BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya tentu saja sebagai orang tua harus selalu memperhatikan, mengawasi dan merawat anak secara seksama terutama perhatian terhadap tumbuh dan kembangnya. Meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang tua. Apalagi usia bawah lima tahun (balita) adalah periode penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis dan inteligensia (Soetjiningsih, 2001). Seorang anak yang sehat dan normal akan tumbuh sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Tetapi pertumbuhan ini juga akan dipengaruhi oleh asupan zat gizi yang dikonsumsi dalam bentuk makanan. Pertumbuhan fisik sering dijadikan indikator untuk mengukur status gizi baik individu maupun populasi. Oleh karena itu, orang tua perlu menaruh perhatian pada aspek pertumbuhan anak bila ingin mengetahui keadaan gizi mereka (Khomsan, 2003). Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling memengaruhi secara kompleks. Ditingkat rumah tangga, keadaan gizi dipengaruhi oleh kemampuan keluarga menyediakan pangan di dalam jumlah dan jenis yang cukup serta pola asuh yang dipengaruhi oleh faktor pendidikan, perilaku dan keadaan kesehatan keluarga.
Salah satu penyebab timbulnya kurang gizi pada anak balita adalah akibat pola asuh anak yang kurang memadai (Soekirman, 2000). Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna menjaga, merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Menurut Wagnel dan Funk yang dikutip dalam Sunarti (2009) menyebutkan bahwa mengasuh itu meliputi menjaga, memerhatikan serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke arah kedewasaan. Kurangnya perhatian pada proses tumbuh kembang usia balita akan menyebabkan status gizi balita menjadi kurang baik. Penanganan yang serius terhadap status gizi balita tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari peran keluarga sebagai orang yang paling dekat dengan balita. Apabila pada masa tumbuh kembang ini perawatan dan makanan yang bergizi diberikan secara baik dan benar dapat membentuk generasi penerus bangsa yang sehat, cerdas dan produktif. Kondisi status gizi dalam suatu daerah dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang merupakan indikator keberhasilan pembangunan kesehatan masyarakat di tingkat kabupaten/kota. Berdasarkan peringkat IPKM, kabupaten/kota yang menduduki 5 besar teratas dari 440 kabupaten/kota seluruh Indonesia adalah kota Magelang (0,70895), kabupaten Gianyar (0,706451), kota Salatiga (0,704497), Kota Yogyakarta (0,694835), dan Kabupaten Bantul (0,691480). Kota Medan (0,659259) menduduki peringkat ke-14 dan satu-satunya wakil dari Propinsi Sumatera Utara yang menduduki peringkat 20 besar. Sementara itu kabupaten Mandailing Natal
(0,359507) berada pada urutan ke 421 yang masuk ke dalam peringkat 20 terbawah (Depkes RI, 2010). Melihat pencapaian IPKM Propinsi Sumatera Utara khususnya kabupaten Mandailing Natal masih jauh tertinggal dibandingkan dengan daerah lain, berdasarkan hal ini dapat dideskripsikan bahwa kondisi kesehatan masyarakat khususnya kesehatan balita masih jauh dari visi pembangunan kesehatan yang ada. Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa faktor yang menjadi penyebab permasalahan keadaan ini adalah kondisi sosial ekonomi keluarga, pengetahuan ibu yang masih kurang tentang pola asuh, jumlah keluarga yang banyak, pendidikan ibu yang masih rendah, pola pemberian ASI Eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI yang belum baik serta sosial budaya yang kurang selaras dengan konsep pelayanan kesehatan. Berbagai kondisi yang menyebabkan permasalahan yang disebutkan di atas sebenarnya dapat diatasi jika pemerintah bersama-sama dengan keluarga dapat saling mendukung kegiatan peningkatan status gizi balita. Beberapa program peningkatan status gizi telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini khususnya pada kelompok keluarga yang dikategorikan miskin, namun dalam kenyataan indeks status gizi balita masih belum bergeser ke arah nilai yang lebih baik. Pada keluarga miskin permasalahan ini sebenarnya dirasakan semakin tumpang tindih mengingat kondisi sosial ekonomi keluarga yang berpengaruh terhadap daya
