1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pernyataan tentang adanya keterkaitan antara status ekonomi suatu komunitas dengan kondisi kesehatan masyarakatnya diakui dan dinyatakan oleh pakar kesehatan. Fishbein (1981) dalam bukunya Health and Wealth menyebutkan bahwa pada daerah yang lebih miskin diketahui memiliki angka kesakitan yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang lebih Madani. Esensi dari pernyataan di atas adalah ada pengaruh kesulitan atau kemudahan ekonomi (pengelolaan sistem keuangan) terhadap kualitas kesehatan masyarakat tertentu. Kondisi serupa tidak berubah sampai sekarang. Kesadaran tentang pengaruh masalah kesulitan ekonomi menyulut petinggi negara membuat berbagai kebijakan, untuk segera menanggulangi perekonomian dengan segala bentuk akibat sampingannya. Kesulitan ekonomi sebenarnya datang silih berganti dan menyulitkan seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan konsisten mendesain bentuk-bentuk subsidi atau pelayanan yang mudah dan murah bertujuan meringankan beban biaya pelayanan kesehatan pada seluruh kelompok masyarakat. Pada kelompok masyarakat di bawah instansi pemerintah, pelayanan standar diberikan berdasarkan kepatutan dan dengan beban biaya yang diperkirakan cukup untuk semua. Kelompok masyarakat Polri di Medan misalnya, dirancang mendapat pelayanan kesehatan optimal, namun kadang-kadang tersendat juga karena masalah 1
2 pendanaan (budget) yang sering kurang memadai akibat biaya anggaran operasional yang kecil. Masalah kekurangan anggaran Pori yang kerap terjadi, hal ini relatif mengganggu kecukupan biaya operasional rumah sakit (RS) yang dirancang di awal tahun anggaran berjalan. Gangguan terhadap kecukupan biaya secara potensial dapat mengganggu kelancaran pembayaran jasa pada kelompok petugas pelayanan terutama dokter spesialis non residen. Masalah pembayaran uang jasa atau honor pada dokter spesialis dapat terjadi karena kekurangan dana kas operasional pada waktu tertentu. Sebenarnya belum jelas kalau masalah ketidaklancaran pembayaran uang jasa telah menjadi penyebab turunnya kualitas pelayanan dokter spesialis non residen. Fakta yang ada menunjukkan bahwa kebanyakan tugas-tugas pelayanan di RS yang dibebankan pada dokter spesialis terbengkalai terkait terutama dengan menurunnya kesiapan mereka tepat dan cukup waktu berada di Rumah Sakit Bhayangkara Medan (RSBM). Kondisi performa Jam Pelayanan berada di RSBM untuk melayani kebutuhan manajemen dan melayani pasien, diasumsikan membuat peningkatan mutu pelayanan RSBM jadi tersendat. Kurangnya peningkatan mutu dengan sendirinya menurunkan citra pelayanan. Persepsi terhadap turunnya mutu pelayanan oleh pasien, menurunkan minat mereka untuk selanjutnya menggunakan jasa RSBM. Bila penurunan terus bertahan, maka diperkirakan akan terjadi penurunan pendapatan uang (cash) yang diterima RSBM. Berkurangnya uang (cash) ekstra, selanjutnya mengurangi kecukupan biaya, termasuk untuk membayar dokter spesialis, dan bila kondisi ini tidak segera ditanggulangi, akan terjadi fenomena pusaran air yang terus
