BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut muncul banyak perubahan baik secara fisik maupun psikologis.

HUBUNGAN ANTARA OPTIMISME DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF REMAJA SMA PROGRAM AKSELERASI DI KOTA SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

PERBEDAAN SUBJECTIVE WELL BEING DAN HARDINESS PADA SISWA SMA PROGRAM AKSELERASI DENGAN PROGRAM REGULER DI SURAKARTA NASKAH PUBLIKASI

BAB 1 PENDAHULUAN. pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu di dunia ini melewati fase-fase perkembangan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Bab IV pasal 5 ayat 3 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa Remaja merupakan suatu fase transisi dari anak-anak menjadi dewasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. dilihat dari beberapa sekolah di beberapa kota di Indonesia, sekolah-sekolah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bagi bangsa Indonesia, pendidikan adalah hal yang sangat penting. Cita-cita untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Pada perguruan tinggi mahasiswa tahun pertama harus bersiap menghadapi

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Syifa Zulfa Hanani, 2013

PERBEDAAN PENYESUAIAN DIRI DAN STRES BELAJAR ANTARA SISWA KELAS AKSELERASI DENGAN SISWA KELAS REGULER DI SMU NEGERI 3 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. maupun swasta namun, peningkatan jumlah perguruan tinggi tersebut tidak dibarengi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. Menurut Hariandja dalam Tunjungsari (2011) stres adalah ketegangan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. ada di atas rata-rata anak seusianya. Hal ini membuat anak berbakat membutuhkan

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN STRES REMAJA SERTA IMPLIKASINYA BAGI LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada abad ke-21 berupaya menerapkan pendidikan yang positif

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA AKSELERASI. Widanti Mahendrani 1) 2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahun. Pada aplikasi riilnya, pelaksanaan program akselerasi selalu. pilihan, dengan kemampuan intelegensi di atas rata-rata.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi. manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya

KEPRIBADIAN TANGGUH PADA SISWA KORBAN KEKERASAN TEMAN SEBAYA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jiwa, kepribadian serta mental yang sehat dan kuat. Selayaknya pula seorang

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL SISWA ANTARA KELAS AKSELERASI DAN KELAS NON AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berinteraksi. Interaksi tersebut selalu dibutuhkan manusia dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. jenis kelamin, status ekonomi sosial ataupun usia, semua orang menginginkan

BAB 1 PENDAHULUAN. kehidupan, sehingga menjadi orang yang terdidik. dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Di negara kita ini pendidikan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kenaikan jumlah penumpang secara signifikan setiap tahunnya. Tercatat hingga

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. strategis di era globalisasi. Dengan adanya kemajuan tersebut, sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Norma Rustyani Winajah, 2013

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DAN KEYAKINAN DIRI (SELF-EFFICACY) DENGAN KREATIVITAS PADA SISWA AKSELERASI

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang unggul baik dalam bidang ilmu pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG R. Ajeng Herty P, 2014

I. PENDAHULUAN. intelektual, spiritual, dan mandiri sehingga pada akhirnya diharapkan masyarakat kita

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju masa. lainnya. Masalah yang paling sering muncul pada remaja antara lain

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa kini banyak pola hidup yang kurang sehat di masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

HUBUNGAN ANTARA KEPRIBADIAN HARDINESS DENGAN BURNOUT PADA GURU SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. penduduk tersebutlah yang menjadi salah satu masalah bagi suatu kota besar.

BIMBINGAN DAN KONSELING DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SMP AKSELERASI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk. termasuk anak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. disebabkan karena masa remaja dikenal sebagai masa untuk mencari identitas dan

BAB I PENDAHULUAN. perhatian dalam lingkungan sekolah. Dengan memiliki para siswa dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. A Latar Belakang Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi agen perubahan, salah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menurut Kunandar (2009) merupakan investasi Sumber Daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. bagian penting dalam proses pembangunan suatu Negara. Untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan dari pendidikan adalah membantu anak. mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, dan karena itu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

HUBUNGAN ADVERSITY QUOTIENT DAN KECERDASAN RUHANIAH DENGAN KECENDERUNGAN POST POWER SYNDROME PADA ANGGOTA TNI AU DI LANUD ISWAHJUDI MADIUN.

