitas organisme), halmirogenik (dari reaksi inorgenik) dan kosmogenik (dari luar angkasa). Menurut Rubiman (2003), sedimen di perairan Selat Sunda tersusun dari endapan biogenik, terigenik dan halmirogenik. Jenis sedimen pada penelitian ini umumnya didominasi oleh jenis sedimen golongan biogenik yaitu jenis sedimen yang berasal dari organisme laut yang telah mati terdiri atas remah-remah tulang, gigi-geligi dan cangkangcangkang tanaman maupun hewan mikro. Hasil coring menunjukkan jenis sedimen pada lokasi penelitian berasal dari cangkang-cangkang organisme dan batuan berasal dari pecahan karang (Lampiran 5).

43 4.4. Ketentuan Pembangunan Jembatan Penelitian ini mengkaji pra-studi pembangunan jembatan Selat Sunda hanya pada dua parameter dari paket I yaitu profil batimetri dan pasang surut. Profil batimetri di perairan Selat Sunda sangat bervariasi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya kedalamannya bergradasi mulai dari perairan Banten yang berangsur-angsur bertambah dalam menuju ke perairan Lampung. Berdasarkan hasil pemeruman yang telah dilakukan kedalaman berkisar antara 17,5-175 m. Perairan Selat Sunda yang merupakan penghubung Pulau Sumatera dan Pulau Jawa memiliki kondisi batimetri yang sangat bervariasi. Pada umumnya perairan sebelah timur bagian utara Selat Sunda cukup dangkal dengan kedalaman rata-rata berkisar antara 20 hingga 80 m, sedangkan untuk perairan sebelah barat bagian selatan Selat Sunda pada umumnya masih terpengaruh oleh kedalaman dari Samudera Hindia yaitu kedalamannya lebih dari 100 m. Informasi kedalaman ini merupakan informasi awal yang sangat penting untuk melihat dimana lokasi peletakan tiang beton yang cocok agar dapat menopang beban dalam jangka waktu yang sangat lama. Gambar 21 merupakan rencana peletakan tiang beton dan jembatan gantung ultra panjang pada jembatan Selat Sunda.

44 7 6 5 4 3 2 1 Sumber: Wiratman, 2008 Jembatan Beton Jembatan Gantung Ultra-Panjang Gambar 21. Rencana peletakan tiang beton dan jembatan gantung ultra panjang pada jembatan Selat Sunda Berdasarkan hasil penelitian ini rencana peletakan tiang tersebut bisa dikatakan sesuai, dengan melihat kedalaman pada lokasi satu (Gambar 21). Lokasi tersebut mempunyai kedalaman berkisar 17-35 m, dimana pada lokasi tersebut terdapat punggungan laut. Menurut Usman et al., 2004 menyatakan bahwa punggungan laut dapat berfungsi sebagai tempat peletakan tiang pondasi di laut. Namun untuk mengetahui kekuatan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seperti dikorelasikan dengan data seismik. Hal yang sama terlihat pada lokasi 2,

45 adanya punggungan laut yang lebih besar daripada wilayah 1. Pemasangan tiang berikutnya akan dilakukan di daratan Pulau Sangiang, dimana pada daerah ini tidak dilakukan pengamatan. Peletakan tiang pada Pulau Sangiang perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut mengenai struktur tanah pada pulau tersebut. Lokasi 4 dan 5 tidak dapat ditentukan kesesuaian peletakan tiang, hal ini dikarenakan tidak adanya data kedalaman pada wilayah tersebut. Lokasi 6 dan 7 berada di luar lokasi penelitian. Gambar 22 merupakan rencana peletakan tiang beton yang diplotkan terhadap batimetri lokasi penelitian. 5 4 P. Sangiang 3 2 1 Gambar 22. Lokasi peletakan tiang beton pada jembatan Selat Sunda

46 Ketinggian tiang peyangga juga harus diperhatikan karena antara Pulau Prajurit dan Pulau Sangiang merupakan jalur Alur Layar Kepulauan Indonesia (ALKI), sehingga adanya jembatan Selat Sunda diharapkan tidak akan mengganggu aktifitas pelayaran pada perairan tersebut. Selain kedalaman perairain peletakan tiang juga memperhatikan jenis sedimen pada wilayah yang akan dijadikan tempat penempatan tiang. Lokasi 1 dan 2 memiliki jenis sedimen sandy silt, jenis sedimen ini merupakan jenis sedimen yang mempunyai gaya gesek yang tinggi. Menurut Usman et al, (2004) jenis tiang yang digunakan adalah tiang tahanan lekatan antara tiang dengan tanah (Friction piles) yaitu bila tiang dipancangkan pada tanah dengan nilai kuat gesek tinggi (jenis tanah pasir), maka beban yang diterima oleh tiang akan ditahan berdasarkan gesekan antara tiang dan tanah di sekeliling tiang. Pasang surut dilokasi penelitian merupakan tipe pasang surut campuran yaitu memungkinkan dalam sehari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi dan periode yang berbeda. Tipe pasang surut pada lokasi penelitian menunjukkan range yang tidak begitu besar antara kondisi pasang dan pada saat surut. Siswanto (2010) menyatakan bahwa tipe pasang surut ini mempunyai pengaruh yang relatif kecil terhadap sebaran dan distribusi sedimen permukaan dasar laut. Hal tersebut dirasa cocok apabila pada perairan ini akan dibangun jembatan karena aktifitas gerusan sedimen yang relatif kecil. Namun untuk lebih memastikan perlu dilakukan pengamatan lebih serius terhadap arus, baik arus permukaan maupun arus dalam.