BAB I PENDAHULUAN. Nusa Teggara Timur ( ), membangun Keresidenan Timor di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN. tersebut memiliki kaitan erat dengan cara pandang orang Sabu tentang sesama

BAB III METODOLOGI. orang Sabu yang berada sepanjang penggal jalan tersebut memiliki kondisi yang

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

Pola pemukiman berdasarkan kultur penduduk

BAB I PENDAHULUAN KABUPATEN KUPANG KABUPATEN KUPANG

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. CATATAN DOSEN PEMBIMBING... iii. LEMBAR PERNYATAAN... iv. MOTTO... v. KATA PENGANTAR...

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Kota merupakan salah satu tempat kehidupan manusia yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini fokusnya adalah unsur arsitektur yang dipertahankan pada

KEPUTUSAN NOMOR KEP.38/MEN/2009 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NASIONAL LAUT SAWU DAN SEKITARNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Wilayah Kabupaten Kepulauan Yapen sebagian besar berbukit dan

Prakata: Prof. Ir. ANTARIKSA, M.Eng., Ph.D

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SURAT PERNYATAAN KATA PENGANTAR... DAFTAR GAMBAR v DAFTAR TABEL vii ABSTRAK viii ABSTRACT. ix

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

BAB I PENDAHULUAN. Provinsi Kalimantan Timur, dikenal dengan keragaman suku asli

BAB I PENDAHULUAN. bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Air telah berabad-abad menjadi sumber kehidupan-memberi pengharapan

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB I PENDAHULUAN. melimpah, mulai dari sektor migas, pertanian yang subur serta pariwisata. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Aceh secara geografis terletak di jalur perdagangan Internasional yaitu

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa Melayu di Sumatera Timur mendiami daerah pesisir timur

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisa mengenai perjumpaan budaya Sabudan

I. PENDAHULUAN. Permukiman menunjukkan tempat bermukim manusia dan bertempat tinggal menetap dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

UKDW BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN Pelabuhan Perikanan. Pengertian pelabuhan perikanan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan

fauna, gua masegit sela (disepanjang Pulau Nusakambangan) dan suasana alam yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. I.1.1 Latar Belakang Eksistensi Penelitian. unsur-unsur yang ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. gb Peta Kawasan Wisata Pantai Lebih Gianyar Bali Sumber. Brosur Kabupaten Gianyar

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Geografi merupakan cabang ilmu yang dulunya disebut sebagai ilmu bumi

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

BAB I PENDAHULUAN. Definisi perkembangan menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. 1 Y, Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal

KAPO - KAPO RESORT DI CUBADAK KAWASAN MANDEH KABUPATEN PESISIR SELATAN SUMATRA BARAT BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dominan adalah Suku Dayak bukit sebagai penduduk asli kesamaan itu

BAB IV ANALISIS ALAT MUSIK DAN TARIAN

POLICY BRIEF ANALISIS PERAN MODAL SOSIAL DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN PERTANIAN DI KAWASAN PERBATASAN

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 November 2016 s/d 18 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB IV MAKNA LIMBE BAGI MASYARAKAT DENGKA MASA KINI. masyarakat Nusak Dengka telah menganut agama Kristen, namun dalam

BAB I PENDAHULUAN. dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu fasilitas yang bersifat umum dan. mempertahankan daerah yang dikuasai Belanda.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan dengan populasi manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

POLA PERKEMBANGAN PERMUKIMAN KAMPUNG ASSEGAF PALEMBANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 31 Mei 2016 s/d 04 Juni 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Jakarta, 31 Mei 2016

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB III. KONDISI KEKURANGAN GIZI ATAU MALNUTRITION di KABUPATEN SIKKA, NUSA TENGGARA TIMUR

BERITA RESMI STATISTIK

BAB I PENDAHULUAN. dipilih umat manusia dalam berkomunikasi dibanding berbahasa non lisan. Hal ini

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2 KONDISI UMUM 2.1 Letak dan Luas 2.2 Kondisi Fisik Geologi dan Tanah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. akan berubah entah itu memerlukan proses yang lambat ataupun cepat.