BAB 1 PENDAHULUAN. kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan yang memberi manfaat

Manajemen program akselerasi belajar: studi kasus di SMA Negeri 3 Jombang / Iva Faradiana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. usia 18 hingga 25 tahun (Santrock, 2010). Pada tahap perkembangan ini, individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. unsur lapisan masyarakat merupakan potensi yang besar artinya bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak terlepas dari interaksi dengan orang

BAB I PENDAHULUAN. dan pendidikan tinggi ( Mengenyam pendidikan pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kepribadian yang kuat serta dapat diandalkan. Terdapat tipe kepribadian

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. zaman sekarang dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum pria.

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak yang Bekerja sebagai Buruh Nelayan di Desa Karangsong Indramayu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan berlangsung terus-menerus sepanjang kehidupan. Hal demikian

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. Fase usia remaja merupakan saat individu mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG MASALAH. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

Studi Deskriptif Children Well-Being pada Anak Kelas VI Sekolah Dasar Full-Day Darul Ilmi Bandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensinya semaksimal mungkin. Oleh. berharap agar sekolah dapat mempersiapkan anak-anak untuk menjadi warga

BAB I PENDAHULUAN. dewasa ini banyak permasalahan yang dialami para pelaku pendidikan.

2015 PERBANDINGAN TINGKAT DISIPLIN SISWA YANG MENGIKUTI EKSTRAKULIKULER BULUTANGKIS DAN KARATE DALAM PEMBELAJARAN PENJAS

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. di bidang tekhnologi, ilmu pengetahuan, ekonomi, dan pendidikan. Perubahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kondisi mental remaja dan anak di Indonesia saat ini memprihatinkantebukti

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan elemen penting bagi pembangunan bangsa. Pendidikan menurut UU No. 20 tahun 2003, merupakan usaha sadar dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Indonesia seseorang dikatakan sejahtera apabila dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan atau sekolah dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Zamroni,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang bahagia. Kebahagiaan menjadi harapan dan cita-cita terbesar bagi setiap

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

BAB I PENDAHULUAN. adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia sudah mengalami kemajuan yang begitu pesat. baik dari segi kurikulum maupun program penunjang yang dirasa mampu untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Salah satu program pendidikan yang saat ini sedang ramai diperbincangkan adalah tentang program akselerasi atau program percepatan belajar untuk pendidikan dasar dan menengah. Program akselerasi memberikan kesempatan bagi para siswa dalam percepatan belajar dari waktu enam tahun menjadi lima tahun pada jenjang SD dan tiga tahun menjadi dua tahun pada jenjang SMP dan SMA (Nulhakim, 2008). Program akselerasi merupakan salah satu alternatif pendidikan bagi siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata atau anak cerdas berbakat, yang merupakan program percepatan belajar dalam bentuk pemadatan waktu menjadi dua tahun dari tiga tahun pendidikan masa formal (reguler) (Zuhdi, 2006). Tujuan dari pengadaan program ini adalah untuk memberikan pelayanan pendidikan yang maksimal bagi siswa yang memiliki bakat serta potensi istimewa. Hal tersebut sesuai dengan Amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bab IV bagian kesatu pasal 5 ayat 4 yang berbunyi: warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Penyelenggaraan program akselerasi memberi dampak psikologi, diantaranya pada masa transisi tiga bulan pertama, siswa mengalami stress karena 1