3 menerus semakin menenggelamkan peningkatan performa (kinerja) RSBM di banyak domain. Terkait dengan pernyataan Fishbein bahwa pada umumnya penilaianpenilaian keseimbangan selalu terjadi di antara apa yang diberikan dengan apa diperoleh dalam proses pelayanan. Bila semua diukur dengan jumlah uang yang diperoleh (finansial) maka ungkapan: Semakin banyak pengorbanan uang yang diberikan, semakin baik pelayanan yang dapat diterima, menjadi kenyataan. Menurut F. Herzberg (Cushway et.al. 2004), uang tidak selalu dapat meningkatkan motivasi semua individu dalam kelompok, karena uang hanyalah faktor hygiene (penyehat), bukan faktor pemotivasi (motivating factor). Kelompok high achiever menurut Mc Clelland (Cushway et.a.l 2004) adalah mereka yang termotivasi oleh faktor-faktor bukan uang, tapi karena faktor rasa tanggung jawab ataupun faktor pengakuan atas pencapaian prestasi kerja individu. Uang atau upah menurut McClelland tidak selamanya menjadi faktor pendorong motivasi terutama pada kaum ilmuwan. Jadi ada kemungkinan kuat bahwa faktor kurangnya biaya atau tersendatnya jadwal pembayaran upah dokter spesialis yang diasumsi ada di RS, bukanlah penyebab utama menurunnya performa dokter spesialis di RSBM. Faktor apa yang sebenarnya telah menyebabkan munculnya penurunan pelayanan dokter spesialis di RSBM? Kinerja dokter spesialis di RSBM dapat dilihat dari sudut pandang pihak manajemen RSBM sebagai pemilik organisasi. Penilaian kualitas kinerja personel organik di RS milik pemerintah (termasuk RSBM) selalu dibuat melalui ukuran DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan). Khusus untuk kelompok dokter spesialis
4 non residen alat ukur DP3 tidak dapat dipakai karena mereka adalah kelompok parttimer. Pengukuran kinerja dokter-dokter non-residen dibuat memakai standar evaluasi bersandar pada Job description yaitu apa yang diterakan sebagai kewajiban, kewenangan dan hak dokter spesialis dalam naskah MOU (Memorandum of Understanding). Dapat diterangkan bahwa dokter spesialis non residen dipekerjakan terutama untuk pelayanan spesialistik medis di RS. Mereka dituntut memiliki sejumlah jam kerja minimal, ketepatan waktu hadir terutama bila ada emergency, ketaatan pengisian rekam medik, ketaatan meresepkan obat generik, melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar prosedur kerja RSBM (termasuk peraturan pemerintah yang diwajibkan untuk petugas medis secara nasional) serta keaktifan berpartisipasi dalam manajemen non profesi. Keenam hal tersebut menjadi domain pengukuran kinerja (performa) mereka. Perihal ketimpangan (inequity) ataupun keseimbangan (equity) yang diduga logis berpotensi mengganggu performa personel organisasi (dalam hal ini dokter spesialis) pernah diungkapkan oleh Adams J. Stacy (Natemeyer, WE; 1989) yaitu bahwa setiap individu memerlukan equity (keseimbangan) antara pengorbanan dengan perolehan. Dalam konteks penelitian ini, kemungkinan ada kondisi yang tidak serasi (tidak seimbang - inequity) antara apa yang diterima oleh dokter spesialis dengan apa yang mereka berikan dalam pelayanan. Ketimpangan (inequity) kronis berpotensi menimbulkan efek penurunan kinerja di semua bagian RS. Penurunan kinerja pelayanan dokter spesialis dapat dinyatakan melalui pelanggaran normanorma kesepakatan dalam MOU antara lain ketaatan disiplin kerja dan kesiapan