BAB I KONDISI FISIK. Gambar 1.1 Peta Administrasi Kabupaten Lombok Tengah PETA ADMINISTRASI

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Darda (2009) dijelaskan secara rinci bahwa, Indonesia merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 11 Oktober 2016 s/d 15 Oktober 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB I PENDAHULUAN. multi dimensional baik fisik, sosial, ekonomi, politik, maupun budaya.

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I. Indonesia yang memiliki garis pantai sangat panjang mencapai lebih dari

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii. PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI... iii. PERNYATAAN KEASLIAN... iv. MOTTO...

DESA - KOTA : 1. Wilayah meliputi tanah, letak, luas, batas, bentuk, dan topografi.

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penduduk perkotaan, perubahan sosial ekonomi dan tuntutan

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

lib.archiplan.ugm.ac.id

BAB III METODE PERANCANGAN. kualitatif. Dimana dalam melakukan analisisnya, yaitu dengan menggunakan konteks

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pemukim itu sendiri dan sering sekali terbentuk akibat dari proses

1. PENDAHULUAN. Suprihan (Supriharyono, 2002:1). Setiap kepulauan di Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. menjadi satu kesatuan yang utuh dan sekaligus unik.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Arsitektur merupakan hasil dari faktor-faktor sosiobudaya, sebuah

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 Juli 2016 s/d 18 Juli 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Jakarta, 14 Juli 2016

BAB I PENDAHULUAN. Secara harfiah arti kata Boom sama dengan Haven dalam bahasa Belanda atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan perguruan tinggi disuatu daerah seringkali akan mempengaruhi

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA DEWA JARA

I. PENDAHULUAN. Perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang

BAB III METODE PERANCANGAN. sebagai alat visual metode merancang arsitektur. Adapun tahapan dan kerangka dari

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Mei 2016 s/d 02 Juni 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Jakarta, 29 Mei 2016

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

PRAKIRAAN TINGGI GELOMBANG

GEOMORFOLOGI BALI DAN NUSA TENGGARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Nggela. Bentuk permukiman adat di Desa Nggela yang berbentuk linear namun,

BAB 1 PENDAHULUAN. Nilai lahan di Kota Padang menarik untuk dikaji. Beberapa hal yang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemerintah Hindia Belanda pada saat menguasai sebagian wilayah Nusa Teggara Timur (1810-1916), membangun Keresidenan Timor di Kupang sebagai daerah penyangga. Untuk mendukung terbentuknya daerah penyangga dan pemasok prajurit perang maka dipindahkannya penduduk dari Pulau Rote dan pulau Sabu ke pantai Utara teluk Kupang. Penduduk tersebut terdiri dari anak-anak dan orang dewasa. Kelompok prajurit yang disukai oleh pemerintah Hindia Belanda adalah orang Sabu. Pada waktu itu residen Belanda di Timor yang bernama JA. Hazaart sangat menghargai kemampuan orang Sabu sebagai prajurit. Pada tahun 1822 Belanda merekrut prajurit dari pualu Sabu sebanyak 300 orang yang ditempatkan di sekitar Kupang (Widiyatmika, 2007, hal. 233). Kelebihan orang Sabu tersebut menyebabkannya menjadi kelompok orang yang selalu dipindahkan oleh Belanda ke wilayah-wilayah lain di Nusa Tenggara Timur. Banyak daerah penyebaran orang Sabu di daerah Nusa Tenggara Timur. Hampir setiap daerah terdapat orang Sabu yang berkembang menjadi kampung Sabu. Ada lima titik daerah penyebaran terbesar orang Sabu yang berpindah ke daerah lain yaitu: Kupang, Ende, Maumere, Reo, dan Sumba.