2 pemberian materi yang begitu cepat (Zuhdi,2006). Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti kepada 3 orang subjek yang menyebutkan bahwa siswa mengalami stress pada saat awal masuk program akselerasi. Materi disampaikan secara cepat, tugas sekolah banyak, dan ulangan mendadak. Bahkan ada salah seorang siswa yang berkeinginan untuk pindah ke kelas reguler, namun karena prosedur yang sulit membuat siswa tersebut mengurungkan niatnya untuk pindah ke program reguler dan memilih bertahan di program akselerasi.. Dilihat dari sisi materi yang diberikan terdapat perbedaan antara siswa akselerasi dengan siswa reguler. Ada beberapa materi yang justru tidak diberikan di kelas akselerasi karena dianggap tidak penting dan untuk mengejar waktu pembelajaran yang singkat. Hal itu juga diungkapkan oleh 3 siswa SMA program akselerasi di Surakarta bahwa guru hanya memaparkan materi yang dirasa penting untuk ujian nasional maupun tes masuk PTN dan itu pun hanya disampaikan secara singkat sehingga beberapa siswa mengeluh karena mereka dituntut memahami materi yang banyak dalam kurun waktu yang singkat. Menurut Putri, Alsa, &Widiana (2005) hal-hal tersebut menyebabkan stress bagi anak karena peran guru seharusnya mengajar dengan penuh komitmen dan dedikasi tinggi justru terkesan hanya sekedar meyelesaikan materi tepat waktu tanpa memperhatikan siswanya paham atau kah tidak. Masalah penyesuaian sosial biasanya siswa akselerasi lebih mengutamakan prestasi akademik, siswa cenderung mengurangi waktu untuk aktivitas lain sehingga kesempatan untuk melakukan hubungan sosial dengan

3 teman sebaya menjadi berkurang. Siswa akselerasi biasanya kurang aktif dalam mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dengan alasan lelah, malas, atau ingin tidur di rumah (Maimunah, 2009). Dari hasil wawancara peneliti dengan subjek berinisial LRI, juga menyebutkan bahwa kebanyakan siswa akselerasi tidak melibatkan dirinya dalam kegiatan di luar akademik dengan alasan bahwa kegiatan tersebut akan mengganggu kegiatan belajarnya di sekolah. Bahkan dari pihak sekolah pun secara tidak langsung melarang siswa akselerasi untuk mengikuti kegiatan di luar akademik. Sebagai contoh untuk kegiatan sekolah seperti class meeting siswa akselerasi tidak diperbolehkan ikut karena pada saat acara tersebut agenda mereka adalah KBM aktif. Hal ini menghambat proses sosialisasi siswa di sekolah terhadap teman sebayanya (Putri, Alsa, &Widiana, 2005). Keadaan tersebut sangat bertolak belakang dengan dunia remaja yang ingin bebas mengeksplorasi kreatifitas yang ia miliki, bermain, dan mencoba hal-hal yang belum diketahui, dan keinginanan untuk menjelajah ke alam sekitar secara lebih luas (Gunarsa, 1991). Berikut kutipan wawancara dengan salah satu siswa yang bersekolah di salah satu sekolah menengah atas program akselerasi: alasan saya masuk aksel itu sebenarnya keinginan sendiri mas, tetapi saya menyadari segala konsekuensi yang akan saya terima nanti kalau masuk aksel. Awal-awal masuk aksel sih sempat merasa stress dan bosan karena aktifitas yang jauh berbeda dibandingkan saat duduk di bangku SMP, pulangnya sore terus, tugasnya banyak, jadi nggak bisa tidur siang, nggak cuman itu kompetitornya itu pinter-pinter. Prinsip saya sekarang ngalahi sik sing penting akhirnya baik. Bagi saya secara pribadi saya merasa bahagia apabila memiliki hubungan baik dengan individu lain, studi sekolah juga baik serta dapat mencapai apa yang saya inginkan. (LRI, 12 Agustus 2014)