5 mereka melakukan pelayanan manajemen RSBM sekalipun bukan domain pelayanan spesialistik masing-masing dokter spesialis. Dalam survey pendahuluan di Rumah Sakit Bhayangkara Medan (RSBM) di akhir 2009, peneliti mendapatkan (Tabel 1.1.) bahwa kinerja dokter spesialis di RSBM sebenarnya masih kurang memenuhi standar. Kekurangan tersebut termasuk kurang memperhatikan jadwal jam pelayanan dan disiplin ketepatan waktu hadir. Ada juga kekurangsiapan mereka melaksanakan sepenuhnya ketentuan standar peresepan obat generik di RSBM serta partisipasi di dalam kegiatan manajemen non spesialistik. Walaupun dalam hal ketaatan penerapan SOP dan pengisian rekam medik masih dalam kategori memuaskan. Mengapa kinerja para dokter spesialis non residen RSBM masih tidak memuaskan? Apa penyebab dari semua itu? Tabel 1.1.Survey Awal Deskripsi Kinerja Dokter Spesialis Non Residen RSBM No. Deskripsi Kinerja Skala Kualitas 1. Ketepatan pengisian jadwal jam 2 pelayanan 2. Ketaatan standar prosedur kerja 4 (SOP) RSBM 3. Aktif mengambil bagian di dalam 1 kegiatan manajemen nonspesialistik 4. Disiplin ketepatan waktu hadir 2 5. Kepatuhan peresepan obat generik 2 6. Ketaatan Pengisian Rekam Medik 4 Keterangan 1 = 0-20% (Sangat Tidak Memuaskan) 2 = 21-40% (Tidak Memuaskan) 3 = 41-60% (Cukup Memuaskan) 4 = 61-80% (Memuaskan) 5 = 81-100% (Sangat Memuaskan) Sejauh ini memang belum ada satu ketentuan baku atau kebijakan pemerintah khusus yang mengatur masalah imbalan jasa medis para dokter yang bekerja di rumah sakit dengan patokan tarif rupiah tertentu. Kalaupun ada, standar tarif ditentukan
6 secara variatif menurut kesepakatan dan tingkat konveniensi RS yang diminati oleh pasien yang mampu membayar. RS pemerintah termasuk RSBM terlihat lebih kaku menetapkan besaran tarif yang dikenakan pada setiap pelayanan dokter spesialis. Menurut Idris F (2006), walaupun selama ini besaran tarif jasa medik profesi kedokteran masih merupakan area etika namun sebagai manusia biasa, hasil dari pelayanan profesi hendaknya juga dapat memenuhi keperluan hidup dokter sesuai kedudukan mereka dalam masyarakat. Dokter, menurut ukuran status yang umumnya tinggi, memerlukan lebih banyak biaya pemeliharan dan pengembangan. Kecukupan biaya untuk dapat memelihara pengembangan status umumnya diperoleh dari upah melayani pasien. Pertambahan jumlah pasien dalam satuan waktu tertentu, diperlukan untuk dapat menambahkan akumulasi pendapatan. Kuota penghasilan yang relatif selalu lebih tinggi membuat para dokter harus mencari jumlah pasien yang selalu lebih banyak. Bila penghasilan (tarif, serta cara pembayaran, ataupun jumlah pasien) di rumah sakit tertentu tidak dapat memenuhi target, selalu dicari jalan keluar yaitu menambah jam kerja di lokasi lain supaya jumlah penghasilan menjadi lebih banyak. Benarkah skenario kausa seperti yang diasumsi di atas menjadi penyebab mengapa kinerja dokter spesialis dalam ketepatan dan kecukupan waktu di RSBM terkesan menjadi buruk? RSBM sebagai salah satu RS milik instansi Polri di Propinsi Sumatera Utara, belum memiliki tenaga dokter spesialis organik yang cukup untuk menjalankan fungsi sebagai RS tingkat dua milik Polri (sekelas rumah sakit tipe B Depkes RI ). Kondisi tersebut membuat pelayanan medis spesialistis RSBM sangat bergantung