2 Gambar 1. Peta Penyebaran orang Sabu di daerah NTT Sumber: http://orangsabu.blogspot.co.id/2009/01/lokasi-penyebaran-orang sabu-perantau.html. Diakses 07 Oktober 2015 Salah satu alasan mengapa orang Sabu tersebar ke daerah lain karena kondisi alam Pulau Sabu yang kering. Letak geografis Pulau Sabu berada di antara Laut Sawu dan samudera Hindia, mengakibatkan kondisi alam menjadi kering, curah hujan rendah dan Jenis tanah yang tandus serta terdapat gunung-gunung kapur yang terbentang di sepanjang pulau. Perpindahan orang Sabu ke Pulau Sumba disebabkan oleh dua hal yaitu; orang Sabu sebagai prajurit perang dan hubungan yang dekat dengan orang Sumba. Orang Sabu sebagai prajurit perang terjadi ketika pemerintah Hindia Belanda menempatkannya di pesisir utara Sumba untuk menyaingi orang Ende sebagai tentara sewaan Raja-raja Sumba. Hubungan orang Sabu dan orang Sumba juga sudah terjalin lama sejak dahulu dengan hubungan antara Raja Robo Aba di wilayah Haba di Sabu dengan Raja Rendi Mangeli di Sumba Timur (Riwukaho, 2005). Pada abad ke-17 ketika kerajaan Rendi diserang oleh kerajaan lain di sekitarnya maka datanglah Mata Lai (seorang cucu generasi ke-4 dari Robo Aba) ke Sumba untuk menolong. Pada Abad

3 ke-18 hubungan kekerabatan ini diperkuat oleh Raja Sabu melalui perkawinan antar keluarga Raja Sabu dengan keluarga Raja Melolo, sehingga ibukota kerajaan Melolo menjadi salah satu tempat populasi pemukiman orang Sabu yang cukup besar. Gambar 2. Hubungan Pulau Sabu dan Pulau Sumba Sumber: Google Earth 2015, diakses 07 oktober 2015 Wilayah pesisir pantai utara Sumba Timur merupakan daerah penyebaran orang Sabu terbesar di pulau Sumba. Pada penggal jalan Waingapu-Melolo terdapat kampung-kampung Sabu sejak ratusan tahun yang lalu yakni mulai dari Waingapu, Kambaniru, Kawangu, Walakiri, Yumbu, Laipori, Watumbaka, Makatimbi, Kadumbul, Wanga, Petawang dan Melolo serta daerah Waijelu dan Baing. Oleh karena itu hunian-hunian orang Sabu menjadi karakter umum pada wilayah tersebut. Kehidupan Orang Sabu yang berada di pulau Sabu memiliki aturan berbeda dibandingkan dengan yang di luar pulau Sabu. Salah satu yang

4 nampak adalah dari jenis Rumah. Rumah orang Sabu di pulau Sabu terdiri dari tiga jenis yaitu Amu rukoko, Amu tuki, dan Amu D ppu atau. Amu Rukoko atau rumah adat Sabu hanya dibangun di pulau Sabu, sehingga ketika ritual adat maka orang Sabu harus pulang ke pulau Sabu. Dalam satu kelompok hunian sebuah rumah tangga (Hewue dara amu) memiliki beberapa masa bangunan yakni Amu Tuki yang berfungsi sebagai rumah tinggal berada di sentral, dikelilingi oleh Amu D ppu, Amu Hogo, dan Amu Badda dan Kamma Dji u ei serta Amu Tengaha Keloe. Komponen masa bangunan tersebut menjadi cikal bakal pembentukan sebuah kampung. Hunian Orang Sabu adalah tempat tinggal dari keluarga yang berasal dari suku Sabu. Tempat lahir penghuni tidak menjadi ukuran dalam penyebutan istilah orang Sabu tetapi dilihat dari kehidupan sehari-hari yang masih menerapkan kebiasaan-kebiasaan atau perilaku orang Sabu. Kebiasaan dan perilaku tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasa, perilaku terhadap aturan perkawinan dan kebiasaan dalam berinteraksi dengan sesama. Hubungan hunian dan budaya orang Sabu berasal dari pandangan manusia menurut orang Sabu. Kana (1983) menjelaskan bahwa manusia dipandang sebagai makhluk sosial yang erat hubungannya dengan alam. Terungkap dalam sistem penegetahuan tentang kesatuan genealogi dari manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan serta alam semesta. Hubungan dengan alam itu tidak saja terpatri dalam sistem pengetahuan, namun dipelihara dalam perilaku sehari-hari yakni kegiatan pertanian, penggarapan