4 Wawancara tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menempuh program akselerasi memiliki beberapa masalah yang mengganggu fase perkembangan sosialnya, seperti bermain dan berinteraksi dengan teman sebayanya. Namun pada kenyataannya banyak siswa akselerasi yang mengalami stress dan tidak sejahtera hidupnya (Putri, Alsa, &Widiana, 2005). Siswa akselerasi yang tidak memiliki waktu untuk bermain dikarenakan padatnya pembelajaran disekolah ataupun dirumah, sedangkan siswa reguler yang bebas melakukan itu sesuai dengan fase perkembangannya. Program akselerasi yang awalnya ditujukan sebagai program unggulan untuk membawa angin segar di dunia pendidikan tetapi malah justru memberatkan siswanya. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Tim Psikologi UGM (Puspita, 2007) menunjukkan bahwa program akselerasi memiliki beberapa masalah. Di satu sisi program akselerasi memiliki keuntungan bagi mereka yang memiliki kemampuan intelektual lebih karena dapat mempercepat masa studi. Namun di sisi lain, program akselerasi memberikan dampak psikologis yang kurang baik terhadap siswa. Fenomena tersebut menunjukan ada masalah dalam pengadaan program akselerasi. Siswa program akselerasi yang dituntut untuk menyelesaikan masa studinya dari 3 tahun menjadi 2 tahun mendapat banyak tekanan. Dari materi yang disampaikan kurang cepat dan tidak mendalam sampai terbatasnya waktu untuk berinteraksi dengan teman sebayanya sehingga menjadikan siswa akselerasi kurang sejahtera hidupnya. Subjective well being merupakan evaluasi seseorang tentang hidupnya, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidupnya serta evaluasi afektif dari mood dan emosi (Diener & Lucas, 1999). Menurut Suh,

5 Diener, Oishi, & Triandis, (2009) subjective well being merupakan kebutuhan universal umat manusia dan menjadi kebutuhan yang mendesak seiring dengan makin kompleksnya masalah yang dihadapi manusia pada abad modern ini. Istilah subjective well being merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya. Penilaian ini secara kognitif berupa pandangan terhadap kepuasan serta afeksi seperti perasaan kegembiraan atau tidak mengalami depresi. Hasil penelitian Jersild (Darmayanti, 2012) mengungkapkan bahwa terdapat keragaman hal-hal yang dapat menyebabkan seseorang berbahagia berdasarkan pada tingkat perkembangan usianya. Bagi remaja usia 15-18 tahun, hal-hal yang dapat mendatangkan bahagia adalah: (1) pergi rekreasi beramai-ramai, melakukan kegiatan dengan keluarga; (2) mencapai peningkatan diri, berhasil di sekolah, dan merasa penting atau berarti di lingkungannya; (3) memperoleh hubungan baik dengan orang lain, bersahabat karib, dan mendapatkan teman yang pasti; (4) melakukan aktifitas pribadi yang menyenangkan, seperti bermain (games); dan (5) merasa bermanfaat bagi orang lain atau bagi kemanusiaan secara umum. Orang dapat dikatakan memiliki subjective well being yang tinggi jika orang tersebut merasa puas dengan kondisi kehidupan yang dijalaninya dan sering mengalami emosi positif (Mothamaha, 2007). Subjective well being merupakan kebutuhan universal umat manusia, maka tidak terkecuali di ranah pendidikan subjective well being juga sangat penting. Menurut Zuhdi (2006) penyelenggaraan program akselerasi memberi dampak psikologi, diantaranya pada masa transisi tiga bulan pertama, siswa mengalami stress karena pemberian materi yang begitu cepat. Faktor kepribadian

6 yang diduga dapat berperan dalam menghadapi stres adalah kepribadian tahan banting (hardiness). Menurut Kobasa (1982) kepribadian hardiness adalah tipe kepribadian yang mempunyai kecenderungan untuk mempersepsikan atau memandang peristiwa-peristiwa hidup yang potensial mendatangkan tekanan sebagai sesuatu yang tidak terlalu mengancam. Menurut Hadjam (2004), kepribadian tahan banting (hardiness) mengurangi pengaruh kejadian-kejadian hidup yang mencekam dengan meningkatkan penggunaan strategi penyesuaian, antara lain dengan menggunakan sumber-sumber sosial yang ada di lingkungannya untuk dijadikan tameng, motivasi, dan dukungan dalam menghadapi masalah ketegangan yang dihadapinya dan memberikan kesuksesan. Saat menghadapi kondisi yang menekan, individu yang tahan banting juga akan mengalami stres atau tekanan, namun tipe kepribadian ini dapat menyikapi secara positif keadaan tidak menyenangkan tadi agar dapat menimbulkan kenyamanan melalui cara-cara yang sehat. Berkaitan dengan terbentuknya penilaian dan respon positif dalam menghadapi sumber stres, siswa yang memiliki kepribadian hardiness (kontrol, komitmen, dan tantangan) akan memberikan penilaian positif atas situasi yang penuh stess sehingga cenderung memberikan respon yang positif. Siswa akan menjadi optimis bahwa situasi tersebut dianggap sebagai tantangan yang berarti dapat diubah sehingga akan mampu menghadapi dan menggelolanya. Hal ini sesuai dengan Astuti (1999) yang menyatakan bahwa kepribadian hardiness akan mengarahkan individu pada transformational coping yang akan mengubah situasi penuh stess menjadi bentuk bentuk yang tidak mengandung stres, sehingga