7 pada keberadaan dokter spesialis tamu (konsulen luar) yang berasal dari institusi pemerintah lain dan swasta. Berdasarkan informasi dari beberapa orang dokter spesialis di RSBM, dapat diasumsikan bahwa salah satu kemungkinan yang mempengaruhi kinerja pelayanan spesialisasi di RSBM adalah lemahnya kondisi pembiayaan terhadap honor dan jasa medis dokter spesialis. Di samping itu sebenarnya masih ada kendala lain, yaitu kurangnya dukungan alat-alat kesehatan spesialistik serta terbatasnya obat-obatan dan bahan habis pakai. Kelemahankelemahan ini logis terkait dengan kondisi pembiayaan jasa medis (honor) yang diberikan kepada dokter spesialis di RSBM saat ini hanya bersumber dari pendapatan rumah sakit yang berasal dari pasien umum non Polri (subsidi silang). Pembiayaan untuk obat-obatan dan bahan habis pakai dibiayai oleh dana regulasi apotik yang bersumber dari Dana Pemeliharaan Kesehatan (DPK) sejenis Asuransi Kesehatan Sosial Pegawai Negeri Sipil yang berlaku di kalangan Polri. Dana yang diperoleh dari pelayanan masyarakat umum (Yanmasum) sebagian digunakan untuk membayar honor dokter spesialis non organik yang jumlahnya 30 orang, namun pengeluaran yang terbesar adalah pembiayaan pegawai honorer sebanyak 62 orang (Profil RSBM, 2008). Kondisi tersebut membuat dokter spesialis non organik di RSBM sering mengalami kendala dalam jumlah maupun waktu pembayarannya. Patut diakui bahwa peran rumah sakit sebagai badan usaha harus memperhatikan semua personilnya termasuk kesejahteraannya agar dapat memberikan kontribusi terbaik bagi mutu pelayanan. Staf rumah sakit yang bekerja sebagai tenaga tetap maupun tidak tetap, berhak untuk memperoleh kompensasi atas
8 tenaga yang disumbangkan bagi rumah sakit. Kompensasi yang dimaksud salah satunya adalah insentif, bonus atau jasa produksi/jasa medis (Sinaga H, 1994). Hal ini juga sejalan dengan Indikator Kinerja Rumah Sakit yang ditetapkan Depkes RI yang menyebutkan salah satunya adalah Prosentase Kepuasan Karyawan. Faktor kepuasan tersebut dapat meliputi keamanan, sarana dan peralatan, kesejahteraan, kenyamanan lingkungan kerja, aktualisasi diri, kesempatan pengembangan diri, hubungan dengan atasan, reward/punishment (Dirjen Yan Medik Depkes RI, 2005). Dalam hal ini kesejahteraan sumber daya manusia RS salah satunya mencakup kesejahteraan Dokter Spesialis yang bekerja di rumah sakit. Sementara itu dikalangan RS.Polri kebijakan Dana Pemeliharaan Kesehatan (DPK) Polri sendiri (aspek organisasi) sepertinya tidak berpihak pada dukungan terhadap operasionalisasi rumah sakit, termasuk karena tidak adanya dana untuk pembiayaan honor dan jasa medis dokter spesialis non residen (konsulen). Faktor kepuasan kerja penting dicermati karena diperhitungkan dapat berpengaruh terhadap motivasi pendorong prestasi meningkatkan kinerja setiap individu. Berdasarkan Gibson (2008) diketengahkan teori bahwa ada 3 aspek utama yang mempengaruhi kehidupan pekerja dalam berkinerja. Aspek tersebut adalah (1) Aspek individu (2) Aspek Psikologis / Motivasi dan (3) Aspek Organisasi yang memelihara agar sumber daya manusia dapat terkoordinir lebih baik. Disamping disiplin kerja, prestasi serta prilaku yang sesuai dengan norma-norma komunitas organisasi, maka ketiga aspek Gibson pantas diperhitungkan sebagai aspek yang berpengaruh pada kinerja individu.