5 laut, dan pembangunan rumah. Pandangan tentang hubungan itu terjadi dalam pengaturan kampung, yakni kandang ternak memperoleh tempat di kampung. Dalam suatu upacara adat, kedudukan ternak dilambangkan sebagai warga kampung. Ternak, manusia dan tumbuhan menjadi tema dalam upacara untuk perkembangbiakan dan kesuburannya. Tata spasial pada hunian orang Sabu pada penggal jalan Waingapu- Melolo merupakan obyek kajian yang menarik untuk di teliti lebih jauh. Salah satu fokus yang bisa diteliti yaitu pola tata huniannya. Kegiatan penelitian dilakukan secara mendalam karena pola tata hunian adalah sebuah produk budaya yang amat luas, seperti yang dijelaskan oleh Koentjaraningrat (1974) bahwa seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Pandangan tersebut direspon dengan melakukan penelitian yang mendalam dengan sudut pandang fenomenologi untuk melihat kehidupan secara utuh dan mendalam. Desa Kadumbul dipilih menjadi lokasi fokus penelitian karena memiliki karakter yang serupa dengan kondisi penggal jalan Waingapu-Melolo pada umumnya. Survey awal yang dilakukan di bulan Oktober 2015, menemukan bahwa di lokasi tersebut terdapat kampung-kampung Sabu yang memiliki karakter hampir sama antara satu dengan lainnya dan penyebarannya yang merata. Karakter yang kuat nampak pada hunian orang Sabu di sepanjang penggal jalan tersebut.

6 Hunian orang Sabu dipandang sebagai sebuah tatanan yang nampak dari karya arsitektur (artefak). Kondisi tersebut tidak dapat terlepas dari dimensi budaya, yang disebutkan oleh Siregar (2005) bahwa dibuat oleh manusia untuk keperluan umat manusia. Pemikiran ini didukung dengan salah satu substansi kebudayaan dari pemikiran Van Pursen (Uhi, 2016, hal. 23) bahwa kebudayaan terjadi dari situasi kehidupan manusia ketika berhadapan dengan kondisi alam sekitarnya, sehingga berbudaya diartikan sebagai manusia yang tidak pernah tinggal diam menghadapi diri, masyarakat dan alam sekitarnya. Dengan demikian ada proses social adjustment seseorang yang dipengaruhi oleh suatu persepsi dan cara menginterpretasi berbagai obyek dan situasi yang ada di sekitarnya (Poerwanto, 2000). Paparan tersebut diartikan bahwa hunian orang Sabu merupakan sebuah produk arsitektur dalam dimensi budaya yang hadir melalui persepsi manusia tentang alam sekitar. Penelitian tentang pola tata spasial pada hunian dimaksudkan untuk mendalami pola, tata, spasial dan hunian serta semua hal yang terkait di Desa Kadumbul. Pola adalah sebuah bentuk dasar, tata artinya atur, spasial adalah ruang yang abstrak dan hunian adalah tempat tinggal. Sehingga pola tata hunian diartikan sebagai bentuk-bentuk yang didasari oleh cara mengatur hunian baik secara kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pola tata spasial pada hunian orang Sabu di desa Kadumbul diartikan sebagai bentuk-bentuk dasar yang dipakai dalam cara mengatur ruang pada hunian orang Sabu di desa tersebut.