7 menunjukkan ketegangan dalam taraf yang rendah. Rendahnya ketegangan tersebut mengurangi gejala stres kerja. Hal di atas sejalan dengan penelitian Kobasa dan Maddi (dalam Astuti, 1999) yang membuktikan bahwa ada hubungan antara kepribadian hardiness dengan tanda tanda psikologis. Individu yang tidak memiliki kepribadian ini (non hardiness) menunjukkan tanda tanda tingginya tegangan psikis, sedangkan individu dengan kepribadian hardiness umumnya menunjukkan tanda tanda rendahnya ketegangan psikis seperti kecemasan, depresi, serta kecurigaan. Sebaliknya Polisi dengan kepribadian nonhardiness akan memberikan penilaian kognitif secara negatif terhadap situasi yang penuh stres sehingga cenderung memunculkan respon yang negatif. Individu akan pesimis karena situasi yang membuat stres dipandang sebagai hal yang mengancam dan tidak dapat diubah, sehingga reaksi yang muncul adalah menghindarkan diri dari situasi yang mengancam tersebut. Sependapat dengan hal tersebut Kobasa dan Gentry (1984) menyatakan bahwa individu dengan kepribadian hardiness yang rendah akan cenderung melakukan regresif koping yaitu berusaha untuk menyangkal, menghindari, lepas dari situasi penuh stres. Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengadaan program akselerasi dalam dunia pendidikan memberikan dampak psikologis bagi peminatnya, khususnya bagi remaja. Berbagai permasalahan yang muncul di kalangan remaja yang menempuh pendidikan program akselerasi membuat peneliti tertarik untuk melakukan sebuah penelitian dengan rumusan masalah apakah ada perbedaan subjective well being dan hardiness pada SMA

8 program akselerasi dan regular di Surakarta. Untuk mengkaji permasalahan secara empiris maka peneliti berkeinginan untuk membuktikan dengan cara mengajukan judul Perbedaan Subjective Well Being dan Hardiness Pada Siswa SMA Program Akselerasi dengan Program Reguler di Surakarta B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Perbedaan subjective well being pada siswa SMA program akselerasi dengan program reguler di Surakarta 2. Perbedaan hardiness pada siswa SMA program akselerasi dengan program reguler di Surakarta. C. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Guru Lebih mencermati perilaku dari siswa yang menempuh program akselerasi dan reguler, serta mengarahkannya ke hal-hal yang positif serta memberikan suasana pengajaran yang nyaman di sekolah sesuai dengan faktor yang mempengaruhi subjective well being remaja. Salah satunya hardiness. 2. Siswa program akselerasi dan reguler Dapat memberikan informasi dan masukan tentang subjective well being dan hardiness siswa SMA program akselerasi dan reguler di Surakarta. Serta dapat meningkatkan kedua hal tersebut.

9 3. Ilmuwan Psikologi Dijadikan acuan serta kajian teoritis dalam ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi perkembangan dan psikologi pendidikan yang berkaitan dengan subjective well being dan hardiness siswa SMA program akselerasi dan reguler. 4. Peneliti Selanjutnya Dijadikan sebagai acuan dan referensi untuk melakukan penelitian lain yang sejenis yang berkaitan dengan subjective well being dan hardiness siswa SMA program akselerasi dengan mempertimbangkan variabel lain untuk diteliti lebih lanjut.