beli pangan untuk pemenuhan gizi keluarga yang tidak mencukupi ditambah lagi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu yang masih rendah. Kontroversi penanggulangan permasalahan gizi pada keluarga miskin yang memiliki balita sudah banyak dibicarakan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kasus gizi kurang banyak terjadi pada keluarga miskin akan tetapi beberapa penelitian justru menyebutkan bahwa sebagian anak dalam keluarga tertentu dengan status sosial ekonomi yang rendah (miskin) mempunyai daya adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang dengan baik (tidak kurang gizi). Mereka dapat keluar dari permasalahan yang sama (kekurangan gizi) ketika keluarga-keluarga miskin lainnya terbelenggu dalam masalah kekurangan gizi. Padahal secara sosial ekonomi mereka sama dan hidup dalam lingkungan yang sama serta memiliki akses yang sama pula terhadap fasilitas kesehatan. Keberhasilan seseorang dalam situasi yang tidak mendukungnya oleh beberapa pakar disebut sebagai penyimpang positif atau Positive Deviance (PD). Pendekatan PD pada keluarga miskin ternyata terbukti mampu mengeliminasi kasus gizi kurang secara signifikan. Selain itu keluarga penyimpang positif dapat berhasil atau sukses karena memiliki perilaku-perilaku dan kebiasaan-kebiasaan tertentu yang tidak dilakukan oleh keluarga lainnya. Dalam rangka mengeliminasi kasus kekurangan gizi dikalangan keluarga miskin di Provinsi Sulawesi Selatan dilakukan penelitian pengembangan pendekatan PD di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Makassar, Takalar dan Jeneponto. Setelah diikuti selama tiga bulan, penelitian ini berhasil membuktikan bahwa pendekatan PD
mampu mengeliminasi/mengurangi prevalensi gizi kurang sebanyak 30%. Dalam penelitian ini, dengan penerapan Grand Theory Inovation oleh Carl Roger (awarness, interes, evaluation, trial, and adoption) mampu menunjukkan perubahan pola asuh (perilaku asupan makan dan pengasuhan) ibu dari keluarga miskin terhadap balitanya (Sirajuddin, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Sanjaya et all (2009) di Bungus Barat Kecamatan Bungus Teluk Kabung Kota Madya Padang menyebutkan bahwa dari 126 anak yang diteliti terdapat 92 (73,02%) anak memiliki status gizi baik dan 31 (25%) anak kekurangan gizi (gizi kurang dan gizi buruk). Diantara anak yang memiliki status gizi baik tersebut tidak semuanya berasal dari keluarga mampu, terdapat enam orang anak yang berasal dari keluarga miskin. Menurut Sanjaya, enam orang anak dari keluarga miskin inilah yang disebut dengan keluarga penyimpang positif. Kasus PD dari keluarga miskin yang memiliki balita gizi baik ditunjukkan dari pola asuh ibu yang baik yaitu cara memberi makan, perawatan, pengasuhan dan menjaga kebersihan anak. Hasil penelitian Turnip (2008) yang meneliti tentang pengaruh PD terhadap status gizi anak usia 12 24 bulan pada keluarga miskin di Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi menunjukkan bahwa tidak selamanya keluarga miskin memiliki anak dengan gizi buruk. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukannya bahwa status gizi anak pada keluarga miskin dipengaruhi oleh pola pengasuhan, kebersihan diri dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor yang memengaruhi status gizi keluarga miskin tersebut, faktor kebiasaan dalam kebersihan