7 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas ditarik dua rumusan permasalahan yaitu; (1) Bagaimana pola tata spasial pada hunian orang Sabu di Desa Kadumbul Kabupaten Sumba Timur dan (2) Apa konsep yang melatarbelakangi pola tata spasial pada hunian. 1.3. Tujuan dan Manfaat Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan pola tata spasial pada hunian orang Sabu di Desa Kadumbul Kabupaten Sumba Timur dan mendapatan konsep yang melatarbelakangi terbentuknya tata spasial pada hunian tersebut. Manfaatnya adalah memberikan kontribusi terhadap ilmu arsitektur tentang pola tata spasial pada hunian orang Sabu di Desa Kadumbul Kabupaten Sumba Timur dan latarbelakang yang membentuknya. 1.4. Lingkup Studi Substansi lingkup studi tentang penelitian pola tata spasial pada hunian orang Sabu di Desa Kadumbul adalah batasan mengenai materi yang dilakukan dan disajikan di dalam analisis. Lingkup Studi dimaksudkan agar penekanan studi dapat disesuaikan dengan rumusan permasalahan. Lingkup studi tersebut terdiri dari lingkup substansial, lingkup temporal, lingkup spasial. Lingkup substansial pada penelitian mencakup pola tata spasial pada hunian yang ada di desa Kadumbul. Fokus kajian yakni setiap hunian orang Sabu yang secara khusus pada komponen hunian atau pekarangan rumah baik ruang dalam maupun ruang luar serta aktivitas yang terjadi.

8 Lingkup temporal adalah waktu yang menjadi acuan untuk penelitian pola tata spasial pada hunian orang Sabu di desa Kadumbul. Penelitian dilakukan sejak bulan Oktober 2015 sampai bulan Juni 2016, menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa sebagi lokus kajian. Lingkup spasial mencakup kawasan permukiman orang Sabu secara umum dan memilih salah satu lokus untuk penelitian yang mendalam. Penelitian tentang pola tata spasial pada hunian orang Sabu dilakukan pada penggal jalan Waingapu-Melolo untuk melihat karakter umum kawasan secara luas dan menentukan salah satu desa yakni desa Kadumbul untuk melakukan penelitian mendalam. Penelitian juga dilakukan terhadap daerah asal orang Sabu di desa Kadumbul yakni di pulau Sabu. 1.5. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian pola tata spasial pada hunian orang Sabu di Desa Kadumbul terdiri dari enam kelompok sistematika yaitu: BAB I PENDAHULUAN Membahas tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, Sistimatika penulisan, lingkup penelitian dan keaslian penelitian. BAB II TINJAUAN AREA AMATAN DAN OBYEK STUDI Membahas tentang obyek studi yakni penggal jalan Waingapu-Melolo secara umum dan desa Kadumbul secara khusus, tentang kehidupan orang Sabu, adat istiadat orang Sabu, dan hunian orang Sabu. BAB III METODOLOGI PENELITIAN

9 Membahas tentang cara yang dilakukan dalam penelitian mulai dari metode pengumpulan data, metode analisa data, dan metode penarikan kesimpulan. BAB IV TEMUAN TEMA EMPIRIS Membahas tentang temuan-temuan empiris yang diperoleh dari lokasi penelitian setiap hal yang ditemukan dalam kaitan dengan pola tata spasial pada hunian orang Sabu di desa Kadumbul. Temuan Tema berupa tema-tema empiris dan temuan pola ruang dalam dan pola ruang luar BAB V TEMUAN KONSEP Temuan konsep tentang apa yang menjadi latar belakang terbentuknya pola tata hunian orang Sabu di desa Kadumbul. BAB VI PEMBAHASAN Tahap pembahasan dilakukan dengan dialog teoritis antara konsep yang ditemukan dalam penelitian sebagai konsep lokal dengan konsep para ahli lain guna mengungkapkan keunikan dari konsep lokal tersebut. BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI PENELITIAN Merupakan penegasan kembali secara singkat berupa hasil penelitian dan rekomendasi untuk penelitian lanjutan. 1.6. Keaslian Penelitian Penelitian tentang pola tata spasial hunian orang Sabu di desa Kadumbul merupakan penelitian yang perlu memperhatikan penelitian lain. Penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh orang lain yang mempunyai