9 Judul penelitian ini ditulis lengkap dengan 3 aspek Gibson. Penulisan judul seperti itu adalah untuk lebih melengkapi asumsi bahwa ada pengaruh ke 3 faktor individu, psikologis dan organisasi terhadap nilai kinerja dokter spesialis di RSBM. Tentang adanya kemungkinan variasi intensitas pengaruh aspek-aspek individu, aspek psikologis ataupun aspek organisasi terhadap kinerja dokter spesialis akan diperhitungkan di dalam penelitian. Mc.Clelland (1961) menyebutkan bahwa terhadap individu yang high achiever dalam menjalankan tugas, ada kemungkinan tidak terpengaruh oleh faktor insentif (gaji, honor, fasilitas). Uang tidak memberi pengaruh menjadi pendorong motivasi pada kelompok high achiever. Faktor insentif hanya mampu mendorong motivasi individu pada kelompok low achiever. Fredrick Herzberg (1966) menyatakan bahwa masalah insentif dianggap hanyalah faktor hygiene yang apabila diberikan dengan azas kepatutan dan kecukupan dapat mencegah kemelut sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi. Faktor hygiene menurut F. Herzberg, sekalipun selalu memuaskan, tidak selalu dapat memotivasi orang untuk bekerja lebih baik. Faktor yang dapat mendorong motivasi adalah pencapaian kerja, tantangan, tanggung jawab pengakuan prestasi dan jenjang karir oleh organisasi (Cushway dan Lodge, 2004) yang menurut F. Herzberg disebut motivating factor. Faktor motivasi ini disebut Gibson identik sebagai instrinsic factor dan dimasukkan ke dalam kelompok psikologis/motivasi. Gibson dkk (2006) mengutip pendapat Edward Lawler (1977) yang menyatakan bahwa kandungan faktor motivasi adalah identik
10 dengan kandungan intrinsic reward dan kandungan dalam faktor hygiene adalah identik kandungan extrinsic reward. Dari ulasan-ulasan di atas mengenai faktor-faktor yang berpotensi berpengaruh terhadap pencapaian kinerja oleh Gibson, jelas dapat diterima bahwa masalah pembiayaan (cost) yang dikeluarkan oleh organisasi adalah bagian dari pembayaran untuk upah (honor), insentif dan persiapan fasilitas pelayanan di RS. Para dokter spesialis non residen boleh jadi tidak pernah diberi tanggung jawab atau perlu memikirkan atau mengerti perihal pembiayaan, karena masalah biaya adalah urusan pihak manajemen administrasi umum RSBM. Dokter spesialis cukup hanya memikirkan besaran nilai insentif, jumlah penghasilan ataupun kemudahan yang diterima dari RSBM. Faktor-faktor ini adalah bagian dari faktor hygiene (F.Herzberg) atau bagian dari extrinsic reward (Gibson) yang selalu dinilai tingkat kecukupannya. Pada teori kinerja Gibson, masalah biaya dikelompokkan ke dalam kandungan faktor organisasi. Faktor individu mengait banyak aspek kehidupan individu yang berpotensi berpengaruh terhadap pencapaian kinerja individu. Secara sederhana dapat diterima logis bahwa fisik pria akan lebih kuat dibandingkan dengan wanita. Bahwa wanita sering lebih teliti melaksanakan prosedur kerja dibandingkan pria. Faktor umur yang ekstrim juga demikian, bahwa ketika seseorang menjadi lebih tua prestasi kerjanya semakin disiplin atau sebaliknya karena perkembangan disiplin pribadi. Faktor lain seperti kemampuan dan keterampilan, pengalaman serta latar belakang juga merupakan hal yang berpengaruh terhadap kinerja individu. (Gibson, 2006).
11 1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan permasalahan dalam penelitian; apakah faktor individu, psikologis dan organisasi berpengaruh terhadap kinerja pelayanan dokter spesialis di Rumah Sakit Bhayangkara Medan secara simultan dan parsial. 1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh faktor individu, psikologis dan organisasi terhadap kinerja pelayanan dokter spesialis di Rumah Sakit Bhayangkara Medan. 1.4. Hipotesis Hipotesis pada penelitian ini adalah : terdapat pengaruh faktor individu, psikologis dan organisasi terhadap kinerja pelayanan di Rumah Sakit Bhayangkara Medan secara simultan dan parsial.
12 1.5. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak yaitu : 1. Sebagai bahan masukan bagi pihak RS pada umumnya untuk menyikapi interpretasi hasil penelitian tentang pengaruh dari 3 aspek atribut yang berpotensi yaitu individu, psikologis dan organisasi terhadap kinerja dokter spesialis di RSBM. 2. Memberikan masukan kepada RSBM pada khususnya sebagai pengelola Restitusi Dana Pemeliharaan Kesehatan di Tingkat Polda Sumut bagaimana faktor pembiayaan yang dilakukan berpengaruh terhadap nilai-nilai kinerja dokter spesialis. 3. Sebagai bahan studi kepustakaan dan memperkaya penelitian ilmiah di Program Studi Magister (S2) Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU khususnya Minat Studi Administrasi Rumah Sakit. 4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya dan informasi bagi pihak yang berkepentingan untuk mengkaji masalah yang sama di masa yang akan datang. 5. Untuk menambah wawasan bagi peneliti.