diri merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap status gizi. Faktor kebersihan diri terutama kebersihan tubuh, makanan dan lingkungan akan memberi peluang mencegah kejadian penyakit infeksi, dimana penyakit infeksi merupakan salah satu penyebab langsung terjadinya kurang gizi. Penelitian lainnya oleh Sundari (2006) juga menyebutkan bahwa dari 67 balita dalam keluarga dengan status sosio ekonomi rendah (miskin), terdapat 40 balita yang mampu tumbuh kembang dengan baik oleh karena pola asuh yang baik. Dalam penelitian ini ditunjukkan bahwa terdapat hubungan pola pemberian makan dan kebersihan diri dengan status gizi balita, yang memberi makna bahwa diperlukan peningkatan pola asuh pada balita baik pola asuh pemberian makan, pola asuh higiene dan sanitasi serta pola asuh kesehatan. Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah disebutkan di atas menunjukkan bahwa penanganan status gizi pada keluarga miskin dapat dilakukan melalui pendekatan PD. Hal ini diharapkan agar jumlah kasus kurang gizi tidak bertambah pada keluarga miskin yang saat ini jumlahnya semakin tinggi. Menurut data Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data BPS Maret 2010 sebesar 31,02 juta jiwa (13,33%) berkurang 1,51 juta jiwa dibandingkan dengan Maret 2009 sebesar 32,53 juta jiwa (14,15%). Jumlah penduduk miskin di Sumatera Utara pada bulan Maret 2010 sebesar 1.490.900 orang (11,31%). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Maret 2009 yang berjumlah 1.499.700 orang (11,51%). Sementara di Kabupaten
Mandailing Natal terdapat 175.187 jiwa (40,75%) penduduk miskin sesuai dengan data kepesertaan Jamkesmas tahun 2009 (Dinas Kesehatan Kabupaten Madina, 2010). Hasil survei awal diperoleh data dari laporan kegiatan posyandu dan kantor kepala desa/kelurahan di Kecamatan Panyabungan Utara yang terdiri dari 11 desa dan 1 kelurahan memiliki keluarga miskin sebanyak 1.756 kepala keluarga (KK), dari jumlah tersebut terdapat 450 jumlah keluarga miskin yang memiliki balita. Berdasarkan status gizi balita dari keluarga miskin tersebut ditemukan 5,7% balita gizi buruk, 8,2% balita gizi kurang, dan 86% balita gizi baik. Angka ini menunjukkan bahwa di dalam keluarga miskin persentase jumlah balita yang memiliki status gizi baik cukup tinggi. Hal ini menggambarkan bahwa di dalam keluarga miskin masih banyak balita yang mendapatkan pola asuh yang baik dari keluarganya. Pola asuh yang baik ini biasa disebut dengan perilaku menyimpang dimana di dalam kondisi yang kurang mendukung keluarga masih mampu mempertahankan kondisi kesehatan balitanya. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui sejauh mana pengaruh pola asuh ibu (asuhan pemberian makan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan higiene dan sanitasi) terhadap status gizi balita dari keluarga miskin di Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal. 1.2. Permasalahan Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut : Bagaimana pengaruh pola asuh ibu (asuhan
pemberian makan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan higiene dan sanitasi) terhadap status gizi balita pada keluarga miskin di Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal?. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pola asuh ibu (asuhan pemberian makan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan higiene dan sanitasi) terhadap status gizi balita pada keluarga miskin di Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal. 1.4. Hipotesis Ada pengaruh pola asuh ibu (asuhan pemberian makan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan higiene dan sanitasi) terhadap status gizi balita pada keluarga miskin di Kecamatan Panyabungan Utara Kabupaten Mandailing Natal. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Masyarakat a. Untuk meyakinkan masyarakat khususnya ibu tentang potensi diri yang dimilikinya dengan berperilaku kearah yang positif di dalam pengasuhan anak sehingga diharapkan dapat meningkatkan status kesehatan keluarganya. b. Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya ibu yang mempunyai balita tentang pola asuh yang baik dalam keluarga yang meliputi asuhan pemberian makan, asuhan perawatan dasar anak, asuhan higiene dan sanitasi.
2. Bagi Dinas Kesehatan Sebagai informasi untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan program gizi khususnya penerapan pola asuh ibu yang baik terhadap balita dalam rangka penanggulangan masalah kekurangan gizi pada keluarga miskin. 3. Menjadi masukan untuk penelitian serta kajian ilmiah lainnya tentang pola asuh ibu yang baik terhadap balita.