10 kemiripan perlu diungkapkan untuk memberi perbedaan pada penelitian yang dilakukan. Kemiripan dalam hal pola tata hunian atau permukiman dan perbedaan berupa perbedaan pada fokus kajian, lokus, metodologi yang digunakan dan hasil atau kesimpulan yang diperoleh. Penelitian tentang pola tata ruang pernah dilakukan yakni Studi pola tata ruang permukiman nelayan dengan studi kasus pada Desa Ujung Gagak, Desa Ujung Alang dan Desa Panikel di Kampung Laut, Segar Anakan- Cilacap (Vidyabrata, 2002). Fokus kajian terhadap permasalahan perbedaan karakteristik pola tata ruang pemukiman nelayan yang tinggal di tiga desa dengan metodologi kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Hasil yang ditemukan yakni terjadi bentukan permukiman dengan tipologi hunian yang mempunyai pola mengelompok, menyebar dan memanjang sepanjang permukiman di desa tersebut. Dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisikdaerah perairan, sosial, ekonomi,nelayan pendatang dan tervensi pemerintah. Peneitian tentang pola tata letak ruang pernah dilakukan dengan judul Pola tata letak ruang hunian usaha pada rumah tinggal tipe kolonial di pusat kota Tuban (Wardani, 2004). Penelitian tata letak ruang tersebut dilakukan dengan fokus kajian pada pola tata letak ruang usaha dengan metode penelusuran sejarah, observasi dan wawancara. Hasil yang ditemukan pada penelitian tersebut yakni pemanfaatan raung hunian-usaha mengalami perubahan karena pertimbangan faktor ekonomi dan aktivitas usaha.

11 Penelitian tentang pola permukiman pernah dilakukan yakni Pola permikiman Melayu Jambi dengan studi kasus kawasan tanjung pasir sekoja (Putra, 2006). Fokus kajian pada Karakter pola permukiman Melayu Jambi dan pengaruh-pengaruh dalam pembentukan pola ruang. Metode yang digunakan yakni kualitatif dengan pendekatan rasionalistik. Hasil dari penelitian tersebut yakni pola lahan permukiman pinggiran sungai membentuk pola linier dan pola lahan permukiman darat membentuk grid yang orientasinya cenderung mengarak ke jalan lingkungan. Penelitian tentang pola penataan masa bangunan pernah dilakukan yakni Kajian pola penataan masa dan tipologi bentuk bangunan kampung adat Dukuh di Garut, Jawa Barat (Kustianingrum, 2013). Dengan fokus kajian pada pola penataan masa dan tipologi bentuk bangunan yang menggunakan metode deskripsi analisis. Hasil dari penelitian tersebut yakni sebagian besar konsep arsitektur Sunda yang terdapat di kampung Dukuh dapat dilakukan oleh orang-orang Sunda terdahulu (sesepuh) yakni dari filosofi, filosofi bangunan dan peraturan-peraturan. Penelitian tentang pola tata ruang kampung pernah dilakukan yakni Kajian pola tata ruang kampung adat Bena desa Tiworiwu Kabupaten Ngada (Tandafatu, 2015). Fokus kajian pada konsep dan makna atau nilai pada pola penataan ruang kampung adat dan pengaruh perilaku. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan paradigma naturalistik. Hasil dari penelitian tersebut yakni kondisi fisik seperti geografi, rumah adat, ruang tengah kampung dan komponen ruang luar lainnya membentuk pola tata

12 ruang kampung sangat dipengaruhi oleh keprecayaan dan sisitim kekerabatan antar suku. Penelitian tentang pola tata spasial pada hunian orang Sabu di desa Kadumbul merupakan penelitian yang baru jika memperhatikan penelitian lain. Penelitian sejenis yang pernah dilakukan oleh orang lain memberi perbedaan pada penelitian yang dilakukan. Perbedaan tersebut yakni dalam substansi penelitian tentang pola tata hunian, lokus tentang desa Kadumbul dan, metodologi yang digunakan berbeda, sehingga tentunya akan memperoleh hasil atau kesimpulan yang berbeda pula.